Hukum Administrasi Negara Kedudukan dan

TUGAS KELOMPOK
MAKALAH HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA DALAM
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Dosen: Pultoni, S.H., M.H.

Disusun oleh:
KELOMPOK 4
1. Deswita Nur Hartini
2. Astatantica Belly Stanio
3. Rarenzan Widita
4. Nada Siti Salsabila
5. Ambar Rukmana Sari
6. Karina Dyandra Putrisari
7. Mita Rahmawitri
8. Ido Tony Veter
9. Rizki Fakhri
10. Nurafni

(1610611128)

(1610611152)
(1610611158)
(1610611159)
(1610611160)
(1610611162)
(1610611165)
(1610611169)
(1610611170)
(1610611173)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam tercurah pada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya hingga
akhir zaman. Alhamdulillah, berkat kemudahan serta petunjuk dari-Nya penulis dapat

menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Administrasi Negara yang berjudul “Makalah
tentang Kedudukan dan Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan” dapat selesai seperti waktu yang telah ditentukan. Tersusunnya makalah ini
tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara
materil dan spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang dapat bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini mungkin masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Seperti
peribahasa “Tak ada gading yang tak retak.” Maka penulis mengharapkan kritik dan saran guna
perbaikan di masa yang akan datang dan dapat membangun kami.

Jakarta, Mei 2017

Penulis

ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR


ii

DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah

5

1.3 Tujuan Masalah 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Pembentukan KASN 6
2.2 Kedudukan, Fungsi, dan Kewenangan KASN 7
2.3 KASN Sebagai Lembaga Penunjang (State Auxiliary Organs) dan sebagai Independent
Supervisiory Bodies
9
2.4 Konsep dan Kebijakan “Lelang Jabatan”
2.5 Pengertian Sistem Merit

13


14

2.6 Kedudukan dan Fungsi KASN dalam Menjamin Terwujudnya Sistem Merit Dalam
Kebijakan dan Manajemen ASN
16
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

22

23

DAFTAR PUSTAKA

24

iii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Aparatur Negara Republik Indonesia terdiri dari 4,7 juta pegawai aparatur sipil
Negara, 360.000 anggota Polri, dan 330.000 anggota TNI.1 Banyaknya jumlah aparatur
Negara Republik Indonesia maka seharusnya semakin besar tanggung jawab pengelolaan
pemerintahan Negara yang bertujuan untuk membantu dan mendukung seluruh sumber
daya manusia aparatur sipil Negara untuk merealisasikan seluruh potensinya sebagai
pegawai pemerintah yang menekankan hak dan kewajiban individual pegawai menuju
perspektif baru yang menekankan pada manajemen pengembangan sumber daya manusia.
Perubahan tersebut memerlukan manajemen pengembangan sumber daya manusia
aparatur Negara agar selalu maju dan memiliki kualifikasi dan kompetensi yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan selaras
dengan berbagai tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia.2
Seiring dengan perkembangan dunia yang demikian pesat, dan seiring dengan
derasnya aspirasi reformasi di dalam negeri, maka peranan penyelenggaraan
pemerintahan dan administrasi publik yang baik menjadi semakin penting. Salah satu
elemen yang penting dalam tata pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah
adanya akuntabilitas, disamping transparasi, penegakkan hukum dan lain sebagainya.

Karena itu fungsi pengawasan merupakan unsur yang sangat penting dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan, pengawasan memiliki peran yang sangat strategis untuk
terwujudnya akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Melalui suatu
kebijakan pengawasan yang komprehensif dan membina, maka diharapkan kemampuan
administrasi publik yang saat ini dianggap lemah, terutama di bidang control pengawasan,
dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam rangka membangun infrastruktur birokrasi yang
lebih baik.3

1

Annisaa, “Pengawasan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam Seleksi Pengisian Jabatan
Pimpinan Tinggi, Yogyakarta 2015 Penulisan Hukum,” (Penulisan Hukum Sarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2015), hlm. 1. Mengutip dari Naskah Akademik
RUU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, hlm. 1.
2
Ibid.
3
Annisaa, op.cit., hlm. 2. Mengutip dari Andika Hardiansyah, “Pengaruh Penagwasan
Fungsional terhadap Kinerja Pemerintah Daerah,” (Skripsi Sarjana Universitas Pasundan,
Bandung, 2010), hlm. 15.


1

Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara
untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik
pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control) Di
samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control). Tuntutan dari
masyarakat yang mengingikan terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dilatarbelakangi karena adanya praktek-praktek yang tidak terpuji yang dilakukan oleh
para penyelenggara pemerintahan. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di kalangan
penyelenggara pemerintah salahs satunya disebabkan oleh kurang efektifnya pelaksanaan
pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas. Beberapa peristiwa politik yang
terjadi di negeri ini membawa dampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
telah menghadirkan kesadaran bagu semua komponen bangsa ini untuk melakukan
perubahan-perubahan yang lebih baik dan tata kelola pemerintahan yang baik. Kesalahan
dan kekhilafan adalah suatu hal yang wajar yang dilakukan oleh setiap manusia. Tidak
terkecuali yang dilakukan oleh aparat pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan.
Seiring


dengan

meluasnya

tugas-tugas

administrasi

dalam

pemyelenggaraan

pemerintahan, semakin besar pula kekuasaan yang diberikan kepada aparat pemerintah
untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut.
Oleh karena itu, diperlukanlah lembaga pengawasan yang fungsinya untuk mencegah,
memberikan peringatan, dan juga menindak atau memperbaiki apabila aparat pemerintah
melakukan

kesalahan,


sehingga

dapat

diminimalisir

terjadinya

kesalahan

dan

penyimpangan yang mengakibatkan kepada kerugian kepada masyarakat ataupun
Negara.Salah satu unsur Negara yang layak mendapat sorotan dan perhatian dalam usahausaha menuju tata kelola pemerintahan yang baik ini adalah aparatur Negara Republik
Indonesia.
Dengan adanya berbagai polemik tersebut mengakibatkan terbentuknya UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang diundangkan pada
tanggal 15 Januari 2014 yang telah membawa harapan baru untuk mempercepat
terciptanya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang profesional, bebas dari intervensi politik,
bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan
publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan

kesatuan bangsa dalam rangka mencapai tujuan nasional.4 Dengan berlakunya undang4

Lihat penjelasan umum UU ASN. Indonesia, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, UU
Nomor 5 Tahun 2014, (LN Nomor 6 Tahun 2014, TLN Nomor 5494).

2

undang tersebut telah terjadi pula perubahan komposisi kelembagaan yang mengurusi
urusan kepegawaian dan sumber daya aparatur negara. Terdapat 4 (empat) lembaga yang
disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut berikut fungsi, tugas, dan
kewenangannya, yaitu Kementerian PAN dan RB, Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Badan Kepegawaian Negara
(BKN).5
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap
warga Negara, hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak
sipil mereka kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup
mereka dalam Negara hukum, Republik Indonesia. Pelayanan kepada masyarakat
(pelayanan publik) dan penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak
terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keadilan kepastian hukum, dan kedamaian.

Good Governance akan dapat terlaksana sepenuhnya apabila ada keinginan kuat (political
will) penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara Negara untuk berpegang teguh
kepada peraturan perundang-undangan.
Namun realitas menunjukkan bahwa dengan adanya harapan terhadap keberadaan
KASN tersebut apabila dibandingkan dengan pengaturan mengenai kedudukan, tugas dan
kewenangan KASN dirasa masih lemah. Misalnya pengaturan menganai kewenangan
pengawasan, yaitu berwenang melakukan pengawasan di tingkat pusat dan di tingkat
daerah, akan tetapi pengaturan tentang kedudukan KASN tidak mendukung pelaksanaan
wewenang tersebut agar menjangkau baik di tingkat pusat maupun daerah, karena KASN
hanya berkedudukan di Ibukota Jakarta.6 Struktur organisasi tersebut, dirasakan akan
menghambat kinerja KASN misalnya dalam melakukan pengawasan pengisian jabatan
pimpinan tinggi pratama di instansi pusat dan instansi daerah mulai dari pembentukan
panitia seleksi sampai pada proses seleksi. Hal tersebut akan menjadi tantangan tersendiri
bagi KASN karena jabatan pimpinan tinggi pratama merupakan jabatan yang dekat
dengan jabatan politik sehingga mau tidak mau akan ada intervensi yang kuat dari pihakpihak lain untuk mengintervensi pengisian jabatan pimpinan tinggi tersebut.
Permasalahan lain sebagai lembaga yang mandiri, KASN tidak mempunyai fungsi
regulatif maupun fungsi penghukuman karena fungsinya hanya melakukan pengawasan
dan merekomendasikan penjatuhan sanksi. Terkesan KASN fungsinya tumpang tindih
5

Lihat Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
Pasal 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
menyebutkan bahwa “KASN berkedudukan di ibu kota negara.”
6

3

atau overlapping dengan lembaga lain yaitu dengan Kementerian PAN dan RB, dengan
Pejabat Pembina Kepegawaian (dalam penjatuhan sanksi) atau bahkan dengan
keberadaan Ombudsman RI.
Dibandingkan dengan lembaga-lembaga sejenis di negara lain misalnya dengan
Australian Public Service Commission (APSC)7 atau dengan Civil Service Commission
(USA), pengaturan pengelolaan manajemen aparatur sipil negara lebih jelas dan tidak
terkesan tumpang tindih bahkan Singapore Public Civil Service Commission telah
dicantumakan dalam konstitusi, sehingga keberadaannya memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dan kuat.
Peran suatu lembaga/badan pengawasan sangatlah penitng untuk menjaga kinerja para
aparatur Negara dalam menjalankan hak dan kewajibannya, hal ini bertujuan untuk
meminimalisir kemungkinan akan terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur
Negara. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan
good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek
penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam
konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance
itu sendiri. Pentingnya melakukan pengawasan terhadap Pegawai Aparatur Sipil Negara
terrutama kepada Pejabat Pimpinan Tinggi karena Pimpinan Tingi merupakan jabatan
yang strategis sehingga harus dijaga profesionalitasnya karena memiliki kemampuan
yang besar untuk mempengaruhi bawahan dan orangorang di sekitarnya untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.
Tidak mengherankan bahwa pelanggaran kerap ditemui di beberapa instansi
pemerintah. Bentuk pelanggaran yang terjadi dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi
antara lain ialah intervensi politik dalam pembentukan Panitia Seleksi, pelanggaran
terhadap jumlah dan komposisi Panitia Seleksi pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi,
intervensi terhadap obyektifitas penilaian calon Pejabat Pimpinan Tinggi, pelanggaran
prosedural proses tahap pelaksanaan seleksi, pelanggaran terhadap sistem seleksi terbuka
dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pilkada dan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi
yang masih menggunakan pola lama dengan mengandalkan Bapperjakat. Oleh sebab itu,
KASN dinilai sangatlah penting sebagai lembaga pengawas aparatur sipil negara agar
tidak terjadi penyimpangan dan penyelewangan jabatan dalam tata kelola pemerintahan.
Berkaitan dengan pokok permasalahan tersebut maka kami mengangkat sebuah topik

7

www.apsc.gov.au, diakses tanggal 12 Mei 2017.

4

makalah dengan judul “Kedudukan dan Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah:
1.

Bagaimana kedudukan dan Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)
dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit?

2. Bagaimana KASN sebagai lembaga penunjang (State Auxiliary Organs) dan sebagai
Independent Supervisiory Bodies?
3. Bagaimana konsep dan kebijakan “Lelang Jabatan”?

1.3 Tujuan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan makalah
ini adalah:
1. Untuk dapat mengetahui mengenai kedudukan dan Kewenangan Komisi Aparatur
Sipil Negara (KASN) dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menjamin
terwujudnya Sistem Merit.
2. Untuk mengetahui mengenai bagaimana peran KASN sebagai lembaga penunjang
(State Auxiliary Organs) dan sebagai Independent Supervisiory Bodies.
3. Untuk memperoleh gambaran mengenai konsep dan kebijakan “Lelang Jabatan”.

5

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Pembentukan KASN
Negara merupakan “gezagsorganisatie”, yaitu sebagai organisasi kewibawaan/
organisasi kekuasaan. Sehingga adanya organisasi dalam negara itu merupakan syarat
mutlak dan jika negara tak ada organisasinya, maka akan menimbulkan anarchie, yang
menurut Jellinek merupakan “Contradictio in objecto”, apabila negara tak memiliki
organ-organ jadi tak sesuai dengan sifat hakekatnya. Jadi dalam hal ini, dalam negara kita
jumpai adanya organ negara atau alat-alat perlengkapan negara.
KASN merupakan sebuah lembaga baru dalam sistem kepegawaian di Indonesia yang
diamanatkan pembentukanya oleh UU ASN. KASN sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 19 UU ASN adalah sebuah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari
intervensi politik. Lebih lanjut dalam Pasal 27 UU ASN menyebutkan bahwa “KASN
merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk
menciptakan Pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan
secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa”.
Keberadaan dari lembaga KASN ini dirasa sangat diperlukan ditengah-tengah
ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesionalisme dari aparatur pemerintahan serta
kinerja birokrasi pemerintah baik di instansi pusat maupun daerah. Salah satu persoalan
mendasar dalam sistem kepegawaian di Indonesia saat ini adalah pekerjaan tempat PNS
mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi yang mulia, harus dihormati,
dijaga, dan dijadikan dasar dalam berbagai kebijakan dan manajemen Sumber Daya
Manusia (SDM). Keadaan inilah yang melatarbelakangi pembentuk undang-undang
untuk mengamanatkan pembentukan KASN dalam UU ASN. Kehadiran KASN dalam
sistem kepegawaian di Indonesia juga dapat memberikan perlindungan kepada PNS yang
selama ini kerapkali menjadi korban dari kesewenang-wenangan pejabat atasan. Terutama
pada instansi daerah seringkali terjadi politisasi terhadap jabatan birokrasi. Banyak
pejabat struktural yang menduduki jabatan tanpa kompetensi serta kemampuan yang
mumpuni melainkan hanya mengandalkan kedekatan dengan kepala daerah selaku
Pejabat Pembina Kepegawaian (selanjutnya disebut PPK). Sehingga prinsip the right man
6

on the right place tidak pernah terwujud. Selain itu proses pengangkatan, pemindahan,
dan pemberhentian PNS dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum juga sering menimpa PNS. Disinilah kemudian KASN memiliki peran yang
sangat strategis dalam rangka menghadang kesewenang-wenangan dari pejabat atasan
sehingga agenda reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud.
Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dibentuknya KASN. Adapun tujuan
dibentuknya KASN, yaitu untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam kebijakan
dan Manajemen ASN; mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera,
dam berfungsi sebagai sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia; mendukung
penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif, efisien, dan terbuka, serta bebas dari
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak
membedakan masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan;
menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya dan masyarakat; dan
mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian kinerja.

2.2 Kedudukan, Fungsi, dan Kewenangan KASN
KASN berkedudukan di ibukota negara. KASN berfungsi untuk mengawasi
pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem
Merit dalam kebijakan dan Manajeman ASN pada Instansi Pemerintah. Untuk
menjalankan semua fungsi dan tugasnya tersebut maka KASN diberikan kewenangan.
Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa KASN berwenang:
a. Mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari
pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi,
pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi;
b. Mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode
perilaku Pegawai ASN;
c. Meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran
norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
d. Memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode
perilaku Pegawai ASN; dan
7

e. Meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan dari Instansi Pemerintah
untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode
perilaku Pegawai ASN.
KASN terdiri dari 7 (tujuh) orang komisioner yang diseleksi secara kompetitif baik
dari unsur pemerintah dan/atau unsur non pemerintah. Setiap warga negara dapat menjadi
anggota KASN apapun latar belakangnya, apakah dari LSM, akademisi, profesional,
birokrat, atau aktifis sepanjang memenuhi persyaratan dapat mencalonkan diri sebagai
anggota KASN.
Untuk menjamin independensi dan netralitas KASN, anggota KASN harus memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU ASN. Pasal 38 ayat (2) UU
ASN menyatakan bahwa “Anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Warga negara Indonesia;
b. Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat mendaftarkan diri sebagai
calon anggota KASN;
d. Tidak sedang menjadi anggota partai politik dan/atau tidak sedang menduduki jabatan
politik;
e. Mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas;
f. Memiliki kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan di bidang manajemen
sumber daya manusia;
g. Berpendidikan paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi negara,
manajemen sumber daya manusia, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan,
dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang memiliki pengalaman di bidang
manajemen sumber daya manusia;
h. Tidak merangkap jabatan pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya; dan

8

i. Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap”.
KASN dalam melaksanakan tugas dan kewenanganya juga dibantu oleh asisten dan
Pejabat Fungsional keahlian. Disamping itu KASN juga dibantu oleh sekretariat yang
dipimpin oleh seorang kepala sekretariat. Untuk percepatan operasionalisasi KASN, telah
diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 118 Tahun 2014 Tentang
Sekretariat, Sistem Dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Tata Kerja, Serta Tanggung
Jawab Dan Pengelolaan Keuangan Komisi Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut
Perpres No. 118). Perpres ini telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Ketua KASN Nomor
1 Tahun 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat KASN.
Eksistensi lembaga seperti KASN sebenarnya sudah ada dalam UU Kepegawaian,
yaitu disebut dengan Komisi Kepegawaian Negara. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13
ayat (3) UU Kepegawaian bahwa untuk membantu Presiden dalam merumuskan
kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ditetapkan dengan Keputusan
Presiden. Dalam penjelasan dari Pasal 13 ayat (3) UU Kepegawaian ini menyebutkan
bahwa Komisi Kepegawaian Negara untuk dapat melaksanakan tugas pokoknya secara
objektif, maka kedudukanya bersifat independen. Kalau kemudian kita bandingkan
dengan KASN yang ada sekarang, maka KASN juga dibentuk sebagai sebuah lembaga
yang independen. Namun karena berbagai faktor, sejak diberlakukannya UU
Kepegawaian sampai dengan dicabutnya Undang-Undang tersebut, Komisi Kepegawaian
Negara sebagaimana dimaksud tidak pernah terbentuk. Hal ini harus menjadi catatan bagi
pemerintah dan seluruh stakeholders untuk bersama-sama mengawal jangan sampai
KASN bernasib sama dengan Komisi Kepegawaian Negara.

2.3 KASN sebagai Lembaga Penunjang (State Auxiliary Organs) dan sebagai
Independent Supervisiory Bodies
Menurut pendapat Jellinek pengertian organ dibagi dalam dua golongan besar yaitu:
1. Alat-alat perlengkapan negara yang langsung (unmittelbare organ)
2. Alat-alat perlengkapan negara yang tak langsung (mittelbare organ)

9

Adapun ukuran langsung atau tidaknya menurut Jellinek, ialah langsung tidaknya
bersumber pada konstitusi atau vervassung. Dalam hal organ-organ yang langsung, maka
apabila organnya tak ada, maka negaranya pun tak ada. Dan mengenai organ yang tak
langsung adanya selalu bergantung pada organ-organ yang langsung.8
Selain itu, untuk melaksanakan fungsi negara maka setiap organisasi negara
memerlukan beberapa alat perlengkapan negara sesuai dengan kebutuhannya masingmasing. Adapun alat perlengkapan negara yang terkecil dalam organisasi negara adalah
jabatan, sehingga negara juga diartikan sebagai organisasi jabatan (ambten organisatie).
Van Vollenhoven mengemukakan bahwa organisasi negara sebaiknya dibagi dalam
empat fungsi dengan lembaga pendukungnya. Keempat fungsi negara tersebut adalah
fungsi Regeling, Bestuur, Rechtspraak, dan Politie. Sedangkan Goodnow membagi tugas
negara dalam fungsi policy making dan policy executing yang bila dihubungkan dengan
teori Rowse akan menimbulkan jabatan politik (political framework) dan jabatan
administratif (administrative framework). Secara keseluruhan pembagian tugas/kerja
dalam organisasi negara dapat dibagi secara vertikal dan horizontal, yang menimbulkan
pembagian kerja secara hierarki dan dalam fungsinya.9
Menurut teori alat perlengkapan negara (Die Saatsorgane), alat perlengkapan negara
bertujuan untuk merealisasikan tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill). Alat
perlengkapan negara dapat disebut dalam ragam istilah, yaitu organ, lembaga, instansi,
institusi tambahan (state auxiliaries), badan-badan independen (independent state bodies
atau self regulatory bodies), state enterprise, dan lain-lain. Secara general, alat-alat
perlengkapan negara ini pada pokoknya dapat diklasifikasikan menjadi, organ yang
bersumber langsung dari konstitusi dan organ yang tidak bersumber langsung dari
konstitusi (derivatif). Kedua jenis organ/lembaga tersebut di atas ada yang diharuskan
untuk independen, tetapi ada yang memiliki keterkaitan fungsional.10
Lembaga dari segi fungsinya ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang
bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hierarkinya lembaga
dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut lembaga tinggi
negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis
8

Ibid.
Penyusun Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara, Ilmu Negara, (Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2001), hlm. 113.
10
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,
(Jakarta: PT. RajaGrafndo Persada, 2005), hlm. 63-64.
9

10

ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat
dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada
pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (state auxiliary organs/auxiliary
institutions).11
Diantara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self
regulatory agencies, independent supervisiory bodies, atau lembaga-lembaga yang
menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif,
dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara
bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut.12
Lembaga negara juga memiliki dasar hukum pembentukan yang berbeda-beda.
Perbedaan dasar hukum pembentukannya menyebabkan terjadinya perbedaan pada
kedudukan lembaga tersebut dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk
di lembaga tersebut. Di tingkat pusat, pembentukan lembaga dapat dibedakan menjadi
empat tingkatan kelembagaan yaitu pertama lembaga yang dibentuk berdasarkan UndangUndang Dasar yang merupakan organ konstitusi. Lembaga ini kemudian diatur lebih
lanjut dalam undang-undang sebagai amanat dari konstitusi, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden. Pengangkatan para anggotanya ditetapkan
dengan Keputusan Presiden sebagai pejabat administrasi negara yang tertinggi. Lembaga
negara tingkat kedua, adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang
merupakan amanat langsung dari UUD ataupun tidak merupakan amanat langsung dari
UUD. Lembaga yang kemudian dibentuk melalui undang-undang ini melibatkan DPR
dan Presiden. Oleh karena itu pemberian kewenangan ataupun pembubaran dan
pengubahan bentuk lembaga-lembaga ini harus melibatkan peran DPR dan Presiden.13
Pada tingkatan ketiga adalah lembaga-lembaga yang sumber kewenangannya murni
dari presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga pembentukannya sepenuhnya
bersumber dari beleid Presiden (Presidential Policy). Artinya pembentukan, perubahan
ataupun pembubarannya tergantung pada kebijakan presiden semata. Pengaturan
mengenai organisasi lembaga negara yang bersangkutan juga cukup dituangkan dalam
Peraturan Presiden yang bersifat regeling dan pengangkatan anggotanya dilakukan
11

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sinar Grafka, cetakan kedua 2012), hlm. vii.
12
Jimly Asshiddiqie, op. cit, hlm. 7.
13
Ibid.

11

dengan Keputusan Presiden yang bersifat beschikking. Kemudian lembaga yang
tingkatannya lebih rendah adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri.
Atas inisiatif menteri sebagai pejabat publik berdasarkan kebutuhan terkait dengan tugastugas pemerintahan dan pembangunan di bidang-bidang yang menjadi tanggung
jawabnya, dapat saja berbentuk badan, dewan, ataupun panitia-panitia yang sifatnya tidak
permanen dan bersifat spesifik.14
Lembaga KASN dapat dikategorikan sebagai lembaga yang tidak bersumber langsung
dari konstitusi (derivatif) dan merupakan merupakan organ pendukung atau penunjang
(state auxiliary organs/auxiliary institutions).15 KASN juga merupakan independent
supervisiory bodies. Sedangkan sebagai lembaga yang berfungsi menjatuhkan hukuman,
KASN hanya berwenang menentukan adanya pelanggaran kode etik dan hanya
berwenang merekomendasikan sanksi. Lebih lanjut akan diuraikan di bawah ini
berdasarkan ketentuan yang mengatur KASN:
a) KASN sebagai lembaga yang tidak bersumber langsung dari konstitusi (derivatif)
Sifat, Tujuan, Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang, serta mengenai struktur
organisasi KASN diatur oleh UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
b) KASN sebagai state auxiliary organs
KASN dapat digolongkan kedalam suatu state auxiliary organ, saat ini di Indonesia
dikenal dengan nama komisi-komisi, lembaga-lembaga Negara atau sejenisnya. 16
Lahirnya lembaga-lembaga tersebut pada umumnya untuk menjawab segala persoalan
dalam masyarakat yang semakin kompleks yang tidak dapat seluruhnya ditangani oleh
tiga lembaga kekuasaan utama dalam konstitusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif
sehingga diharapkan dapat membantu lembaga-lembaga negara utama tersebut. Namun
sebagian

besar

dibentuknya

lembaga-lembaga

penunjang

disebabkan

karena

ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara yang sudah ada, sehingga memicu
munculnya lembaga negara baru yang berperan sebagai pengawas dan mengambil alih
sebagian kewenangan lembaga negara yang ada. Dengan demikian lembaga-lembaga
negara

baru

merupakan

bentuk

eksperimentasi

kelembagaan

(institusional

experimentation) yang dapat berbentuk dewan (council), komisi (commission), komite
14

Ibid., hlm. 52.
Ibid., hlm. vii.
16
Berdasarkan data dari Kementerian PAN dan RB, di Indonesia telah terbentuk 28
lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) dan 88 lembaga non struktural. diakses
dari http://www..au.go.id/daftar-kelembagaan-2, diakses tanggal 9 Mei 2017.
15

12

(commitee), badan (board), otoritas (authority).17 KASN menerima delegasi kekuasaan
dari presiden. Selain itu, KASN merupakan satu dari empat lembaga yang berkaitan
dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 25
ayat (1), Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang
kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN. Pasal (2)
huruf b, untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada KASN, berkaitan dengan
kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk
menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode
etik dan kode perilaku ASN.
c) KASN sebagai independent supervisiory bodies
Berdasarkan amanat UU ASN, esensi komisi ASN dibentuk adalah untuk mendukung
percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi dengan fokus kepada perbaikan manajemen
ASN dan peningkatan kualitas ASN. Oleh karena itu menurut Pasal 27 UU Nomor 5
Tahun 2014, KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari
intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional dan berkinerja,
memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu
bangsa. Pasal 30 KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan
kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN
pada Instansi Pemerintah. Selain itu tugas dan wewenang KASN diatur dalam Pasal 31
dan Pasal 32 UU ASN.

2.4 Konsep dan Kebijakan “Lelang Jabatan”
Konsep “lelang jabatan” atau open recruitment maupun open bidding sebenarnya
bukan hal baru dalam perspektif administrasi publik. Dalam konsep New Public
Management (NPM), metode ini sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara
Barat dan Asia, seperti Singapura dan New Zealand. Kita sering mendengar istilah fit and
proper test dalam hal pengangkatan seseorang kedalam jabatan-jabatan yang tergolong

17

Lukman Hakim, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Cetakan Pertama
(Malang: Setara Press, 2010), hlm. 139.

13

level pimpinan. Demikian halnya dengan konsep “lelang jabatan” ini sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan fit and proper test tersebut.
Tujuannya adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapasitas, kompetensi dan
integritas yang memadai untuk mengisi posisi/jabatan tertentu sehingga dapat
menjalankan tugas yang lebih efektif dan efisien.18 “Lelang Jabatan” merupakan salah
satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena
rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan
dilakukan oleh pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi. Tujuan lain dari
“lelang jabatan” ini adalah untuk mengikis image negatif PNS yang selama ini melekat di
masyarakat, yaitu PNS malas dan berkinerja rendah yang diakibatkan budaya birokrasi
yang masih primordial dan cenderung feodal, budaya dilayani bukan melayani sehingga
membuat PNS berorientasi kekuasaan.19
Euphoria reformasi yang telah membawa perubahan besar dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia dimana salah satunya kepala daerah dipilih secara langsung
oleh rakyat, hal ini secara tidak langsung akan membuat PNS yang ada di daerah menjadi
terkotak-kotak. Kepala Daerah terpilih akan cenderung memilih dan menempatkan orangorang yang menjadi tim pemenanganya untuk duduk dalam jabatan-jabatan struktural di
birokrasi pemerintah daerah.
Namun ketika persyaratan untuk menduduki jabatan ditentukan dengan jelas
prosesnya, terbuka, melalui proses kompetisi terbuka tentunya dapat menghindarkan dari
praktek politisasi birokrasi dan apabila ini dapat lakukan dengan sungguh-sungguh, maka
insentif bagi PNS untuk terlibat dalam politik praktis dalam rangka memenangkan calon
kepala daerah bisa kita hindarkan.20
Disamping itu, apabila pola “lelang jabatan” dilakukan dengan benar, maka akan
dapat mendorong mobilitas PNS antar tingkat pemerintahan dan antar sektor. 21 Berkaitan
dengan kebijakan “lelang jabatan” ini di Indonesia mulai diterapkan dengan
dikeluarkannya S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 yang dalam salah satu
18

Samiaji, 2014, Open Recruitment Pengisian Jabatan Struktural : Pengalaman Dki
Jakarta
dan
Kota
Samarinda,
hlm.
51,
http://inovasi.lan.go.id/uploads/download/1424446500_BungaRampai_6.samiaji.4.pdf,
diakses tanggal 9 Mei 2017.
19
Ibid., hlm. 54.
20
Ibid.
21
Ibid.

14

bagiannya menyatakan bahwa sesuai Grand Design Reformasi Birokrasi yang dipertajam
dengan rencana aksi Program Percepatan Reformasi Birokrasi salah satu diantaranya
adalah Program Sistem Promosi PNS secara terbuka. Sehubungan dengan ketentuan
sebagaimana tersebut di atas, guna lebih menjamin para pejabat struktural memenuhi
kompetensi jabatan yang diperlukan oleh jabatan tersebut, perlu diadakan promosi PNS
atau pengisian jabatan berdasarkan sistem merit dan terbuka, dengan mempertimbangkan
kesinambungan karier PNS yang bersangkutan. Perkembangan terakhir setelah
disahkannya UU ASN maka kebijakan “lelang jabatan” telah diadopsi pula dalam UU
ASN khususnya dalam mekanisme pengisian JPT sebagaimana diatur dalam BAB IX UU
ASN mulai dari Pasal 108 sampai dengan Pasal 115.

2.5 Pengertian Sistem Merit
Lahirnya UU ASN dianggap sebagai keberhasilan reformasi birokrasi yang membawa
perubahan mendasar dalam manajemen sumber daya ASN. Perubahan tersebut membawa
konsekuensi bahwa pegawai ASN merupakan suatu profesi yang memiliki kewajiban
untuk melakukan pengembangan diri dan wajib mempertanggungjawabkan kinerja serta
menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen ASN.
Selama ini kita mengenal sistem merit diterapkan di kalangan birokrasi. Sistem ini
menekankan kepada profesionalisme bagi pengisian jabatan-jabatan birokrasi. Seseorang
yang mempunyai kompetensi dan keahlian sesuai yang dibutuhkan oleh suatu jabatan
bisa diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Cara semacam ini lazimnya
dipergunakan untuk memilih seseorang untuk jabatanjabatan karier birokrasi, semisal
dirjen, sekjen, deputi, kepala biro, dan lain sebagainya.22
Secara normatif pengertian dari sistem merit dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka
22 UU ASN. Pasal 1 angka 22 UU ASN menyatakan bahwa “Sistem Merit adalah
kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna
kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan”.
Sistem Merit (Merit System) merupakan salah satu sistem yang terdapat dalam
administrasi kepegawaian. Secara teoritik sistem merit berdasarkan atas jasa kecakapan
seseorang pegawai dalam usaha mengangkat dan mendudukan pada jabatan tertentu.
22

Miftah Thoha, 2012, Birokrasi & Politik di Indonesia, Cet. 9, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.
107.

15

Sistem ini lebih bersifat objektif, karena dasar pertimbangan kecakapan yang dinilai
secara objektif dari pegawai yang bersangkutan.=Karena dasar pertimbangan seperti ini
yang berlandaskan pada jasa kecakapan, maka acapkali sistem ini di Indonesia dinamakan
sistem jasa. Penilaian objektif tersebut, pada umumnya ukuran yang dipergunakan ialah
ijasah pendidikan.23
Adapun lawan dari sistem merit adalah sistem patronit (Patronage System) atau yang
biasa dikenal dengan spoil system. Penjelasan mengenai spoil system ini penting untuk
dijelaskan sekedar untuk membandingkan dengan sistem merit dalam rangka
memperdalam pemahaman terhadap sistem merit tersebut.
Sistem patronit ini di Indonesia dikenal sebagai sistem kawan, karena dasar
pemikiranya dalam rangka melakukan kegiatan administrasi kepegawaian berdasarkan
kawan. Dalam sistem ini kurang memperhatikan keahlian dan keterampilan seorang
pegawai.24 Seorang pegawai untuk dapat menduduki suatu jabatan maka yang menjadi
pertimbangan adalah kedekatan karena yang bersangkutan masih kawan dekat, sanak
famili, dan ada juga karena daerah asal yang sama. Sistem kawan ada yang atas dasar
perjuangan politik. Karena berasal dari satu aliran politik, ideologi, dan keyakinan maka
seorang pegawai yang mulanya tidak mempunyai keahlian dan keterampilan bisa
menduduki jabatan dan tugas tertentu dalam birokrasi pemerintahan. 25 Sistem kawan atas
dasar kesamaan politik inilah yang kemudian kita kenal dengan spoil system.
Istilah ini pada mulanya dikenal ketika presiden Amerika Serikat yang ketujuh
Andrew Jackson mengadakan pergantian pejabat/pegawai dalam pemerintahanya secara
besar-besaran. Pejabat yang bukan dari golongan partainya diganti dan kemudian
didudukan pejabat-pejabat dari partainya. Karena keadaan semacam ini senator William
L. Marcy (New York) melontarkan sindiran dengan ucapanya yang terkenal: “to the
victor belong the spoils of war” (kepada pemenanglah semua rampasan perang ini
dikuasai). Dari istilah spoils atau rampasan ini maka dalam sistem kepegawaian yang
mengikuti tindakan Andrew Jackson ini dinamakan sistem spoil (spoil system).26
2.6 Kedudukan dan Fungsi KASN dalam Menjamin Terwujudnya Sistem Merit dalam
Kebijakan dan Manajemen ASN

23
24
25
26

Ibid., hlm. 25.
Miftah Thoha II, op.cit., hlm. 24.
Ibid.
Ibid.

16

Dalam sistem ketatanegaraan, keberadaan lembaga-lembaga independen tersebut
pelembagaannya harus disertai dengan kedudukan dan peranan (role) serta mekanisme
yang jelas, sehingga menurut Purnandi dan Soerjono Soekanto, perlu adanya status atau
kedudukan yang menjadi subjek dalam negara mencakup lembaga atau badan atau
organisasi, pejabat, dan warga negara. Sementara itu peranan (role) mencakup kekuasaan,
public service, kebebasan/hak-hak asasi, dan kewajiban terhadap kepentingan umum.27
Menurut Soerjono Soekanto, suatu kedudukan atau status merupakan suatu posisi dalam
sistem sosial dan biasanya senantiasa menunjuk pada tempat-tempat secara vertikal.
Namun, di dalam masyarakat diperlukan status yang ajeg (regelmatig) karena status yang
ajeg (regelmatig) akan menjamin stabilitas-stabillitas pada masyarakat sederhana. Dengan
demikian, posisi yang pasti dan ajeg dari suatu lembaga akan berpengaruh terhadap
stabilitas. Mengenai peranannya (role), Soerjono Soekanto mengkategorikan berbagai
peranan dalam masyarakat menjadi tiga, yaitu: peranan yang diharapkan dari masyarakat,
peranan sebagaimana dianggap oleh masing-masing individu, peranan yang dijalankan di
dalam kenyataan. Dalam praktik ketatanegaraan, kedudukan dan peranan yang dimiliki
dan dijalankan masing-masing lembaga dan pejabatnya akan berpijak dari konsepsikonsepsi di atas. Dengan demikian, yang dimiliki dan dijalankan oleh lembaga tersebut
adalah sejauh kedudukan dan peranan yang ada padanya.28
Sendi-sendi pemerintahan adalah bagaimana menyelenggarakan pemerintahan dalam
suatu negara dengan cara yang lebih baik dan lebih efisien. 29 Dalam teori kenegaraan
dikenal dengan istilah Ratio Gubernandi. Menurut Scott dan Hart, pembaruan (dalam
bidang organisasi administrasi) tidak akan datang dari orang-orang yang penting karena
tak sesuai dengan kepentingan mereka untuk menjadi pencetus-pencetus pembaruan.
Scott dan Hart juga mengenyampingkan orang-orang yang tidak penting (dalam arti tidak
punya kekuasaan), karena mereka adalah kelompok yang paling banyak memperoleh
keuntungan sebagai pekerja dalam organisasi modern, dan karena mereka “terus-menerus
27

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara
Indonesia, PT. RajaGrafndo Persada, 2005), hlm. 219.
28
Soerjono Soekanto dalam Ni’matul Huda, op. cit, hlm. 220.
29
Bandingkan dengan teori administrasi negara, yang menyatakan bahwa administrasi
negara yang konvensional dan klasik mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: 1.
Bagaimana kita dapat menyediakan pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik dengan
sumber-sumber daya yang tersedia (efsiensi)) 2. Bagaimana kita dapat
mempertahankan tingkat pelayanan kita namun dengan mengeluarkan lebih sedikit
uang (ekonomi)) Bandingkan pula dengan teori administrasi negara baru yang
menambahkan pertanyaan: Adakah pelayanan ini meningkatkan keadilan sosial) Scott
dan Hart dalam H. George Frederickson, Administrasi Negara Baru, (Jakarta: LP3ES,
1984), hlm. 58.

17

diangkat-angkat” tentang nasib baik mereka yang mampu mengkonsumsi arus produk
konsumsi yang tidak pernah berakhir. Scott dan Hart akhirnya menyimpulkan
“kepraktisan

pembaruan

oleh orang-orang professional”30

Leonard

D. White:

Administrasi negara bisa efektif hanya apabila ia mengintegrasikan teori pemerintahan
dengan teori administrasi.31
Pembentukan KASN pada dasarnya memiliki kewenangan yang sebenarnya sudah
dilakukan oleh lembaga yang telah ada. Misalnya tugas kaitannya dengan pelaksanaan
norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN. Selain itu, pada Pasal 32 ayat (2) UU
ASN disebutkan bahwa KASN berwenang memutuskan adanya pelanggaran kode etik.
Padahal selama ini, hal tersebut telah dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan
penerapan sanksi kode etik oleh Majelis Kehormatan Kode Etik Berdasarkan Pasal 1
angka 3 PP Nomor 42 Tahun 2004 Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri
Sipil, Majelis Kehormatan Kode Etik PNS yang selanjutnya disingkat Majelis Kode Etik
adalah lembaga non struktural pada instansi pemerintah yang bertugas melakukan
penegakan pelaksanaan serta menyelesaikan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
PNS untuk memperoleh objektivitas dalam menentukan seorang PNS yang melanggar
kode etik, maka pada setiap instansi dibentuk Majelis Kode Etik yang pembentukannya
ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2).
Dalam hal penjatuhan sanksi, KASN mempunyai peranan yang lemah bahkan bisa
dikatakan tidak ada, karena berdasarkan Pasal 33 ayat (1) dalam penjatuhan sanksi bagi
Pejabat Pembina Kepegawaian yang melanggar prinsip sistem merit dan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kewenangan KASN hanya sebatas merekomendasikan.
Sifat rekomendasi tersebut hanyalah dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Presiden
untuk menjatuhkan sanksi.
Dalam hal pembentukan peraturan untuk pelaksanaan mejaga terlaksananya sistem
Merit, lembaga KASN tidak berwenang sama sekali karena KASN hanya melaksanakan
kebijakan yang telah digariskan oleh Kementerian PAN dan RB. Komisi harus
berpedoman kepada kebijakan-kebijakan dibidang pendayagunaan pegawai ASN yang
dikeluarkan oleh Menteri PAN dan RB dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri diantaranya meliputi penyusunan kebijakan
rencana kerja KASN, LAN, dan BKN dibidang manajemen ASN.32 Oleh karena itu,
30

Scott dan Hart dalam H. George Frederickson, op. cit., hlm. 180-181.
H. George Frederickson op. cit., hlm. 2.
32
Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara.
31

18

Komisi tidak dapat bertindak secara independen keluar dari kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh Menteri PAN dan RB.
Walaupun demikian, latar belakang dibentuknya KASN dipengaruhi oleh pelaksanaan
dalam pola perekrutan jabatan pimpinan tinggi, maupun mengenai perilaku PNS selama
ini yang dirasa sangat tidak bermoral, dan tidak berjalan dengan baik serta tidak
mencerminkan reformasi. Melihat kenyataan yang demikian, pembentukan KASN adalah
hal yang perlu apabila dikaitkan dengan Firmansyah Arifin, yang menyatakan bahwa ada
beberapa hal yang menjadi inti dan mempengaruhi banyak pembentukan komisi negara.
Hal-hal tersebut berupa:33
1. Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat asumsi adanya
korupsi yang sistematik, mengakar, dan sulit diberantas.
2. Tidak independenya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu sama lain hanya
tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lainya.
3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang ada untuk melakukan tugas-tugas
yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan
KKN.
4. Pengaruh global, dengan pembentukan apa yang dinamakan auxuliary organ state
agency atau watchdog institution di banyak negara.
5. Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai prasyarat untuk
memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya
jalan bagi negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan otoriter.
Komisi ASN yang dibentuk melalui undang-undang bersifat mandiri dan independen
dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak dapat dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan yang bersifat politis sebagaimana yang pernah terjadi pada
masa orde baru yang telah menyuburkan praktek-praktek KKN. Berdasarkan pada konsep
penyelenggaraan pemerintahan dengan prinsip checks and balances, maka Komisi ASN
melaksanakan kewenangannya dengan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan dan manajemen ASN untuk menjamin terwujudnya sistem merit serta
pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN.
Menurut Hendra Nurtjahjo, semakin kompleks kegiatan kenegaraan modern, maka
semakin banyak lembaga atau alat perlengkapan yang dibutuhkan. Alat perlengkapan atau
lembaga yang di-create melalui konstitusi seringkali tidak lagi mampu menampung
33

Firmansyah Arifn, et al., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara, Dikutip dari Gunawan A.Tauda, Komisi Negara Independen, Cetakan Pertama
(Yogyakarta: Genta Press, 2012), hlm. 89

19

tugas-tugas spesifik yang umumnnya membutuhkan independensi dan profesionalitas
dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, bentukan alat perlengkapan atau organ
(lembaga) baru merupakan condition sine qua non bagi pertumbuhan negara pada era
milenium ketiga ini.34
Pengalaman praktik di banyak negara menunjukan bahwa tanpa adanya desain yang
mencakup dan menyeluruh mengenai kebutuhan akan pembentukan lembaga-lembaga
negara tersebut, yang akan dihasilkan bukan efisiensi tapi malah semakin inefisien dan
mengacaukan fungsi antar lembaga negara itu sendiri dalam mengefektifkan dan
mengefisienkan pelayanan umum (public services). Apalagi, jika negara-negara yang
sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap penyakit inferiority complex
yang mudah kagum untuk meniru begitu saja apa yang dipraktikan di negara maju tanpa
kesiapan sosial budaya dan kerangka kelembagaan dari masyarakatnya untuk menerapkan
ide-ide mulia yang datang dari dunia lain itu.35
Selain itu apabila melihat pengaturan KASN yang dinilai masih lemah, maka yang
dikedepankan sebenarnya seperti teori yang dikemukakan Lawrence M. Friedman
mengenai 3 (tiga) komponen sistem hukum, yaitu komponen struktur, komponen
substansi, dan komponen kultur.
Menurut Lawrence M. Friedman, hukum dapat efektif berlaku karena ditunjang oleh
adanya substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Lebih tajam, Lawrence
Friedman menyatakan, “Legal systems do not float in some cultural void, free of space
and time and social context; necessarily, they reflect what is happening in their own
societies. In the long run, they assume the shape of these societies, like a glove that molds
itself to the shape of a person’s hand.”36 (Sistem hukum tidak mengambang dalam
kehampaan budaya, bebas ruang dan waktu dan konteks sosial, niscaya, mereka
mencerminkan apa yang terjadi dalam masyarakat mereka sendiri. Dalam jangka panjang,
mereka mengasumsikan bentuk dari masyarakat, seperti sarung tangan yang cetakannya
sendiri dengan bentuk tangan seseorang)37 Dalam praktik kehidupan bernegara, berbangsa
34

Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,
(Jakarta: PT. RajaGrafndo Persada, 2005), hlm. 65.
35
Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm. 297.
36
Lawrence Friedman, Borders: On the Emerging Sociology of Transnational Law,
Stanford Journal of International Law 32, 1996: 72, dalam Widodo Dwi Putro, “Tinjauan
Kritis-Filosofs Terhadap Paradigma Positivisme Hukum,” (Disertasi Doktor Universitas
Indonesia, Jakarta, 2011), hlm. 15.
37
Senada dengan Lawrence Friedman, pemikir legal realism Oliver Wendell Holmes
mengatakan,”this abstraction called the law, where in, as in a magic mirror, we see
refected, not only our own lives, but the lives of all men that have been.” (abstraksi ini
disebut hukum, di mana, sebagaimana dalam sebuah cermin ajaib, kita melihati

20

dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatic) dimensi kultur seyogyanya
mendahului dua dimensi lainnya, karena dalam dimensi lainnya, tersimpan seperangkat
nilai (value system).38 Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan
(policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai ramburambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang
diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang
bersangkutan.
Pada prinsipnya, konsekuensi yang dimaksud adalah konsekuensi filosofis, yang
mana pada perumusan kebijakan dan hukum itu adalah universal, namun dalam praktek di
antara ket