Sekolah Hukum dan Kita Huni

Sekolah Hukum dan Kita1
Oleh Maqdir Ismail2
Pengantar
Generasi demi generasi tanpa disadari oleh Fakultas Hukum dan
pengelolanya,

mahasiswa

datang

dan

pergi

meninggalkan

Kampus.

Mahasiswa yang datang hampir dengan usia yang sama, begitu juga yang
pergi meninggalkan kampus dengan usia yang relatif sama. Kalau mereka
mulai menjadi Mahasiswa berusia delapan belas tahun, maka pada usia

dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun mereka pergi meninggalkan
kampus. Sementara pada sisi yang lain, bangunan kampus, para staf
pengajar, staf administrasi bahkan perpustakaan serta bahan ajar, hampir
tidak berubah. Inilah fakta bahwa ada kecenderungan dari Fakultas
Hukum atau instusi hukum yang mengabaikan waktu.3
Pada satu sisi dengan dosen yang sama, bahan ajar yang sama, daftar
pustaka yang sama kita mengajar dengan susah payah, meyakinkan
mahasiswa bahwa mata kuliah yang kita sampaikan sangat penting dalam
kehidupan mereka atau dalam praktik kerja mereka pada masa yang akan
datang. Sedangkan dunia disekitar kita setiap detik terjadi perubahan dan
perubahan itu, terkadang luput dari pengamatan kita orang tua yang sudah
merasa sempurna memiliki ilmu yang sangat sfesifik.
Sementara pada sisi yang lain seperti dikatakan oleh Michael Greco,
ketika mejadi

Keynote Address at the Fordham University School of Law

Symposium: Challenges in Large Firm Practices (Apr. 15, 2005). “[L]awyers
are always going to be students, because the learning doesn’t stop in law
school. The irony is that when we become lawyers, we not only continue to

be students, we simultaneously are teachers.”4
Apa yang dikemukakan oleh Michael Greco ini adalah yang nyata,
karena pekerja dibidang hukum selalu mengalami dan bersentuhan dengan
1 Disampaikan sebagai paper pengantar diskusi dalam Lokakarya Kurikulum FH UII, Sabtu, 17 Maret
2012, di Yogyakarta.
2 Advokat dan Staf Pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia
3 Burt, Robert A : 1995 "Alex Bickel's Law School and Ours", Vol. 104: 1853, The Yale Law Journal, h.
1853;
4 Dikutip dari Clark D. Cunningham: 2006, LEGAL EDUCATION AFTER LAW SCHOOL: LESSONS
FROM SCOTLAND AND ENGLAND, FORDHAM URBAN LAW JOURNAL Vol. XXXIII, h. 101

1

masalah hukum yang baru, bahkan terkadang tidak pernah dibicarakan
oleh orang kampus. Inilah salah satu bentuk ironi dan paradoks dari
keberadaan kita sebagai staf pengajar pada Fakultas Hukum dengan dunia
nyata praktik hukum.

Praktik Hukum


Praktik hukum sekarang semakin internasional, bahkan tidak sedikit
firma hukum yang bergabung atau bekerjasama dengan firma hukum
asing. Firma hukum semacam ini secara teratur melakukan praktik hukum
melintasi batas-batas wilayah, bahkan lintas batas negara, memberi saran
kepada klien pemerintah atau swasta di lintas batas kegiatan. Praktik
hukum yang mereka lakukan, ada perpaduan dan
sistem hukum nasional masing-masing negara

pencampuran antara

melalui konvergensi atau

harmonisasi,5 sehingga praktik yang dulu dikenal sebagai praktik lokal atau
nasional malah menjadi praktin internasional dan aturan hukum yang
digunakan campur aduk dengan sistem asing. Inilah fakta praktik hukum
kita.
Kalau pada masa kolonial, aturan hukum termasuk perjanjian dagang
dilakukan

dengan


cara

memaksakan

hukum

berlaku

dengan

cara

menduduki negara, seperti berlakunya hukum Belanda di Indonesia.
Belakunya hukum Romawi pada negara-negara Eropa cukup banyak
diakibatkan

adanya

resepsi,


terutama

yang

terjadi

pada

abad

11

sebagaiman ditunjukkan dalam Justinian’s Digest.6 Meskipun untuk
Inggris,

dikatakan bahwa

pengaruh


hukum

Romawi

terjadi

karena

datangnya Archbishop Theobald yang mengajar hukum Romawi di Oxford
sesudah tahun 1149.7 Namun pada zaman modern ini, hukum tidak lagi
diberlakukan

karena

akibat

dikalahkan

dengan


peperangan,

tetapi

diberlakukan terutama karena ada perjanjian bersama antar negara atau
kerjasama perdagangan.
Carole Silver: 2001, The Case of the Foreign Lawyer: Internationalizing the U.S. Legal Profession,
SSRN Electronic Paper Collection: http://papers.ssrn.com/abstract=287873, hal 1;
6 Andrew Borkowski LLB: 1994, Text Book on Roman law, Blackstone Press Limited, h. 338;
7 Thomas Edward Scrutton: 1885, The Influence of the Roman Law on the Law of England, Cambridge;
At The University Press, h. 1;
5

2

Di Indonesia, praktik hukum yang diatur dalam kontrak Internasional
dan penyelesaian sengketanya, meskipun menggunakan aturan hukum
kontrak sesuai dengan hukum perdata yang berlaku di Indonesia, namun
isi dari perjanjian dan penyelesaiannya lebih banyak menggunakan hukum
dengan aroma Anglo-Saxon. Bahkan ada perjanjian yang dibuat oleh

perusahaan

milik

sesama

orang

Indonesia,

tetapi

ketika

memilih

penyelesaian sengketa, dalam perjanjian ditegaskan bahwa diselesaikan
melaui pengadillan di Singapore atau kalau melalui Arbitrase, maka
arbitrase yang ditunjuk adalah Singapore International Arbitration Centre
(SIAC).

Dengan demikian, maka sebenarnya, kalau mau dikatakan para agen
yang melakukan perubahan praktik hukum ini umumnya adalah firma
hukum yang mulai meninggalkan secara ekslusif sistem hukum nasional,
seperti meninggalkan identitas lokal dari orang-orang yang terlibat dalam
firma hukum atau mengola firma hukum, baik bekerjasama dengan firma
hukum asing atau tidak.8 Kondisi seperti ini memerlukan para pengacara
atau ahli hukum yang telah dilatih dengan hukum nasional untuk
melakukan interaksi yang terus menerus dengan hukum trans-nasional.
Konsekwensi logis dari interaksi ini para praktisi hukum yang harus
dihasilkan oleh Fakultas Hukum, adalah praktisi yang mampu melakukan
kegiatan hukum lintas batas pengetahuan hukum, sehingga mampu
menjadi model praktisi lintas negara dan lintas hukum nasional. Inilah
yang akan menjadi daya saing dari masing-masing Fakultas Hukum, yang
mampu melahirkan ahli hukum untuk berpartisipasi dalam layanan pasar
hukum

internasional,

dengan


pengetahuan

Anglo-Saxon

dan

Eropa

Kontinental.
Apa yang hendak ditegaskan disini, dalam kesempatan berdiskusi ini
adalah bahwa ada kewajiban nyata dari Fakultas Hukum untuk melahirkan
ahli hukum yang dapat melakukan praktik hukum, bukan hanya lintas
batas negara tetapi juga lintas batas pengetahuan hukum kalau dia akan
menjadi praktisi hukum. Semantara kalau hendak menjadi ilmuan dalam

8

Carole Silver: 2001, Ibid, h.2;

3


bidang hukum maka dia harus ilmuan yang juga mempunyai pengetahun
lintas batas pengetahuan hukum.
Reformasi Pendidikan Hukum
Editorial New York Times, 25 Nopember 2011,9 patut dipertimbangkan
dalam rangka mengkaji ulang pendidikan hukum kita. Dikatakan bahwa
pendidikan hukum di Amerika mengalami krisis. Sebagai akibat krisis
ekonomi,

mahasiswa

hukum

dibebani

hutang

dengan

prospek

mendapatkan pekerjaan yang suram. Pada saat yang sama, orang Amerika
juga semakin menyadari

bahwa semakin banyak menemukan lulusan

Fakultas hukum tidak mampu memberikan bantuan hukum. Keadaan ini
sampai menimbulkan gugatan dipengadilan10 dari Mahasiswa hukum dan
mendapat perhatian khusus dari Senat. Bahkan sampai muncul anggapan
bahwa Sekolah hukum telah membuat iklan palsu tentang potensi mudah
memperoleh pekerjaan.
Sementara itu pada pihak lain seperti dijadikan alasan dalam gugatan
Class Action ini, bahwa fakultas hukum menyadari hanya sekedar
memanfaatkan
mahasiswa

mahasiswa

dapat

dan

mengambil

mengambil

manfaat

hasil

uang

mahasiswa,

sekolah

hukum

tanpa
untuk

kehidupan mereka. Dikatakan dalam gugatan, Dekan Richard Matasar,
mengetahui secara baik masalah yang dihadapi oleh Fakultas Hukum,
“[w]e [law school deans] should be ashamed of ourselves. We own
our students‟ outcomes. We took them. We took their money….And
if they don't have a good outcome in life, we're exploiting them. It's
our responsibility to own the outcomes of our institutions. If they're
not doing well ... it's gotta be fixed. Or we should shut the damn
place down. And that's a moral responsibility that we bear in the
academy.”11
Kesadaran terhadap masalah ini, bukan hal yang baru, karena pada
tahun 2007 Yayasan Carnegie dalah satu laporan menyatakan bahwa “only
casual attention to teaching students how to use legal thinking in the

9

http://www.nytimes.com/2011/11/26/opinion/legal-education-reform.html?_r=1

10http://www.kurzonstrauss.com/uploads/NYLS_Filed_w_Index_Number_Summons_and_Complaint.

pdf
11 Ibid, h.1-2;

4

complexity of actual law practice.”12 Dalam arti bahwa di sekolah hukum
Mahasiswa hanya diajar secara biasa ketika mencermati masalah hukum
dan praktik hukum yang sangat rumit.
Dengan

kesadaran

akan

kondisi

inilah,

maka

diusulkan

agar

kurikulum itu memenuhi tiga bagian dari model yang saling mempengaruhi
yaitu, pengajaran doktrin hukum dan analisis, termasuk perkembangan
kegiatan

professional;

pengenalan

pengetahuan

praktik

hukum

dan

hubungan tanggung jawab terhadap Klien; dan tentu saja, tujuan mendasar
dari profesi hukum. Atau dalam kalimatnya Carnegie Report, dikatan,
“first, the teaching of legal doctrine and analysis, which provides the
basis for professional growth;
second, introduction to the several facets of practice included under
the rubric of lawyering, leading to acting with responsibility for
clients;
and third, a theoretical and practical emphasis upon inculcation of
the identity, values, and dispositions consonant with the
fundamental purposes of the legal profession”.13
Sudah barang tentu dengan maksud meningkatkan kualitas peserta
didik yaitu Mahasiswa harus ada perubahan kurikulum yang cukup besar,
kalau tidak mau dilakukan secara revololusioner. Tentu yang dapat
dijadikan patokan dan berfokus
analisis,

termasuk

pengajaran adalah doktrin hukum dan

perkembangan

kegiatan

professional;

pengenalan

pengetahuan praktik hukum dan hubungan tanggung jawab terhadap
Klien; dan tentu saja, tujuan mendasar dari profesi hukum.
Meskipun tidak semua Mahasiswa hukum akan menjadi praktisi
hukum,14 tetapi kelemahan pokok dari lulusan sekolah hukum kita
terutama tidak seimbangnya pengetahuan doktrin dan analisis hukum
dengan praktik hukum dan professi hukum. Bahkan pengalaman dalam
berbagai kesempatan berdiskusi dan melakukan kegiatan bersama dengan
staf-staf bagian hukum di Departemen atau badan Usaha milik Negara,
kelemahan-kelamahan ini sangat terasa mencolok. Namun yang menjadi
persoalan pokok kita, karena cukup banyak Fakultas Hukum tidak mampu
William M. Sullivan dkk: 2007, Educating Lawyers, Preparation for the Profession of Law, John
Wiley & Sons, Icn, h. 188;
13 Ibid, h. 194;
14
Hindi Greenberg, J.D: 2011, TO PRACTICE OR NOT TO PRACTICE, WHAT ELSE CAN YOU DO WITH
YOUR LAW DEGREE?, Summer 2011 Columbus Bar Lawyers Quarterly, h. 37;
12

5

melahirkan orang yang mempunyai kemampuan untuk memberikan
konsultasi secara sederhana. Memang mereka Sarjana Hukum, karena
mereka sekolah di Fakultas Hukum dan mendapat gelar kesarjanaan
“SARJANA HUKUM”, tetapi mereka tidak mempunyai pengetahuan dan
kemampuan membagi pengetahuan hukum. Bahkan tidak sedikit yang
dapat dikatakan tidak mempunyai pengetahuan hukum yang memadai
untuk memberikan pandangan hukum.
Dengan asumsi dan pengalaman bahwa umumnya lulusan Fakultas
Hukum tidak siap untuk memasuki pasar kerja, terutama pasar kerja
praktik hukum, saat ini untuk dipikirkan pembaharuan kurikulum mulai
dari tahun pertama.
Mulai dari tahun pertama ini,15 mahasiswa sudah diajar secara
sederhana pengetahuan keterampilan praktik hukum. Kegiatan belajarmengajar dikembangkan untuk pembangunan kemampuan analisis dan
keterampilan menulis dengan dasar hukum atau alasan hukum. Dalam
kepustakaan yang biasa disebut “think like a lawyer”.16 Atau yang biasa
juga kita kenal dengan penalaran hukum. Tentu kurikulum ini juga harus
memuat pengenalan sistem hukum modern, dalam arti bahwa dengan
keadaan dunia yang semakin menyatu, bahwa akan ditemukan dalam fakta
ada praktik hukum internasional yang penting juga terjadi ditengah
penegakan hukum nasional, terutama dalam praktik yang muncul pada
putusan pengadilan. 17
Hal yang tidak kalah penting diperkenalkan kepada Mahasiswa
hukum, adalah sejarah dan nilai-nilai dari profesi hukum dan profesi pada
umumnya, tokoh-tokoh penting dalam bidang hukum, peran pengacara,
hakim, jaksa, polisi dan tentu cara-cara dimana masalah hukum muncul
dan diselesaikan dalam masyarakat kita dan masyarakat lain. Selain itu
penting juga untuk diperkenalkan tantangan yang dihadapi profesi hukum
seperti komersialisasi, akuntabilitas, dan akses untuk mendapatkan

Roy Stuckey and Others: 2007, Best Practices for Legal Education, First Edition, h.206,
MICHELLE M. HARNER: 2011 , THE VALUE OF “THINKING LIKE A LAWYER”, MARYLAND LAW
REVIEW ,VOL. 70:390;
17 Edward Rubin: 2007, What’s Wrong with Langdell’s Method, and What to Do About it, VANDERBILT
LAW REVIEW, Vol. 60:2:609, h. 651;

15

16

6

keadilan.18 Mahasiswa juga harus diberikan gambaran dari program
pengajaran dan bagaimana ia dirancang untuk mempersiapkan mereka
untuk praktek dengan membangun pengetahuan, keterampilan, dan nilainilai ke arah keahlian.
Dialog seperti model yang kita kenal dengan model Socrates dan
metode studi kasus19 harus dilakukan secara bersama. Dengan kata lain,
analisis terhadap hukum secara objektif juga harus dilakukan sehingga
melahirkan keadilan yang berpegang pada moralitas ketika masalah hukum
dipecahkan. Adapaun pelaksanaan penyelesaian studi kasus, hal tersebut
dapat dilakukan secara bersama dalam kelompok. Hal ini penting, dalam
penyelesaian masalah hukum selalu dilakukan oleh team dengan anggota
yang

memiliki

berbagai

sudut

pandang.

Kebersamaan

dalam

kerja

kelompok ini, adalah sebagai cermin dari praktik hukum.
Transisi dari sekolah menengah ke perguruan tinggi, khususnya
sekolah hukum bukan proses yang mudah, meskipun bagi sebagian orang
sangat

yang menantang. Sebab bagi kebanyakan mahasiswa, mereka

memulai sekolah hukum dengan sedikit gagasan dan pengetahuan tentang
apa yang diharapkan dari mereka kelak secara akademis. Kebanyakan
Mahasiswa

hukum

menganggap

bahwa

teknik-teknik

belajar

dan

pembelajaran yang telah mereka lakukan sebelumnya dapat dilanjutkan
dengan mulus, sehingga hal itu akan dilakukan secara terus menerus.
Sementara mereka lupa, bahkan kitapun sebagai pengajar tidak jarang
lupa, bahwa sekolah hukum, mewajibkan kita membaca kasus, melihat
argumen yang setuju dan tidak setuju. Sementara pada saat yang sama
banyak mahasiswa tidak memiliki keterampilan untuk melakukan ini
secara efektif.
Akibat dari situasi ini dalam praktik, kita akan temukan lulusan
fakultas hukum tidak mampu melihat masalah secara tepat, tidak mampu
menganalisis masalah secara baik dan celakanya lagi tidak mampu
mengungkapkan hasil analisis mereka secara baik dan benar. Umumnya
hal ini terjadi pada mahasiswa yang dapat disebut sebagai “secara
18
19

Roy Stuckey and Others: 2007, loc.cit
Edward Rubin: 2007, ibid,h. 612;

7

tradisional tidak mengenal pendidikan hukum”, bahkan mungkin mereka
menjadi yang pertama dalam keluarga yang belajar hukum dan kemudian
praktik hukum.
Kuncinya tidak hanya tergantung pada pengembangan penelitian dan
keterampilan menulis,tetapi yang lebih penting lagi adalah berpikir analitis,
“seperti pengacara”. Oleh karenanya mahasiswa harus selalu diajak berpikir
dan melihat masalah secara simultan yaitu tentang fakta yang nyata,
aturan yang berhubungan dengan fakta dan aturan tentang kebijakan
publik. Oleh karena itu pengajaran kepada mahasiswa harus pengajaran
yang bersifat tradisional dan agressif dilakukan secara bersama, dimana
mahasiswa akan memahami isi doktrin, keterampilan dasar analisa hukum
dan tentu saja argumentasi.20
Sebagai bahan untuk mengkaji ulang tidak ada salahnya kalau kita
melihat pendidikan hukum di Inggris, khsusnya di Fakultas Hukum
Universitas Cambridge.21
Year 1 (Part IA)
In the first year, all students take the same four papers:
Criminal Law
Constitutional Law
Civil Law
Law of Tort
Year 2 (Part IB)
Contract Law and Land Law. Other options are:
Family Law
International Law
Administrative Law
Criminal Procedure and Evidence
Legal History
Civil Law II
Criminology, Sentencing and the Penal System
European Union Law
Year 3 (Part II)
Equity and European Union Law,
but you can develop your interests in, for instance:
commercial law
public law subjects
Roger J. Dennis: 2009, BUILDING A NEW LAW SCHOOL: A STORY FROM THE TRENCHES,
RUTGERS LAW REVIEW, Vol. 61:4, h. 1084;

20

21

http://www.study.cam.ac.uk/undergraduate/publications/prospectus/docs/UGP2013_Courses.pdf

8

labour law
more theoretical aspects of law,
such as jurisprudence
You can take certain half-papers as well.
In recent years, subjects available have included:
Landlord and Tenant Law
European Human Rights Law
Medical Law
Media Law
You can also participate in a seminar course,
submitting a dissertation in place of one paper.
Seminar courses vary each year but in the past
have included Family in Society, Women and the
Law, Ethics and Criminal Law, Public Law, and International Law.
Kalau andaikata kita anggap terlalu jauh, maka kita dapat melihat di
negara tetangga Australia, yaitu Fakultas Hukum Austalian National
University.22
Bachelor of Laws (4300) (full-time) – Suggested Degree Pattern
First semester
Second semester
Year 1
.LAWS1201 Foundations of Australian Law
.LAWS1202 Lawyers,
(48 units)
.LAWS1203 Torts
Justice and Ethics
.2 non-Law first-year electives
.LAWS1204 Contracts
.2 non-Law first-year
electives
Year 2
.LAWS1205 Australian Public Law
.LAWS2250 International
(48 units)
.LAWS1206 Criminal Law and Procedure
Law
.LAWS2203 Corporations Law
.LAWS2249 Legal Theory
.1 non-Law later-year elective
.LAWS2202
Commonwealth
Constitutional Law
.1 non-Law later-year
elective
Year 3
.LAWS2201 Administrative Law
.LAWS2205 Equity and
(48 units)
.LAWS2204 Property
Trusts
.1 Law elective
.2 Law electives
.1 non-Law later-year elective
.1 non-Law later-year
elective
Year 4
.LAWS2244 Litigation and Dispute Management
.LAWS2207 Evidence
(48 units)
.3 Law electives
.3 Law electives
Program Tota
192 units

Dari apa yang kita baca diatas kita dapat melihat, bahwa mata kuliah
yang diajarkan dari tahun pertama mahasiswa mulai kuliah adalah
masalah hukum yang akan dihadapi sehari-hari, seperti perbuatan
22

http://law.anu.edu.au/Publications/llb/2011/LLB_JD_Handbook_2011.pdf

9

melawan hukum, kontrak, hukum pidana dan tananegara kalau di
Cambridge Inggris, sedang di ANU Australia, selain perbuatan melawan
hukum, diajarkan juga dasar hukum Australia, kontrak serta ahli hukum,
keadilan dan etika.
Sementara kita di Fakultas Hukum UII, berdasarkan kurikulum
2002,23 diawal tahun mahasiswa masih berkutat pada mata kuliah seperti
pengantar

ilmu

hukum,

pengantar

hukum

Indonesia,

pendidikan

pancasila, pendidikan kewarganegaraan dan seterusnya. Melihat komposisi
kurikulum yang ditawarkan oleh fakultas Hukum UII yand terdiri dari
kurikulum inti dan kurikulum instutuisonal.
Komposisi Kurikulum24
Kurikulum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia merupakan
gabungan antara Kurikulum Inti sebanyak 78 SKS dan Kurikulum
Institusional sebanyak 66 SKS.
1. Kurikulum Inti (78 SKS) dikelompokkan menjadi lima kelompok mata
kuliah:
a. MK Pengembangan Kepribadian (MPK) 6 SKS
1) MK Keilmuan dan Ketrampilan (MKK) 49 SKS
2) MK Keahlian Berkarya (MKB) 13 SKS
3) MK Perilaku Berkarya (MPB) 4 SKS
4) MK Berkehidupan Bersama (MBB) 6 SKS
----------------------------Jumlah = 78 SKS
2. Kurikulum Institusional (66 SKS) dikelompokkan menjadi :
a. Mata Kuliah Institusional Pokok
1) MK Pengembangan Kepribadian (MPK) 8 SKS
2) MK Keilmuan Berkarya (MKK) 34 SKS
3) MK Keahlian Berkarya (MKB) 4 SKS
4) MK Perilaku Berkarya (MPB) 2 SKS
5) MK Berkehidupan Bersama (MBB) 2 SKS
b. Mata Kuliah Institusional Pilihan Bebas
MK Keilmuan dan Keterampilan (MKK) 12 SKS
c. Mata Kuliah Institusional Pilihan Hukum Islam
MK Keilmuan dan Keterampilan (MKK) 2 SKS
d. Mata Kuliah Institusional Pilihan Pendid.Kemahiran
MK Keahlian Berkarya (MKB) 2 SKS
----------------------------Jumlah = 66 SKS

23
24

http://unisys.uii.ac.id/index.asp?u=410&b=I&v=1&j=I&id=8
http://unisys.uii.ac.id/index.asp?u=410&b=I&v=1&j=I&id=6

10

Kalau

kita

lihat

penekanan

kurikulum

Universitas Cambridge di Inggris, dan
penekanan

mulai

untuk

Fakultas

Hukum

di ANU Australia, akan

terlihat

membantu

pada

mahasiswa

mengembangkan

pengetahuan dan pemahaman tentang keterampilan profesional dan nilainilai, termasuk kepekaan terhadap klien yang berpusat pada kegiatan
praktik. Mata kuliah keterampilan profesional, terutama transaksional dan
peradilan,

ditawarkan kepada semua mahasiswa mulai tahun kedua.

Mahasiswa mulai diajak memecahkan masalah yang lebih komplek dan
problem yang lebih canggih.
Selain itu dimulai pula program observasi yang diperlukan dan diatur
untuk memberikan mahasiswa kesempatan mengamati dan merenungkan
praktik hukum. Tujuan dari pengalaman tersebut harus mengembangkan
pemahaman mahasiswa terhadap nilai-nilai profesional dan komitmen
terhadap nilai-nilai tersebut, termasuk mencari keadilan, mendorong
penghormatan terhadap aturan hukum, dan cara berurusan secara baik
dan efektif dengan klien yang beragam.
Penekanan
mahasiswa

pada

tahun

mengembangkan

ketiga

harus

pemahaman

untuk

mereka

terus

membantu

dalam

pemecahan

masalahdan keahlian keahlian dan menumbuhkan "kebijaksanaan praktik."
Program seperti ini dapat diatur dengan dilakukannya praktik bersama
Fakultas Hukum dan para praktisi perorangan atau firma hukum, dimana
mahasiswa

bekerja

secara

individu

dan

dalam

kelompok

untuk

menyelesaikan masalah hukum. Sudah barang tentu, hal ini bisa juga
dilakukan

dalam

praktik

diperusahaan

tertentu.

Mahasiswa

untuk

berpartisipasi dalam “in-house lawyers team” di perusahaan tertentu. Atau
mungkinn juga bisa berpraktik sebagai pembantu bagi panitera di
pengadilan atau membantu jaksa.
memiliki

akses

ke

program

Mahasiswa pada tahun ketiga harus

yang

terjangkau

dan

mungkin

untuk

mempersiapkan mereka menjadi praktisi, paling kurang harus ada
pengetahuan cukup untuk menjadi praktisi atau bekerja di perusahaan.
Dengan komposisi mata kuliah di fakultas Hukum UII seperti yang
yang ada ini, kita tidak mempunyai catatan yang lengkap sebagai hasil
evaluasi

dari

kurikulum

yang

ada.
11

Sebab

pertanyaan

yang

patut

disampaikan,

fakultas

Hukum

UII

ini

sudah

sampai

dimana

dan

menghasilkan apa ?.
Pertanyaan yang juga patut dijawab, keberhasilan alumni UII dalam
pentas penegakan hukum ini, apakah memang karena kurikulum yang ada
sudah mendukung, atau karena kerja keras dan nasib baik alumni yang
dianggap berhasil. Hal ini penting untuk dijawab, agar Fakultas Hukum
dan alumni dapat melihat fakta ini sebagai fakta yang nyata, bukan hanya
mimpi atau asumsi telah berhasil.
Proyek bersama Fakultas Hukum
Yang tidak kalah penting untuk dipikirkan dan dilakukan sekarang
adalah membentuk satu kerjasama antar Fakultas Hukum,25 khususnya di
DIY dan Jawa Tengah, yang dapat digunakan untuk memperluas jaringan
dengan praktisi hukum perorangan atau firma hukum yang tidak terlalu
besar. Ini penting untuk membaktikan diri membantu masyarakat kecil
atau

berpendapatan

rendah,

seperti

yang

dilakukan

oleh

Lembaga

Konsultasi dan Bantuan Hukum. Namun kegiatan yang sekrang ini
dilakukan secara bersama dengan Fakultas Hukum yan lain dan praktisi
perorangan serta firma hukum yang tidak terlalu besar. Hal ini sangat
penting terutama dalam membantu meningkatkan akses bagi masyarakat
kurang mampu untuk mendapatkan keadilan dan yang memerlukan
pembelaan atau bantuan hukum.
Dalam kesempatan seperti ini semua Fakultas Hukum yang terlibat
dalam kerjasama dapat mengintegrasikan kurikulum mereka secara
langsung dan mendidik mahasiswa belajar melakukan praktik hukum
dalam satu kominitas yang berbasis praktik hukum, seperti dalam membela
kasus-kasus kecil, termasuk perlindungan konsumen.
Keadaan ini bukan hanya menjadikan konsorsium sebaga fasilitator
bagi praktisi hukum perorangan atau kantor pengacara yang tidak besar,
tetapi ini akan menghubungkan mereka secara langsung dengan sumber
yang mencetak Sarjana Hukum dan mereka akan mendapat kesempatan
25

Deborah Howard: 2002, THE LAW SCHOOL CONSORTIUM PROJECT: LAW SCHOOLS
SUPPORTING GRADUATES TO INCREASE ACCESS TO JUSTICE FOR LOW AND MODERATEINCOME INDIVIDUALS AND COMMUNITIES, FORDHAM URBAN LAW JOURNAL, Vol. XXIX, h. 1245;
12

untuk memilihlulusan Fakultas Hukum untuk tersu bekerja sebagai
praktisi hukum. Ini tentu akan menjadi pengalaman yang baik bagi
mahasiswa, karena mereka berkesempatan untuk berpraktik hukum
membantu masyarakat secara langsung. Sudah barang tentu ini juga
penting untuk Fakultas Hukum, karena dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat kecil baik secara individu maupun bagi satu komunitas
tertentu.
Keadaan ini juga bermakna, bagi praktisi hukum perorangan atau
kantor advokat dalam meningkatkan jumlah dan kualitas layanan hukum
yang dapat mereka lakukan. Tentu kalau mimpi ini terwujud dan sukses
sebagai satu model bantuan hukum, pasti akan mempunyai pengaruh yang
cukup besar bagi pendidikan hukum, selain memberikan layanan hukum,
juga akan menjadi bentuk upaya nyata dalam membangun profesionalisme
diantara lulusan sekolah hukum.
Kegiatan bersama Fakultas Hukum ini dapat merupakan proyek
percontohan dalam meningkatkan kolaborasi antara akademisi hukum dan
praktisi hukum yang melibatkan mahasiswa hukum. Kegiatan seperti ini
secara

pasti

akan

menambah

kepekaan

mahasiswa

hukum

dalam

menghadapi realitas sosial. Mahasiswa tidak hanya belajar teori secara
abstak, tetapi memberi pengalaman nyata kepada mahasiswa tentang satu
perkara.
Tentu pada sisi yang lain, kegiatan ini adalah bentuk respons yang
nyata dari Fakultas Hukum dalam rangka menyambut lahirnya UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG
BANTUAN HUKUM, dan memperaktikkan maksud dari kelahiran undangundang ini.

Pendidikan menjadi praktisi
Ada satu cerita menarik yang dikemukakan oleh Donald Bradley pada
tahun 2005,26 tentang satu training yang dia alami. Menurut dia pelatihan
pengacara di firma hukum sekarang "sangat berbeda" dari ketika ia
memasuki profesi hukum di tahun 70an yang lalu. Dia menggambarkan
26

http://law.gsu.edu/ccunningham/Professionalism/FordhamPanel-I.pdf, h- 8-9;

13

dirinya sebagai produk dari on-the job training ... duduk dengan mitra
senior dan mitra tingkat menengah selama lima tahun, yang berusaha
mendidik artinya menjadi pengacara dan nilai-nilai harus dimiliki dan
keterampilan yang harus dikembangkan, dikatakannya,
“I was a product of on-the-job training and had the pleasure –
sometimes pain – of sitting with a senior partner and a mid-level
partner for about five years, trying to teach me what it meant to be
a lawyer and the values I should possess and the skills I should
develop.
But I think the observation that perhaps superior training at large
law firms is not as great as it used to be just doesn’t appreciate the
forces that have changed the practice of law in the last twenty-five
years. They are very, very significant. I don’t think they have
anything to do about money. Frankly, a lot of those forces have not
been for the best”.
Pengalaman seperti inilah yang terjadi dan dialami para Pembela
Umum di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di

tahun 1980an awal,

dengan bimbingan para Advokat Senior, separti almarhum Djamaludin Dt
Singomangkuto, Prof. Ting Swan Tiong, Andi Zainal Abidin, Lukman
Wiriadinata, mantan Ketua mahkamah Agung Surjadi. Pembela Umum
selain belajar memecahkan kasus secara langsung dengan bimbingan para
Advokat Senior ini, tentu pada saat yang sama secara tidak langsung
belajar juga tentang etika dan hubungan sesama advokat. Para advokat
senior ini, mengajar bukan karena uang, tetapi betul-betul, karena prihatin
pada kemampuan para Pembela Umum yang belum cukup memadai untuk
membela kasus-kasus besar dan banyak pada saat bersamaan.
Tentu situasi sekarang berbeda dengan situasi lebih dari 30 tahun
lalu, dimana sekarang untuk menjalankan professi hukum lebih mudah
dilakukan dan sarana untuk melakukan pekerjaanpun cukup banyak dan
mudah untuk mendapatkannya.
Dalam

praktik

hukum

sekarang,

sangat

tidak

mudah

untuk

menemukan orang-orang berdedikasi tinggi dan tidak dibayar untuk
mendidik para advokat muda. Cukup banyak pensiunan hakim, jaksa atau
polisi bahkan pensiunan Guru Besar yang tidak ingin pensiun, tetapi justru
mereka menjadi pesaing baru bagi para advokat. Sebab begitu banyak para
14

pensiunan ini, yang bahkan sebelum masa pensiun mereka sudah secara
tidak terang-terangan membuka kantor advokat. Bahkan tidak jarang ada
yang sambil bekerja pada institusi tertentu, tetapi pada saat yang
bersamaan, mereka melakukan praktik hukum secara tidak langsung,
karena praktik hukum itu dilakukan atas nama orang lain.
Inilah fakta yang sulit dibantah dalam praktik hukum kita. Namun
demikian mungkin patut dicontoh, bagamana pendidikan praktisi di
Scotland, yang dilakukan untuk selama dua tahun, yang dilakukan oleh
orang-orang yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan tentang
masalah hukum yang diajarkan, bagi yang telah lulus dari Fakultas
Hukum, sebagaimana dikatakan oleh Paul Maharg,
“After qualifying with an LLB degree, students who wish to enter the
legal profession then begin the three-year course of professional
training and education. This begins with a course called the Diploma
in Legal Practice. Equivalent in many ways to the Legal Practice
Course in England and Wales, the Diploma sets out to train law
students in practice skills and knowledge, and to equip them for the
two-year traineeship that follows the Diploma”.27
Keadaan seperti ini juga terjadi di Inggris,28 dimana lulusan sekolah
hukum yang hendak menjadi praktisi ditawarkan untuk mengukuti
pendidikan sebagai praktisi selama satu tahun full time, dengan workshop
dua jam setiap minggu dan disuport dengan tutorial secara interaktif dan
tentu saja dengan pelatihan serta belajar mandiri dan riset mandiri pula.
Tentu tidak kalah menarik

apa yang dikemukan dalam kesimpulan

dari Carnegie Report, karena pendidikan hukum adalah pendidikan yang
mengesankan, sebab pendidikan hukum itu dalam waktu yang relatif
singkat

mampu

mendidik

mahasiswa

menyadari

dari

awal

sebagai

profesional dibidang hukum, memahami proses hukum, kemudian melihat
semua

sisi

argumen

hukum

serta

memilah

fakta

yang

dapat

di

pertanggungjawabkan dengan bahasa yang tepat. Dikatakan,

27 Paul Maharg: 2004, Professional Legal Education in Scotland, SSRN:
http://ssrn.com/abstract=1087762, h.2;
28 Fiona Boxall: 2003, Student Guide to the Legal Profession, Chambers and Partners Publishing, h.
30; http://www.college-of-law.co.uk/Our-Courses/LPC/LPC-study-modes/

15

“Law schools are impressive educational institutions. In a relatively
short period of time, they are able to impart a distinctive habit of
thinking that forms the basis for their students’ development as legal
professionals. … Within months of their arrival in law school,
students demonstrate new capacities for understanding legal
processes, for seeing both sides of legal arguments, for sifting
through facts and precedents in search of the more plausible
account, for using precise language, and for understanding the
applications and conflicts of legal rules…. [T]hey are learning, in the
parlance of legal education, to “think like a lawyer”.29
Menjadi praktisi yang baik dan handal itu tidak mudah. Sebab bukan
hanya memerlukan pendidikan yang memakan waktu yang lama, tetapi
juga memerlukan kesabaran yang luar biasa. Sehingga yang harus
dilakukan adalah mendidik mahasiswa sejak awal ketika mereka mulai
bergabung dengan fakultas hukum. Harus dibuatkan sarana dan dibangun
kontak yang baik antara mahasiswa dengan para praktisi. Mahasiswa
harus dilatih untuk menjadi pengacara atau hakim, jaksa atau penyidik.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengundang praktisi menjadi pembicara
tamu. Ini penting agar dapat mendidik mahasiswa memiliki keterampilan
intelektual

dan

dibuktikan

dengan

kemampuan

"berpikir

seperti

pengacara." Dalam arti memiliki kemampuan memecahkan masalah,
termasuk landasan analisis dalam fakta, secara komprehensif, relevan
sesuai dengan aturan, prinsip hukum, atau standar yang digunakan untuk
membuat keputusan.
Olok-olok Richard Susskind
Tahun 2009 Richard Susskind, mengeluarkan bukunya dengan judul
yang sangat provokatif, "The End of Lawyers?".30 Memang dalam buku ini
dia mengklaim bahwa masa depan bagi advokat atau pengacara pilihannya
menjadi makmur atau menerima bencana. Ditulis pula prediksinya bahwa
advokat atau pengacara yang tidak serius melakukan perubahan akan
mengalami posisi berjuang untuk bertahan hidup,31 namun bagi advokat
atau pengacara yang merangkul dan menggunakan teknologi secara
William M. Sullivan dkk: 2007, Ibid, h. 186
Richard Susskind: 2009, The End of Lawyers? Rethinking the Nature of Legal Services, Oxford
University Press.
31 Ibid, h. 269;

29
30

16

maksimal akan berkembang secara baik, terutama yang secara aktif
menggunakan tehnologi baru akan berdampingan dengan keberhasilan
ekonomi dan perdagangan.32
Seperti yang dikatakan oleh Richard Susskind, bahwa sebagian Law
Firm paling kurang mendapat tiga tekanan, yaitu mengurangi jumlah
advokat, lebih banyak menggunakan waktu untuk kepentingan firma dalam
kegiatan eksternal, dan ketiga mencari cara baru untuk melakukan
pekerjaan konsultan hukum dengan risiko yang kecil.
Mungkin saja apa yang dikemukan oleh Richard Susskind benar
adanya, seperti yang pernah dialami pembatik individual yang dikalahkan
oleh mesin yang sanggup mencetak jutaan kodi kain dengan bentuk dan
pola yang sama. Para advokat atau penasehat hukum akan mengalami
nasib yang buruk seperti para seniman dan pengrajin yang kehilangan
mata pencahariannya karena adanya kemajuan tehnologi dan banyaknya
informasi bebas dalam bidang jasa hukum. Dan ini berakibat bahwa jasa
hukum terutama yang bersifat umum dan merupakan pekerjaan ‘hukum
tradisional”, tidak lagi memerlukan seorang advokat, tetapi cukup ditanya
kepada Om Google dan Wikipedia semuanya terjawab sudah, sehingga
secara dramatis akan mengurangi pekerjaan para advokat atau pengacara
yang akan mempengaruhi pertumbuhan profesi hukum.
Memang betul bahwa pekerjaan advokat tidak bisa disamakan dengan
pekerjaan tukang batu, tukang kayu atau pekerja bengkel mobil atau
pekerjaan pengrajin mobil-mobilan kayu, namun otomatisasi pekerjaan
yang lebih besar bahkan dibidang konsultasi hukum akan sulit dicegah,
seperti munculnya ritel pasar massal, sehingga tidak tertutup kemungkinan
bahwa pekerjaan hukum akan menghasilkan lebih sedikit permintaan jasa
hukum

yang

dilakukan

oleh

manusia.

Betul

bahwa

32 Richard Susskind: 2007, Only a foolhardy lawyer will fail to embrace change,
http://business.timesonline.co.uk/tol/business/law/article2931356.ece

17

peningkatan

produktivitas

meningkatkan

permintaan

industri

pengetahuan

untuk

barang-barang pengetahuan.
Bukti bahwa penggunaan tehnologi dari tahun ketahun semakin
meningkat, bisa dilihat dari

penggunaan mesin ketik manual ditahun

70an, kemudian mesik ketik listrik akhir 70an dan komputer pada awal
80an, dan semua itu semakin mempermudah pemberian jasa, termasuk
jasa hukum. Sekarang bukan hanya komputer jinjing yang digunakan oleh
para praktisi hukum mengerjakan pekerjaan mereka, tetapi banyak yang
sudah menggunakan iPad. Sehingga mereka dapat bekerja dari segala
pelosok bumi dan dengan segera dapat mengirimkan hasil pekerjaannya di
beberapa belahan bumi secara bersamaan. Kemajuan tehnologi inilah yang
akan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan kegiatan seorang
advokat atau pengacara sebagai konsultan hukum pada masa yang akan
datang.
Lima puluh tahun yang akan datang mungkin kita tidak akan melihat
gaya dari advokat atau pengacara yang begitu hebat dan sanget necis,
karena advokat sudah menjadi seperti “tukang jahit” merek baju. Pekerjaan
yang selama ini begitu bergengsi sudah diambil dan dikerjakan oleh
outsourcing. Pekerjaan para advokat diambil alih oleh programmer IT dari
India yang menggunakan iPad buatan Cina tehnologi Korea. Dunia
melahirkan

tehnologi

hukum

baru,

pekerjaan

yang

dilakukan

oleh

programmer dari India seperti merakit isi dokumen kontrak atau perjanjian
menggantikan kerja tradisional Advokat atau pengacara di perusahaan.
Satu persatu firma hukum besar tumbang, bukan saja karena ditinggalkan
oleh advokat Junior yang sudah mampu merakit dokumen perjanjian, tetapi
karena pekerjaan mereka tidak memerlukan orang-orang berpengalaman
yang meminta dibayar mahal, sebab pekerjaan itu sudah dapat dikerjakan
oleh operator yang tidak memerlukan pendidikan hukum dan pengalam
praktik sebagai advokat. Muncul pesaing baru yaitu agen outsourcing dan
manajer profesional serta investor yang tidak memiliki komitmen nostalgia
untuk bisnis tradisional model untuk firma hukum. Tagihan untuk
pekerjaan corporate dengan tagihan per jam tidak akan ada lagi, semua
dibayar secara lumpsum yang dihasilkan oleh para advokat atau pengacara
18

muda yang bekerja secara keras. Jumlah tagihannya hanya cukup untuk
membayar satu cangkir Capuchino dan muffin chocolate di Starbucks.
Firma hukum hanya mengeluarkan nasihat hukum yang sangat
sfesifik, sebab nasehat hukum yang umum dan perjanjian-perjanjian biasa
bisa dicontek dari website yang bisa di download secara gratis. Sehingga
keahlian dibidang hukum itu tidak ada lagi, semua masalah hukum setiap
saat bisa ditanya kepada Google dan kemudian di download secara geratis.
Hampir tidak ada lagi Firma hukum, yang ada adalah firma segala ada.
Dalam firma ada advokat, ada akuntan, ada actuaris, meskipun mungkin
juga ada firma hukum yang sekaligus bergabung menjadi usaha dagang,
expor-impor pakaian bekas. Advokat-advokat membuka kios seperti kios
eceran pedagang handphone atau reparasi handphone.
Penutup
Kalau kita mau membicarakan respons kita terhadap perkembangan
masyarakat kedepan, dengan melihat kurikulum yang ada, menurut hemat
saya sudah pada tempatnya kalau arah pendidikan hukum yang dilakukan
oleh Fakultas Hukum UII ini kita arahkan untuk mendidik para praktisi.
Apakah praktisi yang berkhidmat pada kegiatan praktisi di tingkat lokal,
nasional atau internasional.
Pilihan untuk mendidik para praktisi ini sangat penting, karena
sebenarnya yang mengharu-biru penegakan hukum itu adalah para
praktisi. Para Guru Besar atau pemikir besar itu, pendapat dan pemikiran
mereka tidak jarang hanya digunakan oleh para praktisi sebagai alat
pembenaran dari pemahaman atau pendapat mereka yang terkadang tidak
jelas dan terkadang menyesatkan.
Para praktisilah yang menetukan arah penegakan hukum. Kualitas
penegakan hukum juga sangat tergantung dengan kualitas para praktisi,
sebagai Hakim, Jaksa, Penyidik dan tentu saja Pengacara. Kusut masainya
penegakan hukum kita sekarang dan kedapan, tidak terlepas dari besarnya
peran para praktisi dalam menentukan arah penegakan hukum.

19

Selain itu, pasar praktisi ini tidak akan pernah berkurang dan ini akan
tumbuh mengikuti perkembangan sosial dan politik di negara ini. Meskipun
mungkin saja para pengacara akan mengalami nasib seperti para pembatik
tradisional masa lalu.
Kalau Fakultas Hukum UII memilih pendidikan hukum ini untuk lebih
banyak melahirkan praktisi dan melakukan kegiatan “religious lawyering”,33
maka untuk menjaga kualitas hukum yang ditegakkan berkeadilan, maka
pendidikan “akhlaq yang baik” atau etika dan tanggung jawab professi
harus dilakukan sejak awal dan tentu saja pengetahuan yang memadai
tentang penggunaan teknologi secara maksimal dan peralatan modern.

Russell G. Pearce: 1998, Foreword, Symposium, The Religious Lawyering Movement: An Emerging
Force in Legal Ethics and Professionalism, 66 Fordham L. Rev. 1075; h. 1075

33

20