Peluang dan Tantangan Pengembangan E Gov (1)

Peluang dan Tantangan Pengembangan E-Gov di Indonesia
Oleh : Rakhmat Aji J, Iping Supriatna,; Dept. Teknik Informatika ITB
Diajukan sebagai usulan materi pada
IEGI 2002 – Indonesian E-Government Initiative
Institut Teknologi Bandung, 6 – 7 Maret 2002
Topik : Domain dan Regulasi Kebijakan

A. Idealisasi E-Gov
Electronic government atau yang sering disebut e-gov
menurut definisi Bank Dunia (www.worldbank.org)
adalah suatu konsep yang mengacu kepada
penggunaan teknologi informasi oleh lembaga
pemerintah yang mempunyai kemampuan untuk
mentransformasikan hubungan antara warganegara,
perusahaan, dan antar lembaga pemerintah yang lain.
Teknologi ini dapat melayani berbagai macam
keperluan; yaitu penyampaian pelayanan pemerintah
ke warganegara dengan lebih baik, memperbaiki
interaksi
antara
industri

dan
perusahaan,
pemberdayaan warganegara melalui akses informasi,
atau membuat manajemen pemerintah lebih efektif.
Keuntungannya adalah dapat mengurangi korupsi,
meningkatkan
transparansi,
memperbesar
kenyamanan hidup, menumbuhan pendapatan, serta
mengurangi biaya.
Secara tradisional, interaksi antara warganegara atau
pengusaha dan lembaga pemerintah berada di dalam
kantor pemerintah. Dengan hadirnya teknologi
informasi dan komunikasi, maka dimungkinkan untuk
menempatkan pusat-pusat pelayanan pemerintah
lebih dekat ke masyarakat dan dunia usaha.
Electronic goverment bertujuan untuk membuat
interaksi antara pemerintah dan warganegara (G2C),
pemerintah dan perusahaan (G2B), dan antar lembaga
pemerintah (G2G) lebih mudah, menyenangkan,

transparan, dan tidak mahal.
Secara umum, ada empat tahapan dalam pelaksanaan
e-gov, yakni ;
1) publishing atau penerbitan, dimana lembaga
pemerintah memberikan informasi yang bersifat
publik;
2) interactivity, dimana lembaga pemerintah
memberikan layanan interaktif kepada publik
tentang hal-hal yang menjadi kewenangannya;
3) completing transactions, dimana lembaga
pemerintah memberikan pelayanan berupa
penyelesaian transaksi secara penuh; serta

4) delivery,
dimana
lembaga
pemerintah
memberikan pelayanan sampai mengantarkan
layanannya kepada penggunanya.


B. E-Gov sebagai sebuah Sistem Supply
and Demand
E-gov yang saat ini sering kita dengar di mass media,
bagi banyak orang masih merupakan suatu fenomena,
yaitu sesuatu yang dapat dilihat, atau dialami, atau
dirasakan. Kebanyakan orang mempunyai persepsi
dan perspektif yang cukup beragam tergantung dari
sudut pandang dan pengalamannya ketika berusaha
memberi makna e-gov yang berasal dari kata
e’lectronic dan kata ‘gov’erment. Hal ini karena
tidak terlalu jelas apa yang sedang dibicarakannya :
apakah (a)kegiatannya, (b)hasil kegiatannya, (c)
institusi yang menggunakannya, (4) institusi yang
menciptakannya, dan sebagainya.
Untuk lebih mudah dalam melihat ‘e’lectronic dan
melihat ‘gov’erment, cara pertama adalah dengan
melihatnya dari kacamata supply dan demand.
h/w
s/w
network


supply

electronic
goverment

G-B
demand

G-C
G-G

Berdasarkan definisi Bank Dunia, kata ‘e’-lectronic
mengacu kepada penggunaan teknologi informasi,
dan kata ‘gov’erment mengacu kepada institusi
pemerintah yang menggunakan teknologi informasi.
Ini berarti teknologi informasi dalam segala aspeknya
adalah supply, yang ditawarkan oleh industri-industri
pendukungnya kepada pemerintah sebagai demand,
yang membutuhkannya seperti terlihat pada gambar

berikut ini.
Pada gambar diatas, supply yang ditawarkan berupa
teknologi perangkat keras,
teknologi perangkat

1

lunak, dan teknologi jaringan & telekomunikasi.
Sedangkan demand, berupa kebutuhan institusi
pemerintah dalam memanfaatkan teknologi informasi
untuk menunjang fungsi manajemen internal dan
pelayanan kepada publik (G-B,G-C, dan G-G).

pasokan teknologi informasi diserap oleh institusi
pemerintah. Pasokan teknologi dari mulai yang
paling sederhana sampai yang paling kompleks,
seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Pada gambar diatas, pasokan teknologi informasi
mulai dari electronic data processing, sistem
informasi manajemen, sistem informasi eksekutif,

sistem pendukung keputusan, sistem pakar, sampai
knowledge management. Pasokan ini diserap oleh
institusi pemerintah diwakili oleh 20 sektor
pembangunan untuk kebutuhan G2G, G2B, maupun
B2C.

Gambar berikut ini adalah definisi electronic
government bersumber dari Hitachi Research Institute
(HRI).

C. Paradigma Pembangunan E-Gov

close interaction
between citizens and
citizen representatives

Melalui kacamata tersebut, bila kita memperhatikan
sisi demand-nya, maka sebenarnya kita bicara tentang
sejauh mana kebutuhan institusi pemerintah didukung
oleh teknologi informasi yang tersedia dapat

1)meningkatkan efisiensi, 2)meningkatkan akses
informasi, 3)memperbaiki pelayanan, dan 4)inovasi
demokrasi.

innovation of democracy
(digital democracy)

Narrow
distance between the
goverment and citizen

improved services

access to information

improved efficiency

(year)
Wide
1993


1995

2000

2005

2010

Hitachi Research Institute

HRI mendefinisikan e-gov berdasarkan kurun waktu,
dimana peran e-gov dimulai dari perbaikan efisiensi,
akses informasi, perbaikan pelayanan, dan inovasi
demokrasi pada sumbu horizontal; dan sumbu
vertikal
mendefinisikan
perbaikan
interaksi
pemerintah dan warganegara; dan interaksi

warganegara dengan perwakilannya.
Sedangkan, bila kita memperhatikan sisi supply-nya,
maka sebenarnya kita bicara tentang sejauh mana
knowledge management

sistem pakar
sistem pendukung
keputusan
sistem informasi
eksekutif
sistem informasi
manajemen

pe
r

a
sa
t
iw

i

pe
rta
ni
an

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan.
Suatu proses perubahan selalu terjadi, baik dengan
sendirinya ataupun merujuk ke arah perubahan yang
diinginkan. Pada umumnya terjadinya suatu
perubahan tersebut karena dilakukannya intervensi.
Intervensi tersebut dilakukan dengan mengubah
parameter struktur dari berbagai tatanan yang ada di
masyarakat yang melakukan perubahan tersebut.
Paradigma pembangunan yang selama ini dikenal
merupakan proses aksi–reaksi sebagai akibat evaluasi
dari keberhasilan dan kegagalan paradigma yang
dianut. Saat ini ada empat paradigma yang dikenal,
yakni 1)paradigma pertumbuhan, 2)paradigma

kesejahteraan, 3)paradigma people-centered, dan
4)paradigma berkelanjutan.
Untuk paradigma berkelanjutan, bila dilihat dari
perspektif
keberlanjutan
proyek
(project
suistainability), dengan dilandasi oleh kenyataan
berupa tingginya mortality rate proyek-proyek
pembangunan di negara berkembang (Indonesia).
Maka e-gov seharusnya dipandang sebagai proyek
yang suistainable. Karena dalam konteks ini
pembangunan berkelanjutan adalah “the ability of a
development project to generate sufficiently a net
surplus as input for further development”. Artinya
adanya kualitas kemampuan untuk tumbuh dengan
kekuatan sendiri, serta hubungan optimal antara input
dan output.

se
kt

G2C

se
kt
or

se
kt
or

G2B

da
ga
ng
an

G2G

electronic data
processing

or
pa
r

simple

Paradigma pembangunan e-gov adalah cara pandang
untuk melihat lebih mendasar tentang hubungan egov dikaitkan dengan pembangunan di Indonesia
secara umum. Hal ini supaya pijakan e-gov cukup
kuat sehingga tidak mengalami kegagalan atau tidak
menjadi sumber persoalan baru.

20 sektor-sektor pembangunan

2

Saat ini paradigma pertumbuhan masih menjadi
kebijakan utama di Indonesia. Eksistensi dan
kelangsungan (suistainability) proyek pembangunan
sangat tergantung pada input pembangunan yang
berasal dari atas atau luar, dan akan mengalami
stagnasi, disintegrasi, atau mortalitas apabila
dukungan sumber dihentikan. Proyek pembangunan
tidak mampu mencapai kondisi self-generation of
input, sehingga keberlanjutan proyek menjadi rentan.
Ciri-ciri proyek yang dilaksanakan dengan pola
seperti ini adalah sebagai berikut :
1. Prakarsa berasal dari pusat, dalam bentuk
rencana formal
2. Proses penyusunan program bersifat statis,
didominasi oleh pakar atau teknokrat
3. Teknologi yang digunakan bersifat ilmiah dan
bersumber dari luar
4. Mekanisme kelembagaan bersifat top-down
5. Pertumbuhan cepat, tetapi bersifat mekanistik
6. Organisatornya adalah pakar spesialis
7. Evaluasi bersifat eksternal dan berorientasi pada
dampak (impact)
8. Fokus perhatian pada penyelesaian proyek secara
tepat waktu.
Dengan melihat sekilas kedua ciri paradigma
pembangunan diatas, maka proyek pembangunan EGov sebaiknya diposisikan di mana ?. Walaupun
sudah ditekankan bahwa proyek e-gov seharusnya
berkelanjutan. Hal ini penting untuk dijawab karena
di Indonesia, E-Gov masih berupa wacana baru, dan
mulai banyak dikembangkan di berbagai institusi
pemerintah. Dengan memutuskan benih apa yang
seharusnya ditanam, dan sistem pengairan apa yang
harusnya dipilih akan menjadi faktor penentu
keberhasilan e-gov tumbuh secara berkelanjutan.
Lagi pula, e-gov merupakan bentuk penggunaan
artefak teknologi yang notabene berasal dari luar,
sehingga penyerapan teknologi oleh Indonesia dari
negara maju yang berbeda tata-nilai budayanya
mengakibatkan terjadinya degradasi kinerja dari
teknologi tersebut, akibat dari pengabaian cara-cara
tertentu yang menjadi syarat pengoperasian teknologi
tersebut dengan benar. Sehingga muncul pertanyaan
lanjutan ‘sebenarnya e-gov merupakan alat atau
tujuan?’.

D. Peranan E-Gov Bagi Institusi
Pemerintah
Banyak orang berpikir, bahwa e-gov menjadi state of
the art dari sistem administrasi dan pelayanan

pemerintah. Namun sebelum pernyataan itu muncul,
sebenarnya ada proses evolusi pemanfaatan teknologi
informasi di suatu institusi pemerintah atau organisasi
pada umumnya seiring dengan kemajuan teknologi
informasi yang disediakan oleh industri-industri
pendukungnya.
Menurut Promozic (1991), ada lima tahapan evolusi
pemanfaatan teknologi informasi dengan dua sudut
pandang yaitu harapan manajemen akan laba yang
harus diberikan teknologi informasi dan fungsinya
sehari-hari untuk memenuhi harapan tersebut.
Tahap pertama, adalah persoalan efisiensi proses
kerja atau aktifitas operasioal setiap hari. Hal ini
merupakan persoalan klasik yang dihadapi setiap
institusi pemerintah karena semuanya melibatkan
urusan
administrasi.
Misalnya
manajemen
dokumentasi, keuangan, kepegawaian, dsb.
Tahap kedua, adalah leveraging cost, yaitu ketika
teknologi informasi dipandang sebagai suatu asset
institusi
pemerintah
yang
menguntungkan
dibandingkan dengan teknologi serupa. Contohnya
adalah penggunaan e-mail yang dapat menghemat
biaya pengiriman dokumen dibandingkan melalui
kurir.
Tahap ketiga, adalah ketika teknologi informasi
sudah dilibatkan secara langsung dalam proses
penciptaan produk dan jasa yang ditawarkan. Jenisjenis teknologi informasi yang populer dimanfaatkan
adalah yang secara langsung meningkatkan kepuasan
penggunanya.
Contohnya
pengurusan
lelang
pengadaan barang (procurement) melalui internet,
sehingga calon pemasok tidak perlu susah-susah
datang ke kantor.
Tahap keempat, adalah ketika institusi pemerintah /
perusahaan
sudah
mempertimbangkan
untuk
memperbaiki kinerja internal organisasi. Misalnya
dengan menfokuskan diri pada kualitas pengambilan
keputusan melalui Decesion Support System dan
Executive Information System.
Tahap kelima, merupakan evolusi terakhir dimana
institusi pemerinntah atau perusahaan berusaha
menjangkau target penggunanya dimana saja dan
kapan saja. Sehingga pelayanan yang diberikan tidak
mengenal waktu dan tempat.
Dilihat dari proses evolusi pemanfaatan teknologi
informasi menurut Primozic (1991), maka gambaran
e-gov sebagai state of the art dengan jargon ‘On line
Government’ merupakan titik paling puncak dari
pelayanan/service kepada penggunanya. Atau
menurut definisi World Bank merupakan fase
completing transaction and delivery service, sehingga
dapat
mengurangi
korupsi,
meningkatkan

3

transparansi, memperbesar kenyamanan hidup,
menumbuhan pendapatan, serta mengurangi biaya.

perusahaan
yang
transformation).

Dengan memperhatikan kondisi di atas, institusi
pemerintah di Indonesia perlu membuat selfevaluation terhadap relevansi dukungan teknologi
informasi dengan proses bisnis organisasi sudah
sampai taraf apa ?. Mungkin saja fase evolusi tersebut
diatas tidak berjalan linear, tetapi berupa matriks
posisi yang kondisinya berbeda-beda.

Untuk localized exploitation dan integration
diusulkan dengan pendekatan evolusi, sedangkan
untuk business process redesign, business network
redesign, dan business scope redefinition diusulkan
dengan pendekatan revolusi.

E. Tantangan Perubahan
Proyek e-gov, seperti halnya proyek teknologi
informasi lainnya, memiliki karakteristik yang khas
dibandingkan proyek-proyek pembangunan lainnya.
Ciri khas yang paling menonjol adalah bahwa proyek
e-gov sangat terkait dengan proses bisnis atau
manajemen institusi pemerintah.
Ketika teknologi informasi diterapkan di suatu
insitusi pemerintah, maka dia mempunyai peluang
untuk merubah sistem kerja manajemen, entah itu
berupa 1)penghilangan proses-proses yang tidak
perlu/eliminating, 2)penyederhanaan proses-proses
yang ada / simplifying, 3) penggabungan beberapa
proses ke dalam sebuah alur proses / integrating, atau
4) perubahan proses manual menjadi otomatis dengan
memanfaatkan komputer / automating.
Pakar teknologi informasi dari Sloan School of
Managemet
di
Massachusetss
Institute
of
Technology(MIT) memberikan suatu kerangka
landasan yang dinamakan “MIT’90 Five Layer
Model” untuk mencermati perubahan internal
organisasi ketika memanfaatkan teknologi informasi,
seperti terlihat pada gambar berikut ini.

HIGH
Business Scope
Redefinition
Degree of Business
Transformation

Business Network
Redesign
Business Process
Redesign
Revolutionary
Integration

Evolutionary

Localized
Exploitation
LOW
LOW

Range of Potensial Benefits

HIGH

Scott-Morton,
1991

Pada gambar diatas, mereka menganalisis dari dua
sisi, yakni besarnya manfaat atau benefit yang
didapatkan perusahaan (diwakili sumbu horizontal),
dan tingkat perubahan manajemen internal

harus

dijalani

(business

Namun untuk mengubah sistem kerja internal institusi
pemerintah tidak semudah yang dibayangkan. Dia
sangat berbeda dengan perusahaan swasta yang lebih
luwes dalam mengadopsi teknologi dan melakukan
penyesuaian. Institusi pemerintah sangat kental
dengan pendekatan birokrasi. Hal ini karena sifat
pemerintah yang berusaha mengendalikan proses
pembangunan dalam suatu sistem administrasi negara
, yaitu bagaimana bermacam-macam badan-badan
pemerintah diorganisir, diperlengkapi tenagatenaganya, dibiayai, digerakkan, dan dipimpin.
Dalam pelaksanaan administrasi negara, hambatan
yang seringkali muncul di internal institusi
pemerintah diantaranya :
1. Tiadanya motif untung dan kemungkinan
bangkrut, maka ada kecenderungan suatu operasi
pemerintahan kurang efisien dibandingkan
dengan suatu operasi swasta.
2. Sering masih terdapatnya paternalisme dan spoil
politik maupun pribadi di dalam administrasi
negara sehingga menyulitkan pembinaan
efisiensi
3. Adanya gejala “empire building” yaitu usaha
untuk memperluas birokrasi yang sebetulnya
mungkin tidak meningkatkan hasil. Seringpula
“empire building” dari suatu badan pemerintahan
tertentu bertumbuk dengan “empire building”
badan
pemerintahan
lainnya
sehingga
menimbulkan perbenturan dan duplikasi. Hal ini
juga menimbulkan kurangnya efisiensi.
4. Berkembangnya
prosedur-prosedur menjadi
berbelit-belit dan panjang karena hendak
memenuhi ketentuan berbagai badan administrasi
secara tidak konsisten; seringkali disebut
‘birokrasi’ oleh orang awam.
Dengan adanya hambatan diatas, maka peluang
teknologi informasi untuk mengadakan perubahan
internal manajemen menurut “MIT’90 Five Layer
Model” menjadi sangat berkurang dikarenakan sifat
dari pengorganisasian badan-badan pemerintah
sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi isu paling
besar di Amerika Serikat dalam sistem administrasi
negaranya. Sehingga muncul istilah ‘Reinventing
Government’, ‘Re-engineering Through Information
Technology’ karena teknologi informasi telah

4

menghilangkan
begitu
administrasi negara.

banyak

proses-proses

Birokrasi yang dimaksudkan untuk mengorganisir
secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan
oleh banyak orang, misalnya dengan pengisian
formulir-formulir dalam enam lembar atau lebih bisa
digantikan dengan ‘workflow information’ melalui
teknologi komputer. Perilaku birokrasi yang bersifat
hirarkis dibenturkan dengan perilaku teknologi
informasi yang bersifat jaringan menjadikan pilihan
yang begitu sulit, apakah perilaku birokrasi mengikuti
teknologi informasi ataukah perilaku teknologi
informasi mengikuti birokrasi.
Bila pilihannya adalah teknologi informasi harus
mengikuti perilaku birokrasi, maka perubahan yang
terjadi masih di tahap ‘localized exploitation’ dan
bersifat evolusi, sebaliknya bila birokrasi mengikuti
perilaku teknologi informasi, maka perubahan yang
terjadi sudah sampai tahap ‘business scope
redefinition’ dan bersifat revolusi. ‘On Line
Government” dalam tataran ideal, bila dilihat dari
“MIT’90 Five Layer Model” sebenarnya merupakan
proses revolusi dalam proses bisnis pemerintahan.

F. Konstruksi Sosial Teknologi E-Gov
Untul lebih menginjak ke bumi tentang arti e-gov
dikaitkan dengan kondisi pemerintahan di Indonesia
dan masyarakat pada umumnya. Melalui pendekatan
konstruksi sosial teknologi adalah lebih tepat,
mengingat ia peduli terhadap hal-hal yang berkenaan
dengan ‘bagaimana teknologi menyatu dalam dan
disponsori oleh suatu institusi di dalam masyarakat’.
Hal ini karena adanya kenyataan bahwa institusi yang
ada dan konsekuesi dari pengembangan teknologi
tidak selalu tepat dengan kondisi sosial dan persoalan
yang berhubungan dengan teknologi tersebut.
Dan karena kemajuan teknologi berjalan secara
kontinyu, maka sukar untuk menentukan batas waktu
yang tepat untuk suatu perubahan, begitu juga halnya
dengan teknologi informasi. Ia mengalami proses
evolusi yang cukup panjang, berlomba antara
teknologi semiconductor, teknologi perangkat lunak,
teknologi telekomunikasi, teknologi material, dan
sebagainya.
Term ‘information technology’ atau teknologi
informasi merupakan istilah yang muncul karena
konvergensi 3C yakni teknologi komputer (computer
hardware, semiconductors & relateddevices.
computer & data processing services, software, dll),

teknologi komunikasi (communication facilities,
household A/V equipment, dll), dan teknologi content
(newspapers, advertising, motion picture, dll).
Sehingga teknologi informasi sering diartikan sebagai
teknologi yang berhubungan dengan pengolahan data
menjadi informasi dan proses penyaluran data dan
informasi tersebut dalam batas-batas ruang dan
waktu. Konvergensi bisa terjadi, diantaranya berkat
penemuan modem, artefak yang dapat mengubah
data dari analog menjadi digital dan sebaliknya,
sehingga memungkinkan ketiga teknologi tersebut –
3C- bisa saling berkomunikasi.
E-gov sebagai sebuah bentuk pengaplikasian
teknologi informasi di institusi pemerintah juga
mengalami hal yang sama. Bila kita menarik garis
start bahwa e-gov di fase awal merupakan
pemanfaatan teknologi informasi pada tahun 80-an,
maka komputer masih berupa sebuah mainframe.
Teknologi telekomunikasi masih berupa telepon
analog, dan bentuk komunikasi massa menggunakan
media cetak dan televisi, pengiriman dokumen
melalui kurir, atau dengan mesin fax. Sehinga
menarik garis start pada tahun 80-an tidaklah tepat,
karena term ‘teknologi informasi’ masih belum
dikenal, namun ini sengaja dilakukan karena institusi
pemerintah sampai saat inipun masih banyak
menggunakan ketiga teknologi tersebut yang belum
dikonvergenkan, dan menurut definisi HRI berdasar
kurun waktu, e-gov pada fase awal untuk perbaikan
efisiensi.
Berdasarkan data yang diambil penulis pada waktu
Rakonteknas Kantor/Badan Pengolahan Data
Elektronik dan Telematika yang diselenggarakan oleh
Depdagri baru-baru ini, dikemukakan persoalanpersoalan yang ada sebagai berikut :
1.

2.

3.

Data dan informasi masih tersebar pada masingmasing komponen/unit kerja/ satuan kerja atau
sektor terkait dalam bentuk format dan indikator
yang bervariasi menurut kepentingan masingmasing;
Terlalu banyak kerancuan data yang meliputi
duplikasi, tumpang tindih, frekuensi perubahan
data yang mengakibatkan terjadinya pemborosan
terhadap sumber daya;
Koordinasi terhadap data yang dikumpulkan oleh
satu unit kerja untuk mendukung unit kerja yang
lain belum berjalan secara efektif. Keadaan yang
demikian akan lebih sulit diproses dan disajikan
secara terstruktur dan terpadu. Data dan
informasi
kebanyakan
dikumpulkan
dan
disampaikan tidak tepat waktu;

5

4.

5.

6.

7.

Tenaga ahli di bidang teknologi informasi pada
unit pengelola sistem informasi baik di Pusat dan
Daerah masih kurang;
Apresiasi atau pengenalan tentang sistem
informasi dan teknologi informasi di jajaran
Pemerintah
Pusat,
Pemerintah
Daerah,
Masyarakat, dan sektor swasta masih kurang;
Belum operasionalnya SIMDAGRI dan SIMDA
sebagai instrumen manajemen untuk sistem
informasi;
Banyaknya tim-tim ad hoc yang menangani
bidang sistem informasi di tingkat Pusat yang
membingungkan pelaksanaan di Daerah.

Merujuk dari data yang dipaparkan diatas, kiranya
dapat memberikan gambaran sekilas bagaimana
persoalan yang ada meliputi empat hal utama, yakni
1)sinkronisasi data dan informasi, 2)pengaturan
kelembagaan, 3)kesiapan SDM pemerintah dan
masyarakat, dan 4)lemahnya pengoperasian teknologi
informasi.
Persoalan-persoalan diatas tentunya tidak dibiarkan
saja, namun berusaha diselesaikan dengan langkahlangkah nyata, misalnya dikeluarkannya 1)Inpres
Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan
Pendayagunaan Telematika di Indonesia, 2)Peraturan
Pemerintah No 56 Tahun 2001 tentang Pelaporan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah,
3)Tim
Koordinasi Telematika Indonesia, 4)Kerangka
Teknologi Informasi Nasional, 5)Forum Telematika
Jawa Barat, 6)Mastel, 7)APJI, 8)IPKIN, 9)Awari,
adan berbagai seminar dan sosialisasi dan lain
sebagainya baik yang lahir atas inisiatif pemerintah,
kalangan swasta, ataupun masyarakat.

H. Peluang dan Tantangan
Melalui gambaran e-gov dari berbagai sisi diatas,
minimal telah memberikan peta yang lebih jelas
tentang e-gov itu sendiri. Peluang dan tantangan yang
ada bisa diambil dari setiap sisi yang telah dibahas,
namun tidak menutup kemungkinan ada sisi lain yang
belum diangkat. Hal ini dikarenakan e-gov bisa
dipandang dari multi disiplin dan interdisiplin.
Sekian, semoga bermanfaat.

6