LAPORAN KASUS MENDALAM revisi fix

LAPORAN STUDI KASUS MENDALAM
Tata Laksana Diet pada Pasien Acute Respiratory Distress Syndrome, Community
Acquired Pneumonia, Tuberculosis, Infeksi Saluran Kemih di ICU RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta

Disusun oleh :
UTAMIA TRISNAJATI
P1337431214026

PROGRAM STUDI DIV GIZI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
TAHUN 2017

LAPORAN STUDI KASUS MENDALAM

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Mendalam berjudul “Tata Laksana Diet pada Pasien Acute Respiratory
Distress Syndrome, Community Acquired Pneumonia, Tuberculosis, Infeksi Saluran Kemih di
ICU RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta”
Telah disetujui pada tanggal: ..... Oktober 2017.


PEMBIMBING

MAHASISWA

Tri Widyastuti, S.Gz

Utamia Trisnajati
NIM. P1337431214026

NIP. 196510011991032001
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
A. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah ketidakmampuan sistem
pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon
dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau
perfusi (Susan Martin T, 1997). ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan
pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan

oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida
lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001).
Secara pathofisiologi terjadinya ARDS dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kerusakan sistemik menyebabkan penurunan perfusi jaringan sehingga terjadi
Hipoksia seluler dan terjadi Pelepasan faktor-faktor biokimia( enzim lisosom, vasoaktif,
system komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine ) yang menyebabkan
Peningkatan permiabilitas kapiler paru yang berakibat terhadap Penurunan aktivitas
surfaktan sehingga terjadi Edema interstisial alveolar paru dan menyebabkan Kolaps
alveolar yang progresif sehingga compliance paru menurun (Stiff lung) dan
meningkatkan shunting sehingga terjadi Hipoksia arterial.
B. CAP (Community Acquired Pneunomia)
Community Acquired Pneumonia dimulai sebagai penyakit pernafasan umum dan
bisa berkembang menjadi pneumonia. Pneumonia streptococcal merupakan organisme
penyebab umum. Tipe pneumonia ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau
kalangan orang tua.
Patofisiologinya antara lain ketika mikroorganisme penyebab pneumonia
berkembang biak, mikroorganisme tersebut mengeluarkan toksin yang mengakibatkan
peradangan pada jaringan paru yang dapat menyebabkan kerusakan pada membran
mukus alveolus. hal tersebut dapat memicu perkembangan edema paru dan eksudat
yang mengisi alveoli sehingga mengurangi luas permukaan alveoli untuk pertukaran

karbon dioksida dan oksigen. Peradangan mungkin terfokus hanya pada satu lobus atau
tersebar di beberapa bagian paru, jika hanya terfokus pada satu lobus disebut lobar
pneumonia. Sedangkan secara umum, pneumonia yang lebih serius disebut
bronchopneumonia yang lebih sering terjadi akibat infeksi nosokomial pada pasien yang
mengalami hospitalisasi (Linda S. Williams & Paula D, 2007).
C. Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosis atau kuman TB. Sebagian bakteri ini menyerang paru,
tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2011).

Patofisiologi penularan tuberkulosis primer terjadi karena batuk atau percikan
ludah yang mengandung basil Mycobacterium Tuberkulosis bertebaran di udara,
kemudian terhirup oleh anak yang pada saat itu sistem imunitas dalam tubuhnya
menurun sehingga mudah terinfeksi. Basil tersebut berkembangbiak perlahan-lahan

dalam paru sehingga menyebabkan kelainan paru. Basil ini bila menetap di jaringan
paru, ia akan tumbuh dan berkembangbiak dalam sitoplasma makrofag. Basil juga dapat
terbawa masuk ke organ tubuh lain yang nantinya bisa menyebabkan tuberkulosis hati,
ginjal, jantung, kulit dan lain-lain (UKK PP IDAI, 2005).
Bersamaan dengan itu, sebagian kuman akan dibawa melalui cairan getah

bening ke kelenjar getah bening yang terdekat disamping bronkus. Dari kedua tempat
tersebut, kuman akan menimbulkan reaksi tubuh, dan sel-sel kekebalan tubuh akan
berkumpul. Dalam waktu 4 hingga 8 minggu akan muncul daerah kecil di tengah-tengah
proses tersebut dimana terdapat jaringan tubuh yang mati (perkijuan) yang dikelilingi
sel- sel kekebalan tubuh yang makin membesar. Perubahan-perubahan yang terjadi
pada paru dan kelenjar getah bening ini dikenal sebagai tuberkulosis primer
(Harun,2002).
Basil Mycobacterium Tuberculosis ini dapat bertahan selama 1-2jam pada
suasana lembab dan gelap, sebaliknya akan mati jika terkena sinar matahari. Dalam
aringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes
RI, 2001).
D. Infeksi saluran kemih (ISK)
Infeksi saluran kemih (ISK) disebabkan karena adanya mikroorganisme pada
saluran kemih, termasuk kandung kemih, prostat, ginjal dan saluran pengumpulan.
Sebagian besar ISK disebabkan oleh bakteri, meskipun kadang-kadang jamur dan virus
dapat merupakan agen etiologi ISK (Fish, 2009). Penyebab utama lebih dari 85% kasus
ISK adalah basil-basil gram negatif yang merupakan penghuni normal saluran cerna,
biasanya yang tersering adalah E. coli, diikuti oleh proteus, klebsiella, dan enterobacter.
Streptococcus faecalis yang juga berasal dari saluran cerna, stafilokokus dan hamper
semua bakteri dan jamur juga dapat menyebabkan ISK bawah dan ginjal (Alpers, 2005).

Patofisiologi Infeksi Saluran Kemih
Urin biasanya berada dalam keadaan steril. Infeksi berlaku apabila bakteri masuk ke
dalam urin dan mula bertumbuh. Proses infeksi ini biasanya bermula pada pembukaan
uretra di mana urin keluar dari tubuh dan masuk naik ke dalam traktus urinari. Biasanya,
dengan miksi ia dapat mengeluarkan bakteri yang ada dari uretra tetapi jika bakteri yang
ada terlalu banyak, proses tersebut tidak membantu. Bakteri akan naik ke atas saluran
kemih hingga kandung kemih dan bertumbuh kembang di sini dan menjadi infeksi.
Infeksi bisa berlanjut melalui ureter hingga ke ginjal. Di ginjal, peradangan yang terjadi
disebut pielonefritis yang akan menjadi keadaan klinis yang serius jika tidak teratasi
dengan tuntas (Balentine, 2009)
Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu steril
dikarenakan pertahanan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat
kolonisasi mikroorganisme nonpathogenic fastidious gram positive dan gram negative.
Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme ascending dari uretra ke dalam
kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai
ginjal. Proses ini dipermudah refleks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme
hematogen sangat jarang ditemukan di klinik. Mungkin akibat lanjut dari bakterimia.
Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis
akibat Stafilokokus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis


(Stafilokokus aureus) dikenal Nephritis Lohlein. Beberapa peneliti melaporkan pionefritis
akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen dan infeksi sistemik gram negatif
(Sudoyo AW,et al,2009).
E. Pemberian Diet
Pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU) biasanya ditandai dengan
hipermetabolisme dan katabolisme yang meningkat sehingga dapat menyebabkan
malnutrisi. Nutrisi yang tidak adekuat dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan
menambah lama rawat di rumah sakit. Pemberian nutrisi tambahan sudah berkembang
dan merupakan bagian dari terapi di ICU (Slone DS,2004).
Nutrisi enteral merupakan salah satu terapi tambahan pada pasien-pasien
dengan penyakit kritis dengan fungsi gastrointestinal baik namun intake oral tidak dapat
diberikan. Keuntungan nutrisi enteral adalah meningkatkan integritas mukosa intestinal
absorbs nutrisi, memperbaiki respon metabolik dan imun, dan komplikasi serta harga
lebih kurang bila dibandingkan dengan nutrisi parentral. Namun, hal-hal tersebut
seringkali bertentangan dengan kondisi pasien-pasien kritis. Misalnya pada pasienpasien dengan penurunan sekunder fungsi motilitas gastrointestinal pada pasien pasca
operasi ileus, statis gaster, khususnya pada kondisi sepsis, trauma, shock, dan gagal
organ. Hal itu juga ditunjukkan pada kondisi dimana terjadi penurunan fungsi peristaltic
misalnya pada pasien dengan penggunaan ventilator mekanik, sedasi, dan penggunaan
antibiotik dan obat-obatan lainnya (Serpa LF dkk., 2003).


BAB II
ASUHAN GIZI KLINIK
A. ASESMEN GIZI

1. ANAMNESIS
a. Identitas Pasien
Nama
Umur
Sex
Pekerjaan
Pendidika

: Ny. S
: 58 tahun
: Perempuan
: IRT
:-

No RM
Ruang

Tanggal Masuk
Tanggal Kasus
Alamat

: 01.75.11.68
: ICU
: 25 September 2017
: 26 September 2017
: Sleman

n
Agama

: Islam

Diagnosis Medis

: Acute Respiratory Distress
Syndrome, Community Acquired
Pneumonia, Tuberkulosis, Infeksi

saluran kemih

b. Berkaitan dengan Riwayat Penyakit
Keluhan Utama

Pasien mengeluh batuk dan sesak nafas, demam sejak

Riwayat Penyakit

semalam. Batuk berdahak sejak ± 1 bulan yang lalu.
Pasien memiliki riwayat penyakit TB selama 3 tahun. 6 bulan

Sekarang

SMRS dinyatakan sembuh.

Riwayat Penyakit

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain.


Dahulu
Riwayat Penyakit

Tidak ada

Keluarga
c. Berkaitan dengan Riwayat Gizi
Alergi makanan
Masalah
Gastrointestinal
Kesehatan mulut
Perubahan berat
badan
Riwayat/pola
makan

Pasien tidak memiliki alergi makanan.
Tidak ada penurunan BB.
SMRS nafsu makan pasien menurun
Sulit menelan (tidak), Stomatitis (tidak), Gigi lengkap (ya)

Tidak ada penurunan BB
Frekuensi makan : 3x makan utama dan 2x makan selingan
Makanan pokok : Nasi @ 1 centong (3x / hari)
Lauk hewani : Ayam,ikan @ 1 potong sedang (3x / minggu)
Lauk nabati : Tahu dan tempe @ 2 potong sdg (3x / hari),
lebih sering digoreng
Sayuran : Sayuran (3x / hari) @1/2 mangkok, yang biasa
dikonsumsi oseng sawi, gori, jipang
Buah : pisang dan mangga (1x / minggu)
Sering makan kerupuk dan gorengan

Selingan : gorengan, roti, dan jajanan warung
Minuman : Susu : 1x seminggu setiap sore
Teh manis 2x / hari setiap pagi dan sore

Kesimpulan : Ny. S ada penurunan nafsu makan dan asupan makan kurang
Pembahasan :
Ny. S adalah seorang ibu rumah tangga. Keluhan utama pasien mengeluh batuk
dan sesak nafas, demam sejak semalam dan mengalami batuk berdahak sejak ± 1
bulan yang lalu.
Ny S mempunyai riwayat penyakit TB selama 3 tahun. Sudah menjalani pengobatan dan
6 bulan sebelum masuk rumah sakit dinyatakan sembuh. Pasien tidak memiliki riwayat
penyakit lain dan tidak ada riwayat pennyakit keluarga.
Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan tertentu, tidak mengalami
penurunan BB selama 1 bulan terakhir, namun sebelum masuk rumah sakit nafsu
makan pasien menurun.
Secara keseluruhan pola makan Ny.S frekuensi makanan utama sebanyak 3 kali
sehari dan makanan selingan sebanyak 2 kali sehari namun masih kurang dalam variasi
makanan yang dimakan,. Setiap makan hanya lauk nabati dan sayuran, lauk hewani
hanya makan apabila dibelikan oleh anaknya. Lauk yang paling sering dikonsumsi
adalah tahu dan tempe, sayuran yang sering dikonsumsi oseng sawi, gori, dan jipang.
Tidak sering konsumsi buah, konsumsi buah hanya 1 minggu sekali, buah yang
dikonsumsi buah pisang dan mangga. Sering konsumsi kerupuk, gorengan, roti dan
jajan warung. NY. S jarang konsumsi susu, konsumsi susu hanya 1 kali seminggu dan
lebih sering konsumsi teh manis setiap hari, yaitu pada saat pagi dan sore hari.

2. ANTROPOMETRI
Berat badan
48 kg

IMT =

Tinggi badan
150 cm

BB( kg)
48
=
=21,3 kg/m 2
2
2
[TB ( m ) ] (1,5)

 Status gizi pasien normal

3. PEMERIKSAAN BIOKIMIA
Pemeriksaan

Satuan/Nilai

Tanggal

Tanggal

Tanggal

urin/darah

Normal

26/09/2017

27/09/201

28/09/201

10,4 g/dL

7
10,2 g/dL

7

14 – 17,5 g/dL
3,4 – 5 g/dL

(Rendah)
2,83 g/dL

(Rendah)
2,64 g/dL

(Rendah)
2,33 g/dL

40 – 52 %

(Rendah)
33,6 %

(Rendah)
34,4 %

(Rendah)
29,7%

7 – 20 mg/dL

(Rendah)
30 mg/dL

(Rendah)
30 mg/dL

(Rendah)
25,6

(Tinggi)

(Tinggi)

mg/dL

Hemoglobin
Albumin
Hematokrit
BUN

pH
PCO2
PO2
O2 Saturasi

9 g/dL

7,3550-7,450

7,38

7,23

(Tinggi)
7,62

35-45 mmHg

(Normal)
49,6

(Normal)
107,8

(Tinggi)
35,5

75-100 mmHg

(Tinggi)
66,6

(Tinggi)
130,7

(Normal)
103,6

96-97 %

(Rendah)
92,1%

(Tinggi)
98,2%

(Tinggi)
98,9%

(Rendah)
(Tinggi)
(Tinggi)
Kesimpulan : nilai hemoglobin, albumin, dan hematocrit rendah. Nilai BUN tinggi.
Penurunan nilai hemoglobin dan hematokrit dapat menandakan bahwa pasien anemia.
Kadar pH terlihat tinggi pada tanggal 28/09/2017, kadar

PCO2 dari tanggal 26/09/2017-

27/09/2017 tinggi, kadar PO2 rendah pada tanggal 26/09/2017 dan nilainya tinggi pada tanggal
27/09/2017 dan tanggal 28/09/2017, O2 saturasi mununjukkan nilai yang rendah pada tanggal
26/09/2017 dan tinggi pada tanggal 27/09/2017-28/09/2017,. Peningkatan nilai PaO2 dapat
terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat bantu (contoh: nasal prongs, alat ventilasi

mekanik), hiperventilasi, dan polisitemia (peningkatan sel darah merah dan daya angkut
oksigen). Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/nervousness dan emboli
paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapat perhatian khusus. Umumnya nilai pH
meningkat dalam keadaan alkalemia (kehilangan asam). (Kemenkes, 2011).
4. PEMERIKSAAN FISIK KLINIK
Tanggal : 26/09/2017
Stupor

27/09/2017
Somnolen

28/09/2017
CM

93x/menit
95/50 mmHg
20x/menit
36oC

90x/menit
101/65 mmHg
14x/menit
36oC

74x/menit
92/48 mmHg
20x/menit
37,5 oC

Pemeriksaan

CT Scan Paru

CT Scan Paru

CT Scan Paru

penunjang
GCS

E= 2 M=2 V=T

E=3 M=5 V=T

E=4 M=6 V=T

Kesan umum
Vital sign
-Nadi
-Tensi
-Respirasi
-Suhu

Kesimpulan:
Pada hari pertama masuk rumah sakit keadaan umum pasien dalam keadaan stupor atau
kesadaran menurun. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tekanan darah rendah, suhu
normal, denyut nadi cepat. Berdasarkan hasil pemeriksaan CT Scan diketahui bahwa
terdapat cairan dalam paru-paru pasien yang menyebabkan pasien mengalami gagal nafas.
Terpasang NGT dan ventilator.
5. TERAPI MEDIS
Nama obat

Kegunaan

Pemberian

Omeropenem

untuk menangani
penyebaran
berbagai variasi
infeksi bakteri. Obat
ini tergolong ke
kelas obat yang
bernama
carbapenem-type
antibiotic. Obat ini
bekerja untuk
menghentikan
pertumbuhan
bakteri.
berfungsi untuk
mengencerkan
dahak yang

1 g IV setiap 8
jam

Interaksi obat
dengan makanan
Efek samping yang
dapat dialami :
antara lain diare,
mual,muntah,

Untuk bentuk
kapsul, dosis
acetylcysteine

Efek samping yang
dialami : mual,
muntah, sariawan

Acetylcysteine

menghalangi
saluran
pernapasan, yang
biasanya muncul
akibat penyakit
pada paru-paru
yang meliputi
bronkitis,
tuberkulosis,
pneumonia, serta
fibrosis sistik.

yang umumnya
dianjurkan bagi
pasien dewasa
adalah 200 mg.
Sementara
frekuensi
konsumsinya
adalah dua
hingga tiga kali
dalam sehari.

B. DIAGNOSIS GIZI
DOMAIN INTAKE
(NI-1.1) Peningkatan kebutuhan energy terkait dengan penurunan asupan makan yang
ditandai dengan asupan energy 73%.

DOMAIN KLINIS
(NC-2.2) Perubahan nilai laboratorium yang berhubungan dengan gizi terkait dengan
kegagalan fungsi paru yang ditandai PaO2 103,6 mmHg: ,PaCO2 35,5 mmHg , PH2 7,62.

INTERVENSI GIZI
1. PLANNING
a. Tujuan Diet :
1. Meningkatkan asupan energy hingga mencapai 80% secara bertahap melalui
pemberian diet sonde lengkap.

2. Memberikan makanan yang disesuaikan dengan keadaan pasien.
b. Syarat / prinsip Diet :
1. Energi tinggi dengan adanya kondisi katabolic.
2. Protein tinggi (1,5 /kgBB).
3. Lemak tinggi, yaitu 35% dari total kebutuhan energi.
4. Karbohidrat cukup.
5. Bentuk cair penuh.
c. Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi :
-

Kebutuhan Energi (Ireton-Jones) terpasang ventilator
= 1784-11(A)+5(W)+244(S)+239(T)+804(B)
= 1784-11(58)+5(48)+244(0)+239+804(0)
= 1784-638+240+239
= 1625 Kcal

-

Kebutuhan Protein

= 1,5x kgBB
= 1,5 x 48 kg
= 72 g

-

Kebutuhan Lemak

= 35% x 1625 Kcal
=

568,75
9

= 63,19 g
-

Kebutuhan Karbohidrat

= 1625- (288+568.75) / 4
=

768.25
4

= 192,06 g
d. Terapi Diet, Bentuk Makanan, dan Cara Pemberian
Terapi Diet

: Sonde lengkap

Bentuk makanan : Cair penuh
Cara Pemberian : Lewat NGT
e. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain.
f.

Rencana Konsultasi Gizi
Masalah
Gizi
Peningkatan
kebutuhan

Tujuan
a. Meningkatkan
asupan makan

Materi Konseling

Keterangan

a. Makanan yang diberikan
disesuaikan dengan

Diberikan diet
sonde

gizi (asupan
energy 73%)

untuk memenuhi
keadaan pasien.
kebutuhan gizi
(energy) hingga
80% secara
bertahap melalui
pemberian diet
sonde lengkap
*tidak perlu diberikan edukasi diet kepada keluarga.

lengkap

Pembahasan:
Tujuan diet pada kasus ini adalah untuk memenuhi asupan (energi dan protein) pasien
yang meningkat akibat adanya hipermetabolisme dan katabolisme yang meningkat sehingga
dapat menyebabkan malnutrisi pada pasien. Perhitungan menggunakan rumus Ireton-Jones
dengan ventilator dikarenakan pasien menggunakan ventilator sebagai alat bantu pernafasan,
ada truma dan tidak ada luka bakar.
Protein yang diberikan tinggi yaitu 1,5 g/kgBB dikarena pada pasien dengan kondisi
kritis pemberian protein tinggi dapat mencegah terjadinya imbang nitrogen negative.
Sementara untuk lemak diberikan cukup yaitu 25% dari kebutuhan energi, demikian juga
untuk karbohidrat cukup yaitu 60% dari kebutuhan energy. Pemberian makanan pada pasien
yaitu dengan pemberian diet sonde lengkap.

g. Rencana Monitoring dan Evaluasi
Antropometri

Yang diukur
Berat badan, LLA

Pengukuran
Setiap hari

Biokimia

Hemoglobin

Menyesuaikan

Evaluasi/target
Tidak mengalami penurunan
atau tetap
Meningkat mendekati normal

Hematokrit
Albumin
pH
PCO2
PO2
O2 Saturasi

pemeriksaan
lab selanjutnya

Klinis/Fisik
Tekanan darah,
respirasi, denyut
nadi, suhu
Kesadaran
Asupan energi,
protein, lemak,
karbohidrat

Meningkat mendekati normal
Meningkat mendekati normal
Sesuai nilai normal

Dalam rentang normal
Menyesuaikan
pengukuran
selanjutnya

Kesadaran membaik
Asupan 80%

Recall/hari dan
comstock

2. IMPLEMENTASI
a. Kajian Terapi Diet Rumah Sakit
-

Jenis Diet / Bentuk Makanan / Cara Pemberian : Sonde Lengkap / Cair penuh / NGT
Energi (kcal)
1188,7

Protein (g)
50,14

Lemak (g)
35,5

KH (g)
163.3

Kebutuhan (planning)

1625

72

63,19

192,06

% Standar / kebutuhan

73%

69%

56%

85%

Standar diet RS

Pembahasan Diet RS:
Jenis diet yang diberikan oleh RS yaitu Sonde Lengkap dengan bentuk makanan cair penuh
dan cara pemberian melalui NGT.
Jika dibandingkan dengan kebutuhan pasien, standar diet yang diberikan oleh RS belum
memenuhi untuk kebutuhan energy (73%), protein (69%) dan lemak (56%). Untuk kebutuhan
karbohdrat (85%) sudah terpenuhi.

Menurut Supariasa, Bakri, dan Fajar (2002) klasifikasi tingkat konsumsi asupan energi
berdasarkan AKG dibagi menjadi 5 yaitu defisit (110% AKG).
b. Rekomendasi Diet
Pemberian makanan

STANDAR DIET RS
Entramix 4x @150ml
Formula RS 2x @300ml
Jus putel(putih telur)
Energy : 1188,7 kcal
Protein : 50,14 g
Lemak : 35,5 g
Karbohidrat : 163,3 g

REKOMENDASI DIET
-

Penerapan diet berdasarkan rekomendasi
Pemesanan diet : sonde lengkap
Diet RS yang diberikan berupa sonde lengkap dengan pemberian, entramix sebanyak 4x
pemberian dengan masing-masing pemberian 150ml, dan formula rumah sakit sebanyak 2x
pemberian dengan masing-masing pemberian 300 ml. Untuk pemberian makanan pada
pasien dengan kondisi kritis tidak ada rekomendasi diet yang diberikan. Namun diet akan
berubah tergantung dengan keadaan dan kondisi pasien.

BAB III
KESIMPULAN & SARAN
A. KESIMPULAN
Jadi kebutuhan nutrisi untuk pasien kritis sangat dibutuhkan karena
hipermetabolisme dan katabolisme yang meningkat sehingga dapat menyebabkan
malnutrisi pada pasien kritis. Nutrisi yang tidak adekuat dapat meningkatkan morbiditas,
mortalitas, dan menambah lama rawat pasien di rumah sakit.

Pada kasus mendalam ini pasien Ny. S diagnose medis Acute Respiratory
Distress Syndrome, Community Acquired Pneumonia, Tuberculosis, Infeksi Saluran
Kemih dengan diagnose gizi peningkatan kebutuhan energy terkait dengan penurunan
asupan makan yang ditandai dengan asupan energy 73% dan perubahan nilai
laboratorium yang berhubungan dengan gizi terkait dengan kegagalan fungsi paru yang
ditandai PaO2 103,6 mmHg: ,PaCO2 35,5 mmHg , PH2 7,62.
Dengan kebutuhan energy 1625 kcal, kebutuhan protein 72 g, kebutuhan lemak
63,19 dan kebutuhan karbohidrat 192,06 g diberikan nutrisi tambahan berupa nutrisi
enteral sonde lengkap. Dengan bentuk cair, yang terdiri dari Formula RS, Entramix dan
jus putih telur dengan pemberian, entramix sebanyak 4x pemberian masing-masing
pemberian 150ml, dan formula rumah sakit sebanyak 2x pemberian masing-masing
pemberian 300 ml. Sedangkan untuk jus putih telur diberikan 1x sehari. Dengan cara
pemberian melalui NGT di karenakan pasien dalam kondisi tidak sadar sehingga daya
terima makanan terbatas melalui oral.
Namun setelah pemberian nutrisi enteral, ternyata persentase asupan pasien
masih deficit atau belum terucukupi, yaitu untuk kebutuhan energy (73%), protein (69%)
dan lemak (56%). Untuk kebutuhan karbohdrat (85%) sudah terpenuhi.
Tidak perlu diberikan edukasi diet pada keluarga pasien.
B. SARAN
Diharapkan kondisi pasien mulai membaik, agar pasien dapat diberikan
makanan lewat oral secepatnya. Sehingga asupan energy, protein dan karbohidrat
dapat tercukupi sesuai dengan kebutuhan pasien. Dan diharapkan pasien dapat
memperbaiki pola makan setelah sembuh nanti.