Hukum Progresif dan Keadilan Sosial Kaji

Hukum Progresif dan Keadilan Sosial : Kajian atas
Hak Asasi Manusia

Dosen Pengampu
:
Ridwan Arifin, S.H., Ll.m.

Disusun Oleh :
Indah Mutiara Dewi
8111416027
Rahayu Kusuma Ningrum
8111416052

Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang
2017

Kata pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang

telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah

tentang

Hukum Progresif dan Keadilan

Sosial : Kajian atas Hak Asasi Manusia
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami
berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan

ini


dapat

memberikan

manfaat

maupun

inpirasi

terhadap

pembaca.
Semarang, 10 Oktober 2017
Penyusun

DAFTAR ISI
SAMPUL...................................................................................................i
............................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................iii
DAFTAR TABEL........................................................................................iv
DAFTAR KASUS........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. RumusanMasalah...............................................................................4
C. Metode Penulisan...............................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................5
A. Konsep Hukum Progresif.....................................................................5
B. Pandangan Pemikiran Hukum Progresif Mengenai Keadilan...............7
C. Penerapan Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. 8
BAB III PENUTUP.....................................................................................14
A. Kesimpulan.........................................................................................14
B. Saran..................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................15

Daftar Tabel
Tabel 1.1 Data Komnas Ham Tahun 2013-2015.....................................12
Tabel 1.2 Kerangka Hukum Positif...........................................................12

Daftar Kasus
Tabel 1.1 Pelanggaran HAM....................................................................13
Tabel 1.2 Tragedi 12 Mei 1998................................................................13

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana evolusi yang terus berkembang dari sisi keilmuan, maka
pemikiran untuk mengukuhkan keberadaan ilmu hukum untuk menjadi sebenar
ilmu juga terus berkembang. Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum
Progresif yang diawali pada sekitar tahun 2002. Hukum progresif lahir karena
selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang
dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan
Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di
Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1997.
Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan
kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi di Indonesia
sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut.
Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence,
Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan

manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa
manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta
kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, asumsi dasar Hukum Progresif
dimulai dari hakikat dasar “hukum adalah untuk manusia”. Hukum tidak hadir
untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif tetapi
untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum
itu selalu berada pada status “law in the making” (hukum yang selalu
berproses untuk menjadi).
Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang
menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis
peraturan dan logika. Bagi ilmu hukum positif (dogmatik), kebenaran terletak
dalam tubuh peraturan. Ini yang dikritik oleh hukum progresif, sebab melihat
hukum yang hanya berupa pasal-pasal, jelas tidak bisa menggambarkan
kebenaran dari hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa
menjelaskan kebenaran yang kompleks dari realitas-empirik jelas sangat

diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenarnya sebagai sebuah ilmu
(genuine science).1
Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam

hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Dalam posisi yang demikian
ini, maka hukum progresif dapat dikaitkan dengan developmental model
hukum dari Nonet dan Selznick. Hukum progresif juga berbagi paham dengan
Legal Realism dan Freirechtslehre. Meminjam istilah Nonet dan Selznick,
Hukum Progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe yang demikian itu, hukum
selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.
Atau hukum responsif mencoba mengatasi kepicikan (prokialisme) dalam
moralitas masyarakat serta mendorong pendekatan yang berorientasi pada
masalah yang secara sosial terintegrasi.
Terkait dengan Legal Realism dan Freirechtslehre, hukum progresif
melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan melihatnya
dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari
bekerjanya hukum. Oleh sebab kehadiran hukum dikaitkan dengan tujuan
sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan Sociological Jurisprudence
dari Roscoe Pound, yang menolak studi hukum sebagai studi tentang
peraturan-peraturan. Dengan demikian dalam berolah ilmu, Hukum Progresif
melampaui peraturan dan dokumen hukum yang positivistik. Hukum Progresif
juga dekat dengan teori-teori Hukum Alam, yakni pada kepeduliannya terhadap
hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut ‘meta-juridical’. Dengan demikian,
Hukum Progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar

daripada menafsirkan hukum dari sudut ‘logika dan peraturan’. Hukum
progresif tidak hanya berhenti pada kritik atas sistem hukum liberal. Hukum
progresif mengetengahkan paham bahwa hukum itu tidak mutlak digerakkan
oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan, tetapi ia juga digerakkan
pada arah non-formal. Oleh sebab hukum progresif berasumsi dasar bahwa
hukum itu ada dan hadir untuk manusia.
Reformasi serta kritik-kritik negatif terhadap sistem dan penegakan
hukum Indonesia memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan
tentang apa yang akan kita lakukan untuk keluar dari situasi buruk. Tetapi,
bagaimanapun suasana keterpurukan masih menyisakan berkah, yaitu
memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan perubahan secara
tidak tanggung-tanggung pada akar filsafatnya sekali. Pada hakekatnya hukum
mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu
yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak termasuk ide tentang keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Hukum yang masih abstrak tersebut
perlu untuk diwujudkan atau di jabarkan, pada tatanan inilah yang disebut
dengan penegakan hukum. Penegakan hukum adalah rangkaian proses untuk
menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan daripada
hukum di atas ke dalam masyarakat . Ketika hukum itu dibuat dan wajib
1 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Esai-Esai Terpilih, (Yogjakarta: Genta Publishing, 2010).

hlm. 96-97
1

dilaksanakan maka penegakan hukum kemudian menjadi bagian yang tak
terpisahkan, oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat
sebagai basis dari bekerjanya hukum. Hukum berada diantara dunia nilai-nilai
atau ide-ide yang bersifat abstrak dengan dunia kenyataan. Oleh karena
hukum bergerak diantara dua dunia yang berbeda, akibatnya sering terjadi
ketegangan pada saat hukum diterapkan. Saat hukum yang sarat dengan nilainilai atau ide-ide hendak diwujudkan, maka hukum sangat terkait erat dengan
berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan seperti politik,
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di mana hukum itu diberlakukan,
seperti undang-undang pornografi yang mendapat tantangan dan penolakan
oleh warga Papua dikarenakan kondisi budaya masyarakatnya berbeda dan
bertolak belakang dengan undang-undang pornografi tersebut. Dalam proses
penegakan hukum dibutuhkan sebuah organisasi yang bisa menerapkan atau
mengkonkritkan hukum tersebut ke dalam masyarakat seperti kepolisian,
pengadilan dan lain-lain. Karena pada dasarnya hukum tidak dapat dijalankan
tanpa adanya sebuah organisasi yang berfungsi mewujudkan atau
merealisasikan hukum di dalam masyarakat. Penegakan hukum mengandung
supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Namun semenjak hukum modern

digunakan, pengadilan bukan lagi menjadi tempat untuk mencari keadilan
(searching of justice) tetapi Pengadilan kemudian bergeser menjadi lembaga
yang berkutat pada aturan main dan prosedur, dengan kata lain pengadilan
hanya sebagai lembaga penerapan peraturan undang-undang dan prosedur
saja. Dalam hukum modern, lembaga pengadilan telah kehilangan ruh nya
sebagai house of justice. Hal ini sudah menjadi rahasia umum lagi, bahkan
pada tatanan substansi hukum pun dibuat secara khusus oleh lembaga khusus
dan mengikuti prosedur khusus yang disebut dengan legislasi. Metode yang
dipakai juga unik yang didasarkan pada paham “peraturan dan logika” jadi
wajar saja jika pengadilan sebagai
2
organiasasi yang mewujudkan hukum yang bersifat abstrak itu ke konkritisasi
kehidupan nyata menjadi bergeser fungsinya menjadi lembaga penerapan
peraturan perundang-undangan atau dengan kata lain hakim adalah corong
undang-undang yang kadang dibutakan oleh paham peraturan tadi.
Menggunakan hukum modern, tidak begitu saja menjamin keadilan dapat
diberikan secara otomatis. Hal ini sangat tergantung pada bagaimana aparat
penegak hukum “menggunakan” atau “tidak menggunakan hukum”. Walaupun
aparat penegak hukum terlihat begitu sibuk bekerja siang dan malam, namun
situasi dunia berhukum kita tidak berubah dan jauh dari rasa keadilan

masyarakat. Hukum tetap gagal memberikan keadilan di tengah-tengah
penderitaan dan kemiskinan yang hampir melanda sebagian besar masyarakat,
supremasi hukum yang didengung-dengungkan hanyalah menjadi tanda atau
symbol tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (Language
game) yang cenderung menipu dan mengecewakan karena lebih
mementingkan kaum borjuis atau kaum setan pemuja kekayaan dan kekuasaan
salah satunya adalah Gayus Tambunan yang bisa nonton tenis di Bali dan

masih banyak lagi koruptor-koruptor lainnya yang tidur dan makan dengan
nyenyak hasil merampok uang penguasa negeri ini. Lebih memalukan lagi
korupsi sudah merajalela pada tingkatan lembaga penegak hukum yang
melibatkan aktor penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, dan
advokat serta masyarakat pencari keadilan. Berbagai perilaku kolutif sudah
menjadi ciri khas ketika orang berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai
tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai peninjauan kembali di
Mahkamah Agung. Kejahatan ini merupakan bagian kecil dari potret gelap
dunia penegakan hukum kita, yang mengakibatkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hukum dan tumbangnya keadilan. Sehingga muncul
perkataan atau pernyataan bahwa berikan saya jaksa dan hakim (penegak
hukum) yang baik maka dengan jaksa dan hakim baik tersebut saya akan

merubah hukum yang buruk. Relevan dengan hal tersebut B. M. Taverne
mengatakan, “geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede
officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht
wetboek van strafprosesrecht het goede beruken” bahwasanya “berikan aku
hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan
meskipun tanpa secarik undang-undang pun”. Dengan kata lain, “berikan
padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa
mendatangkan keadilan. Artinya, bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan
undang-undang, tanpa didukung oleh aparatur penegak hukum yang baik,
memilikki moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep hukum progresif ?
2. Bagaimana pandangan pemikiran hukum progresif mengenai keadilan?
3. Bagaimana penerapan hukum progresif dalam penegakan hukum di
Indonesia ?
C. Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam makalah ini adalah :
1. Metode Pustaka
Yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan
data dari pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku
maupun informasi dari media cetak
2. Diskusi Yaitu mendapatkan data dengan cara bertanya secara langsung
kepada teman-teman yang mengetahui tentang informasi yang
diperlukan dalam makalah ini

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum Progresif
Melihat realitas penggunaan hukum yang ada, maka pada tatanan
penyelesaian hukum tidak dapat lagi menggunakan cara-cara yang biasa dan

konvensional, tetapi membutuhkan cara berhukum yang luar biasa. Salah satu
cara luar biasa yang di tawarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo untuk menghadapi
kemelut dalam dunia penegakan hukum kita adalah suatu tipe penegakan
hukum progresif. Seyogyanya hukum harus ditempatkan pada dimensi hakiki
atau filosofisnya, sehingga hukum bisa menjadikan dirinya sebagai anak yang
tidak durhaka atas masyarakat yang melahirkan serta membesarkannya.
Penegakan hukum progresif mengajak kita untuk melihat hukum secara
komprehensif atau utuh dan tidak memakai kacamata kuda atau parsial.
Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal, yaitu hukum ada untuk
manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja
sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya.
Manusia merupakan suatu unikum, sehingga hukum tidak lagi bekerja seperti
mesin otomatis yang tinggal memencet tombol saja. Hukum bukan hanya
urusan peraturan atau undang-undang semata, melainkan juga mengenai
peranan manusia atau perilaku manusia sebagai bagian dari perwujudan
hukum. Melibatkan peranan manusia adalah cara berhukum untuk keluar dari
stagnasi dominan yang membabi buta kepada teks undang-undang.
Hukum seyogyanya tidak mempertahankan status quo. Kita tidak harus
terpenjara dalam undang-undang, jika undang-undang memiliki kontradiksi
dengan pencapaian keadilan maka menjadi mungkin pilihan mengesampingkan
bisa dilakukan demi menciptakan keadilan hukum dalam masyarakat. Karena
sesungguhnya semua teks tertulis membutuhkan penafsiran, maka menjadi
keliru jika mengatakan hukum atau undang-undang itu sudah jelas. Undangundang cacat sejak lahir, karena undang-undang memiliki banyak kelemahan
terutama masalah penggunaan bahasa, bahasa tulisan tidak bisa
mengakomodir semua gagasan, ide, cita hukum yang murni dalam masyarakat,
yang sering disebut oleh Prof. Satjipto Rahardjo sebagai makna yang tercecer.
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar
menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),
melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning)
dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya dengan
kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata
lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati,
dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian
untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. Ide penegakan hukum
progresif lahir dari refleksi intelektual yang cukup panjang. Pembahasan
penegakan hukum progresif di atas merupakan salah satu rekam jejak refleksi
intelektual yang menjadi titik awal kenapa penegakan hukum progresif
dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. Tibalah kita pada sebuah
kesimpulan bahwa “kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata
sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran
prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“.2
2 Sutjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, ( Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm.
36
5

Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Istilah hukum
progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar
bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini akibat dari rendahnya kontribusi
ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis,
termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum
progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang
mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai
terobosan.
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo
tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal,
dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan
hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat
harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan
pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum,
sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan
tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa
atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab, hukum bertujuan untuk
menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat. Pembebasan
tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan
bukan sebaliknya dan prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan
sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan,
kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Hukum progresif bukan sebatas
dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai hukum
yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, hukum progresif
meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek.
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk
menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada
dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah
pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua
hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final,
ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah :
1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat luas
yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
4. Bersifat kritis dan fungsional.
Konsep hukum progresif yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo
bila diartikan secara sederhana dapat diartikan sebagai “bagaimana”
membiarkan hukum tersebut mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi
pada manusia dan kemanusiaan. Adapun pokok-pokok pemikiran model hukum
progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut ini :3
3 Sutjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, ( Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm.
6

1. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada idealnya
hukum;
2. Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu institusi yang bermoral;
3. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia;
4. Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan pro keadilan”;
5. Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.
berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk sesuatu yang lebih besar;
6. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process,
law in the making);
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk menguji kualitas dari hukum,
tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan, kesejahteraan
dan keberpihakan kepada rakyat semakin jauh dari kenyataan, mengingat
banyaknya persoalan hukum yang tidak terselesaikan dengan baik. Banyaknya
kasus korupsi yang terkuak namun tidak mendapatkan penyelesaian yang
memuaskan menjadi pemicu utama lahirnya pemikiran hukum yang progresif.
Kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin pudar sehingga hukum
tidak lagi dianggap sebagai panglima dalam menyelesaikan persoalan.
Sungguh sangat ironis bagi Negara yang mendasarkan dirinya pada hukum
tetapi tidak dapat menegakkan hukum karena kepercayaan dari masyarakat
tidak ada.4 Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang
terus berubah.
B. Pandangan Pemikiran Hukum Progresif Mengenai Keadilan
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang
surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter.
Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya,
periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil
sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam
masyarakat dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak
politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pemabatasan
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana
terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitasnya,
ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul
Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu
dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa
keadilan masyarakat tidak jelas.
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya
menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup
berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui.
6
4 Sutjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan kritis tentang pergulatan Manusia dan
Hukum, ( Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), hlm. 137
7

Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat
dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang
mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan
tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksisanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya.
Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam
angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.
Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek
perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal
yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut
sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai
konsep keadilan yang telah disepakati bersama.
Merumuskan konsep keadilan dalam pemikiran hukum progresif ialah
bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan
prosedur. Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar
terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua
pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada
substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur
melainkankeadilan substantif.
Bagaimana mungkin itu terjadi, karena kerusakan dan kemerosotan
dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan
prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu
mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat
sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan
baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan
substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran
terjadinya trials without truth. Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif
sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung
memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan
pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong(encourage) pengadilan
dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.
C. Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di Indonesia
1. Penegakan hukum oleh Kepolisian
Dalam rangka penegakan hukum pidana, upaya penyidikan yang
dilakukan oleh
Polri
tidak hanya di dasarkan pada mengejar
diselesaikannya pemberkasan semata, namun harus di dasarkan pada nilainilai keilmiahan. Yang selanjutnya diterapkan dalam proses penyidikan melalui
serangkaian proses yang dinamakan dengan scientific investigation. Proses
scientific investigation yang dimaksudkan bukan hanya terbatas kepada
pemanfaatan berbagai macam teknologi pendukung yang ada namun juga
kepada penerapan berbagai macam perkembangan teori-teori hukum dalam
mencari dan menemukan alat bukti dan fakta hukum. Menurut Hartono, bahwa
dengan dilatarbelakangi oleh pemikiran yang maju dan tidak terbatas kepada

apa yang tertulis dalam aturan perundang-undangan saja maka penegakan
hukum yang dilakukan oleh penyidik dapat dikatakan sebagai model
“penyidikan yang progresif”. Dan dengan perpaduan model “scientific
investigation” dan“ penyidikan progresif” tersebut diharapkan dapat
mewujudkan penegakan hukum yang proporsional, professional dan
intelektual.
Polri sebagai penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,
dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas
lembaga pemasyarakatan. Setiap aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak
yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan
pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian,
penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali
(resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum
(anggota Polri) itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu :

8
a. Institusi penegak hukum (Polri) beserta berbagai perangkat sarana dan
prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
b. Budaya kerja yang terkait dengan anggota Polri, termasuk mengenai
kesejahteraan anggota Polri, dan.
c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaan Polri
maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja Polri, baik
hukum materiilnya maupun hukum acaranya.
Upaya penegakan hukum oleh Polri secara sistemik haruslah
memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan
hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja
penegakan hukum oleh Polri di negara kita selama ini, sebenarnya juga
memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum
hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum
yang mencita-critakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu
sendiri belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika
materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi
dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja
berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum
atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada tiga fungsi penting yang
memerlukan perhatian yang seksama, yaitu :
a. Pembuatan hukum (the legislation of law atau law and rule making);
b. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization
and promulgation of law,) dan

c. Penegakan hukum (the enforcement of law).
Ketiganya
membutuhkan
dukungan
administrasi
hukum
(the
administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh
pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Penyidikan
yang dilakukan oleh Penyidik Polri, terutama diatur dalam KUHAP, UU Polri dan
berbagai Peraturan Kepolisian sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan
penyidikan. Pada penyidikan oleh Penyidik Polri, acapkali terdapat atau terjadi
kesenjangan (diskrepansi) antara karakteristik pembentukan perundangundangan dengan karakteristik penafsiran hukum. Karakteristik penafsiran
hukum juga dapat berbeda bahkan bertolak belakang dengan karakteristik
pembentukan perundang-undangan. Pendekatan penelitian adalah yuridis
normatif tentang karakteristik penafsiran hukum dihubungkan dengan
pembentukan perundang-undangan pada penyidikan oleh Penyidik Polri,
dengan menggunakan metode perundang-undangan, kasus, konseptual dan
perbandingan hukum pidana, dengan logika deduktif dan induktif. Dihubungkan
dengan karakteristik penafsiran hukum oleh Penyidik Polri, Positivisme Hukum
atau aliran legalistik merupakan karakteristik yang utama dan dominan yang
dalam praktiknya dapat memunculkan ketidakadilan. Penyidik Polri juga
menggunakan karakteristik penafsiran hukum Sociological Jurisprudence atau
Hukum Progresif, seperti penerapan alternatif penyelesaian perkara pidana
atau konsep keadilan restoratif.5
Membaca (atau mengeja) peraturan secara datar adalah memecahkan
masalah tanpa melihat konteks, sehingga penegakan hukum tidak
menghadirkan empati, komitmen dan dedikasi. Para ahli hukum lainnya,
menyarankan agar para aparat penegak hukum memiliki ketrampilan “Moral
Reading”, yaitu sebuah ketrampilan pembacaan bermakna dengan menyertai
pemaknaannya secara filsafati, seperti keadilan dan tujuan diadakannya
hukum. Praksis polisi tersebut diatas adalah model penegakan hukum secara
legalistic positivisme. Cara berfikir yang digunakan adalah mengeja undangundang dan patuh prosedur dengan mengabaikan nilai keadilan substantive,
dan prakteknya menanggalkan bahasa nurani. Mereka mendalihkan bahwa
pekerjaan mereka membutuhkan kepastian, sehingga hukum digunakan
sebagaimana stetoskop para dokter. Praksis hukum menjadi praksis yang lebih
sibuk mengoperasikan skema-skema hukum (rule and logic) dari pada bertanya
apakah fungsi hukum dalam masyarakat sudah berjalan dengan baik. Apabila
itu terjadi, sesungguhnya kita sudah terjebak ke dalam paham “ manusia
untuk hukum”, dan bila aparat penegak hukum berpegang pada keyakinan
bahwa manusia untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan atau
mungkin juga dipaksakan untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah
dibuat oleh hukum. Sehingga muncul anggapan bahwa “Keadilan di atas
peraturan/ prosedur”.

5 Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, ( Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, 1988 ), hlm.24-48
9

Sebaliknya penegakan hukum yang menghadirkan compassion empati,
determinasi, nurani dan dedikasi terhadap kemanusiaan disebut penegakan
hukum progresif. Penegakan hukum seperti ini yang harus dilakukan, hukum
mengabdi kepada manusia atau kemanusiaan, dan dalam prakteknya bersifat
humanis. Paham ini adalah minoritas praksis hukum di Kepolisian. Para
positivistik di Kepolisian sering lupa bahwa mereka mempunyai hak
diskresionil, yang itu bisa menjadi pintu masuk bagi praksis penegakan hukum
progresif. Seandainya mau mencermati lebih dalam, bagaimana melihat hukum
tidak semata dengan optik hukum, maka gunakan optik “deep ecology”, yaitu
suatu perspektif hukum yang melibatkan semua entitas kehidupan manusia
(holistic) sebagai satu kesatuan kehidupan, dan itupun merupakan sumber
pencerahan dalam berhukum progresif, bukan semata mengeja susunan kata
dan mentaati prosedur. Kajian ini menjadi landasan bagi kearifan berfikir,
bahwa hukum bukanlah bertujuan menciptakan kepastian hukum semata atau
keadilan prosedur atau “legal justice”, tetapi “substantial justice”. Satu hal
yang perlu dipegang teguh bahwa hukum tidak boleh melepaskan diri dari
fungsi utamanya yaitu melayani manusia, dan setiap kali fungsi tersebut
terusik maka kita perlu melakukan sesuatu yang kreatif untuk mengatasinya.
2. Penegakan hukum oleh Hakim
Keadilan bukan kaku/saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang
dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan bukan tugas rutin
mengetuk palu digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas
dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan keadilan adalah keberanian
tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia
Indonesia. Isu yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu
pada prinsip pekerjaan yang diukur pada nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola
pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia
hukum. Seperti mafia hukum UUD (ujung-ujungnya duit), pasal karet, 86 dan
penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang
didalam institusi pengadilan.
10
Dalam mecari keadilan di dalam Negara hukum suatu penentu yakni
dalam palu sidang hakim yang dijatuhkan pada putusan akhir. Dalam hal ini
perlunya menciptakan hakim yang sangat berani dalam menegakkan keadlilan
hukum yang sesungguhnya dalam artian tidak hanya memutuskan suatu
perkara dengan melihat pada fakta dalam persidangan semata. Dalam hal ini
masyarakat hukum perlu mencari keadilan dengan penegasan pada para
hakim sebagai kepanjangan tangan dari Tuhan.6
Hal yang juga termasuk urgen dalam hukum progresif yakni bagaimana
menuntut keberanian seorang hakim dalam menafsirkan pasal untuk
memperadabkan bangsa ini kearah yang lebih baik. Apabila proses tersebut
6 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Hukum Progresif,( Jakarta, Sinar
Grafika, 2010), hlm. 10
11

benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar
dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan
menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti
sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi
hukum, bagi kaum miskin karena hukum tak hanya melayani kaum kaya juga
semua masyarakat yang berada di Negara Indonesia khusunya. Apabila
kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak dan
abadi sampai kapanpun. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk
kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan dan keadilan yang sesungguhnya.
Tetapi melihat realitas Negara Indonesia khususnya telah menyatakan diri
sebagai sebuah Negara hukum yang sudah tercantum di dalam Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khusunya pada pasal 1
ayat (3) yang berbunyai; “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dimana
patokan dalam penyelesaian suatu permalahan yang terjadi di Negara
Indonesia harus diselesaikan secara undang-undang tertulis, sehingga para
hakim khusunya dalam menegakkan hukum untuk mencari suatu keadilan
harus berkibalat pada suatu undang-undang yang sudah diratifikasi oleh para
legislator. Pertanyaan yang paling mendasar dalam pembahasan ini apakah
para hakim berani memasukkan hukum progresif dalam menempuh keadilan
yang seutuhnya dalam suatu peradilan yang menganut sistem Negara hukum
tertulis seperti Indonesia ini.
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya
sekedar kata-kata dan hitam-putih dari peraturan (according to the letter),
melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan
Intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain,
penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati,
dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian
hakim untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan dalam artian
para hakim harus dapat memberikan keadilan social yang ada pada pelaku
tindak pidana khususnya.

Daftar Tabel
1.1

1.2

12
Tabel Kasus
1.1

1.2

13
PENUTUP
A.

Kesimpulan

1. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo hukum progresif adalah serangkaian
tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah
peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama
dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan
manusia, melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak
dalam hukum, sehingga hukum itu mampu menuntaskan tugasnya mengabdi
kepada manusia. Karena hukum itu bukan hanya bangunan peraturan,
melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.
2. Penegakan hukum oleh Polri masih berorientasi pada legalistic positivisme
seperti mengeja undang-undang tanpa menemukan adanya hukum di dalam
undang-undang secara formal.
3. Hakim tidak sekedar bertugas menerapkan peraturan dengan apa adanya,
tetapi bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan. Sehingga
tindakan kreativitas hakim itulah menjadi sangat menentukan.

B.

Saran

1. Para aparat penegak hukum dapat menerapkan penemuan hukum progresif
dengan tetap mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila sebagai nilai dasar
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
2.Penegakan

hukum

oleh

Polri

harus

menggunakan

penafsiran

hukum

Sociological Jurisprudence atau Hukum Progresif, seperti penerapan alternatif
penyelesaian

perkara

pidana

atau

konsep

keadilan

restoratif

dengan

menggunakan diskresi kepolisian yang bertanggung jawab.
3. Hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Artinya, bahwa hakim tidak sekedar bertugas menerapkan
peraturan dengan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat
mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

14

DAFTAR PUSTAKA
Hartono. 2010. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Hukum
Progresif Jakarta, Sinar Grafika
Abdul Hakim G. Nusantara 1988. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum : Esai-Esai Terpilih, Yogjakarta: Genta
Publishing, 2010
Sutjipto Rahardjo. 2006 Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
Sutjipto Rahardjo. 2006. Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
Sutjipto Rahardjo. 2008 Biarkan Hukum Mengalir : Catatan kritis tentang
pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008
Muhammad, Rusli. Kajian Kritis Terhadap Hukum Positif. Jurnal Hukum
Respublica. Vol 5, No 2, Tahun 2006, Pekan Baru : Fakultas Hukum
Universitas Lancangg Kuning
Ananda, Suardama. Hukum Dan Moralitas. Jurnal Hukum Justitia. Vol 24 No 3
2006. Bandung : FH UNFAR
Susanto. Anton. F. Keraguan dan Ketidak Adilan Hukum. Edisi 1 Tahun 2010,
Turkel, Gerland.1995. Law and Society. Criti-cal Approaches. Toronto:
Allein anmd Balcon
Widyawati, Anis. Kajian Hukum Internasional Terhadap HAM. Vol 2 No Tahun
2008

15