Perancangan dan pembangunan sistem e lea

PERANCANGAN DAN PEMBANGUNAN E-LEARNING PERPUSTAKAAN
Eka Kusmayadi
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian
Jl. Ir. H. Juanda No. 20 Bogor

RINGKASAN
Dalam UU No. 43/2007 dan PP No. 24/2014 disebutkan bahwa pustakawan
mempunyai kewajiban memiliki dan berupaya meningkatkan kompetensinya di
bidang perpustakaan. Kompetensi tersebut sangat diperlukan untuk mengelola
sebuah perpustakaan dengan baik dan benar. Hal tersebut dituntut pula dalam UU
No.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Namun, kompetensi pustakawan di
Kementerian Pertanian nampaknya masih rendah. Rendahnya kompetensi tersebut
diantaranya disebabkan kurangnya keikutsertaan pustakawan dalam pelatihan,
kemandirian untuk meningkatkan kompetensi dan ketersediaan dana dalam
mengikuti kegiatan pengembangan kompetensi pustakawan. Salah satu alternatif
sarana peningkatan kompetensi yang sudah lama dimanfaatkan, terutama dalam
dunia pendidikan adalah e-learning. Fasilitas ini memanfaatkan ketersediaan
teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kemampuan peserta didik.
Pembangunan sistem dilakukan dengan menggunakan metode Daur Hidup Sistem
Informasi (SDLC). Output yang diharapkan dari pembangunan sistem adalah
aplikasi e-learning perpustakaan dan modul yang diperlukan untuk mengisi materi

e-learning. Dengan adanya sistem e-learning pustakawan diharapkan dapat dengan
mudah mengikuti pembelajaran teknis pengelolaan perpustakaan, membantu dalam
bimbingan teknis untuk keperluan uji kompetensi dan sertifikasi. Pembangunan
e-learning pada perkembangan berikutnya dapat digunakan untuk meningkatkan
literasi informasi pengguna perpustakaan (pemustaka). Untuk berjalannya sistem
e-learning diperlukan adanya SOP, baik untuk pengoperasian sistem maupun untuk
pemeliharaan server.
Kata

kunci

:

Pembangunan, Sistem E-learning,
Pembelajaran, Pustakawan


 

Aplikasi,


Kompetensi,

PENDAHULUAN

Dalam UU No. 43 Tahun 2007 disebutkan bahwa Pustakawan adalah seseorang yang
memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan
serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan
perpustakaan. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa perpustakaan harus memiliki tenaga yang
standar, yaitu pustakawan yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikasi.
Kemudian dalam pasal 30 disebutkan pula, bahwa perpustakaan harus dikelola oleh seorang
tenaga ahli di bidang perpustakaan, yaitu pustakawan yang memiliki kapabilitas, integritas, dan
kompetensi di bidang perpustakaan.
Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 24/2014 tentang pelaksanaan UU No.
43/2007 pasal 34 lebih jelas lagi dinyatakan bahwa seorang pustakawan harus memiliki
kompetensi profesional dan kompetensi personal. Kompetensi profesional tersebut mencakup
aspek pengetahuan, keahlian, dan sikap kerja. Sedangkan kompetensi personal mencakup aspek
kepribadian dan interaksi sosial.
Namun disadari, fasilitas dan sarana yang tersedia untuk meningkatkan kompetensi
tersebut terdapat banyak hambatan. PUSTAKA sebagai pembina perpustakaan di lingkugan

Kementerian Pertanian dalam satu tahun hanya mampu melaksanakan temu teknis, seminar
atau workshop dalam setahun paling banyak sekali. Demikian pula Perpustakaan Nasional,
walaupun ada beberapa pelatihan yang tersedia namun peminatnya sangat banyak dari seluruh
wilayah Indonesia, sehingga kemungkinan dapat mengikuti diklat sangat kecil peluangnya.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pada tahun 2013 diketahui bahwa kemampuan
pustakawan sebagai pengelola perpustakaan masih memiliki beberapa keterbatasan,
diantaranya kompetensi yang masih belum memadai tuntutan kebutuhan pengguna. Pada
Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai kompetensi pustakawan di Kementerian Pertanian rata-rata
2,96 (Kusmayadi dan Syaikhu, 2013).


 

Tabel 1. Tingkat Kompetensi Pustakawan Kementan
No.
1
2
3
4


Kompetensi Khusus
Membuat Karya Tulis Ilmiah
Kajian Bidang Perpustakaan
Membuat Literatur Sekunder
Merancang Tata Ruang dan Perabot
Perpustakaan
5 Melakukan Perbaikan Bahan
Perpustakaan
6 Penelusuran Informasi Kompleks
Rata-rata
Keterangan : interval nilai 0-4

Nilai
2,62
2,83
2,89
3,04
3,04
3,32
2,96


Rendahnya kompetensi tersebut diantaranya disebabkan kurangnya keikutsertaan
pustakawan dalam pelatihan, kemandirian untuk meningkatkan kompetensi dan ketersediaan
dana dalam mengikuti kegiatan pengembangan kompetensi pustakawan.
Salah satu alternatif sarana peningkatan kompetensi yang sudah lama dimanfaatkan,
terutama dalam dunia pendidikan adalah e-learning. Fasilitas ini memanfaatkan ketersediaan
teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kemampuan peserta didik. Menurut
Sutanta (2009), e-Learning sudah banyak diterima oleh masyarakat dunia, terbukti dengan
maraknya implementasi e-Learning di lembaga pendidikan (sekolah, penyelenggara training
dan universitas) maupun industri. E-Learning merupakan suatu jenis sistem pembelajaran yang
memungkinkan tersampaikannya bahan ajar kepada siswa dengan menggunakan media
Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain. E-Learning adalah proses learning
(pembelajaran) memanfaatkan Information and Communication Technology (ICT) sebagai
tools yang dapat tersedia kapanpun dan di manapun dibutuhkan, sehingga dapat mengatasi
kendala ruang dan waktu.
Pembangunan aplikasi e-learning bertujuan untuk menyediakan media pembelajaran
materi-materi yang berhubungan dengan perpustakaan baik untuk pustakawan, penyuluh
ataupun peneliti. Media pembelajaran tersebut dalam bentuk aplikasi sistem yang mudah untuk
diterapkan dan digunakan oleh para peserta pembelajaran.
Pemanfaatan aplikasi e-learning diharapkan dapat meningkatkan kemampuan

penyediaan informasi oleh para pustakawan kepada penggunanya, baik peneliti, penyuluh dan
masyarakat umum. Dengan melalui aplikasi ini pengguna informasi, baik dalam bentuk


 

lembaga ataupun perorangan dapat berdiskusi dengan pengelola sumber informasi. Bahkan
dengan pengelolaan yang baik, pengguna juga dapat berkomunikasi dengan narasumber ahli.

TINJAUAN PUSTAKA

Paradigma Baru Perpustakaan
Dalam UU Perpustakaan No.43 tahun 2007, perpustakaan didefinisikan sebagai institusi
pengelola karya tulis, karya cetak dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem
yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan
rekreasi para pemustaka (pengguna perpustakaan).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perpustakaan adalah suatu organisasi
yang bertugas mengumpulkan informasi, mengolah, menyajikan dan melayani kebutuhan
informasi bagi pemakai perpustakaan. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa perpustakaan
adalah suatu organisasi, artinya perpustakaan merupakan suatu badan yang di dalamnya

terdapat sekelompok orang yang bertanggung jawab mengatur dan mengendalikan
perpustakaan. Tugas utama perpustakaan adalah mengumpulkan informasi, mengolah,
menyajikan dan melayani kebutuhan informasi bagi pemakai perpustakaan. Jadi perpustakaan
berkewajiban mengelola informasi yang dibutuhkan pemakai, baik yang bersumber dari koleksi
berwujud benda tercetak (seperti buku dan majalah) atau juga terekam (seperti kaset, CD, film,
dan sebagainya).
Secara umum perpustakaan mengemban beberapa fungsi. Pertama, fungsi informasi,
yaitu perpustakaan yang menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan cetak, terekam,
maupun koleksi lainnya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna. Kedua, fungsi
pendidikan, perpustakaan sebagai sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan dan
menerapkan tujuan pendidikan. Ketiga, fungsi kebudayaan, perpustakaan sebagai sarana
peningkatan mutu kehidupan dan menumbuhkan budaya membaca. Keempat, fungsi rekreasi,
perpustakaan sebagai sarana untuk pemanfaatan waktu lenggang dengan bacaan yang bersifat
rekreatif dan hiburan positif. Kelima, fungsi penelitian, perpustakaan memiliki koleksi-koleksi
untuk menunjang kegiatan penelitian. Keenam, fungsi deposit, perpustakaan berkewajiban
menyimpan dan melestarikan karya-karya baik cetak maupun non cetak yang diterbitkan di
wilayah Indonesia.


 


Untuk mendukung fungsi tersebut, maka teknologi informasi dan komunikasi mendapat
perhatian yang cukup besar dalam pengelolaan perpustakaan. Dalam UU Perpustakaan No.
43/2007 terdapat pada pasal 12, 14, 19, 22, 23, 24, 38 dan 42. Penerapan TIK harus
diperhatikan dalam perencanaan, pelayanan dan pengembangan perpustakaan. Sebagai contoh
koleksi sudah harus memperhatikan berbagai format, tidak saja dalam bentuk cetak, namun
juga elektronik dan digital. Begitu juga dalam pelayanan dan penyebaran kepada pengguna,
berbagai sarana TIK harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kemudahan dan kecepatan
pengguna dalam memperoleh informasi. Oleh karena itu, maka pustakawan sebagai pengelola
perpustakaan sudah selayaknya mempunyai kompetensi di bidang TIK.
Sejalan

dengan

berkembangnya

teknologi

informasi


dan

komunikasi,

maka

perpustakaanpun mengalami perubahan situasi dan kondisi. Di dalamnya termasuk perubahan
paradigma sebuah perpustakaan. Perubahan paradigma perpustakaan bertujuan untuk
mengadaptasi gejolak perubahan eksternal dan pemanfaatan peluang. Hal ini menyebabkan
perubahan sistem layanan jasa perpustakaan dan informasi jauh lebih luas daripada sekedar
layanan peminjaman buku, layanan referensi, layanan penelusuran dan lainnya. Menurut
Buckland (1988), layanan tersebut berubah dari layanan perpustakaan menjadi layanan
informasi. Hal ini berakibat pada derasnya arus kebutuhan terhadap informasi yang baru pula.
Oleh karena itu dengan perubahan paradigma perpustakaan, maka perpustakaan diharapkan
mampu memberikan layanan prima, yakni bentuk layanan yang berorientasi kepada pengguna.
Dikemukakan pula oleh Mustafa (1998) bahwa era teknologi informasi akan membawa
perubahan paradigma layanan perpustakaan. Perubahan paradigma tersebut akan berdampak
kepada 1) prestasi perpustakaan bukan lagi diukur berdasarkan kekayaan koleksi dan jumlah
pengunjung ke perpustakaan, melainkan dari jumlah orang yang menggunakan layanan,
meskipun mereka tidak datang secara fisik ke perpustakaan, namun akses terhadap informasi

yang dimiliki perpustakaan meningkat dari waktu ke waktu; 2) penyediaan fasilitas
perpustakaan berteknologi tinggi, harus lebih mengarahkan pustakawan pada penyediaan
muatan informasi yang dapat disajikan kepada pengguna. Oleh karena itu, maka pustakawan
harus mengubah sikap dan budaya kerja yang menuntut kerja lebih cepat, tepat dan efisien.

Keberadaan dan Kompetensi Pustakawan
Dalam UU no. 43/2007 dinyatakan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki
kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta


 

mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan

pelayanan

perpustakaan.
Berkaitan dengan pelayanan, menurut Mustafa (1998) ada beberapa kompetensi yang
harus dimiliki oleh pustakawan agar memiliki citra yang lebih positif. Kompetensi itu antara
lain : berorientasi pada kebutuhan pengguna, memiliki kemampuan berkomunikasi dengan

baik, berbahasa asing yang memadai, pengembangan secara teknis dan prosedur kerja,
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan melaksanakan penelitian bidang
perpustakaan.
Pemegang kendali perpustakaan dengan paradigma baru tersebut, sepenuhnya tetap ada
pada para pustakawan. Pustakawan sebagai individu memiliki keunikan dalam bertindak atau
bertingkah laku. Keunikan tersebut sering tidak disadari oleh pustakawan dalam melaksanakan
tugasnya. Terkait dengan masalah kepuasan pengguna terhadap layanan perpustakaan ini
pernah dilakukan penelitian. Handayani, dkk. (2004) dalam penelitiannya, menyimpulkan
bahwa dari lima dimensi (indikator) kepuasan pengguna terhadap layanan perpustakaan, ada
dua dimensi yang tidak sesuai dengan harapan pengguna. Kedua dimensi tersebut adalah
ketanggapan dan jaminan yang meliputi: kesediaan pustakawan membantu pengguna
menemukan informasi, ketanggapan pustakawan terhadap masalah yang disampaikan oleh
pengguna, sikap ramah pustakawan dan komunikasi pustakawan dengan pemakai. Berdasarkan
kesimpulan tersebut disarankan agar pustakawan diberikan pelatihan terkait dengan cara
berkomunikasi dan etika layanan.
Penelitian Supriadi, dkk. (2004) menyimpulkan bahwa perhatian pustakawan dalam
melayani pengguna perlu lebih ramah dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu disarankan agar
pustakawan yang bertugas di bidang layanan perlu ditambah wawasannya mengenai konsep
layanan yang berorientasi pengguna/user oriented. Berbeda dengan kedua penelitian di atas,
Widodo (2005) melakukan penelitian mengenai kepuasan petugas perpustakaan yang terkait
dengan intensi prososial. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif
antara intensi prososial dengan kepuasan kerja pustakawan, dimana semakin tinggi intensi
prososial akan semakin tinggi pula kepuasan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa apabila
perilaku prososial pustakawan terhadap pengguna lebih sering dilakukan, maka kepuasan
kerjanya meningkat dan kepuasan pengguna menjadi lebih baik.
Sebagai sosok yang memberikan layanan kepada pengguna, pustakawan diharapkan
memiliki kepribadian yang baik agar mampu memberikan layanan terbaik. Kepribadian


 

menurut Heldebrand (Septiyantono, 2003) adalah sesuatu hal yang baik atau tidak baik dalam
hal kelazimannya dan direspon secara positif atau negatif oleh mereka yang melakukan kontak.
Menurut Stern (Septiyantono, 2003), potensi yang dimiliki oleh seseorang dapat
dikembangkan semaksimal mungkin. Demikian halnya dengan pustakawan layanan,
diharapkan

mampu

mengembangkan

kepribadiannya

secara

optimal

agar

mampu

mempengaruhi pengguna untuk selalu menggunakan jasa yang tersedia di perpustakaan.
Menurut Mangkunegara (2005), sebenarnya pustakawan layanan identik dengan pribadi
penjual jasa. Berdasarkan falsafah penjual yang dikemukakan Mangkunegara tersebut, yaitu
bagaimana menjual dapat memberi kepuasan bagi kedua belah pihak, baik pihak pembeli
maupun bagi pihak penjual. Demikian halnya dengan pustakawan layanan, diperlukan upaya
layanan yang dapat menimbulkan rasa puas bagi pengguna maupun bagi dirinya sendiri. Selain
perhatian terhadap pengguna perlu pula dipikirkan bagaimana menciptakan hubungan baik dan
berkelanjutan, dengan demikian pustakawan akan memperoleh minimal dua keuntungan yaitu
perpustakaan menjadi terkenal dan citra sebagai pustakawan profesional lebih terangkat.
Septiyantono (2003) juga mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan
pustakawan dalam memberikan layanan prima, antara lain: (a) mampu berkomunikasi secara
verbal maupun non verbal, (b) mampu bekerja secara individual maupun kelompok, (c) mampu
berkomunikasi dalam tiga konsep yaitu sikap, perhatian, dan tindakan.
Dengan demikian, pengembangan karier fungsional pustakawan perlu mendapatkan
perhatian untuk memberikan dukungan motivasi dan karier. Apalagi menurut UU Perpustakaan
no 43/2007, seorang pustakawan harus profesional yang akan dibuktikan dengan adanya
sertifikasi.
Oleh karena itu, maka lembaga tempat pustakawan bekerja harus mendorong upaya
tersebut dengan mengalokasikan dana untuk mengikuti pelatihan-pelatihan,

menyiapkan

infrastruktur perpustakaan yang memadai, mengupayakan mengikuti uji kompetensi dan
sertifikasi dan mencari alternatif sarana pembelajaran.
Untuk dapat mengelola perpustakaan secara profesional, mampu memberikan pelayanan
prima kepada pengguna dan dapat mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi, maka kompetensi pustakawan harus terus dibina dan ditingkatkan.
Hal tersebut sesuai dengan amanat dalam UU no 43/2007 pasal 7 dan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 2014 pasal 33 yang menyatakan bahwa kompetensi dan
profesionalisme pustakawan harus selalu ditingkatkan dan mendapatkan dukungan dari


 

pemerintah. Demikian jelas dan pentingnya peran perpustakaan dalam mendukung tupoksi
organisasi induknya, maka peran pengelola perpustakaan yang di dalamnya pustakawan tidak
boleh dianggap rendah.

E-Learning
Menurut Sutanta (2009), e-Learning sudah banyak diterima oleh masyarakat dunia,
terbukti dengan maraknya implementasi e-Learning di lembaga pendidikan (sekolah,
penyelenggara training dan universitas) maupun industri. E-Learning merupakan suatu jenis
sistem pembelajaran yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar kepada siswa dengan
menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain. E-Learning adalah
proses learning (pembelajaran) memanfaatkan Information and Communication Technology
(ICT) sebagai tools yang dapat tersedia kapanpun dan di manapun dibutuhkan, sehingga dapat
mengatasi kendala ruang dan waktu.
E-learning telah mampu meningkatkan kemampuan kognitif siswa dalam belajar.
E-lerning mempunyai tingkat interaktifitas pengguna yang tinggi, selain menyajikan materi
pembelajaran dalam bentuk file baik dalam format words, powerpoint, html atau PDF.
E-learning juga mempunyai nilai lebih yaitu menu yang lebih interaktif, baik dalam kegiatan
evaluasi online, konsultasi online maupun fasilitas chatting ( Turino et.al,2009).
Penggunaan e-learning pada proses pembelajaran diyakini mampu untuk menigkatkan
kualitas peserta. Dengan e-learning, peserta didik yang ada di daerah dapat belajar dengan
materi yang sama dengan yang ada di kota besar dan bahkan di negara yang sudah maju
(Agustiawan dan Subagyo, 200-).
Pendidikan jarak jauh merupakan satu-satunya cara pembelajaran yang dapat
menjangkau masyarakat secara luas dimanapun peserta didik berada. Seperti halnya UT yang
sudah menerapkan e-learning sebagai media pembelajaran untuk masyarakat Indonesia, baik
yang berada di pelosok maupun di luar negeri. UT telah menjangkau pengguna (mahasiswa)
yang ada di 14 negara lain, seperti Malaysia, Singapapura, Hongkong, Thailand, Korea, Arab
Saudi dan sebagainya.
Proses pembelajaran melalui e-learning lebih mudah, cepat dan murah dibandingkan
dengan cara konvensional. Sebagai gambaran perbandingan dengan system pembelajaran
konvensional, Universitas Terbuka harus menyediakan buku modul tercetak yang untuk
pengirimannya saja melalui pos membutuhkkan waktu 2 minggu sampai dengan 1 bulan.


 

Kadangkala ketika mahasiswa akan menghadapi ujian, modul tercetak belum dapat diterima
oleh mahasiswa. Sedangkan dengan metode e-learning terasa lebih murah, karena mahasiswa
dapat memanfaatkan buku modul dalam bentuk e-book yang sudah disediakan tanpa harus
membeli modul tercetaknya. Selain itu, biaya pembelajaran dapat dilakukan dari rumah tanpa
harus mengeluarkan biaya transpor. Bagi mahasiswa ingin memiliki file e-booknya, mereka
dapat membeli atau mencicil file tersebut.
Pembelajaran di UT melalui e-learning telah dapat menjangkau jumlah mahasiswa
sebanyak 4.000 orang, sehingga manajemen yang diterapkan harus dilakukan dengan
pendekatan Manajemen Industri.
E-Learning menawarkan banyak keuntungan bagi organisasi, namun praktik ini juga
memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya :

a.

Budaya
Pengguna E-Learning menunutut budaya self-learning, dimana seseorang memotivasi

diri sendiri agar mau belajar. Sebaliknya, pada sebagian besar penduduk di Indonesia, motivasi
belajar lebih banyak tergantung pada pengajar. Pada E-Learning 100% energi dari pelajar, oleh
karena itu, beberapa orang masih merasa segan berpindah dari pelatihan di kelas ke pelatihan
ELearning.

b.

Investasi
Walaupun E-Learning menghemat banyak biaya, tetapi suatu organisasi harus

mengeluarkan investasi awal cukup besar untuk mengimplementasikan E-Learning. Investasi
dapat berupa biaya desain dan pembuatan program learning management system, paket
pelajaran dan biaya lain, seperti promosi.

c.

Teknologi
Karena teknologi yang digunakan beragam, ada kemungkinan teknologi tersebut tidak

sejalan dengan yang Rancang Bangun Aplikasi Elearning (Erma Susanti) 55 sudah ada dan
terjadi konflik teknologi sehingga E-Learning tidak berjalan baik.

d.

Infrastruktur


 

Internet belum terjangkau semua kota di Indonesia. Akibatnya belum semua orang atau
wilayah dapat merasakan ELearning dengan Internet.

e.

Materi
Walaupun E-Learning menawarkan berbagai fungsi, ada beberapa materi yang tidak

dapat diajarkan melalui e-learning. Pelatihan yang memerlukan banyak kegiatan fisik, seperti
praktek perakitan hardware, sulit disampaikan secara sempurna.

METODOLOGI

Yang akan dihasilkan dari proses pembangunan sistem e-learning meliputi 1) Sistem
aplikasi E-Learning dan 2) Modul-modul yang diperlukan sebagai materi pembelajaran
e-learning. Metode yang digunakan untuk membangun sistem aplikasi E-Learning adalah
metode Daur Ulang Sistem Informasi atau SDLC, yaitu terdiri atas beberapa tahapan, yaitu :
1.

Pembuatan Rancang Bangun Sistem
Kegiatan ini terdiri atas pengumpulan data untuk kebutuhan identifikasi sistem yang
sudah ada, kemudian melakukan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan,
kemudian melakukan penyelarasan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan sistem.

2.

Penerapan Sistem
Kegiatan yang dilakukan dalam penerapan sistem adalah instalasi hardware, software dan
instalasi jaringan.

3.

Uji Coba Sistem
Uji coba dilakukan terhadap sistem yang diterapkan dan pelaksanaan penyampaian
materi kepada pengguna. Apabila masih terdapat kesalahan akan dilakukan perbaikan
terhadap sistem.

4.

Evaluasi dan Pelatihan
Evaluasi dilakukan untuk melihat sistem secara keseluruhan. Kemudian dilanjutkan
dengan pelatihan untuk pengelola e-learning, baik sistem maupun materi.

5.

Pelaporan
Pelaporan atau dokumentasi sistem disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban kegiatan
baik secara teknis maupun finansial.

10 
 

Sedangkan untuk penyusunan materi E-Learning dilakukan beberapa tahapan, yaitu 1)
penyusunan draft modul, 2) Perbaikan dan editing modul dan 3) penyelesaian modul. Modul
akan mengacu kepada Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk
perpustakaan. Oleh karena itu diperlukan konsultasi dengan ahlinya. Konsultasi akan dilakukan
ke perguruan tinggi yang sudah lama memanfaatkan sistem E-learning untuk kegiatan belajar
mengajarnya, yaitu Universitas Terbuka, Universitas Bina Nusantara dan Institut Teknologi
Bandung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aplikasi Sistem yang diharapkan
Sistem E-learning merupakan trend perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
masa depan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi masyarakat dalam
menghadapi hambatan keterbatasan wilayah dan anggaran. Berdasarkan hasil identifikasi Tim
BINUS tahun 2013, persoalan yang dihadapi Badan Litbang Pertanian ada 4 hal, yaitu 1)
Jumlah SDM, 2) Kemampuan bahasa, 3) Kompetensi dan 4) infrastruktur yg kurang memadai
dan sudah tidak layak.
Salah satu saran yang diberikan Binus pada saat itu adalah perlunya diterapkan system
e-learning yang diharapkan dapat menjembatani keterbatasan pertemuan untuk tetap
meningkatkan kompetensi pustakawan. Selain itu, media ini juga diharapkan dapat menjadi
media pembelajaran bagi pengguna lain, seperti penyuluh, peneliti dan masyarakat umum.
Tahap selanjutnya setelah identifikasi selesai dilakukan adalah membuat program
aplikasi. Adapun desain e-learning yang akan dibuat mempunyai tampilan sebagai berikut :

11 
 

Gambar 1. Login peserta

Untuk login, peserta harus memasukkan username dan passwordnya masing-masing
sebagaimana yang sudah diberikan oleh administrator sistem. Pada tampilan awal ini juga akan
ditambahkan informasi terbaru dan informasi yang berhubungan dengan informasi pendaftaran
peserta yang akan mengikuti materi, pengumuman daftar peserta sesuai materi yang diikuti dan
daftar peserta yang sudah mengikuti.
Menu utama dari aplikasi e-learning terdiri atas informasi yang berhubungan dengan
kegiatan e-learning, kelompok materi, forum, aturan dan petunjuk penggunaan aplikasi
e-learning, nilai hasil ujian dan sertifikat yang dapat diambil.

Gambar 2. Menu utama sistem

12 
 

Setiap kelompok materi akan diikuti oleh kelompok peserta tertentu. Pengelompokan
berdasarkan hasil klasifikasi peserta berdasarkan kompetensi yang sudah dimiliki dan
kelompok jabatan fungsionalnya. Namun peserta yang merupakan pengelola perpustakaan
pun dapat mengikuti materi ini yang pengelompokkannya akan ditentukan oleh tim pengelola
e-learning ini.
Kegiatan yang dilakukan dalam e-learning antara lain penyampaian materi, diskusi dan
ujian atau latihan. Diskusi disampaikan pada setiap sesi materi, sedangkan ujian dilakukan
setiap beberapa kali pertemuan (3 kali pertemuan). Pada tahap awal, aplikasi ini belum
dilengkapi dengan sarana teleconference. Dengan demikian, proses e-learning tidak harus
dilakukan pada waktu yang bersamaan. Teleconference direncanakan akan dilakukan pada
tahapan pengembangan aplikasi pada waktu yang akan datang.
Untuk tahap awal, aplikasi e-learning ini akan dipergunakan bagi para fungsional
pustakawan terlebih dahulu dengan melakukan penyempurnaan materinya. Namun pada masa
datang, aplikasi ini juga dapat dimanfaatkan oleh kelompok pengguna lain, seperti peneliti,
penyuluh bahkan masyarakat umum yang sistemnya akan dikembangkan lebih lanjut.
Contoh tampilan kelompok materi yang diambil oleh salah satu peserta e-learning.

Gambar 3. Kelompok materi yang diikuti seorang peserta

13 
 

Gabar 4. Forum diskusi satu kelompok belajar

Gambar 5. Materi yang dapat diunduh peserta

14 
 

Gambar 6. Passing grade hasil pre-test dan post test

Gambar 7. Pengambilan sertifikat kelulusan

Hal yang sama juga terjadi pada Universitas

Bina Nusantara. Namun di Binus,

mahasiswa yang mengikuti e-learning kebanyakan mahasiswa yang berlokasi di Jabodetabek.
Sehingga tidak begitu terkendala dengan akses internet sebagaimana dialamai oleh mahasiswa
UT.

15 
 

Dengan menggunakan system e-learning, peserta didik tidak lagi hanya bergantung
kepada buku teks saja, tetapi mereka juga dapat memperoleh informasi bahan pelajaran dari
berbagai sumber informasi lain.

Materi Pembelajaran
Tahapan yang dilakukan dalam menerapkan system e-learning terdiri atas

input,

proses dan output. Input adalah proses penyiapan materi seperti penyusunan kurikulum dan
bahan ajar. Proses adalah tahapan pembelajaran yang dilakukan oleh mahasiswa baik dalam
bentuk sendiri, berkelompok atau bergabung dalam komunitas. Sedangkan Output adalah
tahapan evaluasi melalui ujian.
Dalam proses penyiapan materi akan dilakukan identifikasi terhadap materi yang perlu
disampaikan. Materi sebaiknya mengacu kepada visi dan misi PUSTAKA. Modul
pembelajaran harus disiapkan dan mengikuti standard yang sudah ada. Modul harus
menggunakan bahasa harus mudah difahami. Format modul yang dibuat memuat tentang
Pendahuluan, TIU dan TIK, Kegiatan Belajar Mengajar, Latihan (Tes formatif), Glossary dan
Daftar Pustaka. Penyusunan materi dapat diberikan dalam bentuk powerpoint, lecture note dan
link ke beberapa sumber materi pengayaan baik berupa video ataupun teks.
Materi pembelajaran yang akan dipersiapkan dalam mengiri sistem e-learning meliputi
bahan pembelajaran bidang perpustakaan (Tabel 2).

Tabel 2. Kode dan Materi yang akan dibuat TA 2015
No
1

Kode
Materi
12015_1

2

22015_1

3

32015_1

4

42015_1

5
6
7
8

52015_1
62015_1
72015_1
82015_1

Nama Materi
Pengadaan (Mengumpulkan alat seleksi, Identifikasi BP, Survey
Kebutuhan, Pembuatan Desiderata, Seleksi BP, Kebutuhan
Pengguna, Registrasi)
Pengolahan (Klasisikasi, katalogisasi, Tajuk, Kata kunci,
Pengelolaan database, Literatur sekunder, Penyiangan)
Layanan Perpustakaan ( Sirkulasi, Penyediaan dokumen,
Penelusuran informasi (manual, OPAC/SIMPERTAN &
REPOSITORI) , PITT, E-resources, Referens)
Literasi Informasi – Konsep, Standard dan Model, Sumber
Informasi, Strategi Penelusuran, Plagiarism).
Dasar2 Komputer, Excel, PPT, MS-Word
Penyusunan Rencana Kerja, Pembuatan Laporan
Karya Tulis Ilmiah
Preservasi dan Konservasi

16 
 

Untuk memudahkan pengelolaan materi perlu dibuatkan KODE MATERI, sebagai
contoh :

Kode Materi
012015_1,

Arti
01- Dasar2 Komputer
2015_1 Tahun penyusunan edisi 1

012015_2

2015_2 Tahun penyusunan edisi 2 (revisi/pengembangan)

Aktivasi Materi Pelajaran
Proses pembelajaran dilakukan oleh peserta e-learning dari tempatnya masing-masing.
Peserta dapat membuka aplikasi setiap saat. Di dalam aplikasi, peserta dapat membaca modul,
mengerjakan tugas, berdiskusi dan mengikuti ujian. Setiap materi akan diaktifkan dengan jarak
antar materi satu minggu. Materi yang sudah diaktifkan akan telihat peserta selama 3 minggu.
Artinya peserta mempunyai waktu mengikuti setiap sesi selama 3 minggu. Apabila satu materi
mempunyai 4 materi atau modul, maka waktu yang tersedia untuk setiap peserta adalah 12
minggu. Namun bagi peserta yang aktif dapat menyelesaikan keseluruhan materi tersebut
dalam waktu paling cepat 4 minggu.
Dalam TA 2015, target kegiatan pembangunan aplikasi e-learning adalah perpustakaan
pertanian lingkup Kementerian Pertanian, yaitu semua fungsional pustakawan dan pengelola
perpustakaan yang akan disosialisasikan pada TA 2016. Oleh karena itu untuk
mempertahankan keberlangsungan pemanfaatan aplikasi ini diperlukan dukungan anggaran
dan perhatian dari semua pihak yang berkompetens sangat diharapkan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.

Dengan terbangunnya sistem e-learning pustakawan dapat dengan mudah mengikuti
pembelajaran teknis pengelolaan perpustakaan, membantu dalam bimbingan teknis untuk
keperluan uji kompetensi dan sertifikasi.

2.

Untuk pembangunan sistem e-learning yang memadai kebutuhan pustakawan, maka
sosialisasi dan pengumpulan informasi kebutuhan sistem perlu dilakukan dan dipantau
penerapannya dengan baik.

17 
 

3.

Dalam perkembangan berikutnya, aplikasi e-learning dapat digunakan untuk
meningkatkan literasi informasi pengguna perpustakaan (pemustaka).

4.

Sistem e-learning memerlukan adanya SOP, baik untuk pengoperasian sistem maupun
untuk pemeliharaan server.

Saran
1.

Untuk berjalannya sistem e-learning, penerbitan surat keputusan susunan pengelola
sistem diperlukan agar sistem dapat berjalan sesuai harapan.

2.

Evaluasi secara berkala perlu dilakukan untuk memperbaiki sistem yang sudah ada.

3.

Sosialisasi ke berbagai stackholder perlu mendapat perhatian.

DAFTAR PUSTAKA
Agustiawan, Y dan Vidayana Subagyo. 200-. Kajian penerimaan e-learning siswa RSBI
dengan technolgy acceptance model (TAM) untuk meningkatkan mutu siswa SMA di
daerah (Studi Kasus RSBI Kab. Jombang ).
Buckland, M. 1988. Library Services in Theory and Context. . 2nd Edition.
http://sunsite.berkeley.edu/Literature/Library/Services/
Darmono.2001. Management Library. Jakarta: Grasindo
Handayani, R; Keban,Y,T dan Ratminto, (2004), “Analisis Kepuasan Pemakai Terhadap
Pelayanan Perpustakaan Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”
SosiosainsUniversitas Gadjah Mada, Vol 17, No.2, April 2004.
Kusmayadi, E dan A. Syaikhu. 2013. Kajian tentang perancangan modul pelatihan kompetensi
pustakawan berbasis SKKNI bidang perpustakaan. Laporan Pengkajian Pusat
Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian.
Mustafa, B. 1988.
Strategi pengembangan perpustakaan di era globalisasi.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/32264/strategi-pengembanganperpus-era-globalisasi-ok.pdf
Septiyantono, Tri. 2003. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan
Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga.
Sutanta, E. 2009. Konsep dan implementasi e-learning (Studi Kasus Pengembangan
E-Learning Di Sma N 1 Sentolo Yogyakarta)

18 
 

Turino, Yuliman Purwanto, Arief Soelaeman. 200-. E-learning bahasa inggris berbasis web.
Jurnal Teknologi Informasi, Volume 5 Nomor 2, Oktober 2009.

19