DINAMIKA KONTEMPORER SENGKETA LAUT CINA

DINAMIKA KONTEMPORER SENGKETA
LAUT CINA SELATAN
Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Selama 2011, perkembangan lingkungan strategis dalam sengketa Laut Cina Selatan
berjalan dengan sangat dinamis. Akibat dinamisnya perkembangan tersebut, pada satu sisi
memunculkan harapan adanya langkah maju dalam mencari penyelesaian secara damai sengketa
di perairan tersebut, namun di sisi lain melahirkan pula pesimisme akan kemampuan negaranegara yang berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa itu secara damai. Bahkan,
perkembangan seputar sengketa Laut Cina Selatan pada 2011 membuat situasi lebih kompleks
yang pada akhirnya mempengaruhi pula arah penyelesaian sengketa di tahun-tahun mendatang.
Terkait hal tersebut, tulisan ini akan mengulas tentang dinamika kontemporer sengketa
Laut Cina Selatan dalam kerangka waktu 2011. Melalui ulasan tersebut, diharapkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang berkepentingan dengan Laut Cina Selatan meskipun tidak
berstatus sebagai negara pengklaim, dapat menentukan sikap pada tahun-tahun mendatang
merespon dinamika yang terjadi. Seiring dengan makin kompleksnya situasi di wilayah sengketa,
meskipun pada kebijakan garis besar tidak perlu ada perubahan sikap terhadap kebijakan yang
selama ini telah ditetapkan dan dianut, akan tetapi perlu penyesuaian pada skala minor.
2. Dinamika Kontemporer
Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam setahun terakhir berkembang
dengan sangat dinamis. Ketika Cina yang mengklaim seluruh wilayah perairan Laut Cina Selatan
semakin asertif dalam menegaskan klaimnya, negara-negara lain pun tidak mau kalah dalam

menegaskan kepentingannya di wilayah sengketa itu. Baik negara-negara yang berstatus
pengklaim maupun negara yang bukan pengklaim. Akibatnya, sampai pada tingkat tertentu
terjadi ketegangan hubungan antar negara-negara yang berkepentingan, baik pada ranah
diplomatik maupun ranah operasional di lapangan. Semisal protes Cina terhadap latihan militer
Angkatan Laut Amerika Serikat di Laut Cina Selatan bersama dengan Angkatan Laut Filipina
dan insiden antara kapal patroli Cina dengan kapal survei geologi Vietnam.
Menurut hasil analisis penulis, selama 2011 terdapat sejumlah dinamika di Laut Cina
Selatan yang akan mewarnai dan mempengaruhi arah sengketa itu di masa depan. Dinamika itu
mencakup sebagai berikut:
Pertama, sikap Cina. Cina sebagai negara yang mengklaim seluruh wilayah perairan Laut
Cina Selatan bersikap semakin keras dan cenderung menolak akomodatif dalam sengketa Laut
Cina Selatan. Sikap tersebut ditunjukkan baik pada tataran politik maupun operasional di

lapangan, misalnya dalam insiden dengan kapal survei geologi Vietnam. Begitu pula dalam
kasus komunikasi antara kapal perang India yang tengah berlayar di Laut Cina Selatan dengan
kapal perang Cina, di mana nada pertanyaan dari kapal perang Cina bersifat menantang.
Berdasarkan diskusi penulis dengan beberapa ahli strategi Cina, negeri itu memandang
bahwa Laut Cina Selatan adalah suatu hal yang tidak bisa dikompromikan dan Cina akan
menggunakan segala cara yang tersedia untuk mengamankan kepentingannya di sana. Menurut
mereka, situasi di Laut Cina Selatan kini semakin memburuk seiring adanya upaya

internasionalisasi dan keterlibatan kekuatan luar kawasan di wilayah sengketa itu. Sehingga Cina
kini secara resmi menggunakan terminologi “krisis Laut Cina Selatan” daripada “sengketa Laut
Cina Selatan” sebagaimana dipergunakan secara umum di kawasan Asia Pasifik. Pandangan para
ahli strategi Cina yang berasal dari 1.5 track tersebut pada dasarnya mencerminkan sikap resmi
pemerintah Cina.
Kedua, peran kekuatan ekstra kawasan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan-kekuatan
ekstra kawasan memiliki kepentingan geopolitik terhadap Laut Cina Selatan. Walaupun
kepentingan mereka yang senantiasa digaungkan terkait dengan sengketa Laut Cina Selatan
adalah kebebasan bernavigasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kepentingan vital
kekuatan ekstra kawasan adalah mewaspadai kebangkitan Cina, termasuk di bidang militer.
Setidaknya terdapat tiga kekuatan ekstra kawasan yang dewasa ini bermain di Laut Cina Selatan,
yaitu Amerika Serikat, Jepang dan India di mana ketiga negara itu bersama dengan Australia
tergabung dalam Quadrilateral Initiative.
Sementara Amerika Serikat dan India terus bermanuver di Laut Cina Selatan dalam aspek
politik, ekonomi dan militer, Jepang pun tak ketinggalan melalui inisiatif East Asia Maritime
Forum (EAMF) lewat lobi-lobi ke sejumlah negara kunci di kawasan, termasuk Indonesia. Dapat
diprediksi EAMF nantinya akan menjadi pintu masuk bagi Jepang khususnya untuk terlibat aktif
dalam sengketa Laut Cina Selatan lewat isu keamanan maritim. Meningkatnya manuver ketiga
negara memunculkan perhatian mendalam dari Cina yang memandang manuver tersebut
ditujukan terhadapnya.

Ketiga, peran ASEAN. ASEAN dan Cina pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 19
Juli 2011 telah menyepakati kerangka acuan penyusunan code of conduct di Laut Cina Selatan.
Kerangka acuan itu penting agar ASEAN dan Cina bisa mencapai kesepakatan tentang code of
conduct sebagai turunan dari Declaration of Conduct (DOC) of Parties on the South China Sea.
Penting untuk dipahami bahwa kesepakatan tentang kerangka acuan tidak mudah karena sikap
Cina yang selama ini cenderung tidak akomodatif terhadap usulan-usulan dari negara-negara lain
guna menyelesaikan sengketa itu secara damai.
Meskipun kesepakatan tentang kerangka acuan merupakan kemajuan dalam penanganan
sengketa Laut Cina Selatan, akan tetapi perlu dipahami bahwa kerangka acuan tersebut tidak
bersifat mengikat. Kondisi demikian memberikan peluang kepada negara yang merasa
kepentingannya kurang terakomodasi dalam penyusunan code of conduct nantinya untuk
menarik diri secara unilateral. Artinya, masih terbuka kemungkinan terjadinya kebuntuan dalam
penyusunan code of conduct nantinya.

Keempat, peran perusahaan energi multinasional. Perusahaan energi multinasional
sebagai aktor non negara mempengaruhi pula dinamika kontemporer di Laut Cina Selatan.
Langkah beberapa perusahaan energi multinasional seperti Exxon Mobil, Total dan Premier Oil
yang bekerjasama dengan negara-negara pengklaim seperti Vietnam untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi minyak dan gas bumi di zone ekonomi eksklusif negara mitra di Laut Cina
Selatan telah memunculkan reaksi keras dari Cina. Begitu pula dengan ekspansi perusahaan

energi India ONGV Vides yang bermitra dengan Vietnam untuk hal serupa di Laut Cina Selatan.
Menurut pandangan Cina, perusahaan energi multinasional harus menjauhkan diri
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di perairan itu sampai sengketa bisa diselesaikan. Sebab
kegiatan mereka dinilai merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara itu. Adapun bagi
negara-negara pengklaim seperti Vietnam dan Filipina, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
tersebut guna memperkuat klaim mereka secara politik. Terlebih lagi perusahaan-perusahaan
multinasional itu berasal dari sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, Prancis dan Inggris
yang selama ini pemerintahannya dikenal senantiasa melindungi kepentingan bisnis perusahaanperusahaan mereka di luar negeri.
3. Kecenderungan Sengketa
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sengketa Laut Cina Selatan merupakan suatu
hal yang rumit, di antaranya karena sikap sepihak Cina yang cenderung tidak mau kompromistis.
Sikap demikian dipandang bukan saja berpengaruh terhadap kepentingan negara-negara
pengklaim lainnya, tetapi juga terhadap kepentingan kekuatan-kekuatan ekstra kawasan.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum sebab akibat senantiasa berlaku dalam
hubungan segitiga antara Cina, negara-negara pengklaim lainnya (ASEAN) dan Amerika Serikat
(dan sekutunya). Situasi ini akan terus menciptakan ketidakpastian keamanan di kawasan,
walaupun ketidakpastian itu sampai pada tingkatan tertentu justru menguntungkan pihak-pihak
terkait. Bertolak dari dinamika kontemporer Laut Cina Selatan selama 2011, terdapat beberapa
kecenderungan yang perlu diperhatikan oleh Indonesia.
Pertama, tantangan terhadap status quo. Perkembangan mutakhir di Laut Cina Selatan

menunjukkan kecenderungan menguatnya upaya-upaya dari pihak tertentu untuk mengakhiri
status quo yang sejak awal 1990-an berlaku. Ada kecenderungan bahwa tindakan Cina yang
semakin asertif dalam menegaskan klaimnya terhadap seluruh wilayah Laut Cina Selatan
memunculkan reaksi balasan dari negara-negara lain yang juga mempunyai klaim di sana
sehingga kondisi ini dapat dipandang sebagai upaya mengakhiri status quo.
Situasi yang terjadi di Laut Cina Selatan merupakan tantangan terhadap status quo.
Walaupun bagi sebagian besar negara yang berkepentingan di perairan itu menilai bahwa
mempertahankan status quo adalah cara terbaik yang dapat dilakukan saat ini untuk mencegah
konflik, akan tetapi tidak dapat dipungkiri adanya upaya Cina untuk mengakhiri status quo yang
ada saat ini dan menciptakan status quo baru. Tentu saja status quo baru dipandang akan
menguntungkan Cina sekaligus mungkin akan mengkonfirmasikan tuduhan-tuduhan pihak lain
akan hegemoni Cina. Upaya Cina tersebut oleh negara-negara lain yang berkepentingan
dipandang pula sebagai tindakan yang dapat mengancam stabilitas kawasan.

Kedua, inkonsistensi diplomasi dan operasional di lapangan. Karena ada upaya untuk
mengakhiri status quo saat ini dan menciptakan status quo baru, berarti menandakan adanya
inkonsistensi pada tataran diplomasi dengan operasional di lapangan. Cina yang pada setiap
forum internasional menyerukan perdamaian di kawasan, termasuk menyangkut sengketa Laut
Cina Selatan, dalam prakteknya di lapangan mengambil tindakan-tindakan yang bertolak
belakang. Alih-alih membuat status quo terjaga, negara itu melakukan tindakan-tindakan yang

dipandang asertif sehingga memancing reaksi atau tindakan balasan dari negara-negara
pengklaim lainnya.
Inkonsistensi Cina ini pula yang melahirkan keraguan banyak pihak di kawasan akan
sikap Cina terhadap penyelesaian sengketa secara damai. Sikap inkonsistensi itu dapat dikaitkan
dengan terus menguatnya kemampuan militer Cina, termasuk People Liberation Army-Navy
(PLAN). Sangat mungkin inkonsistensi tersebut sebagai bagian dari upaya Cina untuk to test the
waters, suatu tindakan yang justru dilakukan ketika Cina sudah terikat dengan Treaty of Amity
and Cooperation (TAC) ASEAN. Salah satu butir penting TAC adalah penyelesaian perbedaan
atau sengketa secara damai dan mengutuk penggunaan ancaman atau penggunaan kekuatan.
Ketiga, sikap dan keutuhan ASEAN. Peran kekuatan ekstra kawasan dalam sengketa Laut
Cina Selatan tidak dapat dilepaskan pula dari “undangan” terselubung beberapa negara ASEAN
yang berstatus pengklaim yang bersambut karena kekuatan-kekuatan ekstra kawasan juga
memiliki kepentingan terkait Laut Cina Selatan. Munculnya “undangan” tersebut pada dasarnya
didasari oleh ketidakyakinan beberapa negara ASEAN yang berstatus pengklaim akan sikap dan
keutuhan ASEAN menghadapi asertivitas Cina. Memang negara-negara ASEAN terikat pada
DOC Laut Cina Selatan, akan tetapi sulit dipungkiri pula tentang soliditas ASEAN guna
menghadapi Cina.
Seperti diketahui, ada beberapa negara ASEAN tertentu yang mempunyai kedekatan
dengan Cina, sehingga diragukan solidaritasnya terhadap negara-negara ASEAN lainnya apabila
situasi di Laut Cina Selatan menjurus pada krisis atau bahkan konflik. Vietnam dan Filipina

selama 2011 merupakan negara yang aktif menegaskan sikapnya terhadap klaim sepihak Cina,
sehingga tak aneh kalau kedua negara mendapat perhatian khusus dari Cina. Sikap kedua negara
ASEAN itu tidak lepas dari dukungan diam-diam dari kekuatan ekstra kawasan, walaupun
Vietnam secara tidak memiliki perjanjian aliansi pertahanan dengan kekuatan ekstra kawasan
yang selama ini aktif berperan di Laut Cina Selatan. Selain itu, antar negara ASEAN yang
terlibat sengketa pun masih berbeda pendapat soal garis batas klaim masing-masing, misalnya
antara Malaysia dan Filipina.
Keempat, multilateralisasi sengketa. Dinamika kontemporer di kawasan Asia Pasifik
selama 2011 menunjukkan bahwa upaya multilateralisasi penyelesaian sengketa Laut Cina
Selatan menjadi arus utama dan hal ini bertolak belakang dengan kepentingan Cina yang hanya
mau berunding secara bilateral. Menguatnya multilateralisasi penyelesaian sengketa membuat
Cina melancarkan tuduhan adanya upaya internasionalisasi Laut Cina Selatan, suatu tuduhan
yang dapat dibantah kebenarannya kalau memperhatikan dengan seksama aktor-aktor negara
yang akan terlibat langsung dalam penyelesaian sengketa itu.

Mengingat bahwa ASEAN dengan Indonesia sebagai salah satu aktor kunci dalam
menggiring arah penyelesaian sengketa, kekuatan-kekuatan ekstra kawasan berupaya membawa
isu sengketa itu ke forum multilateral. Dorongan Jepang yang mencari dukungan Indonesia bagi
terbentuknya EAMF merupakan bentuk lain dari multilateralisasi Laut Cina Selatan, walaupun
forum itu nantinya lebih sebagai wadah untuk menekan Cina. Makin menguatnya

multilateralisasi sengketa Laut Cina Selatan menunjukkan kegagalan diplomasi Cina untuk
menjadikan isu itu bersifat bilateral, sehingga mungkin akan berimplikasi terhadap cara
bertindak Cina guna mengamankan kepentingannya di masa depan yang dekat.
Kelima, penguatan peran aktor non negara. Ekspansi perusahaan energi multinasional ke
Laut Cina Selatan yang cukup agresif menunjukkan penguatan peran aktor non negara dalam
sengketa itu. Kehadiran perusahaan-perusahaan itu pada satu sisi memang tidak lepas dari
undangan negara-negara pengklaim, akan tetapi pada sisi lain menunjukkan perusahaanperusahaan tersebut telah berkalkulasi dengan matang mengenai resiko berinvestansi di sana,
khususnya terkait dengan kepentingan bisnis mereka di Cina.
Lepas dari perdebatan apakah perusahaan-perusahaan tersebut harus menunda kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi hingga sengketa itu mencapai tahap penyelesaian atau tidak, penguatan
peran aktor non negara ini akan memberikan warna dan arah sengketa ke depan. Singkatnya,
kehadiran mereka akan menciptakan suatu arsitektur baru dalam sengketa Laut Cina Selatan dan
mengubah arsitektur yang sudah eksis selama ini yang state actor centric. Kalau menjadikan
sengketa dan atau konflik di wilayah lain di dunia, kehadiran dan peran aktor non negara sampai
pada tingkatan tertentu akan memunculkan kerumitan baru dalam mengurai sengketa dan atau
konflik guna mencari penyelesaian damai.
4. Tantangan Terhadap Indonesia
Mengacu pada dinamika kontemporer dan kecenderungan sengketa Laut Cina Selatan
selama 2011, sengketa tersebut akan semakin rumit dan kompleks ke depan. Hal itu bukan saja
karena perbedaan kepentingan yang terlalu besar antara Cina dan negara-negara pengklaim

lainnya, tetapi juga karena peran kekuatan ekstra kawasan dan perusahaan energi multinasional.
Kondisi demikian merupakan tantangan tersendiri bagi ASEAN untuk mencari solusi damai atas
sengketa itu dalam bingkai DOC Laut Cina Selatan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa arah sengketa ke depan akan terfokus pada
multilateralisasi isu Laut Cina Selatan, meskipun Cina tentu saja tidak menyukai perkembangan
seperti itu. Dengan demikian, akan tercipta “koalisi” sementara antara negara-negara pengklaim
dan negara yang berkepentingan lainnya dengan menempatkan Cina sebagai musuh bersama.
Perkembangan seperti itu akan bersifat kontraproduktif terhadap stabilitas kawasan Asia Pasifik
dan merugikan kepentingan Indonesia, khususnya terkait dengan DOC Laut Cina Selatan. Tidak
tertutup kemungkinan bila Cina akan menarik diri dari penyusunan code of conduct kalau situasi
dipandang sudah tidak menguntungkan baginya.
Pertanyaannya adalah apakah situasi demikian akan berimplikasi terhadap pecahnya
konflik di Laut Cina Selatan? Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung dari komitmen
masing-masing pihak yang berkepentingan. Sepanjang pemahaman penulis, Cina khususnya

tidak pernah menyampingkan opsi penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa
di sana. Sebab pola pikir dan cara bertindak Cina didasarkan pada pemikiran strategis yang
dikembangkan oleh para leluhurnya ribuan tahun silam dan harus diakui banyak pihak asing
yang tidak memahami pola pikir tersebut. Variabel Cina merupakan salah satu variabel kunci
dalam sengketa Laut Cina Selatan, sebab tidak ada kekuatan negara yang dapat menghadapinya

kecuali hanya Amerika Serikat.
Multilateralisasi sengketa Laut Cina Selatan adalah kondisi yang tidak bisa dihindari,
sebab penyelesaian sengketa secara damai hanya dapat ditempuh lewat jalan demikian. Posisi
Indonesia pun sejak awal mendukung pendekatan multilateral guna menyelesaikan sengketa itu.
Akan tetapi meluasnya multilateralisasi yang berada di luar bingkai ASEAN-Cina nampaknya
cenderung akan kontraproduktif pada upaya Indonesia menjadi mediator, sebab multilateralisasi
seperti dalam forum EAMF justru akan mengebiri ASEAN dan memperbesar peran kekuatan
ekstra kawasan seperti Amerika Serikat dan Jepang. Makin menguatnya multilateralisasi
sengketa yang berada di luar bingkai ASEAN dapat dibaca pula sebagai respon negara-negara
lain terhadap asertivitas Cina dan ketidakyakinan kekuatan itu terhadap peran ASEAN dalam
menyelesaikan sengketa itu yang sesuai dengan kepentingan nasional mereka.
Sementara itu, peningkatan peran aktor non negara khususnya perusahaan energi
multinasional di Laut Cina Selatan memunculkan pula tantangan bagi Indonesia dan ASEAN
sebagai pihak yang mengupayakan penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan secara damai. Tidak
dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan ASEAN selama ini belum membicarakan soal peran aktor
non negara tersebut dalam porsi yang proporsional. Sehingga meningkatnya peran aktor non
negara itu sebenarnya tidak lepas dari kontribusi beberapa negara anggota ASEAN yang
berstatus pengklaim di Laut Cina Selatan.
Merespon situasi tersebut, Indonesia perlu meneliti kembali apakah butir-butir dalam
DOC Laut Cina Selatan dapat pula diterapkan untuk aktor non negara, khususnya perusahaan

energi multinasional. Ataukah Indonesia perlu mempelopori ASEAN untuk membuat semacam
code of conduct yang dirancang khusus bagi perusahaan energi multinasional? Tentu saja
gagasan ini akan memperoleh sambutan yang bervariasi dari negara-negara ASEAN lainnya,
khususnya negara-negara yang berstatus pengklaim. Sebab kehadiran perusahaan-perusahaan itu
dipandang justru memperkuat klaim mereka di wilayah sengketa.
Kehadiran entitas bukan negara dalam sengketa Laut Cina Selatan hendaknya dicermati
dengan kritis. Sebab entitas itu pada dasarnya memiliki keterkaitan politik dengan individuindividu pada lembaga eksekutif negara di mana perusahaan tersebut berasal. Sudah menjadi
rahasia umum bila eksekutif perusahaan energi multinasional dapat menjadi pejabat publik di
negara mereka, sehingga kepentingan bisnis dapat ditumpangkan menjadi agenda nasional
negara tersebut. Apabila pola seperti di Irak dan Libya diterapkan pula di Laut Cina Selatan,
sangat jelas akan merugikan kepentingan Indonesia yang berupaya menjaga stabilitas keamanan
kawasan.
Adapun menghadapi kian asertifnya Cina dalam menegaskan klaimnya, Indonesia perlu
mendekati Cina dengan tujuan untuk membujuk negara itu untuk tetap mematuhi DOC maupun
TAC. Upaya untuk membujuk Cina tersebut perlu selain dilaksanakan pada jalur bilateral, juga

pada jalur multilateral. Dengan kata lain, Indonesia harus mampu untuk menyatukan sikap semua
negara ASEAN guna merespon asertivitas Cina. Sebagai pemimpin de facto ASEAN, Indonesia
harus senantiasa menunjukkan solidaritasnya terhadap negara-negara ASEAN lainnya yang turut
mengklaim perairan Laut Cina Selatan.
5. Penutup
Dinamika kontemporer sengketa Laut Cina Selatan pada 2011 semakin menunjukkan ke
arah mengerasnya sikap negara-negara yang berkepentingan, baik negara pengklaim maupun
bukan pengklaim. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dinamika pada 2011 cenderung
mengarah pada kondisi yang lebih mengkhawatirkan karena kian rumitnya peta konflik. Selain
mengerasnya sikap negara-negara yang berkepentingan, keterlibatan aktor non negara lewat
perusahaan-perusahaan energi multinasional mempengaruhi pula dinamika tersebut.
Merespon situasi tersebut, Indonesia sampai pada tingkatan tertentu dipandang perlu
untuk menyesuaikan langkah-langkah dalam mencari penyelesaian damai sengketa itu.
Penyesuaian itu dibutuhkan karena tanpa hal tersebut maka upaya-upaya Indonesia mungkin
akan tidak tepat menemui sasaran seiring kian kompleksnya peta sengketa di sana.
(sumber:fkpmaritim)

.Lihat, http://www.stimson.org/spotlight/chinas-claims-in-the-south-china-sea/, diakses pada 25
Oktober 2011 pukul 10.30 WIB
. Lihat, http://www.dawn.com/2011/09/01/china-confronted-india-warship-off-vietnamreport.html, diakses pada 25 Oktober 2011 pukul 10.35 WIB
. Kunjungan penulis ke Guangzhou 11-15 Oktober 2011.
. Lihat, http://web1.iseas.edu.sg/?p=5713, diakses pada 25 Oktober 2011 pukul 10.50 WIB
. Hasil diskusi penulis dengan para ahli dari Guangdong Research Institute of International
Strategies (GRIIS), Guangzhou 13 Oktober 2011.
. Lihat, http://www.thehindu.com/news/international/article2468317.ece, diakses pada 25
Oktober 2011 pukul 11.08 WIB
. Lihat, http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/MK03Ae01.html, diakses pada 25
Oktober 2011 pukul 11.10 WIB
Hasil diskusi penulis dengan para ahli dari Guangdong Research Institute of International
Strategies (GRIIS), Guangzhou 13 Oktober 2011.
. Lihat, Kissinger, Henry, On China, London: Penguin Book, 2011