Kelebihan dan Kekurangan Sistem Jaminan

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi Kelompok
Buruh Di Indonesia
(Studi Kasus: BPJS Kesehatan untuk Buruh)
Hanna Marthatya Hakim

1. Latar Belakang
Penyelenggaraan sistem jaminan sosial (social security) pertama kali dirintis oleh Otto
Von Bismarck (1883), sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bismarck memulai
program jaminan sosial dengan memberikan jaminan kesehatan pada pada kelompok tenaga
kerja tertentu sesuai dengan kebutuhan industrialisasi di waktu itu. Pekerja dan pemberi kerja
bergotong royong membiayai program jaminan sosial melalui mekanisme asuransi sosial. Apa
yang dikembangkan oleh Otto Von Bismarck merupakan pendekatan social state model di
mana peran negara dan masyarakat seimbang dalam menciptakan kesejahteraan sosial. Dalam
kerangka pendekatan institusional, apa yang dilakukan oleh Bismarck juga merefleksikan
managed pluralism antara seluruh pihak yang terkait.1 Pendekatan ini cukup mirip dengan apa
yang dirumuskan dalam UU SJSN di Indonesia.
Di Swedia, Jaminan Sosial yang diberikan diarahkan pada hal-hal yang bersifat
produktif. Swedia tidak berfokus pada pemberian layanan yang hanya sekedar memenuhi
kebutuhan sosial masyarakatnya, misalnya seperti tunjangan bagi pengagguran. Swedia
mengucurkan dana yang besar pada layanan seperti pendidikan, sanitasi lingkungan, dan
tunjangan bagi keluarga dan anak, karena layanan sosial tersebut tidak dipandang sebagai

liabilitas, melainkan investasi SDM yang berdampak positif bagi pembangunan ekonomi
secara umum. Dalam konteks ini, menurut Midgley, Swedia mengharmoniskan dimensi sosial
dan ekonomi dalam pembangunan. Swedia tidak menerapkan pendekatan administrasi sosial
dalam mencapai kesejahteraan sosial, namun melakukan pendekatan pembangunan sosial. 2
Jika dibandingkan dengan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di Indonesia,

1

Sulastomo. Sistem Jaminan Sosial Nasional: Mewujudkan Amanat Konstitusi. (Kompas: 2011)
Midgley, J. (1995). Social Development The Developmental Perspective in Social Welfare. London: Sage
Publications Ltd.
2

program SJSN Indonesia masih tidak berfokus pada layanan yang bersifat investatif seperti
yang dilakukan Swedia di atas.
Di Malaysia dan Singapura, pembiayaan untuk program jaminan sosial dibebankan
nyaris rata antara pekerja dan pemberi kerja, serupa seperti apa yang dirumuskan dalam SJSN
di Indonesia. Namun berdasarkan proses historis perburuhan di Indonesia sampai pasca
reformasi ini, masalah utama perburuhan di Indonesia masih berkisar pada masalah
pengangguran dan berimplikasi pada meningkatnya jumlah pekerja sektor informal, masalah

pendidikan dan komposisinya, sistem pengupahan, praktek outsourcing dan kontrak, masalah
sistem pengawasan tenaga kerja, dan masalah jaminan sosial tenaga kerja (Silaban, 2009: 48).
Buruh merupakan manusia yang utuh dengan hak dan kewajibannya, dan negara
berperan besar dalam mengajak dan mengakomodir keikutsertaan pihak-pihak lain dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan, khususnya dalam memenuhi hak asasi manusia dasar buruh
sebagai perpanjangan tangan pihak korporasi. Khususnya dalam masalah jaminan sosial
tenaga kerja di sisi kesehatan, yang diatur dalam Undang-Undang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) memberikan harapan kepada buruh bahwa mereka tidak akan ditolak
rumah sakit hanya karena tidak memiliki biaya untuk berobat. Namun, berikut masih
ditemukan kasus yang menggambarkan masih terjadinya diskriminasi terhadap buruh.
2. Contoh Kasus

BPJS Gagal Layani Kesehatan Buruh
Jakarta, HanTer - Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) menyebut Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) telah gagal memberikan pelayanan kesehatan kepada buruh di Indonesia,
karena masih banyak kasus buruh yang ditelantarkan di rumah sakit.
"Program BPJS belum mampu 100 persen memberikan pelayanan kepada buruh miskin, karena masih
banyak rumah sakit yang menolak buruh berobat," kata Wakil Ketua Bidang Advokasi Federasi Serikat
Pekerja Logam Elektronik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) DKI Jakarta M.
Toha, Kamis (30/10/2014).

Ia menjelaskan, selama ini masih banyak rumah sakit menolak buruh dengan alasan ruang
pengobatan penuh, sehingga buruh tidak mendapatkan pengobatan untuk menyembuhkan penyakit.
"Kondisi itu cukup memprihatinkan dan diharapkan BPJS meningkatkan pelayanan kesehatan kepada
buruh, khususnya buruh yang kurang mampu," ujarnya.

Menurut dia, pemberlakuan BPJS ini hanya sekadar meningkatkan pamor pemerintah saja, hanya
untuk gaya-gayaan saja, karena Jamsostek lebih baik dibanding BPJS tersebut. "BPJS ini mulai
diberlakukan secara keseluruhan pada Januari 2014, dalam upaya meningkatkan kualitas sosial dan
kesehatan buruh, namun kenyataannya di lapangan pemberlakukan jaminan kesehatan lebih buruk,"
ujarnya.
Memang, kata dia, program BPJS ini lebih baik dibanding Jamsostek, namun implementasi di lapangan
tidak sesuai dengan program dan harapan. "Kami berharap pemerintah untuk lebih meningkatkan
sumber daya manusia (SDM) BPJS ini, agar program-program yang ada bisa dijalankan dengan baik
dan buruh mendapatkan pelayanan sosial dan kesehatan dengan baik," ujarnya. (Arbi)
Sumber:
http://harianterbit.com/m/welcome/read/2014/10/31/10552/0/29/BPJS-Gagal-Layani-KesehatanBuruh diakses pada 4 April 2015

Dari contoh kasus tersebut, dapat tergambarkan bahwa masih ditemukannya
permasalahan terkait pemberian akses kesehatan untuk buruh. Hal ini mengindikasikan adanya
kegagalan pelaksanaan UU BPJS dalam prakteknya. Seperti yang diungkapkan dalam kasus,

konsep UU BPJS sangat baik untuk melindungi hak asasi manusia buruh dari yang paling
dasar, yaitu akses terhadap kesehatan. Sehingga, menganalisis kelebihan dan kekurangan
sistem ini yang akan dijelaskan pada bagian berikut ini penting untuk dikaji lebih jauh, baik
bagi kelompok buruh, pihak korporasi, maupun negara.
3. Analisis
Kelebihan dan kekurangan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi kelompok buruh di
Indonesia. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) secara teoritis memenuhi beberapa kriteria
sebagai sebuah pembangunan sosial yang memberikan manfaat bagi kalangan pekerja di
Indonesia. SJSN pun dapat dipandang sebagai pendekatan institusional untuk pembangunan
sosial karena pemerintah, pasar dan masyarakat memiliki bagian tanggung jawab untuk
mewujudkan sistem tersebut. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah secara teknis konten
dari Undang-Undang SJSN yang sudah ditetapkan cukup efektif untuk menjamin HAM buruh
dalam mengakses kesehatan? Di bagian ini, akan dianalisis kelebihan dan kekurangan dari
konten SJSN terkait dengan HAM kalangan buruh.
a. Kelebihan

 Terbaginya beban antara Pemerintah, masyarakat, dan negara dalam iuran asuransi sosial

Jaminan sosial merupakan sistem yang banyak membutuhkan sumber daya, terutama
sumber daya finansial. Jika semuanya dibebankan pada satu pihak saja, maka sangat besar

kemungkinan tujuan-tujuan dari sistem tersebut tidak akan tercapai. Contoh utamanya
adalah aturan pemberian pesangon bagi pegawai yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja.
Dalam UU No. 13/2003, pihak pemberi kerja (korporasi) merupakan satu-satunya pihak
yang bertanggung jawab dalam menyediakan jaminan pemutusan hubungan kerja (JPHK).
Hal ini menjadi beban finansial yang sangat besar bagi perusahaan dan dapat mengganggu
stabilitas keuangan dan kompetivitas mereka. Pada akhirnya, banyak perusahaan yang
menerapkan sistem oursourcing di mana perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk
memberikan pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja.3 Hal ini tentunya menjadi
backfire bagi tujuan diaturnya pemberian JPHK tersebut. Dalam konteks yang berbeda,
krisis keuangan yang terjadi di di negara-negara Eropa saat ini juga dapat menjadi contoh,
di mana Pemerintah menanggung beban yang sangat besar untuk membiayai berbagai
program layanan sosial

bagi masyarakat secara umum (misalnya tunjangan bagi

pengangguran).
Dalam Undang-Undang SJSN, disebutkan dalam pasal-pasal yang berbeda bahwa baik
pemerintah, pekerja, dan perusahaan memiliki porsi dalam pembayaran iuran. Pihak
korporasi sebagai pemberi kerja bersama dengan pekerja (masyarakat) bersama-sama
menanggung beban iuran untuk jaminan sosial, sehingga tidak memberatkan salah satu

pihak saja. Pemerintah, memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan iuran bagi fakir
miskin dan orang tidak mampu (pasal 12 ayat 2). Selain itu, tentu saja melalui Badan
Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) merupakan pihak sentral yang akan melaksanakan atau
mengeksekusi Undang-Undang BPJS ini. Dengan terbaginya beban antara seluruh pihak,
maka over-constraint yang dapat mengakibatkan terhambatnya sistem jaminan sosial
tersebut dapat dicegah. Selain itu, dengan dibebankannya sebagian porsi beban pembiayaan
kepada masyarakat, maka diharapkan kesadaran masyarakat untuk berasuransi dan menjaga
masa depannya sendiri dapat ditingkatkan.
 Terdapat bantuan iuran bagi kelompok fakir miskin dan tidak mampu
3

Sulastomo. Jaminan Sosial, Pesangon dan Outsourcing (Diakses dari http://www.pelitaonline.com/readanalisis-berita/6889/jaminan-sosial-pesangon-dan-outsourcing/ pada 4 April 2015)

Dalam layanan jaminan kesehatan, UU SJSN menyebutkan bahwa kelompok fakir
miskin dan tidak mampu (dalam hal ini termasuk pengangguran) mendapatkan bantuan
iuran oleh pemerintah. Hal ini tentunya akan sangat membantu bagi kelompok tersebut
karena keterbatasan mereka untuk membayar iuran. Kelompok fakir miskin dan tidak
mampu meruapakan kelompok yang tidak memiliki penghidupan yang mencukupi, dan
beban iuran bukan merupakan sesuatu yang dapat mereka tanggung. Karena akses terhadap
layanan kesehatan merupakan hal yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup mereka,

maka sudah selayaknya mereka mendapatkan bantuan iuran agar mereka tetap terjaring
dalam SJSN.
 Akumulasi dana jaminan sosial sebagai tabungan nasional
SJSN berperan secara tidak langsung dalam pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan rakyat secara umum. Melalui mekanisme asuransi sosial dan tabungan wajib,
SJSN menjadi sebuah instrumen mobilisasi dana masyarakat yang dapat membentuk dana
sosial yang besar. Diproyeksikan besarnya tabungan nasional itu dapat mencapai Rp. 1000
triliun apabila dalam kurun waktu 10 tahun, peserta program JP dan perumahan (JHT)
mencapai 80 juta peserta.4 Di sini, SJSN sebagai sebuah program pembangunan sosial
nasional dapat terlihat. Dengan akumulasi dana SJSN tersebut, maka dapat diharapkan
akan terjadi dampak sebagai berikut:
-

Menurunnya suku bunga bank sehingga meningkatkan pemberian kredit dan investasi

-

bagi perusahaan-perusahaan
Dengan meningkatka kucuran kredit dan investasi, lapangan kerja dapat diperluas, dan
mengurangi jumlah sektor nonformal sehingga kepesertaan program jaminan sosial


-

dapat didorong lebih jauh.
Meningkatnya kemampuan domestik dalam membiayai pembangunan

b. Kekurangan
 Tidak adanya penjelasan mengenai kriteria “fakir miskin dan tidak mampu”
Di atas kertas, bantuan iuran bagi “fakir miskin dan tidak mampu” merupakan hal
yang sangat baik. Namun, masalah klasik yang sering menjadi batu sandungan adalah tidak
jelasnya kriteria kelompok “fakir miskin dan tidak mampu”. Dalam pelaksanaan Program
4

Sulastomo. Sistem Jaminan Sosial Nasional: Mewujudkan Amanat Konstitusi. (Kompas: 2011)

Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya, ketidakjelasan dalam perumusan siapa saja yang
seharusnya mendapat BLT menimbulkan kekacauan. Banyak warga yang secara kasat mata
merupakan warga tidak mampu tidak mendapatkan BLT, sedangkan justru warga yang
berkecukupan mendapatkan BLT. Jika hal kriteria kelompok fakir miskin dan tidak mampu
tidak diperjelas dan disempurnakan, maka bukannya tidak mungkin dapat terjadi

kekacauan dalam pelaksanaan SJSN (dalam program jaminan kesehatan).
 Minimnya program jaminan social yang bersifat investatif
Dari kelima program jaminan sosial yang ada dalam SJSN (Jaminan Kesehatan,
Jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian),
hanya jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja yang memiliki nilai investasi dan
memberikan economical turn back. Tetapi tidak adanya program jaminan sosial yang
berfungsi untuk membangun kualitas sumber daya manusia buruh seperti jaminan
pendidikan bagi keluarga buruh, padahal program seperti itu memiliki nilai investasi jangka
panjang yang sangat tinggi karena merupakan program pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM).
 Keberlangsungan jaminan sosial bagi tenaga outsourcing yang dipertanyakan.

Dalam penyusunan analisis ini, hampir semua jaminan sosial dalam SJSN
membutuhkan hubungan kerja yang tetap antara pemberi kerja (korporasi) dengan pekerja.
Dengan kata lain, pekerja outsourcing sangat rawan kehilangan hak mereka jika tiba-tiba
mengalami pemutusan hubungan kerja. Dari kelima program yang sudah ada dalam SJSN,
hanya jaminan kesehatan yang sepenuhnya dapat dinikmati oleh pekerja tetap maupun
outsourcing, karena meskipun mereka mengalami pemutusan hubungan kerja, iuran mereka
tetap dibayarkan oleh pemerintah. Namun dalam program jaminan yang lain, hal itu tidak
disebutkan. Dengan kata lain, jika secara tiba-tiba para pekerja outsourcing mengalami

pemutusan kerja, maka mereka tidak dapat meneruskan pembayaran iuran dan
keberlangsungan jaminan sosial mereka dipertanyakan.
4. Penutup
a. Saran
BPJS harus melindungi warga Negara Indonesia keseluruhan dengan memperhatikan
secara khusus para tenaga Outsourcing maupun buruh lainnya, sehingga mereka tidak di

eksploitasi oleh perusahaan atau tempat dimana dia bekerja. Selain itu pemerintah harus
membuat kriteria untuk pemberian Jaminan Sosial bagi mereka yang Miskin atau tidak
mampu, sehingga Jaminan Sosialnya tidak salah sasaran dan merugikan mereka yang
membutuhkan. Lalu, Jaminan Sosial dalam BPJS haruslah bersifat Investatif dan
menyebabkan kemandirian pada masyarakat tersebut, sehingga dengan mandirinya
masyarakat di Indonesia, pengembangan Sumber Daya Manusia di Indonesia dapat
menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas.
b. Kesimpulan
UU BPJS sebagai implementasi dari UU SJSN (diatas kertas) sedikit banyak
membantu para buruh dan tenaga outsourcing agar mendapat hak-hak bekerja yang lebih
layak, walaupun begitu terdapat beberapa kekurangan yang seharusnya dapat dipenuhi oleh
pemerintah sebagai sebuah bentuk investasi sosial. Dampak yang terjadi apabila pembangunan
sosial yang berlangsung tidak bersinggungan dengan aspek ekonomi secara langsung adalah

sebuah pembangunan sosial salah kaprah yang hanya menitikberatkan pada sebuah program
administrasi sosial bukan pembangunan sosial. Melalui jaminan sosial ini kaum buruh
diberdayakan dari resiko terburuk yang tidak bisa mereka cover, misalnya, pensiun atau
kecelakaan kerja. Proses pengikisan kemiskinan seperti inilah yang dianggap relevan dalam
pengentasan kemiskinan dan mendorong tersedianya tenaga kerja yang berkualitas.