ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA GRATIFIKASI OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL TULANG BAWANG (Studi Putusan Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK.)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA GRATIFIKASI OLEH BADAN PERTANAHAN

NASIONAL TULANG BAWANG

(Studi Putusan Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK.) Oleh

Karolina Pangestu

Perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian tersebut dilakukan karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, kasus gratifikasi dengan terdakwa Sukri Hidayat Kepala BPN Tulang Bawang dengan dakwaan pasal 11 dan 12 e Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu, dalam program nasional sertifikasi tanah senilai Rp1,2 miliar. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh badan pertanahan nasional tulang bawang?, Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh badan pertanahan nasional tulang bawang?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis terhadap analisis pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh badan pertanahan nasional tulang bawang maka dapat ditarik kesimpulan, (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang dengan terdakwa Sukri Hidayat sudah sesuai dan tepat dengan terpenuhinya unsur sifat melawan hukum oleh terdakwa sesuai dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adanya unsur kesalahan dari sipelaku dengan meminta serta menerima sejumlah pembayaran yang patut diketahui dan diduga merupakan tindak pidana Gratifikasi, selain itu juga tidak adanya alasan pemaaf. (2) Dasar


(2)

Karolina Pangestu pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus Tindak Pidana

Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang yaitu dalam memutus perkara Hakim mempertimbangkan fakta-fakta yang ditemukan dari keterangan saksi baik saksi ahli dan alat bukti berupa dokumen serta kuitansi, unsur-unsur dari pasal-pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, serta keyakinan Hakim. Selain dari itu tidak adanya unsur paksaan dalam kasus tersebut sehingga tidak terbukti dan sah hakim membebaskan terdakwa dari tuntutan primair Jaksa Penuntut Umum.

Saran yang dapat disampaikan setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan adalah (1) Pertanggungjawaban pidana pidana terhadap kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang telah sesuai menurut dakwaan subsidair tetapi diharapkan mengingat hukuman pidana dan denda yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat ringan dan belum mencerminkan rasa keadilan dibandingkan jumlah kerugian yang diderita oleh korban tidak sedikit jumlahnya, (2) Hakim hendaknya agar selalu cermat dalam melihat suatu kasus korupsi yang dikategorikan kasus besar dan menjadi musuh utama Negara Republik Indonesia, sehingga perlu adanya kecermatan mengingat Pasal 11 dan 12 e Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki banyak unsur yang berkaitan sehingga diharapkan putusan Hakim dapat memenuhi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.


(3)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA GRATIFIKASI OLEH BADAN PERTANAHAN

NASIONALTULANG BAWANG (Studi Putusan Nomor:02/Pid./Tpk/2012/Pt.Tk.)

Oleh: Karolina Pangestu

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapi Gelar Sarjana Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA GRATIFIKASI OLEH BADAN PERTANAHAN

NASIONALTULANG BAWANG

(Studi Putusan Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK.) (Skripsi )

OLEH : Karolina Pangestu

UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS HUKUM BANDAR LAMPUNG


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual. ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 16

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana... 18

B. Dasar Pertimbangan Hakim ……….. . 20

C. Pengertian Umum Gratifikasi ………. 23

D. Tindak Pidana Gratifikasi Sebagai Kejahatan Korupsi ……… 30

E. Tindak Pidana Gratifikasi Sebagai Kejahatan Kerah putih…………. 32

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37


(6)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden dan Gambaran Umum Kasus ………... 40 B. Pertanggungjawaban pidana pidana terhadap kasus Tindak Pidana

Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang……… 48 C. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus

Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang

Bawang……… 60

V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA


(7)

Judul Skripsi : Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kasus TindakPidana Gratifikasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang

Nama Mahasiswa : Karolina Pangestu No. Pokok Mahasiswa : 0912011333

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.

Maya Shafira, S.H., M.H. NIP 19610912 1986 031003 NIP 19770601 2005 012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. NIP 19620817 1987 032003


(8)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Eddy Riffai., S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H.

...

Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H.

……...

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S.


(9)

(10)

MOTTO

Barangsiapa Bersungguh-Sungguh,

Sesungguhnya Kesungguhannya Itu Adalah Untuk Dirinya Sendiri.”

(QS Al-Ankabut [29]: 6)

Takutlah kamu akan perbuatan dosa di saat sendirian, di saat inilah saksimu adalah juga hakimmu.

(Khalifah Ali)

Negara Bisa Bercahaya Karena Adanya Penguasa, Tetapi Negara juga Bisa Binasa Karena Penguasa Yang Dusta.


(11)

PERSEMBAHAN

Puji syukurku sebagai hamba yang lemah kepada Allah SWT atas semua nikmat dan karunia-Nya.

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang serta bakti yang tulus, kupersembahkan karya ini

teruntuk :

Kedua orang tuaku tercinta yang terus berjuang tanpa kenal lelah, menyayangi dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan dan senantiasa berdoa untuk

kebahagiaan dan masa depan anak-anaknya.

kakak dan adikku tersayang yang selalu memberi motivasi dan semangat dalam hidupku.


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 16 Juli 1991, yang merupakan anak Kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Setyo Sarjono dan Ibu Sriyati, serta dua orang saudara Seto Hariaji.S.H, dan Gandung Soko Langit.

Penulis menyelesaikan pendidikan dimulai dari Taman Kanak-kanak di TK Kartika II Bandar Lampung tahun 1993, pendidikan dasar di SD Kartika II Bandar Lampung pada tahun 1999, pendidikan lanjutan di SMP Kartika II Bandar Lampung pada tahun 2006, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri III Bandar Lampung pada tahun 2009.

Pada tahun 2009 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Program Mandiri dan kemudian mengambil minat pada bagian Hukum Pidana.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan mahasiswa seperti Pama FH UNILA, dan pada Tahun 2012 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Kuliah Nyata (KKN) yang dilaksanakan di Desa Sekampung Udik, Kecamatan Pugungraharjo, Lampung Timur.


(13)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Alloh SWT, yang senantiasa melimpahkan anugerah dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kasus Tindak Pidana Gratifikasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang (Studi Putusan Nomor:02/Pid./Tpk/2012/Pt.Tk.)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Melalui skripsi ini peneliti banyak belajar sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman yang belum pernah diperoleh sebelumnya dan diharapkan ilmu dan pengalaman tersebut dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Pidana;

3. Ibu Firganefi S.H., M.H., Sekretaris Jurusan Hukum Pidana sekaligus Pembahas II yang senantiasa memberikan saran dan penilaian.

4. Bapak Dr.Eddy Rifa‟i, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama penulisan skripsi ini; serta atas kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini;


(14)

5. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama penulisan skripsi ini; serta atas kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini;

6. Bapak A.Irzal.F, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan masukan dan saran untuk kebaikan penulisan skripsi ini;

7. Bapak Armen Yasir, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan;

8. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan atas bantuannya selama ini;

9. Mbak Sri, Mbak Yanti, Babe dan Staf TU Akademik yang tak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih atas bantuannya selama ini;

10.Seluruh responden yang telah bersedia memberikan info dan masukan sehingga skripsi ini bisa di selesaikan oleh Penulis dengan baik;

11.Bapak dan Ibu tercinta, atas doa, pengorbanan serta dukungan dan kasih sayang tak henti-henti yang membuat Penulis selalu bersemangat memberikan yang terbaik bagi masa depan;

12.Kakak dan Adikku tersayang, atas motivasi, dukungan dan semangat yang diberikan;

13.Sahabat-sahabat terbaikku, Wike Novia,Dinni Dwi Astari, Tria Yunita M, Khairani Syafitri, Yohanna Rindy (Canda Kalian Tak kan Terlupakan), serta Teman” Seperjuangan Nanda F.S, Ayu Hervi.M, Benny Kurniawan,Luis Mayang.Y.Semangat Kawan!.


(15)

14.Dan yang terakhir Teruntuk Sulistyo Pambudi., terima kasih atas dukungan, doa, semangat, pengertian dan kesabaran tiada henti yang diberikan, dari awal hingga akhir, Semoga Alloh Selalu Mengijinkan Kita Untuk Bersama, Amin. Penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Alloh SWT. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Bandar Lampung, Mei 2013 Penulis


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu tidak hanya sekedar ucapan tanda terima kasih, akan tetapi sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian gratifikasi.

Perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian tersebut dilakukan karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi.1

Pelarangan atas segala bentuk pemberian hadiah atau Gratifikasi kepada seseorang terkait kapasitasnya sebagai pejabat atau penyelenggara negara bukanlah sesuatu yang baru. Tradisi Islam sendiri mewariskan kepada kita sejak sejarah mengenai

1


(17)

hal tersebut. Sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, gratifikasi menjadi perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang baru dalam perundang-undangan dan perlu sosialisasi yang lebih optimal.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.”

Pejabat pembuat undang-undang berusaha dengan optimal membuat konteks hukum yang sangat rapat agar tidak ada celah-celah kemungkinan bebasnya pegawai negeri dari jerataan hukum dalam menerima setiap pemberian dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Oleh karena itu Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi dibuat sedemikian rupa dan mengatur semua hal yang menyangkut tentang penyelewengan Keuangan Negara sampai pegawai negeri yang menerima uang dengan maksud jahat diatur juga dalam Undang-Undang ini.

Pembentuk undang-undang sepakat untuk memasukkan gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dimana undang-undang tersebut merubah sekaligus melengkapi Undang-Undang No. 31


(18)

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pengaturan mengenai gratifikasi belum ada.

Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik, bahkan di kalangan privat pun larangan juga diberikan, contoh pimpinan stasiun televisi swasta melarang dengan tegas reporter atau wartawannya menerima uang atau barang dalam bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan tugas pemberitaan. Oleh karena itu gratifikasi harus dilarang bagi birokrat dengan disertai sanksi yang berat (denda uang atau pidana kurungan atau penjara) bagi yang melanggar dan harus dikenakan kepada kedua pihak (pemberi dan penerima).

Gratifikasi yang merupakan pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan perjalanan wisata dan fasilitas lainnya, baik yang diterima didalam atau luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik.2

Kasus gratifikasi memang marak di Indonesia salah satu contoh kasus yang terjadi di Lampung khusunya di Kabupaten Tulang Bawang adalah kasus gratifikasi dengan terdakwa Sukri Hidayat Kepala BPN Tulang Bawang dengan dakwaan

2

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , (Bandung: PT. Aditya Bakti, 2002), hal:. 57.


(19)

selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaan telah memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, terpidana merupakan pelaku korupsi pengadaan program nasional sertifikasi tanah senilai Rp1,2 miliar.

Tersangka Sukri Hidayat dituduh melakukan korupsi dalam pelaksanaan prona di beberapa desa, antara lain Desa Trirejo Mulyo, Setiataman, Pancajaya, Mekartitama, Hendarloka I, ujoagung, dan Rawajitu. Sebanyak tujuh desa sasaran prona tersebut, terdapat sekitar sembilan ribu bidang tanah, dengan setiap pemilik tanah dikenakan biaya sertifikat per bidang sebesar Rp350 ribu hingga Rp450 ribu.3

Tersangka Sukri Hidayat dijatuhi pidana penjara selama 3 (Tiga) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp.150.000.000,- (seratus Juta Rupiah) subsidair 4 (Empat) bulan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan.

Terdakwa dinyatakan bersalah dan diputus oleh Pengadilan Negeri Menggala dengan dakwaan primair tentang korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp

3


(20)

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”

Jaksa Penuntut Umum Menggala menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yaitu yang menyatakan:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

“pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”

Jaksa Penuntut Umum bersikukuh pada pendiriannya bahwa “unsur memaksa seseorang memberikan susuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri” terpenuhi pada diri terdakwa dalam perkara ini karena dalam kasus ini terdakwa secara langsung meminta pembayaran atas pembuatan sertifikat kepemilikan atas tanah dan bangunan sedangkan yang diputus berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor


(21)

20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki unsur pemaksaan seperti yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum.

Luasnya ruang lingkup gratifikasi ini dan mengingat sulitnya untuk membuktikan bahwa pemberian itu adalah gratifikasi atau tidak maka perlu memahami tentang tindak pidana korupsi gratifikasi ini lebih dalam lagi dalam pertanggungjawabannya sehingga unsur unsur yang terkait dapat dipahami. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis memilih gratifikasi sebagai penelitian skripsi penulis, yaitu suatu “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kasus Tindak Pidana Gratifikasi Oleh Badan Pertanahan NasionalTulang Bawang”.

B. Permasalahan dan Ruang lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas mengenai kebijakan kriminal terhadap tindak pidana gratifikasi,maka dapat dirumuskan permasalahan dalam skripsi ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh Badan Pertanahan NasionalTulang Bawang?

2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan masalah skripsi ini dibatasi ruang lingkup penelitian dalam ruang lingkup bidang ilmu hukum pidana khusus berdasarkan


(22)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ruang lingkup bidang ilmu berkaitan dengan Pertanggungjawaban pidana Tindak Pidana Gratifikasi dan dasar pertimbangan Hakim berdasar Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mendapatkan data dalam menjawab permasalahan dengan ruang lingkup penelitian pada analisis pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh badan pertanahan nasional tulang bawang, serta dasar pertimbangan hakim terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh kepala badan pertanahan nasionaltulang bawangsukri hidayat, penelitian ini akan dilakukan pada studi kasus berdasarkan kasus dengan lingkup penelitian diwilayah hukum Lampung yaitu di Kejaksaan Tinggi Lampung, dan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh Badan Pertanahan NasionalTulang Bawang.

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang.

2. Kegunaan Penelitian

Secara garis besar dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini dapat dibagi menjadi :


(23)

Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini : 1. Kegunaan Teoritis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai Tindak pidana Gratifikasi

b. Memberikan kontribusi kepada kalangan akademisi dan praktisi, penambahan pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana

c. Memberikan pengetahuan kepada kita semua tentang tugas dan fungsi aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi

2. Kegunaan Praktis

Dapat menjadi sumbangsih bagi pemerintah, khususnya bagi lembaga Legislatif sebagai bahan masukan untuk membuat suatu peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan Tindak pidana Gratifikasi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4 Manusia sebagaimana diakui oleh hukum (pendukung hak dan kewajiban hukum) pada dasarnya secara normal mengikuti hak-hak yang dimiliki manusia. Hal ini berkaitan dengan arti hukum yang memberikan pengayom, kedamaian dan

4

Soerjano, Soekanto,. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta, hal:127


(24)

ketentraman seluruh umat manusia dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Setiap penelitian itu akan ada suatu kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.5

Teori adalah anggapan yang teruji kebenarannya, atau pendapat/cara/aturan untuk melakukan sesuatu, atau asas/hukum umum yang menjadi dasar ilmu pengetahuan.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu :

1. Toerekening strafbaarheidd (dapat dipertanggungjawabkan) pembuat. a) Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. b) Kelakuan yang sengaja.

2. Kelakuan dengan sikap kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan :

culva)

3. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur Toerkenbaar heid).

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melarang larangan tersebut.6

Kebijakan yang dibuat dalam bentuk pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka disebut dengan putusan pengadilan, sebagaimana yang

5

Ibid hal:125 6

Roeslan Saleh, “Beberapa Asas-asas Hukum Pidana dalam Perspektif', (Jakarta: Aksara Baru, 1981), hal. 126


(25)

ditentukan dalam Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, tetapi hakim tidak terikat kepada surat dakwaan tersebut. Hal ini didaasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Hakim dalam memutus suatu perkara harus berdasar pada alat bukti yang sah Pasal 184 KUHAP tersebut yang dimaksud dengan alat bukti adalah:

1. keterangan saksi

Keterangan saksi berkaitan dengan keterangan dari saksi korban maupun saksi dari terdakwa yang menegetahui secara langsung kronologi peristiwa.

2. keterangan ahli

Keterangan ahli digunakan oleh Hakim dalam menentukan suatu tindak pidana apakah sudah layak dan memenuhi unsur unsur dari perbuatan pidana tersebut yang nantinya akan diputus.


(26)

Surat surat dapat berupa akta, perjanjian, nota-nota dan surat lainnya yang berkaitan erat dengan kasus sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara.

4. petunjuk

Petunjuk biasanya ditemukan bahwa apabila ada petunjuk atau fakta lain dipersidangan maupun yang telah Hakim gali ditengah masyarakat. 5. keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa berkaitan dengan kasus yang sedang dihadapi untuk dinilai oleh hakim dalam rangka pengumpulan alat bukti guna menjadi dasar pertimbangan hakim.

Pengambilan putusan oleh hakim di pengadilan adalah didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 191 KUHAP. Dengan demikian surat dakwaan dari penuntut umum merupakan dasar hukum acara pidana, karena dengan berdasarkan pada dakwaan itulah pemerikasaan sidang pengadilan itu dilakukan. Suatu persidangan di pengadilan seorang hakim tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan.7

Hakim melakukan penemuan hukum adalah karena hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya tidak lengkap atau tidak jelas, ketika undang-undang tidak lengkap

7


(27)

atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara, saat itulah hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsviding).

Larangan bagi hakim menolak perkara ini diatur juga dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lalu, hasil temuan itu akan menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim berikutnya atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi. Penemuan hukum ini dapat dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat.

Penemuan hukum disebutkan dapat dilakukan dengan dua metode, yakni:8

a. Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara:

a. Gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari. b. Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum.

c. Sistimatis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan dari sistem perundang-undangan.

d. Teleologis, yaitu penafsiran menurut makna/tujuan kemasyarakatan.

8


(28)

e. Perbandingan hukum, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan kaedah hukum di tempat laen.

f. Futuristis, yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.

b. Konstruksi hukum, dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi.

Konstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara:

a. Argumentum per analogiam atau sering disebut analogi. Pada

analogi,peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.

b. Penyempitan hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.

c. Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.


(29)

progresif:

1) Metode penemuan hukum bersifat visioner dengan melihat permasalah hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat case by case;

2) Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan terobosan (rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada hukum, kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya;

3) Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga membawa bangsa dan Negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan social seperti saat ini.9

Pengertian tindak pidana maupun strafbaar feit menurut Simons, strafbaar feit

adalah10:

“Kelakuan atau handeling yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

9

Ahmad Rifai, SH, MH, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpektif Hukum Progresif,Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 2010, hlm. 93.

10

Ruslan Saleh,.1981. Beberapa Asas-asas Hukum Pidana dalam Perspektif'.Jakarta: Aksara Baru. Hal :21


(30)

konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu.11

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah.12

Upaya memudahkan pengertian yang terkandung dalam kalimat judul penelitian ini, maka penulis dalam konseptual ini menguraikan pengertian-pengertian yang berhubungan erat dengan penulisan sekripsi ini, maka akan dijelaskan beberapa istilah yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

a. Analisis adalah suatu proses berfikir manusia tentang sesuatu kejadian atau pristiwa untuk memberikan suatu jawaban atas kejadian atau pristiwa tersebut.13

b. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan.

c. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

11

Sanusi Husin. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung. Hal:9

12

Soerjono, Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta, hal:32

13

Soerjono, Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta, hal:125


(31)

d. Tindak pidana Gratifikasi adalah suatu pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.14

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara keseluruhan dapat mudah dipahami dari sitematika penulisannya yang disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang pendahuluan yang merupakan latar belakang yang menjadi perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang menjelaskan teori dan istilah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar yang berisikan tentang pengertian-pengertian umum pengertian korupsi, Tindak pidana gratifikasi, pengertian pertanggungjawaban dalam analisis pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh badan pertanahan nasionaltulang bawang.

III. METODE PENELITIAN


(32)

Bab ini membahas metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data secara analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang membahas permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu ; mengenai analisis pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh badan pertanahan nasional tulang bawang.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil akhir yang berisikan kesimpulan dari penulisan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan saran yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Azas dalam pertanggungjawaban pidana adalah ”tidak dipidana jika tidak mempunyai kesalahan”(Geen straf zonder schul; Actus non facit reum nisi mens sit rea). Azas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis akan tetapi dalam hukum yang tertulis di Indonesia berlaku.

Setelah melihat Asas diatas kita harus dapat menentukan siapakah orang yang dapat dikatakan bersalah. Menurut pendapat Moeljatno;

”Orang yang mempunyai kesalahan adalah jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk perbuatan demikian. Jika begitu tentunya perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan”.1

Kesalahan haruslah dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana: 1. Adanya keadaan psycis (batin) tertentu

2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan.

Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalh kemampuan bertanggungjawab dan yang menjadi dasar yang penting untuk

1


(34)

menentukan adanya kesalahan yang mana jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa hingga dapat dikatakan normal. Menurut Van Hamel mengatakan bahwa ada tiga syarat untuk mampu bertanggung jawab:2

”Kemampuan bertanggungjawab adalh suatu keadaan normalitas psychis dan kemampuan (kecerdasan) yang membawa tiga kemampuan;

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatan sendiri. b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatan itu menurut pandangan

masyarakat tidak diperbolehkan.

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu.

Menurut Simons yang menerangkan tentang mampu bertanggungjawab adalah: 1. Jika orang itu dapat menginsyafi itu perbuatan yang melawan hukum. 2. Sesuai dengan penginsyafan untuk dapat menentukan kehendaknya .

Pendapat Simons dan Van Hamel tersebut dapat dikatakan untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus adanya:

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dann yang melawan hukum.

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan yang dilakukannya, dia tidak mempunyai kesalahan

2

Sudarto. 1990. Hukum Pidana 1.Semarang : Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universites Diponegoro, hal 93


(35)

melakukan tindak pidana.

B. Dasar Pertimbangan Hakim

Kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk mengambil suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan : “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Berdasarkan aturan hukum tersebut, terdapat norma hukum “mewajibkan Hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk memenuhi norma tersebut, maka Hakim harus mengambil kebijaksanaan hukum”. Penentuan atas tuntutan rasa keadilan yang harus diterapkan oleh Hakim dalam memutus suatu perkara, secara teori para Hakim akan melihat “Konsep-konsep keadilan yang telah baku”. Konsep keadilan tersebut sepanjang sejarah telah banyak macamnya, sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama (cardinal virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota masyarakat dalam hubungannya yang satu terhadap yang lainnya. Konsep keadilan sebagai suatu kebajikan tertentu berasal dari filusuf Yunani Kuno, yaitu Plato (427-347 sebelum Masehi) yang dalam bukunya Republic (terjemahan bahasa Inggris, Book IV, Section 12) mengemukakan adanya 4 kebijakan pokok dari konsep keadilan, yakni kearifan (wisdom), ketabahan (courage), pengendalian diri (discipline) dan keadilan (justice).


(36)

karena ada kebijakan khusus lainnya seperti misalnya kejujuran, kesetiaan dan kedermawanan. Kebajikan tersebut mencakup seluruhnya (all-embracing virtue), dalam pengertian ini keadilan lalu mendekati pengertian kebenaran dan kebaikan (righteousness).3

Berhubungan erat dengan pengertian tersebut di atas konsepsi tentang keadilan sebagai unsur ideal, suatu cita atau sebuah ide yang terdapat dalam hukum. Dalam pengertian ini keadilan sering diartikan terlampau luas sehingga tampak berbaur dengan seluruh isi dari moralitas.

Bidang ilmu hukum pada umumnya keadilan dipandang sebagai tujuan akhir (end) yang harus dicapai dalam hubungan-hubungan hukum antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang berdaulat serta perseorangan dengan masyarakat lainnya. Tujuan mencapai keadilan itu melahirkan konsep keadilan sebagai hasil (result) atau keputusan (decision) yang diperoleh dari penerapan atau pelaksanaan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum. Pengertian keadilan ini dapat disebut keadilan prosedural (“Procedural justice”) dan konsep inilah yang dilambangkan dengan

dewi keadilan, pedang, timbangan dan penutup mata untuk menjamin pertimbangan yang tak memihak dan tak memandang orang. Sejalan dengan ini pengertian keadilan sebagai suatu asas (principle). Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa memperhatikan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

3


(37)

Ciri atau sifat konsep keadilan dapat diikhtisarkan maknanya sebagai berikut : adil (just), bersifat hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tak memihak (impartial), sama hak (equal), layak (fair), wajar secara moral (equitable), benar secara moral (righteous). Dari perincian tersebut ternyata bahwa pengertian konsep keadilan mempunyai makna ganda yang perbedaannya satu dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali. Dalam setiap pengambilan kebijaksanaan oleh Hakim, maka Hakim selalu berlindung kepada Upaya Hukum yaitu Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, artinya apabila Hakim Tingkat Pertama mengambil kebijaksanaan dalam memutus perkara tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang harus dipatuhi, maka solusinya dipersilahkan naik banding untuk diuji kebijaksanaan tersebut, demikian pula kebijaksanaan hukum yang diambil oleh Hakim Tingkat banding apabila melanggar standard suatu norma hukum, pengujiannya melalui Kasasi Mahkamah Agung RI dan seterusnya sampai pengujian di Peninjauan Kembali, oleh karena itu diperlukan norma hukum sebagai standard bagi para Hakim dalam hal pengambilan suatu kebijaksanaan hukum untuk memutus perkara.

Pengawasan terhadap pengambilan kebijaksanaan oleh para Hakim dalam memutus perkara belumlah begitu efektif untuk diterapkan. Hal ini terbukti belum adanya para Hakim yang diproses secara pidana karena melanggar standard norma yang harus dipatuhi oleh para Hakim dalam hal pengambilan suatu kebijaksanaan hukum untuk memutus perkara. Dengan demikian penegakan hukum terhadap tindakan Hakim dalam pengambilan suatu kebijaksanaan hukum mutlak diperlukan, baik penegakaan hukum administrasi maupun penegakan hukum pidana terhadap para Hakim yang melanggar standard norma hukum yang telah


(38)

ditetapkan.

C. Pengertian Umum Gratifikasi

Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:

1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan:

a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktiaannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum:

2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sementara yang dimaksud dengan gratifikasi kepada pegawai negeri telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan “yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan


(39)

Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Penjelasan Pasal 12B ayat (1) kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan Pasal 12B ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.

Gratifikasi saat ini diatur di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berikut adalah beberapa gambaran yang dapat digunakan pembaca untuk lebih memahami mengapa gratifikasi kepada penyelenggara negara dan pegawai negeri perlu diatur dalam suatu peraturan.

1. Perkembangan Praktik Pemberian Hadiah

Salah satu catatan tertua mengenai terjadinya praktik pemberian gratifikasi di Indonesia ditemukan dalam catatan seorang Biksu Budha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke 7. Pada abad ke-7, pedagang dari Champa (saat ini Vietnam dan sebagian Kamboja) serta China datang dan berusaha membuka upaya perdagangan dengan Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan tersebut, pada tahun 671M adalah masa di mana Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat


(40)

perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Dikisahkan bahwa para pedagang dari Champa dan China pada saat kedatangan di Sumatera disambut oleh prajurit Kerajaan Sriwijaya yang menguasai bahasa Melayu Kuno dan Sansekerta sementara para pedagang Champa dan China hanya menguasai bahasa Cina dan Sansekerta berdasar kitab Budha, hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan komunikasi.4

Kerajaan Sriwijaya telah menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar namun belum berbentuk mata uang hanya berbentuk gumpalan ataupun butiran kecil, sebaliknya Champa dan China telah menggunakan emas, perak dan tembaga sebagai alat tukar dalam bentuk koin serta cetakan keong dengan berat tertentu

yang dalam bahasa Melayu disebut “tael”. Dalam catatannya, I Tsing

menjabarkan secara singkat bahwa para pedagang tersebut memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga pada saat akan bertemu dengan pihak Kerabat Kerajaan Sriwijaya yang menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian tersebut diduga bertujuan untuk mempermudah komunikasi. Pemberian koin perak tersebut kemudian menjadi kebiasaan tersendiri di kalangan pedagang dari Champa dan China pada saat berhubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya untuk menjalin hubungan baik serta agar dikenal identitasnya oleh pihak Kerajaan Sriwijaya.

Kebiasaan dan berjalannya waktu, diduga kebiasaan menerima gratifikasi membuat para pemegang kekuasaan meminta pemberian gratifikasi tanpa menyadari bahwa saat gratifikasi diberikan di bawah permintaan, hal tersebut telah berubah menjadi bentuk pemerasan. Hal ini dapat terlihat juga dari catatan I

4


(41)

Tsing pada masa dimana sebagian kerajaan Champa berperang dengan Sriwijaya, para pedagang China memberitakan bahwa prajurit-prajurit kerajaan di wilayah Indonesia tanpa ragu-ragu meminta sejumlah barang pada saat para pedagang tersebut akan menemui kerabat kerajaan. Disebutkan, jika para pedagang menolak memberikan apa yang diminta, maka para prajurit tersebut akan melarang mereka memasuki wilayah pekarangan kerabat kerajaan tempat mereka melakukan perdagangan. Disebutkan pula bahwa pedagang Arab yang memasuki wilayah Indonesia setelah sebelumnya mempelajari adat istiadat wilayah Indonesia dari pedagang lain, seringkali memberikan uang tidak resmi agar mereka diizinkan bersandar di pelabuhan-pelabuhan Indonesia pada saat itu.

Catatan lain terkait perkembangan praktik terkini pemberian hadiah di Indonesia diungkapkan oleh Verhezen (2003), Harkristuti (2006) dan Lukmantoro (2007). Verhezen dalam studinya mengungkapkan adanya perubahan mekanisme pemberian hadiah pada masyarakat jawa modern yang menggunakan hal tersebut sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi. Pemberian hadiah (Gratifikasi) dalam hal ini berubah menjadi cenderung ke arah suap. Dalam konteks budaya Indonesia dimana terdapat praktik umum pemberian hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada pentingnya hubungan yang sifatnya personal, budaya pemberian hadiah menurut Verhazen lebih mudah mengarah pada suap. Penulis lain, Harkristuti (2006) terkait pemberian hadiah mengungkapkan adanya perkembangan pemberian hadiah yang tidak ada kaitannya dengan hubungan atasan-bawahan, tapi sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau memberi kesenangan pada sang pemberi hadiah. Demikian berkembangnya


(42)

pemberian ini, yang kemudian dikembangkan menjadi „komisi‟ sehingga para pejabat pemegang otoritas banyak yang menganggap bahwa hal ini merupakan „hak mereka‟. disisi lain membahas mengenai praktik pengiriman parsel pada saat perayaan hari besar keagamaan atau di luar itu yang dikirimkan dengan maksud untuk memuluskan suatu proyek atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik politik gratifikasi.

Catatan-catatan diatas paling tidak memberikan gambaran mengenai adanya kecenderungan transformasi pemberian hadiah yang diterima oleh pejabat publik. Jika dilihat dari kebiasaan, tradisi saling memberi-menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini sebenarnya positif sebagai bentuk solidaritas, gotong royong dan sebagainya. Namun jika praktik diadopsi oleh sistem birokrasi, praktik positif tersebut berubah menjadi kendala di dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Pemberian yang diberikan kepada pejabat publik cenderung memiliki pamrih dan dalam jangka panjang dapat berpotensi mempengaruhi kinerja pejabat publik, menciptakan ekonomi biaya tinggi dan dapat mempengaruhi kualitas dan keadilan layanan yang diberikan pada masyarakat.

2. Konflik Kepentingan dalam Gratifikasi

Kajian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK (2009) mengungkapkan bahwa pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh


(43)

penyelenggara negara adalah salah satu sumber penyebab timbulnya konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang tidak ditangani dengan baik dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. 5

Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.

Situasi yang menyebabkan seseorang penyelenggara negara menerima gratifikasi atau pemberian/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/jabatan merupakan salah satu kejadian yang sering dihadapi oleh penyelenggara negara yang dapat menim-bulkan konflik kepentingan.

Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi ini antara lain adalah:

1. Penerimaan gratifikasi dapat membawa vested interest dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara dapat terganggu;

2. Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan penilaian profesional penyelenggara negara;

3. Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi;

4. dan lain-lain.6

5


(44)

Penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar, semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan mempengaruhi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang bersangkutan. Banyak yang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekedar tanda terima kasih dan sah-sah saja, tetapi pemberian tersebut patut diwaspadai sebagai pemberian yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa.

Penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima gratifikasi dari pihak yang memiliki hubungan afiliasi (misalnya: pemberi kerja-penerima kerja, atasan-bawahan dan kedinasan) dapat terpengaruh dengan pemberian tersebut, yang semula tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap kewenangan dan jabatan yang dimilikinya menjadi memiliki kepentingan pribadi dikarenakan adanya gratifikasi. Pemberian tersebut dapat dikatakan berpotensi untuk menimbulkan konflik kepentingan pada pejabat yang bersangkutan.

Menghindari terjadinya konflik kepentingan yang timbul karena gratifikasi tersebut, penyelenggara negara atau pegawai Negeri harus membuat suatu

declaration of interest untuk memutus kepentingan pribadi yang timbul dalam hal penerimaan gratifikasi. Oleh karena itu, penyelenggara negara atau pegawai negeri harus melaporkan gratifikasi yang diterimanya untuk kemudian ditetapkan

6


(45)

status kepemilikan gratifikasi tersebut oleh KPK, sesuai dengan pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.

D. Tindak Pidana Gratifikasi Sebagai Kejahatan Korupsi

Mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:....”

Rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya.

Kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang Penyelenggara Negara atau


(46)

Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut segera melaporkannya pada KPK untuk dianalisis lebih lanjut.7

Tidak benar bila Pasal 12B dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah melarang praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di Indonesia. Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya sebuah rambu tambahan yaitu larangan bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara untuk menerima gratifikasi yang dapat dianggap suap.

Dilihat dari modus operandinya, korupsi menurut Syed Hussen Alatas dapat terdiri dari berbagai macam bentuk8, yaitu:

1. Transactive corruption adalah bentuk suap di mana yang memberi dan yang menerima saling bekerjasama untuk memperoleh keuntungan bersama. Ini adalah jenis korupsi yang paling umum dilakukan;

2. Extortive corruption adalah pungutan paksa pejabat sebagai pembayaran jasa yang diberikan kepada pihak luar. Pihak luar terpaksa memenuhi karena tak ada alternatif lain, dan kalau tidak memenuhi dia akan rugi sendiri;

3. Investive corruption adalah pemberian yang diberikan pihak luar kepada pejabat, bukan untuk mendapat balas jasa sekarang, tapi untuk memperoleh kemudahan fasilitas dan keuntungan di masa yang akan datang;

4. Nepotistic corruption adalah jenis korupsi yang berhubungan dengan pemberian rente ekonomi atau pengangkatan jabatan publik kepada famili atau teman;

7

Ibid Hal: 4

8


(47)

5. Autogenic corruption, ini terjadi bila seseorang pejabat memberi informasi dari dalam kepada pihak luar dengan imbalan suap. Informasi tentang proyek-proyek yang ditenderkan atau tentang harga yang ditawarkan pesaing, merupakan informasi yang dijual oleh pejabat kepada peserta tender.

6. Supportive corruption adalah korupsi yang dilakukan secara berkelompok dalam satu bagian atau divisi dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan praktek-praktek korupsi yang mereka lakukan secara kolektif.

E. Tindak Pidana Gratifikasi Sebagai Kejahatan Kerah Putih (white collar criminal)

Desakan untuk menciptakan good governance di birokrasi merupakan tuntutan universal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kajian kriminologi menempatkan korupsi secara umum sebagai white collar criminal atau kejahatan kerah putih. Hal ini dikarenakan salah satu pihak yang terlibat atau keduanya berhubungan dengan pekerjaan atau profesinya. Demikian juga dengan tindak pidana Gratifikasi sebagaimana yang ada diatur dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang tergolong sebagai white collar Crime, mengingat kejahatan ini berkembang dikalangan birokrat, yaitu para pegawai negeri dan penyelenggara negara.

Sesuai dengan karakteristik white collar crime, yang memang susah dilacak karena biasanya pelaku adalah orang yang memiliki status sosial tinggi (pejabat), memiliki kepandaian, berkaitan dengan pekerjaannya, yang dengannya memungkinkan pelaku bisa menyembunyikan bukti. Selain itu kerugian yang diakibatkan oleh perilaku korupsi biasanya tidak dengan mudah dan cepat dirasakan oleh korban. Bandingkan dengan pencurian, perampokan atau pembunuhan.


(48)

Ciri khusus white collar crime yang membedakan dengan kejahatan lain: 1. Pelaku sulit diidentifikasi. Sehingga sulit dilacak.

2. Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga membutuhkan keahlian tertentu.

3. Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya kepada atasan dikenakan pasal pembiaran (omission), sementara bawahan pasal pelaksana (commission). Tetapi biasanya “kaki

berkorban untuk untuk melindungi kepala”.

4. Proses victimisasi (korban) juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan.

5. Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan.

6. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau hukuman yang ringan.

7. Pelaku biasnya mendapatkan status kriminal yang ambigu. Jika ditelusuri secara cermat, korupsi asal usulnya merupakan kejahatan kerah putih (White Collar Crime).

Pakar kriminolog, Sutherland menyebutkan kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang memiliki tiga dimensi perilaku manusia yang berkaitan. Pertama, suatu kejahatan dilakukan seseorang yang memiliki status sosial tinggi (tidak perlu apakah ia menduduki pekerjaan atau tidak). Dimensi kedua, kejahatan dilakukan mengatasnamakan suatu organisasi. Terakhir, kejahatan dilakukan seseorang bertentangan dengan kepentingan organisasi. Korupsi, sebagai


(49)

kejahatan kerah putih tergolong suatu kejahatan yang melibatkan tindakan kollektif, juga dilakukan dalam modus kejahatan lintas negara.9

Di negara kita, yang namanya kejahatan kerah putih sudah menjadi berita biasa yang sering didengar, dilihat, dan dialami. Kejahatan kerah putih di negara yang tidak pernah jera merampas uang rakyat, menindas, dan mendurhakai rakyat diglorifikasi dengan lemahnya tampilan penegak hukum di Tanah Air.

Salah satu pokok mengapa kejahatan kerah putih di negara kita yang tampil dengan banyak wajah sehingga sulit diberantas adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan. Kedaulatan hanya terwujud lima tahun sekali dalam momentum pemilu. Di lain pihak tidak ada empati politik dari para politisi dan pemegang kekuasaan pada negara membuat kejahatan kerah putih terus berparade dan meneriakkan slogan suci dari mulut dan hatinya yang kotor.

9


(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penulisan ini menggunakan dua macam pendekatan masalah yaitu, pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan skripsi ini, sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan dengan melakukan penelitian lapangan (field research), yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik yang ada di lapangan dengan tujuan melihat kenyataan atau fakta-fakta yang konkrit mengenai analisis pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh kepala badan pertanahan nasionaltulang bawang.

Kedua pendekatan ini yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Penulis menggunakan sumber data dalam rangka penyelesaian skripsi ini, yaitu data skunder.

Data skunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data skunder diperoleh dengan cara membaca, mengutip, mencatat serta menelaah bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.


(51)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dalam hal ini yaitu :

1) Undang-undang Nomor 73 Tahun 1978 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum skunder, yaitu :

Bahan hukum sekunder yaitubahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Disiplin PNS. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi dari

bahan hukum primer dan skunder agar dapat menjadi lebih jelas, seperti kamus literatur-literatur yang menunjang dalam penulisan skripsi ini, media masa dan sebagainya serta hasil-hasil penelitian dan petujuk-petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang berkaitan dengan analisis pertanggungjawaban pidana terhadap kasus tindak pidana gratifikasi oleh kepala badan pertanahan nasionaltulang bawangsukri hidayat.


(52)

Populasi adalah seluruh gejala, seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. Sampel adalah sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi serta mempunyai persamaan sifat dengan populasi.1

Populasi dalam penelitian ini adalah jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, Pengacara dan Dosen Fakultas Hukum. Dari penentuan populasi dan sampel yang ada dapat ditentukan responden berupa pengambilan sampel dari beberapa responden yang disesuaikan yang dianggap telah mewakili masalah yang diteliti.

Berdasarkan responden yang menjadi informasi terdiri dari jaksa di Kejaksaan Tinggi, Hakim di Pengadilan Tinggi, Pengacara dan Dosen Fakultas Hukum Unila, Adapun responden dalam penelitian ini adalah :

a. Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang b. Hakim di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 orang c. Pengacara di LBH Bandar Lampung : 1 orang

d. Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

Jumlah : 4 orang

B. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data, baik data primer maupun data skunder penulis menggunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

1


(53)

a. Studi Kepustakaan (library Research)

Dilakukan untuk memperoleh data skunder dilakukan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dan dokumentasi dengan cara antara membaca, mencatat, mengutip serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan dilakukan dengan mewawancarai para narasumber dan wawancara yang dilakukan secara mendalam dengan sistem jawaban terbuka yang dilakukan secara lisan dan pertanyaan yang telah disiapkansebelumnya terlebih dahulu.

2. Prosedur pengolahan data

Metode yang digunakan dalam prosedur pengolahan data ini yaitu :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh, diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Klasifikasi, yaitu mengelompokkan data yang telah dievaluasi menurut kerangka yang telah ditetapkan.

c. Sistematisasi data, yaitu data yang telah dievaluasi dan diklasifikasikan disusun yang bertujuan menciptakan keteraturan dalam menjawab permasalahan sehingga mudah untuk dibahas.


(54)

C. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian diadakan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yang dilakukan dengan cara menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum, selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran sebagai rekomendasi


(55)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK yaitu Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kasus Tindak Pidana Gratifikasi Oleh Badan Pertanahan NasionalTulang Bawang:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang yang dijatuhkan oleh Hakim terhadap terdakwa Sukri Hidayat sudah sesuai dan tepat dengan terpenuhinya unsur sifat melawan hukum oleh terdakwa sesuai dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adanya unsur kesalahan dari sipelaku dengan meminta serta menerima sejumlah pembayaran yang tidak seharusnya dilakukan terhadap beberapa kampung atau dusun di Tulang Bawang karena patut diketahui dan diduga merupakan tindak pidana Gratifikasi, selain itu juga tidak adanya alasan pemaaf sebagai bukti pembenar.

2. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang yaitu dalam memutus perkara Hakim mempertimbangkan fakta-fakta yang ditemukan dari keterangan saksi baik saksi ahli dan alat bukti berupa dokumen serta kuitansi, unsur-unsur dari pasal-pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, apakah unsur-unsur tersebut terpenuhi atau tidak, dan


(56)

selanjutnya mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ataupun yang meringankan terdakwa. Selain itu,Hakim berpendapat tindak pidana yang dilakukan terdakwa merupakan tindak pidana korupsi biasa dan tidak sesuai dengan tuntutan perimair JPU, karena JPU bertindak subyektif bahkan manipulative dan bertindak semena-mena terhadap terdakwa, dan telah memanipulasi fakta-fakta persidangan dengan hanya mengungkap fakta-fakta yang dipandang mendukung pendapat dan opininya saja, keterangan yang diambil dari keterangan saksi yang dibacakan dipersidangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian dan memandang pengabdian terdakwa selaku pegawai pemerintah yang telah bekerja lebih dari 25 tahun untuk melayani masyarakat merupakan faktor yang meringankan terdakwa. Selain dari itu,tidak adanya unsur paksaan dalam kasus tersebut tidak terbukti dan sah sehingga hakim membebaskan terdakwa dari tuntutan primair Jaksa Penuntut Umum, karena Hakim dalam menjatuhkan pidana hal didaasarkan pada Pasal 183 KUHAP dan 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah :

1. Pertanggungjawaban pidana pidana terhadap kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang apabila ditinjau dari segi pertanggungjawaban putusan oleh hakim telah sesuai tetapi diharapkan mengingat hukuman pidana dan denda yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat ringan dan belum mencerminkan rasa keadilan dibandingkan jumlah


(57)

kerugian yang diderita oleh korban tidak sedikit jumlahnya, sehingga dikhawatirkan menjadi contoh buruk dan tidak memberi efek jera kepada pelaku.

2. Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan NasionalTulang Bawang sudah cukup tepat dalam melihat kasus tersebut berdasar dengan alat bukti yang ada namun Hakim hendaknya agar selalu cermat dalam melihat suatu kasus yang terjadi baik dalam segi putusan maupun kebijakan yang diambil dan bertolak ukur dengan dasar pertimbangan yang ada karena mengingat perbuatan terdakwa merupakan kategori tindak pidana korupsi yang memang menjadi musuh utama Negara Republik Indonesia, sehingga perlu adanya kecermatan mengingat Pasal 11 dan 12 e Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki banyak kualifikasi unsur unsur yang seharusnya sehingga diharapkan putusan Hakim dapat memenuhi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung.

---. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.

---. 2005. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Bayley, D.H.(1985). Webster’s Third New Dictionary.

Buku SAKU KPK .2010. Memahami Gratifikasi. Cetakan Pertama

Darwan, Prinst, 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Aditya Bakti. Bandung

Hamdan, M. 1999. Politik Hukum Pidana. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2005. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta: Jakarta.

Harahap, Krisna. 2006. Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung. Grafitri, Bandung

Husin, Kadri. 1999. Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Moeljatno, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Keduapuluh Dua,

Jakarta: Bumi Aksara

Musni Umar ,Syukri Ilyas. 2004.Lembaga Pencegah Korupsi. Gramedia Pustaka Rawls, Jhon, 1971, A Theory of Justice, Chapter II The Principle of Justice, Publisher:

The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, Terjemahan Susanti Adi Nugroho, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group


(59)

Saleh, Ruslan.1981. Beberapa Asas-asas Hukum Pidana dalam Perspektif'.Jakarta: Aksara Baru.

Singarimbun, Masri. 1989 Metode Penelitian survei, jakarta LP3ES

Soekanto, Soerjano. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum,

Rajawali: Jakarta.

Soekanto, Soerjano. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta

Universitas Lampung. 2005. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman


(1)

C. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian diadakan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yang dilakukan dengan cara menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum, selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran sebagai rekomendasi


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK yaitu Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kasus Tindak Pidana Gratifikasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang yang dijatuhkan oleh Hakim terhadap terdakwa Sukri Hidayat sudah sesuai dan tepat dengan terpenuhinya unsur sifat melawan hukum oleh terdakwa sesuai dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adanya unsur kesalahan dari sipelaku dengan meminta serta menerima sejumlah pembayaran yang tidak seharusnya dilakukan terhadap beberapa kampung atau dusun di Tulang Bawang karena patut diketahui dan diduga merupakan tindak pidana Gratifikasi, selain itu juga tidak adanya alasan pemaaf sebagai bukti pembenar.

2. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang yaitu dalam memutus perkara Hakim mempertimbangkan fakta-fakta yang ditemukan dari keterangan saksi baik saksi ahli dan alat bukti berupa dokumen serta kuitansi, unsur-unsur dari pasal-pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, apakah unsur-unsur tersebut terpenuhi atau tidak, dan


(3)

selanjutnya mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ataupun yang meringankan terdakwa. Selain itu,Hakim berpendapat tindak pidana yang dilakukan terdakwa merupakan tindak pidana korupsi biasa dan tidak sesuai dengan tuntutan perimair JPU, karena JPU bertindak subyektif bahkan manipulative dan bertindak semena-mena terhadap terdakwa, dan telah memanipulasi fakta-fakta persidangan dengan hanya mengungkap fakta-fakta yang dipandang mendukung pendapat dan opininya saja, keterangan yang diambil dari keterangan saksi yang dibacakan dipersidangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian dan memandang pengabdian terdakwa selaku pegawai pemerintah yang telah bekerja lebih dari 25 tahun untuk melayani masyarakat merupakan faktor yang meringankan terdakwa. Selain dari itu,tidak adanya unsur paksaan dalam kasus tersebut tidak terbukti dan sah sehingga hakim membebaskan terdakwa dari tuntutan primair Jaksa Penuntut Umum, karena Hakim dalam menjatuhkan pidana hal didaasarkan pada Pasal 183 KUHAP dan184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah :

1. Pertanggungjawaban pidana pidana terhadap kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang apabila ditinjau dari segi pertanggungjawaban putusan oleh hakim telah sesuai tetapi diharapkan mengingat hukuman pidana dan denda yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat ringan dan belum mencerminkan rasa keadilan dibandingkan jumlah


(4)

kerugian yang diderita oleh korban tidak sedikit jumlahnya, sehingga dikhawatirkan menjadi contoh buruk dan tidak memberi efek jera kepada pelaku.

2. Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus Tindak Pidana Gratifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Tulang Bawang sudah cukup tepat dalam melihat kasus tersebut berdasar dengan alat bukti yang ada namun Hakim hendaknya agar selalu cermat dalam melihat suatu kasus yang terjadi baik dalam segi putusan maupun kebijakan yang diambil dan bertolak ukur dengan dasar pertimbangan yang ada karena mengingat perbuatan terdakwa merupakan kategori tindak pidana korupsi yang memang menjadi musuh utama Negara Republik Indonesia, sehingga perlu adanya kecermatan mengingat Pasal 11 dan 12 e Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki banyak kualifikasi unsur unsur yang seharusnya sehingga diharapkan putusan Hakim dapat memenuhi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung.

---. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.

---. 2005. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum

Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Bayley, D.H.(1985). Webster’s Third New Dictionary.

Buku SAKU KPK .2010. Memahami Gratifikasi. Cetakan Pertama

Darwan, Prinst, 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Aditya Bakti. Bandung

Hamdan, M. 1999. Politik Hukum Pidana. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2005. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta: Jakarta.

Harahap, Krisna. 2006. Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung. Grafitri, Bandung

Husin, Kadri. 1999. Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Moeljatno, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Keduapuluh Dua, Jakarta: Bumi Aksara

Musni Umar ,Syukri Ilyas. 2004.Lembaga Pencegah Korupsi. Gramedia Pustaka Rawls, Jhon, 1971, A Theory of Justice, Chapter II The Principle of Justice, Publisher:

The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, Terjemahan Susanti Adi Nugroho, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group


(6)

Saleh, Ruslan.1981. Beberapa Asas-asas Hukum Pidana dalam Perspektif'.Jakarta: Aksara Baru.

Singarimbun, Masri. 1989 Metode Penelitian survei, jakarta LP3ES

Soekanto, Soerjano. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali: Jakarta.

Soekanto, Soerjano. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta

Universitas Lampung. 2005. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

9 114 121

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

2 116 124

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012)

4 78 145

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.06/PID.TPK/2011/PN.TK )

0 9 60

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI TENDER PERBAIKAN JALAN (Studi Putusan Nomor : 07/PID.TPK/2011/PN.TK)

0 4 49

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KASUS KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA PADA UNIT PENGELOLA KEGIATAN (UPK) PAGELARAN (Studi Putusan No.06/Pid/TPK /2013/PT.TK)

0 2 56

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR:05/PID./2014/PT.TK.)

3 26 61

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KASUS KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA PADA UNIT PENGELOLA KEGIATAN (UPK) PAGELARAN (Studi Putusan No.06/Pid/TPK /2013/PT.TK)

0 0 12