MAKALAH PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI SEBAGA INDONESIA

MAKALAH PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI SEBAGAI
BIOINDIKATOR KONTAMINASI LOGAM BERAT
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan
Tahun Ajaran 2015/2016
Dosen Pengampu :
Dr. Nur Kusuma Dewi, M.Si
Ir. Nana Kariada Tri Martuti, M.Si

Disusun oleh :
Attika Purbosari

4411413041

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS METEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pencemaran lingkungan akibat logam berat banyak terjadi di era pembangunan ini.
Perkembangan di bidang industri tidak bisa dihindarkan dari limbah yang secara langsung
maupun tidak langsung akan dilepas ke lingkungan. Salah satu limbah yang terdapat
dilingkungan akibat perkembangan industri adalah logam berat.
Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang
beratnya lebih dari lima gram untuk setiap cm3-nya. Beberapa jenis logam bersifat esensial
tetapi dapat menjadi toksik bila berlebihan, misalnya besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn) yang
merupakan logam yang terikat sistem enzim untuk memetabolisme tubuh. Beberapa jenis
logam berat lainnya bersifat toksik dalam jumlah yang sangat sedikit, misalnya : arsen (As),
timbal (Pb), kadmium (Cd) dan merkuri (Hg) (Darmono, 1995).
Logam toksik adalah sekelompok logam berat yang sampai sekarang belum diketahui
kegunaannya bagi tubuh mahluk hidup. Walaupun secara normal logam tersebut ditemukan
dalam jumlah yang sedikit sekali didalam tubuh, tetapi logam tersebut tidak mempengaruhi
sistem fisiologi dari makhluk yang bersangkutan. Tetapi, pada kondisi keracunan baik karena
polusi lingkungan maupun karena keracunan makanan, logam tersebut kandungannya akan
melebihi kandungan normaldlam tubuh. Pada kondisi tersebut logam akan merusak jaringan,
sehingga menimbulkan gejala keracunan.
Aktivitas indutri yang cenderung menghasilkan zat-zat pencemar yang berbahaya
menyebabkan terganggunya ikan jenis ini. Hal ini tidak lepas dari kegiatan manusia yang bila
ditinjau dari dampak lingkungan secara langsung maka akan mempengaruhi organisme

perairan. Dampak negatif yang dapat ditimbukan oleh aktivitas manusia adalah pencemran
berbagai bahan essensial dan non essensial yang dapat terjadi pada badan air dalam
lingkungan perairan (Palar dalam Tridayani et al. 2010).
Bioakumulasi dan biomagnifikasi logam berat pada setiap spesies berbeda. Adanya
bioakumulasi dan biomagnifikasi dapat menimbulkan kerusakan jaringan tertentu pada setiap
spesies. Akan tetapi, dengan pembuatan preparat histologi dapat memudahkan kita untuk
melakukan pengamatan secara detail.
Banyak penelitian tingkat spesies untuk mengukur toksisitas suatu logam berat. Tetapi
hasil yang di dapat tidak sesuai dengan kontaminasi yang ditimbulkan. Menurut pengukuran
tingkat spesies, suatu logam berat masih dibawah ambang batas sehingga tidak mendapat
perhatian khusus karena tidak dianggap menimbulkan kerusakan. Akan tetapi setelah
dilakukan uji hispatologi, didapatkan hasil bahwa terdapat kerusakan pada bagian bagain
tertentu pada organ tubuh spesies indikator. Pengujian ini dilakukan dengan pengamatan
histopatologi.
Dalam makalah ini akan membahas tentang berbagai penelitian tentang pengamatan
histopatolgi untuk mendukung hasil uji toksisitas logam berat.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1

1.2.2

Apakah kerusakan pada organ dapat dijadikan sebagai bioindikator adanya
kontaminasi logam berat?
Apa sajakah syarat organ yang dapat diuji secara histopatologi untuk mengamati
adanya kerusakan akibat kontaminasi logam berat?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui bahwa kerusakan pada organ dapat dijadikan sebagai bioindikator
adanya kontaminasi logam berat.
1.3.2 Mengetahui syarat organ yang dapat diuji secara histopatologi untuk mengamati
adanya kerusakan akibat kontaminasi logam berat.

BAB 2

ISI
2.1 Histologi dan Histopatologi
Histologi berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan dan logos yang
berarti ilmu. Jadi histologi berarti suatu ilmu yang menguraikan struktur dari hewan secara
terperinci dan hubungan antara struktur pengorganisasian sel dan jaringan serta fungsi-fungsi

yang mereka lakukan. Jaringan merupakan sekumpulan sel yang tersimpan dalam suatu
kerangka struktur atau matriks yang mempunyai suatu kesatuan organisasi yang mampu
mempertahankan keutuhan dan penyesuaian terhadap lingkungan diluar batas dirinya
(Bavelander, 1998).
Cara pembuatan preparat histologis disebut mikroteknik. Pembuatan preparat dari
suatu jaringan dimulai dengan operasi, biopsi, atau autopsi. Jaringan yang diambil kemudian
diproses dengan fiksasi yang akan menjaga agar preparat tidak akan rusak (bergeser
posisinya, membusuk, atau rusak). Zat yang paling umum digunakan adalah formalin (10%
formaldehida yang dilarutkan dalam air). Larutan Bouin juga dapat digunakan sebagai larutan
untuk fiksasi alternatif meskipun hasilnya tidak akan sebaik formalin karena akan
meninggalkan bekas warna kuning dan artefak. Artefak adalah benda yang tidak terdapat
pada jaringan asli, namun tampak pada hasil akhir preparat.Artefak ini terbentuk karena
kurang sempurnanya pembuatan preparat.
Pewarnaan perlu dilakukan karena objek dengan ketebalan 5 mikrometer akan terlihat
transparan meskipun di bawah mikroskop. Pewarna yang biasa digunakan adalah
hematoxylin dan eosin. Hematoxylin akan memberi warna biru pada nukelus, sementara
eosin memberi warna merah muda pada sitoplasma. Masih terdapat berbagai zat warna lain
yang biasa digunakan dalam mikroteknik, tergantung pada jaringan yang ingin diamati. Ilmu
yang mempelajari pewarnaan jaringan disebut histokimia.
Klasifikasi histologis jaringan hewan, antara lain :

1. Epitelium: melapisi kelenjar, saluran pencernaan, kulit, dan beberapa organ seperti
hati, paru-paru, ginjal
2. endotelium: melapisi pembuluh darah dan pembuluh limfamesotelium: melapisi
rongga pleural, peritoneal, dan pericardial
3. mesenkima: sel yang mengisi ruangan antarorgan, misal sel lemak, otot, dan
tendon sel darah: terdiri dari sel darah merah dan darah putih, baik di limfa
maupun limpa
4. neuron: sel-sel yang membentuk otak, saraf, dan sebagian kelenjar seperti pituitari
dan adrenal
5. plasenta: organ terspesialisasi yang berperan dalam pertumbuhan fetus dalam
rahim sang ibu
6. sel induk: sel-sel yang dapat berkembang menjadi satu atau beberapa jenis sel di
atas.
7. Jaringan dari tumbuhan, jamur, dan mikroorganisme juga dapat dipeljari secara
histologis, namun strukturnya berbeda dari klasifikasi di atas.

Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan
dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting dalam kaitan dengan
diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah
melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Histopatologi dapat

dilakukan dengan mengambil sampel jaringan (misalnya seperti dalam penentuan kanker
payudara) atau dengan mengamati jaringan setelah kematian terjadi.Dengan membandingkan
kondisi jaringan sehat terhadap jaringan sampel dapat diketahui apakah suatu penyakit yang
diduga benar-benar menyerang atau tidak. Ilmu ini dipelajari dalam semua bidang patologi,
baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.
2.2 Logam Berat dan Hubungannya dengan Organ Tubuh
Logam berat dalam konsentrasi tertentu merupakan salah satu kelompok pencemar
yang sangat berbahaya apabila masuk ke ekosistem laut. Efek toksik dari bahan pencemar
tersebut terhadap organisme laut bisa terjadi secara fisiologi, morfologi, genetik, dan bahkan
kematian. Logam berat berpengaruh pada fungsi enzim dan fertilitas spesies hewan laut.
Senyawa - senyawa organotin (tributylin TBT dan triphenitin TPT) dan logam Pb misalnya
dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap organisme laut walaupun pada konsentrasi
yang rendah (Svavarsson et al., 2001), termasuk siput dan bivalvia tertentu bersifat toksik
rendah 1 – 2 mg/l. Sedangkan pada konsentrasi tinggi, siput betina dapat berkembang
menjadi jantan (imposex), atau dapat menyebabkan sterilitas (Herber, 2003). Wilber (1971),
logam berat mempunyai sifat mudah mengikat bahan organik, mengendap di dasar perairan
dan bersatu dengan sedimen. Akibat dari hal tersebut maka konsentrasi logam berat dalam
sedimen biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasinya di air. Philips (1986)
mengungkapkan bahwa jenis kerang (bivalva), siput (gastropoda) dan makro alga merupakan
bioindikator yang paling tepat dan efisien karena mempunyai mobilitas yang rendah sehingga

relatif menetap di suatu daerah yang lebih sempit.
Kadmium (Cd) merupakan logam berat yang paling banyak ditemukan pada
lingkungan, khususnya lingkungan perairan, serta memiliki efek toksik yang tinggi, bahkan
pada konsentrasi yang rendah (Almeida et al., 2009). Kadmium diketahui memiliki waktu
paruh yang panjang dalam tubuh organisme hidup (Patrick, 2003) dan umumnya
terakumulasi di dalam hepar dan ginjal (Flora, 2009). Pada manusia, kadmium dapat bersifat
karsinogenik, merusak kelenjar endokrin, sistem kardiovaskular dan juga terdapat pada
sistem saraf yang memicu kerusakan neurologis dan berasosiasi dengan kanker paru-paru,
prostat, pankreas dan ginjal (Bobocea et al., 2008 & Flora, 2009). Dijelaskan sebelumnya
oleh Pal (2006) bahwa pada konsentrasi yang tinggi, kadmium merupakan logam berat yang
bersifat karsinogen, mutagenik dan teratogenik pada beberapa jenis hewan. Hal ini
menunjukan bahwa logam berat kadmium memberikan efek terhadap proses genomic dan
postgenomic pada liver, ginjal, paru-paru, dan otak. Sifat karsinogenik kadmium
menyebabkan logam berat tersebut diurutkan sebagai peringkat pertama (Class 1) agen
mutagenik bagi organism hidup (Nordic, 2003 dan Flora et al., 2008).
Bioakumulasi Merkuri dapat ditelusuri menggunakan bioindikator anggota
Gastropoda. Bioakumulasi merkuri pada biota akuatik sangat tinggi di sekitar tambang tetapi
melalui biomagnifikasi akumulasi pada organnisme dengan tingkat tropik lebih tinggi bersifat

toksik. Bioakumulasi berlangsung dari uptake dari perairan melalui insang, jaringan

epitelium, dan dari makanan melalui saluran pencernaan (Heath, 1987; Newman, 1995; Callil
& Junk, 2001; Wolf et al., 2001; Setiabudi, 2005; Herman, 2006; Blackwood & Edinger,
2007; Edinger et al., 2007; Manisseri & Menon, 2006; Liang, 2007; Darmono, 2008; Palar,
2008; Lasut et al., 2010).

2.3 Penelitian yang Terkait
Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya pengaruh logam
berat dalam tubuh suatu organisme. Penelitian yang dilakukan oleh Saputra et al. (2013)
tentang struktur histologis insang dan kadar hemoglobin ikan Asang di Danau Singkarak dan
Maninjau, Sumatera Barat. Hasil yang didapat adalah adanya kerusakan histologi insang
yang dialami oleh ikan Asang di Danau Singkarak dan Manunjau termasuk kategori
kerusakan tertinggi yang meliputi edema, epitel lepas dari jaringan di bawahnya, hiperplasia,
fusi lamela sekunder, hilangnya struktur lamela sekunder, clubbing, dan penebalan tulang
rawan elastis.
Peneliti memilih danau Singkarak dan Danau Maninjau memiliki beberapa perbedaan
mendasar secara geologi dan ekologi. Danau singkarak merupakan danau tektonik (Syandri
dalam Saputra et al. 2013). Perbedaan yang mendasar dari aspek geologis dan ekologis antara
Danau Singkarak dan Danau Maninjau diduga kuat memiliki konsekuensi terhadap spesies
ikan Asang yang hidup di dalamnya. Hal tersebut dapat terjadi karena ikan Asang termasuk
salah satu spesies Cyprinidae yang sensitif terhadap perubahan perubahan kondisi lingkungan

(Moyle & Cech dalam Saputra et al. 2013).
Insang ikan merupakan organ respirasi utama yang bekerja dengan mekanisme difusi
permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida) antara darah dan air. Oksigen
yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh
hemoglobin untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Sedangkan karbondioksida
dikeluarkan dari sel dan jaringan untuk dilepaskan ke air di sekitar insang (Brown, 1962;
Rastogi, 2007 dalam Saputra et al. 2013). Oleh sebab itu, apapun perubahan-perubahan yang
terjadi di lingkungan perairan akan secara langsung dan tidak langsung berdampak kepada
struktur dan fungsi insang serta hemoglobinnya (Saputra et al. 2013).

Penelitian-penelitian tentang struktur dan fungsi insang serta kadar hemoglobin pada
ikan sehubungan dengan analisis kualitas perairan sudah banyak dilakukan. Suparjo (2010)
melaporkan adanya kerusakan insang ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) yang disebabkan
oleh limbah deterjen. Camargo and Claudia (2007) juga menemukan adanya kerusakan
struktur histologi insang Prochilodus lineatus akibat pencemaran air. Laporan Erlangga
(2007) menyatakan bahwa pencemaran logam berat di sungai Kampar Riau telah
meyebabkan perubahan struktur histologi insang ikan Baung (Hemibagrus nemurus). Tilak et
al. (2007) melaporkan adanya perubahan kadar hemoglobin pada Common carp, Silver carp
dan Gross carp akibat adanya paparan terhadap amoniak, nitrit dan nitrat di dalam perairan.
Misaila et al. (2007) juga menemukan bahwa kadar hemoglobin ikan dari famili Cyprinidae

mengalami perubahan secara signifikan pada pergantian musim karena adanya perubahan
faktor fisika kimia air.
Penelitian tentang kerusakan jaringan insang juvenil udang Vaname yang dilakukan
oleh Yudiati et al. 2009 juga merupakan salah satu uji hispatologi terhadap paparan logam
berat Kadmium. Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk menganalisis mortalitas
dan kerusakan jaringan insang udang vaname yang didedah logam kadmium pada salinitas
yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan toleransi udang vaname yang didedah logam
kadmium menurun sejalan dengan penurunan tingkat salinitas. Tingkat toleransi yang rendah
dan kerusakan jaringan terberat terjadi pada udang yang didedah pada salinitas 10 ppt (LC 50 –
96 jam : 1,66 ppt Cd) diikuti berturut turut salinitas 20 ppt (LC 50 - 96 jam : 2,54 ppt Cd), 30
ppt (LC50 – 96 jam : 4,41 ppt Cd) dan 40 ppt (LC50 – 96 jam : 5,16 ppt Cd). Peneliti juga
mengukur salinitas karena salinitas juga dapat mempengaruhi keberadaan logam berat di
perairan, bila terjadi penurunan salinitas karena adanya proses desalinasi maka akan
menyebabkan peningkatan daya toksik logam berat dan tingkat bioakumulasi logam berat
semakin besar (Erlangga, 2007)

Penelitian yang dilakukan oleh Susintowati & Hadisusanto (2014) menujukkan bahwa
adanya Bioakumulasi merkuri pada pankreas Terebralia sulcata dan Nerita argus di
kawasang bekas penggelondongan emas di Sungai Lampon Banyuwangi, Jawa Timur dengan
mengamati histopatologi pankreas menggunakan metode parafin dengan pewarnaan

hematoksilin-ehrlich’s dan Eosin.
Amalgamasi pada proses penggelondongan emas tradisional di muara sungai Lampon
menggunakan Merkuri (Hg). Limbah dibuang langsung ke muara dan lingkungan sekitar.
Walaupun aktivitas penggelondongan emas telah dihentikan, efek cemar Merkuri terhadap
lingkungan termasuk biota terus berlangsung.
Penelusuran bioakumulasi Merkuri menggunakan spesimen Terebralia sulcata yang
hidup di hutan mangrove sekitar lokasi penggelondongan, dan Nerita argus yang hidup di
muara pantai. Spesimen kontrol Terebralia sulcata diambil dari Taman Nasional Alas
Purwo/TNAP sektor Bedul (Mangrove), dan spesimen kontrol Nerita argus diambil dari
Pantai Grajagan. Secara administratif, lokasi penelitian terletak di Kecamatan Pesanggaran,
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dengan letak geografis 8°37’05.39”S - 144°05’11.46”E.
Pengambilan sampel dibagi menjadi 3 site, yaitu site I berada di Mangrove sebelum limbah,
site II di area limbah, dan site III di muara (setelah site II), masing masing berjarak ±30m.

Analisis Merkuri berdasar metode SNI 06-6992.2-2004 menggunakan perangkat
Mercury Analyzer. Hepatopankreas sebagai organ detoksifikasi Merkuri digunakan sebagai
parameter patologis. Hepatopankreas masingmasing spesimen dipreparasi dengan metode
parafin, diwarnai dengan Hematoksilin Ehrlich’s-Eosin untuk pengamatan struktur
mikroskopis.

Bioakumulasi Merkuri dalam tubuh T. sulcata hingga 3,10 ppm, sedangkan dalam
tubuh N. Argus hingga 3,03 ppm. Tampak banyak vesikula residu diduga berisi inklusi
pemadatan elektron dan metalotionin sebagai dampak detoksifikasi ion logam Merkuri dalam
hepatopankreas. Tubulus hepatopankreas N. argus mengalami disintegrasi dan atropi cukup
parah. Walaupun tambang emas di Lampon berskala kecil dan telah ditutup, efek patologis
pencemaran Merkuri terhadap biota terutama Gastropoda sangat signifikan.
Khaisar (2006) meneliti kandungan timah hitam dan kadmium dalam air, sedimen dan
bioakumulasi serta respon histopatologi organ ikan alu-alu di perairan teluk Jakarta. Dari
penelitian yang dilakukan, perairan teluk Jakarta pada waktu penelitian belum

mengindikasikan terjadinya pencemaran oleh logam berat timah hitam dan kadmium. Hal
serupa juga terjadi pada kandungan kedua logam tersebut pada sedimen.
Konsentrasi logam berat timah hitam dan kadmium yang terukur di air lokasi
pengamatan di perairan Teluk Jakarta menunjukkan bahwa kedua logam tersebut sangat
rendah (tidak terdeteksi oleh alat yang digunakan), sehingga masih tergolong aman bagi k
kehidupan biota laut yang ada. Logam berat kadmium di sedimen juga tidak terdeteksi oleh
alat yang digunakan. Sedangkan logam berat timah hitam di sedimen terdeteksi, namun masih
di bawah nilai bakku mutu yang dapat di tolerir untuk kehidupan biota maupun untuk
keseimbangan ekosistem perairan. Logam berat timah hitam dan kadmium yang terdapat
pada organ tubuh ikan alu-alu seperti hati, ginjal, insang, limfa maupun yang terdapat dalam
dagingmenunjukkan tingkat akumulasi cukup tinggi. Timah hitam dalam organ hati sebesar
3.0260 mg/kg, pada insang 3.2258 mg/kg, ginjal 2.8217 mg/kg, daging 3.4483 mg/kg. Akumulasi
tertinggi pada limfa yaitu 9.1241 mg/kg. Kadmium pada hati ikan alu-alu menempati tingkat
tertinggi diantara organ dalam lainnya yaitu 0.2600 mg/kg, pada insang 0.1028 mg/kg, ginjal
0.1418 mg/kg, daging 0.1183 mg/kg, dan limfa 0.0723 mg/kg.
Namun begitu berdasarkan analisa preparat histologi beberapa organ dalam ikan alualu, bahwa kerusakan yang terjadi pada tingkat jaringan merupakan bukti dari terpaparnya
ikan terhadap berbagai jenis kontaminan, salah satunya yaitu logam berat timah hitam dan
kadmium. Jenis kerusakan yang terjadi seperti degenerasi intisel (ginjal), vacuolation (ginjal),
degenerasi miofibril (daging), peradangan sel (ginjal), pendarahan (hati dan limfa).
Penelitian yang dilakukan oleh Triadayani, Aryawati, dan Diansyah (2010) tentang
pengaruh timbal (pb) terhadap jaringan hati ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) juga
termasuk dalam penelitian dengan pemanfaatan histopatologi sebagai bioindikator adanya
suatu logam berat yang mengontaminasi dilihat dari kerusakan organ yang ditimbulkan.
Penelitian ini dilakukan pada Juni sampai Juli 2009.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi hati ikan kerapu bebek akibat
adanya logam timbal (Pb). Jumlah hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebanyak 20 ekor dimana terdapat 5 ekor untuk setiap perlakuan. Terdapat 4 perlakuan
dengan konsentrasi 0 ppm (kontrol), 0,05 ppm,
0,1 ppm dan 0,15 ppm. Gambaran jaringan hati
ikan diperoleh dengan melakukan pembuatan
preparat histologi, menggunakan metode parafin
dan pewarnaan haematoksilin dan eosin. Hasil
penelitian menunjukkan efek toksik timbal
terhadap ikan kerapu bebek, yaitu dengan
adanya kerusakan pada sel hati berupa
degenerasi melemak, degenerasi hidrofik,
hemoragi, kongesti dan nekrosis hepatitis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa logam timbal
(Pb) berpengaruh terhadap struktur jaringan hati
ikan kerapu bebek yaitu dapat menyebabkan
kerusakan pada tingkat ringan sampai berat.

Pemilihan organ hati sebagai bioindikator adanya bioakumulasi logam berat karena
terdapat beberapa keunggulan dari organ tersebut. Hati merupakan organ penting yang
mensekresikan bahan untuk proses pencernaan. Organ ini umumnya merupakan suatu

kelenjar yang kompak, berwarna merah
kecoklatan (Affandi dan Tang, 2002).
Hati merupakan organ yang sangat rentan
terhadap pengaruh zat kimia dan menjadi
organ sasaran utama dari efek racun zat
kimia (toksikan). Sebagian besar toksikan
yang masuk ke dalam tubuh setelah
diserap sel epitel usus halus akan dibawa
ke hati oleh vena porta hati. Organ hati
sangat rentan terhadap pengaruh berbagai
zat kimia dan merupakan organ tubuh
yang sering mengalami kerusakan (Lu,
1995). Pengamatan kerusakan pada hati
dapat dilakukan dengan pengamatan
secara histologi.
Nurdin (2008) menyebutkan bahwa ikan mas yang terpapar pestisida mengakibatkan
hati mengalami nekrosis. Hal ini disebabkan jika lemak tertimbun dalam jumlah yang banyak
sehingga mengakibatkan kematian sel sel hati. Nekrosis diawali dengan terjadinya reaksi
peradangan hati berupa pembengkakakn hepatosit dan kematian jaringan. Tingkat kerusakan
hati dikategorikan menjadi tiga, tingkat ringan yaitu perlemakan hati yang ditandai dengan
pembengkakakn sel. Kerusakan tingkat sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan
tingkat berat ditandai dengan nekrosis (Darmono, 1995).
Menurut Lu (1995) menyatakan bahwa hati sangat rentan terhadap pengaruh zat kimia
dan menjadi organ sasaran utama dari zat beracun. Hal ini terjadi karena sebagian besar racun
atau zat toksik yang masuk ke dalam butuh telah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh
vena porta hati, sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan.
Tridayani et al.(2010) menairik kesimpulan dari penelitiannya bahwa logam timbal
(pb) berpengaruh terhadap struktur jaringan hati ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
yaitu dapat menyebabkan kerusakan berupa regenerasi lemak, degenerasi hidrofik, hemoragi,
kongesti, dan nekrosis hepatitis.
Hemoragi (pendarahan) adalah kondisi yang ditandai dengan keluarnya darah dari
dalam vaskula akibat dari kerusakan dinding vaskula. Kebocoran dinding ada dua macam
melalui kerobekan (per reksis) dan melalui perenggangan jarak antara sel-sel endotel dinding
vaskula (per diapedisis). Hemoragi per diapedisis umumnya terjadi pada pembuluh kapiler.
Hemoragi per reksis dapat terjadi pada vaskuler apa saja, bahkan dapat terjadi bila dinding
jantung robek atau bocor. Kongesti adalah akumulasi abnormal atau berlebihan dari cairan
tubuh.
Penelitian yang dilakukan oleh Prabawa et al. (2014) mengidentifikasi pengaruh
pencemaran logam berat terhadap struktur populasi dan organ tubuh rajungan yang terdapat
pada sedimen teluk jakarta dan sedimen teluk madura. Kadar Pb berkisar antara 48,40 67,7
mg/kg di Teluk Jakarta relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kadar Pb di Madura yang
berkisar antara 2,8 – 15,4 mg/kg. Kadar Cd di Jakarta kurang dari 0,1 mg/kg, relatif lebih
kecil dibandingkan kadar Cd di Madura yaitu 1-2 mg/kg. Kadar Pb di Jakarta lebih tinggi

dibandingkan standart keamanan biota laut yakni antara 30 ppm sedangkan kadar Pb di
Madura masih dibawah ambang batas.
Hasil pengujian statistik, terhadap morfometrik Betina Rajungan Madura dan Jakarta
diperoleh bahwa semua nilai menunjukkan perbedaan nyata, yaitu perbandingan lebar
karapas (CW) dengan panjang karapas (CL), perbandingan panjang (MEL) dan lebar (MEW)
merus, perbandingan panjang manus (MAL) dan dactylus (DAL), penbandingan panjang
(4PL) dan lebar (4PW) kaki jalan ke empat, perbandingan segmen panjang (NDL) dan lebar
(NDW) kaki renang kelima, perbandingan panjang (PL) dan lebar (PW) abdomen.
Secara umum ukuran karapas rajungan di Jakarta lebih kecil dibandingkan di Madura,
dengan Rata-rata ukuran lebar karapas Rajungan Jantan Jakarta 97,5 ± 26 mm. Betina Jakarta
96,6 ± 26,3 mm, Jantan Madura 103,7 ± 23,5 mm dan 105,9 ±22,1 mm.
2.2 Pembuatan Preparat Histopatologi
Menurut Muntiha (2001) untuk membuat preparat histopatologi dibutuhkan bahan
utama berupa jaringan segar yang difiksasi dalam larutan formalin (BNF) 10%. Jaringan
dipotong dan diatur dalam tissue cassetes, didehidrasi secara otomatis dengan mesin
dehidrasi, dikeringkan dengan mesin vaccum, dan diblok dengan cairan parafin, selanjutnya
blok tersebut dipotong 3-5 mikrometer dengan mesin mikrotom dan potongan tersebut
dilekatkan pada kaca obyek. Setelah itu kaca obyek diwarnai secara manual dengan
hematoksilin dan eosin. Pewarnaan tersebut akan memberikan keseimbangan warna biru dan
merah dengan jelas pada jaringan, sehingga komponen sel dapat diidentifikasi dengan jelas.
Bahan yang dibutuhkan yaitu bahan utama berupa potongan jaringan hewan yang
telah difiksasi dengan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%. Larutan yang diperlukan adalah
Ethanol absolute, Xylol, Parafin, Glyserin 99,5%, Ewit (Albumin), larutan hematosiklin,
lithium carbonat, larutan eosin, DPX, dan larutan dekalsifikasi (Untuk jaringan tulang).
Sedangkan alat yang dibutuhkan antara lain, talenan, pisau scalpel, pinset, saringan, tissue
processor otomatis, mesim vaccum, mesin blocking, freezer (-20 °C), mesin microtome,
pisau microtome, waterbath 46 C, kaca obyek, kaca penutup, rak khusus untuk pewarnaan,
oven 60 °C.
Sampel untuk pemeriksaan histopatologi harus segar, artinya jaringan diambil secepat
mungkin setelah hewan tersebut mati. Keterlambatan pengambilan jaringan, terlebih dalam
suhu lapangan yang panas mengakibatkan jaringan cepat menjadi busuk. Apabila di dalam
kelompok hewan yang mati masih ada hewan lain yang sedang sakit, maka dianjurkan untuk
mengambil sampel dari hewan tersebut. Pada jaringan yang mengalami perubahan maka
diambil jaringan pada perbatasan antara jaringan yang sakit (mengalami perubahan) dengan
jaringan yang sehat. Ukuran jaringan yang diambil sekitar 1cm. Jaringan tersebut harus
segera difiksasi. Potongan jaringan yang terlalu besar mengakibatkan jaringan yang terletak
di dalamnya tidak terfiksasi dengan sempurna, sehingga dapat membusuk. Jika jaringan
berupa tulang, maka perlu dilunakkan terlebih dahulu dalam larutan dekalsifikasi dengan
perbandingan antara jaringan dan larutan 1 : 20 dengan waktu perendaman selama 24 jam.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.1.1 Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan untuk mengetahui adanya kontaminasi
logam berat yang mencemari lingkungan dengan cara membuat preparat histologi
dari jaringan yang rusak akibat kontaminasi.
3.1.2 Organ yang biasanya dibuat preparat histopatologi adalah Hepar karena fungsinya
sebagai detoksifikasi racun yang masuk ke dalam tubuh dan insang pada pisces
yang digunakan sebagai organ respirasi.
3.2 Saran
3.2.1 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pengamatan histopatologi
3.2.2 Apabila melakukan penelitian tentang kontaminasi logam berat hendaknya disertai
dengan pemeriksaan histopatologi.

DAFTAR PUSTAKA
Almeida, J. A., Barreto, R. E., Novelli, L. B., Castro, F. J., Moron, S. E. 2009. Oxidative
Stress Biomarkers and Aggressive Behavior in Fish Exposed to Aquatic Cadmium
Contamination. Neotropical Ichtyology. Vol 7. Hlm. 103-108, 2009.
Blackwood, G.M., Edinger. E.N. 2007. Mineraloy and Trace Element Relative Solubility
Patterns of Shallow Marine Sediments Affected by Submarine Tailings Disposal and
Artinasal Gold Mining, Buyat Ratatotok District, North Sulawesi, Indonesia. Environ
Geol. 52:803-818.
Bobocea, A.C., Fertig, E.T., Pislea, M., Seremet, T., Katona, G., Magdalena Mocanu, I.O.,
Doagă, I.O., Radu, E., Horváth, J., Tanos, E,. Katona, L., and Katona, E., 2008.
Cadmium and Soft Laser Radiation Effects on Human T Cells Viability and Death
Style Choices. Romanian J. biophys, Vol. 18. Hlm. 179–193.
Callil, C.T., dan Junk, W.J., 2001. Aquatic Gastropods as Mercury Indicators in the Pantanal
of Pocone Region (Mato Grosso, Brasil). Water, Air, and Soil Pollution. 319:319-330.
Camargo, M. M. P., and B. R. M. Claudia. 2007. Histopathology of Gills, Kidney and Liver
of a Neotropical Fish Caged in an Urban Stream. Neotropical Ichthyology. Vol.5.
No.3. Hlm. 327-336.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta : UI press.
Darmono, 2008. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya dengan Toksikologi
Senyawa Logam. UI-Press. Jakarta.
Edinger, E.N., Raja S.P., Blackwood G.M. 2007. Heavy Metal Concentrations in Shallow
Marine Sediments Affected by Submarine Tailings Disposal and Artinasal Gold
Mining, Buyat Ratatotok District, North Sulawesi, Indonesia. Environ Geol. 52:701714.
Erlangga. 2007. Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar di Provinsi Riau Terhadap Ikan
Baung (hemobagrus hemurus). Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
Flora, S. J. S., 2009. Metal Poisoning: Treatment and Management. Review Article. Al
Ameen. J. Med. Sci. Vol 2. Hlm. 4-26.
Heath, A.G., 1987. Water Pollution and Fish Physiology. CRC Press Inc. Boca Raton.
Florida.
Herman, D.Z., 2006. Tinjauan terhadap Tailing mengandung Unsur Pencemar Arsen (As),
Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) dari Sisa Pengolahan Bijih Logam.
Jurnal Geologi Indonesia. Vol. 1. No. 1. Hlm. 31-36.
Khaisar, O. 2006. Kandungan Timah Hitam (Pn) dan Kadmium (Cd) Dalam Air, Sedimen dan
Bioakumulasi Serta Respon Histopatologi Organ Ikan Alu-Alu (Sphyraena
barracuda) di Perairan Teluk Jakarta. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Lasut, L.T., Yasuda, Y., Edinger, E.N., dan Pangemanan, J.M., 2010. Distribution and
Accumulation of Mercury Derived from Gold Mining in Marine Environment and Its
Impact on Residents of Buyat Bay, North Sulawesi, Indonesia. Water, Air and Soil
Pollution. 208:153-164.

Liang, Y., 2007. Field Assessement of Sediment Toxicities Within a Subtropical Estuarine
Wetland in Hongkong, Using a Local Gastropods (Sermyla tornatella). Bull Environ.
Contam. Toxicol. 78:494-498.
Manisseri, M.K., dan Menon, N.R., 2006. Ultrastructural Aberrasion in the Hepatopancreas
of Metapenaeus dobsoni (Miers) Exposed to Mercury. J. Mar. Biol. Ass. India. 48(1):
89-94.
Misăilă, C., R. M. Elena dan D. Gabriela. 2007. Influence of Thermal and Parasitary Stress
on the Erythtrocytary Hemoglobin (Index M) in Some Culture Cyprinids. Lucrări
Ştiinţifice - 55, Seria Zootehnie: 301-306.
Muntia, M. 2001. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi Dari Jaringan Hewan Dengan
Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (H&E). Temu Teknik Fungsional Non Peneliti.
Bogor : Balai Penelitian Veteriner.
Newman, M.N., 1995. Quantitative Methods in Aquatic Ecotoxicology. Advances in Trace
Substance Research. Lewis Publisher. Boca Raton.
Palar, H., 2008. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Patrick, L. 2003. Toxic Metals and Antioxidants. Part II the Role of Antioxidant in Arsenic
and Cadmium Toxicity – Toxic Metals part II. Alternativer Medicine Review.
Prabawa, E., Riani, E., Wardiatno, Y. 2014. Pengaruh Pencemaran Logam Berat Terhadap
Populasi dan Organ Tubuh Rajungan (Portunus pelagicus, Linn). Jurnal Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Vol. 4. No. 1. Hlm 17-23.
Saputra, H.M., Marusin, N. Santosfo, P. 2013. Struktur Histologis Insang dan Kadar
Hemoglobin Ikan Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di Danau Singkarak dan
Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas. Vol. 2. No. 2. Hlm.
138-144.
Setiabudi, B.T., 2005. Penyebaran Merkuri Akibat Usaha Pertambangan Emas di Daerah
Sangon Kabupaten Kulon Progo DI Yogyakarta. Kolokium Hasil Lapangan- DIM:117.
Suparjo, M. N. 2010. Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Akibat
Deterjen. Jurusan Saintek Perikanan. Vol. 5. No. 2. Hlm. 1-7.
Susintowati & Hadisuwarno. 2014. Bioakumulasi Merkuri Dan Struktur Hepatopankreas
Pada Terebralia Sulcata Dan Nerita Argus (Moluska: Gastropoda) di Kawasan Bekas
Penggelondongan Emas, Muara Sungai Lampon, Banyuwangi, Jawa Timur. J.
Manusia dan Lingkungan. Vol. 21. No. 1. Hlm. 34 – 40.
Tilak, K. S., K. Veeraiah and J. M. P. Raju. 2007. Effects of Ammonia, Nitrite and Nitrate on
Hemoglobin Content and Oxygen Consumption of Freshwater Fish, Cyprinus carpio
(Linnaeus). Journal of Environmental Biology. Vol.28.No. 1. Hlm. 45-47.
Triadayani, A.E., Aryawati, R., Diansyah, G. 2010. Pengaruh Logam Timbal (pb) terhadap
Jaringan Hati Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). Maspari Journal. Vol. 1.
Hlm. 42-47.
Wolf, H.D., Ulomi, S.A., Backeljau, T., Pratab, H.B., dan Blust, R., 2001. Heavy Metal
Levels in The Sediments of Four Dar es Salaam Mangroves Accumulation in, and
Effect on the Morphology of Periwinkle, Littoraria scabra (Mollusca: Gasrtopoda).
Environ. Int.. 26:243-249.

Yudiati, E., Sedjati, S., Enggar I., Hasibuan I. 2009. Dampak Pemaparan Logam Berat
Kadmium pada Salinitas yang Berbeda Terhadap Kerusakan Jaringan Insang Juvenile
Udang Vename (Litopeneus vannamei). Jurnal Ilmu Kelautan. Vol. 14. No. 4. Hlm.
29-35