Antara pengangguran intelektual dan peng

Antara pengangguran intelektual dan pengangguran intelegensia
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita mendengar istilah pengangguran
intelektual. Bahkan sebagian besar orang menganggap pengangguran intelektual
adalah istilah untuk para sarjana yang belum memiliki pekerjaan. Tetapi sebelum
mengambil konklusi tentang makna dari pengangguran intelektual itu, sebaiknya
harus dipahami makna dari setiap kata-kata tersebut.
Selama ini, pengertian sarjana selalu disetarakan dengan intelektual.
Seseorang dinilai sebagai intelektual diukur berdasarkan gelar-gelar tertentu atau
ijazah akademik. Padahal, kualitas individu seorang sarjana berbeda dengan seorang
intelektual. Peran seorang intelektual juga berbeda jauh dengan seorang sarjana. Oleh
karena itu, perlu diberikan batasan yang jelas pengertian sarjana dan intelektual.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sarjana memiliki pengertian (1) orang
pandai (ahli ilmu pengetahuan), (2) gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang
telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi. Jadi para sarjana
adalah lulusan akademik atau perguruan tinggi yang menempuh jenjang studi
berdasarkan spesifikasi jurusan masing-masing.
Dapatkah para sarjana disetarakan dengan kaum intelektual? Harus diakui
bahwa selama ini keberadaan para sarjana masih disetarakan dengan kaum
intelektual. Akibatnya, definisi intelektual sendiri menjadi dangkal, karena ukurannya
hanya sebatas gelar akademik atau secarik ijazah. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, intelektual mengandung arti (1) Cerdas, berakal, dan berpikiran jernih

berdasarkan ilmu pengetahuan, (2) yang mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan,
(3) totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan
pemahaman. Sedangkan Menurut Bottomore (1964 dalam Azhar (2009), kaum
intelektual adalah sekelompok kecil dalam suatu masyarakat yang kehadiran mereka
mampu memberikan kontribusi kepada pembangunan, transmisi, dan kritik gagasan.
Dari pengertian sarjana dan intelektual tersebut, dapat ditarik perbedaan dari
keduanya. Sarjana berarti orang yang pandai dalam ilmu pengetahuan sedangkan
intelektual adalah orang yang cerdas. Pandai dan cerdas tentu memilki makna yang

berbeda. Pandai berarti terpelajar, cerdik cendikia. Sedangkan cerdas berarti (1)
sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya),
tajam pikiran, (2) sempurna pertumbuhan tubuhnya (sehat,kuat) (Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Jadi sangat jelas dapat dibedakan antara sarjana dan intelektual.
Apakah sarjana yang belum memiliki pekerjaan pantas disebut pengangguran
intelektual ?. Tentu saja dua kata tersebut terdengar kontradiktif. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, arti kata pengangguran adalah keadaan orang-orang yang
tidak memiliki pekerjaan. Sedangkan intelektual sendiri seperti yang sudah dijelaskan
di atas adalah orang yang cerdas. Kriteria kaum intelektual tidak dibatasi oleh gelargelar akademik atau perolehan ijazah di perguruan tinggi. Mereka bisa berasal dari
berbagai latarbelakang keilmuan dan status sosial. Seorang intelektual tidak harus
berlatarbelakang pendidikan tinggi yang mengantongi ijazah akademik tertentu.

Latarbelakang keilmuan dan status sosialnya juga bisa bermacam-macam. Seorang
intelektual berperan aktif dalam masyarakat mengusung ide-ide pembaruan.
Kehadirannya dalam masyarakat senantiasa bermanfaat, bukannya malah menjadi
beban . Atas dasar inilah, pengertian sarjana jelas tidak dapat disetarakan lagi dengan
intelektual.
Bottomore, sebagaimana dikutip Azhar (2009), memasukkan para sarjana
sebagai kelompok intelegensia. Menurut Bottomore, kaum intelegensia adalah orangorang yang pernah mengenyam pendidikan di universitas atau perguruan tinggi dan
mengantongi ijazah akademik tertentu untuk kemudian secara sah dapat menyandang
gelar tertentu pula. Sedangkan menurut KBBI intelegensia memiliki arti kaum cerdik
pandai, para cendikiawan. Sehingga para sarjana yang belum memiliki pekerjaan
lebih cocok disebut dengan istilah “pengangguran intelegensia”.
Lantas apakah kita harus bangga dengan sebutan itu ? mungkin jika disebut
sebagai kaum cendikiawan memiliki kebanggan tersendiri. Tetapi bagaimana dengan
embel-embel pengangguran di depannya ? tentu sangat memilukan. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dalam harian jurnal Asia pada Agustus 2014
di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang) dari total penganggur yang merupakan

alumni perguruan tinggi. Angka pengangguran terdidik pada 2014 itu meningkat
dibandingkan pada 2013 yang hanya 8,36 persen (619.288 orang) dan pada 2012
sebesar 8,79 persen (645.866 orang). Meningkatnya angka pengangguran intelegensia

ini tentu dampak dari kualitas pendidikan kita yang masih kurang baik.
Meningkatnya angka pengangguran tersebut tentu disebabkan oleh banyak
faktor. Seperti, para sarjana tidak memiliki bekal soft skill diluar bidang studi
(jurusan kuliah) sehingga cenderung mengalami kesulitan dalam berkompetisi dan
mencari pekerjaan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan budaya pilah-pilih antara
jenis pekerjaan dan upah yang sangat melekat dikalangan para sarjana.
Selain itu juga kurikulum dan sistem pendidikan yang diadopsi perguruan
tinggi juga turut andil dalam menyumbang angka pengangguran intelegensia. Banyak
universitas yang tidak membekali mahasiswanya dengan program manajemen
kewirausahaan sebagai alternatif atau bekal tambahan untuk mengarungi kehidupan
sesungguhnya diluar dunia kampus. Akibatnya, para sarjana hanya berkutat dan mengandalkan izajah untuk mencari kerja kesana-sini tanpa menyadari bahwa menjadi
seorang wirausaha justru jauh lebih menguntungkan dibandingkan harus pontangpanting melamar pekerjaan.
Dalam mencari pekerjaan faktor jaringan/relasi juga sangatlah menentukan,
bagi sarjana yang hanya mengedepankan kebut kuliah dengan IPK tinggi, tanpa
membekali dirinya dengan relasi luas dengan berbagai kalangan, tentu saja akan
mengalami kesulitan tersendiri. Hal ini menjadi dosa terbesar kampus yang memaksa
mahasiswanya untuk sesegera mungkin menyelesaikan studi tanpa membekali diri
dengan soft skill dan relasi yang baik. membangun relasi dapat dibangun dengan
mengikuti organisasi-organisasi yang ada di kampus.
Faktor lain adalah faktor pemerintah, pemerintah seperti masih krisis

kepercayaan kepada perguruan tinggi serta kurang percaya diri dengan kualitas
produknya. Kondisi itu berbeda dengan Malaysia yang peduli dengan perguruan
tinggi. Cara yang mereka lakukan, yaitu dengan membuat suatu kerjasama antara

perguruan tinggi dengan pihak industri. Itu membuktikan pemerintah memberikan kepercayaan kepada anak bangsa sendiri untuk mengelolah hasil industrinya.
Dengan melihat faktor-faktor yang menyebabkan banyakanya angka
pengangguran intelegensia tersebut, diharapkan kedepannya semua pihak baik
pemerintah, perguruan tinggi, maupun mahasiswa dapat berbenah untuk memperbaiki
sistem pendidikan. Sehingga jika sistem pendidikannya baik, maka kualitas
pendidikan yang dihasilkan akan baik pula. Dengan kualitas pendidikan yang baik
akan lahir kualitas sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia yang baik
akan mampu menekan angka pengangguran.
DAFTRAR PUSTAKA
Azhar, Eko. Pengangguran intelektual. 2009.
http://ekoazhar09.blogdetik.com/2009/12/27/pengangguran-intelektual. Diunduh pada
Tanggal 2 Mei 2017
Harian

Jurnal


Asia.

2016.

Permasalahan

Pengangguran

Intelektual.

https://www.jurnalasia.com/opini/permasalahan-pengangguran-intelektual/. Diunduh
pada Tanggal 2 Mei 2017
Kamus Besar Bahasa Indonesia online. http://kbbi.web.id/maniak