Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Koneksi Matematik

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Penelitian ini dilakukan pada kelas VIII di SMP Negeri 2 Tangerang
Selatan dengan mengambil dua kelas sebagai sampel melalui teknik cluster
random sampling, yaitu kelas VIII-1 sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII-2
sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa untuk setiap kelasnya sama yaitu 41
siswa. Kelas VIII-1 sebagai kelas eksperimen yang diajarkan dengan
menggunakan model Experiential Learning (EL) dan kelas VIII-2 sebagai kelas
kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional. Materi
matematika yang diajarkan adalah Kubus dan Balok.
Berikut disajikan analisis data hasil tes awal dan tes akhir pada kelas
eksperimen maupun kelas kontrol.
1. Hasil Tes Awal (Pretest) Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Data hasil tes awal kemampuan koneksi matematik yang diperoleh pada
kelas eksperimen maupun kelas kontrol, disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Deskripsi Hasil Tes Awal Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Kelas
Statistik
Eskperimen

Kontrol
Jumlah Siswa
41
41
Skor Ideal
100
100
Maksimum (Xmaks)
52
43
Minimum (Xmin)
0
0
Rata-rata
14,32
13,65
Median
11,62
11,50
Modus

-0,50
-0,50
Varians (S2)
144,02
108,88
Simpangan Baku (S)
12,00
10,43
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebaran data pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol terlihat relatif sama, hal ini dapat diidentifikasi dari nilai maksimum
kelas eksperimen maupun kelas kontrol dengan selisih 9, dan skor minimum

42

43

kedua kelas tersebut menunjukkan angka yang sama. Begitu pula dengan nilai
median kedua kelas tersebut hanya berselisih 0,12, dan untuk nilai modusnya
sama. Jika dilihat dari simpangan baku, kelas kontrol memiliki simpangan baku
yang lebih kecil daripada kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa nilai

kemampuan koneksi matematik siswa di kelas kontrol lebih seragam daripada
nilai siswa di kelas eksperimen.
Rata-rata hasil pretest kemampuan koneksi matematik siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol memiliki selisih 0,67. Perbedaan rata-rata tersebut
perlu diuji lebih lanjut untuk mengetahui rata-rata hasil pretest kemampuan
koneksi matematik siswa pada kedua kelas berbeda secara signifikan dengan
menggunakan analisis Independent Samples T Test (uji t).
Secara visual perbandingan penyebaran data hasil tes awal (pretest) antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.1.
18
16
14
Frekuensi

12
10
Kelas Eksperimen

8


Kelas Kontrol

6
4
2
0
0

10

20

30

40

50

60


Nilai

Gambar 4.1
Grafik Hasil Tes Awal (Pretest) Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

a) Hasil Pretest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen
Data hasil tes awal (pretest) kemampuan koneksi matematik siswa kelas
eksperimen disajikan dalam Tabel 4.2.

44

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Hasil Pretest Siswa Kelas Eksperimen
Frekuensi
Frekuensi Absolut Frekuensi
No. Interval
Kumulatif Kumulatif Relatif
fi
frelatif (%)

1
2
3
4
5
6

0-8
9 - 17
18 - 26
27 - 35
36 - 44
45 - 53
Jumlah

16
13
7
2
1

2
41

39,02
31,71
17,07
4,88
2,44
4,88
100

16
29
36
38
39
41

39,02%
70,73%

87,80%
92,68%
95,12%
100%

Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata pretest yang
diperoleh kelas eksperimen (14,32) berada pada interval 9 – 17, begitu pula
dengan nilai median yang berada pada interval yang sama. Namun, berbeda
dengan modusnya yang berada pada interval 0 – 8. Terdapat 12 siswa atau
sebesar 29,27% yang mendapat nilai lebih besar atau sama dengan nilai ratarata kelas. Siswa yang mendapat nilai di bawah rata-rata kelas ada 29 siswa
atau sebesar 70,73%.
b) Hasil Pretest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Kontrol
Data hasil tes awal (pretest) kemampuan koneksi matematik siswa kelas
kontrol disajikan dalam Tabel 4.3.
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Hasil Pretest Siswa Kelas Kontrol
Frekuensi Absolut
No. Interval
1
2

3
4
5
6

0–7
8 – 15
16 – 23
24 – 31
32 – 39
40 – 47
Jumlah

fi

frelatif (%)

14
13
7

4
2
1
41

34,15
31,71
17,07
9,76
4,88
2,44
100

Frekuensi
Kumulatif

Frekuensi
Kumulatif Relatif

14

27
34
38
40
41

34,15%
65,85%
82,93%
92,68%
97,56%
100%

Dari Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata pretest yang
diperoleh kelas kontrol (13,65) berada pada interval 8 – 15, begitu pula dengan

45

nilai median yang berada pada interval yang sama. Namun, berbeda dengan
modusnya yang berada pada interval 0 – 7. Terdapat 22 siswa atau sebesar
53,66% yang mendapat nilai lebih besar atau sama dengan nilai rata-rata
kelasnya. Siswa yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata kelas ada 19
siswa atau sebesar 46,34%.
c) Uji Prasyarat Analisis Data Hasil Pretest
Uji normalitas yang digunakan dalam analisis data pretest adalah uji ChiSquare. Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi data yang
diteliti berdasarkan kriteria dan taraf signifikansi tertentu yang sudah
ditetapkan. Kriteria pengujian yang digunakan, yaitu jika

,

artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
1) Uji Normalitas Data Hasil Pretest
Hasil perhitungan uji normalitas data hasil pretest untuk kelas
eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4
Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas Data Hasil Pretest

41

Taraf
Signifikan
0,05

7,815

41

0,05

7,815

Kelas

N

Eksperimen
Kontrol

Dari Tabel 4.4 diketahui bahwa harga
lebih besar dari harga

Kesimpulan
Populasi data tidak
berdistribusi normal
dari kedua kelas tersebut
, maka

ditolak. Dapat

disimpulkan bahwa data hasil pretest pada kelas eksperimen maupun kelas
kontrol berdistribusi tidak normal.
d) Uji Hipotesis Statistik Data Hasil Pretest
Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh kesimpulan bahwa data hasil
pretest dari kedua kelas tersebut berasal dari populasi yang berdistribusi tidak
normal, maka untuk pengujian hipotesisnya menggunakan uji non-parametrik,
yaitu uji Mann Whitney (uji “U”) untuk sampel besar. Pengujian hipotesis

46

diawali dengan menggabungkan data hasil pretest dari kedua kelas sampel,
kemudian memberikan rangking dari nilai terkecil hingga nilai terbesar untuk
setiap data, selanjutnya dilakukan perhitungan statistik dengan uji Mann
Whitney.
Hasil perhitungan data hasil pretest dengan uji Mann Whitney disajikan
pada Tabel 4.5.

N
82

Tabel 4.5
Hasil Perhitungan Uji Mann Whitney
Taraf
Uhitung
Zhitung
Ztabel
Kesimpulan
Signifikan
Terima
0,05
956,5
0,239
-1,645

Dari Tabel 4.5 terlihat bahwa

lebih besar dari

, maka Zhitung berada di daerah penerimaan H0. Dapat
disimpulkan bahwa rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa kelas
eksperimen tidak lebih tinggi atau sama dengan rata-rata kemampuan koneksi
matematik siswa kelas kontrol, ini berarti tidak terdapat perbedaan terhadap
kemampuan dari kedua kelompok tersebut. Sketsa kurva uji perbedaan data
hasil pretest dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2
Kurva Uji Perbedaan Data Hasil Pretest
2. Hasil Tes Akhir (Posttest) Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Data hasil tes akhir (posttest) kemampuan koneksi matematik yang
diperoleh pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol, disajikan pada Tabel 4.6.

47

Tabel 4.6
Deskripsi Hasil Tes Akhir Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Statistik

Kelas
Eksperimen

Kontrol

Jumlah Siswa

41

41

Skor Ideal

100

100

Maksimum (Xmaks)

95

76

Minimum (Xmin)

48

29

Rata-rata

65,74

52,40

Median

63,90

52,00

Modus

60,83

43,17

Varians (S2)

129,64

153,99

Simpangan Baku (S)

11,39

12,41

Tabel 4.6 menunjukkan sebaran data hasil posttest kemampuan koneksi
matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Nilai maksimum dan nilai
minimum kedua kelas sampel tersebut memiliki selisih yang sama besar yaitu 19.
Kelas eksperimen memiliki nilai median dan nilai modus yang lebih tinggi
dibanding nilai kelas kontrol. Jika dilihat dari varians dan simpangan bakunya,
kelas eksperimen memiliki varians dan simpangan baku yang lebih kecil daripada
kelas kontrol dengan selisih 1,023. Hal ini menunjukkan bahwa nilai hasil posttest
kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen lebih seragam daripada
nilai hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol. Rata-rata
hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas
kontrol memiliki selisih 13,34. Perbedaan rata-rata tersebut perlu diuji lebih lanjut
untuk mengetahui rata-rata hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa
pada kedua kelas sampel berbeda secara signifikan dengan menggunakan analisis
Independent Samples T Test (uji t).
Secara visual perbandingan penyebaran data hasil posttest kelas
eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.3.

48

14
12

Frekuensi

10
8
Kelas Eksperimen
6

Kelas Kontrol

4
2
0
0

20

40

Nilai

60

80

100

Gambar 4.3
Grafik Hasil Tes Akhir (Posttest) Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
a) Hasil Posttest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen
Data hasil tes akhir (posttest) kemampuan koneksi matematik siswa kelas
eksperimen disajikan dalam Tabel 4.7.
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Hasil Posttest Siswa Kelas Eksperimen
Frekuensi Absolut Frekuensi
Frekuensi
No. Interval
Kumulatif Kumulatif Relatif
fi
frelatif (%)
1
2
3
4
5
6

48 - 55
56 - 63
64 - 71
72 - 79
80 - 87
88 - 95
Jumlah

8
12
10
5
4
2
41

19,51
29,27
24,39
12,20
9,76
4,88
100

8
20
30
35
39
41

19,51%
48,78%
73,17%
85,37%
95,12%
100%

Dari Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata posttest (65,74) kelas
eksperimen berada pada interval 64 – 71. Berbeda dengan nilai median dan
modusnya yang berada pada interval 56 – 63. Terdapat 21 siswa atau sebesar
51,22% yang mendapat nilai lebih besar atau sama dengan nilai rata-rata kelas.
Siswa yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata kelas ada 20 siswa atau
sebesar 48,78%.

49

b) Hasil Posttest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Kontrol
Data hasil tes akhir (posttest) kemampuan koneksi matematik siswa kelas
kontrol disajikan dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Hasil Posttest Siswa Kelas Kontrol
Frekuensi Absolut Frekuensi Frekuensi Kumulatif
No. Interval
Kumulatif
Relatif
fi
frelatif (%)
1
2
3
4
5
6

29 – 36
37 – 44
45 – 52
53 – 60
61 – 68
69 – 76
Jumlah

4
9
8
8
7
5
41

9,76
21,95
19,51
19,51
17,07
12,20
100

4
13
21
29
36
41

9,76%
31,71%
51,22%
70,73%
87,80%
100%

Dari Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata posttest (52,4) kelas
kontrol berada pada interval 45 – 52, begitu pula dengan nilai mediannya yang
berada pada interval yang sama. Berbeda dengan modusnya yang berada pada
interval 37 – 44. Terdapat 20 siswa atau sebesar 48,78% yang mendapat nilai
lebih besar atau sama dengan nilai rata-rata kelas. Siswa yang mendapat nilai
di bawah nilai rata-rata kelas ada 21 siswa atau sebesar 51,22%.
c) Uji Prasyarat Analisis Data Hasil Posttest
Uji normalitas yang digunakan dalam analisis data posttest adalah uji
Chi-Square, untuk mengetahui distribusi data yang diteliti berdasarkan kriteria
dan taraf signifikansi tertentu yang sudah ditetapkan.
1) Uji Normalitas Data Hasil Posttest
Hasil perhitungan uji normalitas data hasil posttest untuk kelas
eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9
Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas Data Posttest
Taraf
Kelas
N
Kesimpulan
Signifikan
Eksperimen
41
0,05
7,815
Populasi data
berdistribusi
normal
Kontrol
41
0,05
7,815

50

Dari Tabel 4.9 diketahui bahwa harga
lebih kecil dari harga

dari kedua kelas tersebut
, maka

diterima. Dapat

disimpulkan bahwa data hasil posttest kedua kelas sampel berasal dari
populasi yang berdistribusi normal.
2) Uji Homogenitas Data Posttest
Setelah data hasil posttest dari kedua kelas sampel dinyatakan berasal
dari populasi yang berdistribusi normal, maka untuk mengetahui apakah
kedua varians sampel homogen dilakukan uji homogenitas menggunakan uji
Fisher. Hasil perhitungan uji homogenitas dapat dilihat pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10
Rekapitulasi Hasil Uji Homogenitas Data Hasil Posttest
Varians
Ftabel
Kelas
N
Fhitung
Kesimpulan
2
(s )
(α=0,05)
Eksperimen 41
129,639
1,1878
1,6928
Homogen
Kontrol
41
153,99
Dari Tabel 4.10 diketahui bahwa harga Fhitung lebih kecil dari harga
Ftabel (1,1878 ≤ 1,6928), maka H0 diterima. Dapat disimpulkan bahwa
varians kedua kelompok sampel homogen.
d) Uji Hipotesis Statistik
Setelah dilakukan uji prasyarat analisis diperoleh bahwa sampel berasal
dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen. Selanjutnya dilakukan
pengujian hipotesis dengan uji-t untuk mengetahui rata-rata hasil tes akhir
kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen yang diajarkan dengan
menggunakan model EL lebih tinggi secara signifikan daripada siswa kelas
kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional.
Hasil perhitungan uji hipotesis hasil posttest disajikan pada Tabel 4.11.

N
41
41

Tabel 4.11
Hasil Perhitungan Uji –t Data Hasil Posttest
Taraf
ttabel (α = 0,05)
thitung
Kesimpulan
Signifikan
Satu Pihak
0,05
5,072
1,664
Tolak H0
0,05

51

Berdasarkan

Tabel

4.11,

terlihat

thitung

lebih

besar

dari

ttabel

(5,072 > 1,664), maka H0 ditolak. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil tes
akhir kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen yang diajarkan
dengan menggunakan model Experiential Learning lebih tinggi daripada ratarata hasil tes akhir kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol yang
diajarkan dengan menggunakan model konvensional. Hal ini menunjukkan
terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematik antara kelas eksperimen
dengan kelas kontrol.
e) Perbandingan Hasil Posttest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Perbandingan hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12
Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Eksperimen
Kontrol
Skor
Indikator
Skor
Skor
Ideal
%
%
Siswa
Siswa
Koneksi Antar
9
225 5,488 60,98 162 3,951 43,90
Konsep Matematika
Koneksi Matematika
dengan Kehidupan
12
342 8,341 69,51 296 7,220 60,16
Sehari-hari
21
567 13,83 65,85 458 11,17 53,19
Keseluruhan
Tabel 4.12 menunjukkan perbedaan rata-rata hasil posttest kemampuan
koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Setiap indikator
koneksi matematik memiliki skor ideal yang berbeda, ini dikarenakan jumlah
soal yang mewakili tiap indikator juga berbeda. Indikator koneksi antar konsep
matematika diwakili oleh 3 nomor soal (soal nomor 1, 2, dan 3), dan indikator
koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari diwakili oleh 4 nomor soal
(soal nomor 4, 5, 6, dan 7), dengan skor ideal untuk setiap nomornya adalah 3.
Persentase skor kemampuan koneksi matematik yang diperoleh kelas
eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol untuk setiap indikatornya, baik
itu berupa koneksi antar konsep matematika, maupun koneksi matematika
dengan kehidupan sehari-hari. Selisih terbesar terdapat pada aspek koneksi

52

antar konsep matematika yaitu sebesar 17,08%. Sementara pada aspek koneksi
matematika dengan kehidupan sehari-hari, selisih persentase yang diperoleh
kelas eksperimen dan kelas kontrol sebesar 9,35%. Persentase skor keseluruhan
indikator koneksi matematik kelas eksperimen lebih tinggi 12,66% daripada
kelas kontrol. Dengan demikian secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada
kelas kontrol.
Secara visual perbandingan persentase kemampuan koneksi matematik
siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.4.
80
70
60
50
40
Eksperimen

30

Kontrol

20
10
0
Koneksi Antar Konsep
Matematika

Koneksi Matematika Dengan
Kehidupan Sehari-hari

Indikator Koneksi Matematik

Gambar 4.4
Persentase Skor Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

3. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Untuk mengetahui dan membandingkan peningkatan kemampuan koneksi
matematik siswa sebelum dan setelah dilaksanakan proses pembelajaran dengan
menggunakan model Experiential Learning untuk kelas eksperimen dan model
konvensional untuk kelas kontrol, maka dilakukan pengujian peningkatan
kemampuan koneksi matematik dengan menggunakan analisis gain ternormalisasi

53

(normalized gain). Berikut deskripsi peningkatan kemampuan koneksi matematik
siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol yang disajikan dalam Tabel 4.13.
Tabel 4.13
Deskripsi Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Kelas
Statistik
Eksperimen
Kontrol
Jumlah Siswa
41
41
Skor Ideal
100
100
Maksimum (Xmaks)
0,900
0,688
Minimum (Xmin)
0,353
0,222
Rata-rata
0,603
0,455
Median
0,596
0,451
Modus
0,501
0,429
2
Varians (S )
0,017
0,015
Simpangan Baku (S)
0,131
0,122
Dari Tabel 4.13 dapat diketahui bahwa nilai gain maksimum kelas
eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol dengan selisih 0,212, begitupula
dengan nilai gain minimumnya, kelas eksperimen memiliki nilai yang lebih besar
0,131 dibanding kelas kontrol. Hal yang sama terjadi pada nilai median dan
modusnya, kelas eksperimen memperoleh nilai yang lebih tinggi dibanding kelas
kontrol. Jika dilihat dari simpangan bakunya, kelas kontrol memiliki simpangan
baku yang lebih kecil daripada kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan nilai kemampuan koneksi matematik siswa di kelas kontrol lebih
seragam daripada nilai siswa di kelas eksperimen. Rata-rata peningkatan
kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
memiliki selisih 0,148. Perbedaan tersebut perlu diuji lebih lanjut untuk
mengetahui rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara signifikan dengan
menggunakan analisis uji t.
Secara visual perbandingan penyebaran data hasil peningkatan (gain)
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.5.

54

14
12

Frekuensi

10
8
Kelas Eksperimen
6

Kelas Kontrol

4
2
0
0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

Nilai

Gambar 4.5
Grafik Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
a) Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen
Data hasil gain kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen
disajikan dalam Tabel 4.14.
Tabel 4.14
Distribusi Frekuensi Gain Siswa Kelas Eksperimen
Frekuensi
Frekuensi
Frekuensi
Absolut
No.
Interval
Kumulatif Kumulatif Relatif
fi frelatif (%)
1
0,353 - 0,444 4
9,76
4
9,76%
2
0,445 - 0,536 12
29,27
16
39,02%
3
0,537 - 0,628 7
17,07
23
56,10%
4
0,629 - 0,720 9
21,95
32
78,05%
5
0,721 - 0,812 7
17,07
39
95,12%
6
0,813 - 0,904 2
4,88
41
100%
Jumlah
41
100
Dari Tabel 4.14 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata gain (0,603) kelas
eksperimen berada pada interval 0,537 - 0,628, begitu pula dengan nilai
mediannya yang berada pada interval yang sama. Berbeda dengan nilai
modusnya yang berada pada interval 0,445 – 0,536. Terdapat 21 siswa atau
sebesar 51,22% yang mendapat nilai lebih besar atau sama dengan nilai rata-

55

rata gain. Siswa yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata gain ada 20 siswa
atau sebesar 48,78%.
b) Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Kontrol
Data hasil gain kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol
disajikan dalam Tabel 4.15.
Tabel 4.15
Distribusi Frekuensi Gain Siswa Kelas Kontrol
Frekuensi
Frekuensi
Frekuensi
Absolut
No.
Interval
Kumulatif Kumulatif Relatif
fi frelatif (%)
1
0,222 - 0,299 5
12,20
5
12,20%
2
0,300 - 0,377 7
17,07
12
29,27%
3
0,378 - 0,455 9
21,95
21
51,22%
4
0,456 – 0533 8
19,51
29
70,73%
5
0,534 - 0,611 7
17,07
36
87,80%
6
0,612 - 0,689 5
12,20
41
100%
Jumlah
41
100
Dari Tabel 4.15 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata gain (0,455) kelas
kontrol berada pada interval 0,378 - 0,455, begitu pula dengan nilai median dan
modusnya yang berada pada interval yang sama. Terdapat 20 siswa atau
sebesar 48,78% yang mendapat nilai lebih besar atau sama dengan nilai ratarata gain. Siswa yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata gain ada 21 siswa
atau sebesar 51,22%.
c) Uji Prasyarat Analisis Data Gain
Uji normalitas yang digunakan dalam analisis data gain adalah uji ChiSquare. Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi data gain
yang diteliti berdasarkan kriteria dan taraf signifikansi tertentu yang sudah
ditetapkan. Kriteria pengujian yang digunakan, yaitu jika
artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
1) Uji Normalitas Data Gain
Hasil perhitungan uji normalitas data gain untuk kelas eksperimen dan
kelas kontrol disajikan pada Tabel 4.16.

56

Tabel 4.16
Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas Data Gain
Taraf
Kelas
N
Kesimpulan
Signifikan
Eksperimen 41
0,05
7,815
Populasi data
berdistribusi
normal
Kontrol
41
0,05
7,815
Dari Tabel 4.16 diketahui bahwa harga
tersebut lebih kecil dari harga

dari kedua kelas
, maka

diterima.

Dapat disimpulkan bahwa data gain dari kedua sampel berasal dari populasi
yang berdistribusi normal.
2) Uji Homogenitas Data Gain
Setelah data gain dari kedua kelas sampel dinyatakan berasal dari
populasi yang berdistribusi normal, maka untuk mengetahui apakah kedua
varians sampel homogen dilakukan uji homogenitas menggunakan uji
Fisher.
Hasil perhitungan uji homogenitas data gain dapat dilihat pada Tabel
4.17.
Tabel 4.17
Rekapitulasi Hasil Uji Homogenitas Data Gain
Varians
Ftabel
Kelas
N
Fhitung
Kesimpulan
(s2)
(α=0,05)
Eksperimen
41
0,017
1,1474
1,6928
Homogen
Kontrol
41
0,015
Dari Tabel 4.17 diketahui bahwa harga Fhitung lebih kecil dari harga
Ftabel (1,1474 ≤ 1,6928), maka H0 diterima. Dapat disimpulkan bahwa
varians kedua kelompok sampel homogen.
d) Uji Hipotesis Statistik Data Gain
Setelah dilakukan uji persyaratan analisis terhadap data gain diperoleh
bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen.
Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis, yaitu untuk mengetahui perbedaan
rata-rata gain kemampuan koneksi matematik siswa antara kelas eksperimen

57

yang diajarkan dengan menggunakan model Experiential Learning dengan
kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional.
Pengujian dilakukan dengan uji-t. Hasil perhitungan uji hipotesis statistik data
gain disajikan pada Tabel 4.18.

N
41
41

Tabel 4.18
Hasil Perhitungan Uji –t Data Gain
Taraf
ttabel (α = 0,05)
thitung
Kesimpulan
Signifikan
Satu Pihak
0,05
5,305
1,664
Tolak H0
0,05

Berdasarkan Tabel 4.18, thitung lebih besar dari ttabel (5,305 > 1,664), maka
H0 ditolak, artinya terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi
matematik siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dapat disimpulkan
bahwa rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang
diajarkan dengan menggunakan model Experiential Learning lebih tinggi
daripada rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang
diajarkan dengan model konvensional.
e) Perbandingan Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Perbandingan peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 4.19.
Tabel 4.19
Perbandingan Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik
Eksperimen
Kontrol
Indikator
Kategori
Kategori
Gain
Gain
Antar Konsep
0,536
Sedang
0,411
Sedang
Matematika
Matematika dengan
0,645
Sedang
0,559
Sedang
Kehidupan Sehari-hari
0,603
Sedang
0,455
Sedang
Keseluruhan
Tabel 4.19 menunjukkan perbedaan peningkatan kemampuan koneksi
matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Rata-rata gain untuk
indikator koneksi antar konsep matematika pada kelas eksperimen lebih tinggi
daripada rata-rata gain kelas kontrol dengan selisih 0,125. Demikian pula,

58

untuk indikator koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari, rata-rata
gain kelas eksperimen 0,086 lebih tinggi daripada rata-rata gain kelas kontrol.
Indikator secara keseluruhan pun, kelas eksperimen memiliki rata-rata gain
kemampuan koneksi matematik siswa yang lebih tinggi daripada kelas kontrol.
Peningkatan pada indikator koneksi antar konsep matematika lebih tinggi
daripada peningkatan pada indikator koneksi matematika dengan kehidupan
sehari-hari, hal ini dapat dilihat dari selisih rata-rata gain antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol untuk masing-masing indikator. Peningkatan
(gain) untuk kedua indikator dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berada
pada kategori yang sama, yaitu sedang.
Secara visual perbandingan peningkatan kemampuan koneksi matematik
siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.6.
0.700
0.600
0.500
0.400
0.300

Eksperimen

0.200

Kontrol

0.100
0.000

Koneksi Antar Konsep
Matematika

Koneksi dengan
kehidupan Sehari-hari

Indikator Koneksi
Gambar 4.6
Perbandingan Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil uji hipotesis, hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematik antara siswa kelas eksperimen
dan kelas kontrol. Rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan
dengan menggunakan model Experiential Learning lebih tinggi daripada

59

kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan
model konvensional. Demikian pula, dengan peningkatan kemampuan koneksi
matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan model Experiential
Learning lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa
yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional.
Model Experiential Learning (EL) mendorong siswa secara aktif terlibat
langsung dalam proses pembelajaran. Siswa bukanlah objek dalam pembelajaran,
melainkan sebagai pelaku dalam mencapai tujuan pembelajaran, sehingga
pembelajarannya bersifat student-centered. Pembelajaran dengan model ini
memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengkonstruk pengetahuan baru atau
konsep yang akan dipelajari menggunakan pengetahuan sebelumnya. Berbeda
dengan model konvensional yang biasa diterapkan oleh guru di sekolah tersebut.
Pembelajarannya masih bersifat teacher-centered, yaitu guru menyampaikan
materi dan contoh soal secara verbal (lisan), siswa mendengarkan dan mencatat
materi yang disampaikan, serta mengerjakan latihan soal berdasarkan contoh yang
diberikan. Pembelajaran ini membuat siswa kurang aktif dalam proses
pembelajaran

dan

tidak

memberikan

kesempatan

bagi

siswa

untuk

mengkoneksikan pengetahuan yang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya.
Pembelajaran dengan menggunakan model Experiential Learning berarti
melakukan pembelajaran dengan empat tahapan, yaitu concrete experience,
reflective observation, abstract conceptualization, dan active experimentation.
Pengetahuan atau konsep yang akan dipelajari disusun berdasarkan tujuan yang
hendak dicapai dalam pembelajaran matematika yang disebut dengan bahan ajar.
Bahan ajar yang akan digunakan dibuat dalam bentuk Lembar Aktivitas Siswa
(selanjutnya disebut LAS) yang terdiri dari 4 tahapan model EL.
Proses pembelajaran diawali dengan salam pembuka dari guru, dilanjutkan
dengan berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Ketika guru memeriksa
kehadiran siswa, siswa menyiapkan diri untuk memulai pelajaran. Guru
menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai setelah proses
pembelajaran. Sebelum tahap concrete experience dilakukan, guru terlebih dahulu

60

membagi siswa menjadi kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 5-6
siswa.
Tahap pertama, dimulai dengan guru yang memperkenalkan konsep secara
figuratif menggunakan benda kongkrit dalam kehidupan sehari-hari berkaitan
dengan materi yang dipelajari, kemudian membagikan bahan ajar (LAS)
mengenai konsep yang dipelajari untuk semua kelompok. Di dalam LAS
diberikan permasalahan berupa pertanyaan-pertanyaan atau perintah untuk
melakukan suatu aktivitas yang menuntut siswa menggunakan pengetahuan yang
dimiliki. Contohnya, siswa menggunakan karakteristik bangun datar untuk
menemukan unsur-unsur dan sifat-sifat bangun ruang sisi datar pada benda
kongkrit. Tahap concrete experience, membantu siswa dalam mengasah
kemampuan koneksi matematika, baik koneksi antar konsep matematika maupun
koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari, karena siswa secara langsung
menggunakan benda nyata yang terdapat dalam kehidupan untuk memperoleh
pengalaman

belajar

dan

menggunakan

pengetahuan

sebelumnya

untuk

menemukan karakteristik dari konsep yang dipelajari.
Tahap kedua, siswa merefleksikan aktivitas pada tahap concrete
experience dengan mengobservasi atau mengamati karakteristik konsep yang
dipelajari dari perspektif yang berbeda. Contohnya, siswa mengobservasi unsurunsur dan sifat-sifat kubus dengan menentukan benar atau salah suatu pernyataan
melalui gambar kubus yang disajikan dalam LAS. Guru berperan dalam
membimbing dan mengawasi jalannya diskusi dengan memotivasi siswa untuk
terlibat aktif dalam pembelajaran. Tahap reflective observation, membantu siswa
dalam

mengembangkan

kemampuan

koneksi

matematika

karena

siswa

menggunakan pengalaman yang diperoleh pada aktivitas sebelumnya untuk
mengobservasi karakteristik/ sifat-sifat konsep yang dipelajari.
Tahap ketiga, siswa mengabstraksikan konsep yang dipelajari menjadi
konsep yang logis dengan menyimpulkan karakteristik konsep tersebut
berdasarkan aktivitas pada tahap-tahap sebelumnya. Guru sebagai a source of
information membimbing siswa dalam mengabstraksikan konsep yang dipelajari
dengan memberikan informasi tambahan untuk melengkapi hasil kesimpulan yang

61

dibuat. Konsep yang diabstraksi merupakan hasil siswa dalam mengkonstruk
pengetahuannya yang menjadi dasar (pedoman) dalam menyelesaikan suatu
permasalahan. Contohnya, siswa membuat kesimpulan mengenai pengertian,
unsur-unsur dan sifat-sifat kubus. Tahap abstract conceptualization, membantu
siswa dalam mengembangkan kemampuan koneksi antar konsep matematika
karena siswa menggunakan kemampuan matematika yang dimiliki untuk
mengabstraksikan konsep yang dipelajari.
Tahap keempat, siswa menggunakan konsep logis untuk menemukan
solusi dari berbagai permasalahan. Permasalahan yang terdapat pada tahap
keempat dalam LAS yang diberikan, berupa latihan soal-soal yang digunakan
untuk mengetahui pemahaman/ penguasaan siswa terhadap konsep yang
dipelajari. Selain itu, latihan soal tersebut juga membantu siswa dalam
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan koneksi matematiknya. Siswa
menggunakan kemampuan koneksi matematiknya untuk mengenali dan
memahami masalah yang diberikan agar dapat menemukan solusi dari masalah
tersebut. Peran guru di sini sebagai coach yang membimbing siswa menggunakan
konsep yang diperoleh dalam menyelesaikan latihan soal yang diberikan.
Pengetahuan yang diperoleh siswa dari tahap concrete experience sampai tahap
active experimentation akan menjadi pengalaman belajar yang digunakan siswa
untuk membangun pengetahuan selanjutnya.
Pada pertemuan-pertemuan awal pembelajaran, banyak siswa yang tidak
paham dan kesulitan dalam menyelesaikan tahapan pembelajaran dalam LAS
yang diberikan. Meskipun sebelumnya, peneliti sudah menjelaskan petunjuk
pengerjaan serta hal-hal apa saja yang harus diperhatikan. Hal ini menunjukkan
bahwa siswa tidak terbiasa menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk
mengkonstruk pengetahuan yang akan atau sedang dipelajari. Peneliti harus
menjelaskan maksud dari setiap pertanyaan dan membimbing siswa dalam
mengerjakan permasalahan atau perintah pada tahapan pembelajaran tersebut.
Padahal, seharusnya siswalah yang berusaha memahami dan menyelesaikannya
berdasarkan

pengetahuan

yang

dimiliki.

Sebagian

besar

siswa

dalam

kelompoknya tidak menyelesaikan tahapan pembelajaran dalam LAS yang

62

diberikan. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya pertanyaan dalam LAS yang
belum terjawab. Pembelajaran matematika dengan model EL untuk pertemuan
pertama dan kedua kurang berjalan sesuai harapan peneliti.
Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, proses diskusi pada
pertemuan-pertemuan berikutnya mulai berjalan kondusif. Sebagian besar siswa
mulai menunjukkan keinginannya untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, setiap anggota kelompok mulai aktif
dalam berdiskusi, saling berbagi informasi dan bertukar pendapat berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki. Hal ini juga terlihat dari semakin bertambahnya siswa
yang

mengemukakan

pendapatnya,

memperkuat

gagasan

yang

sudah

dikemukakan temannya, serta menanyakan hal yang kurang mereka pahami.
Keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat mulai meningkat, karena
mereka dibiasakan untuk memberikan tanggapan selama proses diskusi.
Selama proses pembelajaran di kelas eksperimen berlangsung, peneliti
menemukan bahwa ketika lingkungan belajar memungkinkan siswa untuk
melakukan pembelajaran sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, akan
memungkinkan sebagian besar siswa mampu mengkonstruk pengetahuannya
sendiri, sehingga pengetahuan yang mereka peroleh lebih melekat. Selain dari segi
kognitif, peneliti juga menemukan adanya peningkatan aktivitas belajar pada
siswa di kelas eksperimen. Sebagian siswa yang pasif pada pertemuan-pertemuan
awal

pembelajaran,

lama-kelamaan

menjadi

antusias

mengikuti

proses

pembelajaran yang berlangsung. Respon positif ini dapat dilihat dari semakin
meningkatnya siswa aktif dalam berdiskusi dan bertukar pendapat selama proses
pembelajaran pada setiap pertemuannya. Selain itu dapat dilihat juga dari
kesungguhan siswa dalam menyelesaikan setiap tahapan pembelajaran yang
terdapat dalam LAS. Melalui model Experiential Learning yang diterapkan,
peneliti berusaha untuk menciptakan lingkungan belajar aktif dan memberikan
kesempatan bagi siswa untuk belajar dalam suatu kelompok kecil yang memiliki
beragam pengalaman, pengetahuan dan kemampuan.
Sebagian besar siswa mengatakan lebih senang belajar melalui bahan ajar
(LAS) seperti yang disediakan pada model Experiential Learning daripada hanya

63

mendengarkan materi yang disampaikan secara langsung oleh gurunya. Hal ini
dikarenakan melalui LAS yang sudah disiapkan tersebut siswa dapat terlibat
langsung dalam pembelajaran, sehingga siswa benar-benar mengikuti proses
pembelajaran dari awal sampai akhir. Mulai dari menggunakan pengetahuan yang
dimiliki untuk mengetahui dan memahami konsep apa yang akan atau sedang
dipelajari, sampai pada akhirnya siswa dapat mengkonstruk sendiri konsep inti
dari apa yang mereka pelajari tersebut.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model Experiential Learning
memberikan kontribusi yang positif dalam pembelajaran matematika. Model ini
dapat diterapkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan koneksi
matematik siswa, khususnya kemampuan koneksi antar konsep matematika dan
koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari, serta membuat siswa aktif
dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Eulis Maulinahaq (Mahasiswa S1 Pendidikan Matematika UIN
Syarif

Hidayatullah

Jakarta),

bahwa

pembelajaran

matematika

dengan

menggunakan model Experiential Learning dapat meningkatkan pemahaman
konsep matematika siswa, dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan
memberikan respon positif dalam proses pembelajaran matematika.
Sebelum proses pembelajaran berlangsung atau sebelum siswa diberikan
perlakuan menggunakan model EL dan model konvensional, terlebih dahulu
dilakukan tes awal (pretest) untuk mengetahui kemampuan awal koneksi
matematik siswa. Pada akhir proses pembelajaran (sesudah siswa diberikan
perlakuan) menggunakan model EL dan model konvensional, juga dilakukan tes
akhir (posttest) dengan instrumen soal yang sama untuk mengetahui kemampuan
koneksi matematik siswa setelah proses pembelajaran dan untuk mengetahui
peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa.
Berikut perbandingan jawaban siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
untuk setiap indikator kemampuan koneksi matematik:

64

1.

Kemampuan Koneksi Antar Konsep Matematika
Soal yang memperlihatkan bagaimana kemampuan koneksi antar konsep

matematika adalah butir soal nomor 1, 2, dan 3. Berikut akan disajikan jawaban
siswa untuk pertanyaan nomor 3.
“Diketahui sebuah balok dengan ukuran panjang, lebar dan tingginya masingmasing adalah

cm,

cm, dan

cm. Jika jumlah panjang semua

rusuk balok adalah 100 cm, hitunglah nilai x.”

Gambar 4.7
Contoh Jawaban Posttest Siswa Kelas Eksperimen pada Indikator
Koneksi Antar Konsep Matematika

Gambar 4.8
Contoh Jawaban Posttest Siswa Kelas Kontrol pada Indikator Koneksi
Antar Konsep Matematika

65

Gambar 4.7 merupakan contoh jawaban posttest siswa kelas eksperimen
yang memperoleh skor 2 dari 3 untuk soal nomor 3. Dari gambar tersebut
menunjukkan bahwa siswa mampu mengenali dan memahami koneksi antar
konsep yang terdapat dalam soal, tetapi siswa masih salah dalam melakukan
perhitungan manipulasi aljabar. Sehingga hasil akhir yang diminta tidak terjawab
dengan benar. Gambar 4.8 merupakan contoh jawaban posttest siswa kelas kontrol
yang memperoleh skor 1 dari 3 untuk soal yang sama. Dari gambar terlihat bahwa
siswa memahami konsep apa yang harus digunakan tetapi belum mampu
mengkoneksikan konsep tersebut dengan panjang rusuk balok yang disajikan
dalam bentuk aljabar.
Dilihat dari hasil pretest dan posttest, baik siswa kelas eksperimen maupun
kelas kontrol pada indikator koneksi antar konsep matematik cenderung
mengalami peningkatan kualitas jawaban yang berbeda. Berdasarkan jawaban
pretest pada soal nomor 3, baik siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol
hampir semua siswa mendapat skor 0 dari 3 karena tidak menjawab. Hanya
beberapa diantaranya yang memperoleh skor 3 pada siswa kelas eksperimen dan
skor 1 pada siswa kelas kontrol.
Berdasarkan jawaban posttest untuk soal yang sama, siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol kebanyakan memperoleh skor 1 dari 3, yaitu
sebanyak 18 siswa atau sebesar 43,9%. Dari hasil jawaban siswa dengan skor 1
hanya menunjukkan pemahaman terhadap konsep jumlah panjang rusuk balok,dan
belum menunjukkan kemampuannya dalam mengenali dan memahami koneksi
antar konsep yang terdapat dalam soal. Perbedaan perolehan skor untuk soal
nomor 3 terlihat pada jumlah siswa yang memperoleh skor 0, 2 dan 3. Siswa kelas
eksperimen yang memperoleh skor 0 hanya 3 orang, sedangkan kelas kontrol
lebih dari 5 yaitu ada 7 orang. Siswa yang mendapat skor 0 dikarenakan tidak
memberikan jawaban dari pertanyaan yang diberikan. Hal ini menunjukkan
ketidakpahaman siswa terhadap konsep matematika dan koneksinya yang terdapat
dalam soal tersebut.
Siswa yang memperoleh skor 2 baik kelas eksperimen maupun kelas
kontrol hanya berselisih 1 orang, yaitu 12 siswa pada kelas eksperimen dan 11

66

siswa pada kelas kontrol. Dilihat dari hasil jawabannya, baik siswa kelas
eksperimen maupun kelas kontrol sudah menunjukkan pemahaman terhadap
koneksi antar konsep yang disajikan, dapat mensubtitusikan dengan benar ukuran
dari panjang setiap rusuk balok dalam konsep jumlah panjang semua rusuk balok,
tetapi masih ada kesalahan dalam proses perhitungannya.
Siswa kelas eksperimen yang memperoleh skor maksimum ada 8 orang
siswa atau sebesar 19,5%, sedangkan siswa kelas kontrol yang memperoleh skor
maksimum hanya 5 orang siswa atau sebesar 12,2%. Dilihat dari hasil jawaban
siswa yang mendapat skor maksimum menunjukkan bahwa siswa mampu
mengenali dan memahami keterkaitan antar konsep-konsep matematika untuk
menyelesaikan masalah dalam matematika. Tidak ada perbedaan yang begitu
signifikan dari hasil jawaban siswa yang memperoleh skor maksimum.
Selain dari kemampuan koneksi matematik untuk indikator koneksi antar
konsep matematika, perbedaan juga terlihat dari peningkatan kemampuan koneksi
matematik untuk indikator koneksi antar konsep matematika. Rata-rata
peningkatan (gain) kelas eksperimen (0,536) untuk indikator koneksi antar konsep
matematika lebih tinggi daripada rata-rata gain kelas kontrol (0,411) dengan
selisih peningkatannya sebesar 0,125. Gain kedua kelas sampel berada pada
kategori sedang. Hal ini membuktikan bahwa melalui pembelajaran matematika
dengan menggunakan model Experiential Learning untuk semua tahapannya,
khususnya pada tahap reflective observation, abstract conceptualization dan
active experimentation, cukup signifikan untuk meningkatkan kemampuan
koneksi matematik siswa pada indikator koneksi antar konsep matematika.
2.

Kemampuan Koneksi Matematika dengan Kehidupan Sehari-hari
Soal yang memperlihatkan bagaimana kemampuan koneksi matematika

dengan kehidupan sehari-hari adalah butir soal nomor 4, 5, 6 dan 7. Pertanyaan
nomor 5 adalah sebagai berikut:
“Diketahui sebuah bak mandi berukuran 100 cm x 80 cm x 90 cm. Alas dan
keempat sisinya akan dipasangi keramik. Jika biaya pemasangan keramik
setiap m2 adalah Rp 75.000,00, berapakah besar biaya yang harus
dikeluarkan?”

67

Gambar 4.9
Contoh Jawaban Posttest Siswa Kelas Eksperimen pada Indikator
Koneksi Matematika dalam Kehidupan Sehari-hari

Gambar 4.10
Contoh Jawaban Posttest Siswa Kelas Kontrol pada Indikator Koneksi
Matematika dalam Kehidupan Sehari-hari
Gambar 4.9 dan 4.10 merupakan contoh jawaban posttest siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol yang memperoleh skor 2 dari 3 untuk soal nomor 5.
Dari kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa siswa kelas eksperimen dan
kelas kontrol sama-sama mampu mengenali dan memahami konsep matematika
dan koneksinya dengan kehidupan sehari-hari. Perbedaan hasil jawaban siswa
justru terlihat dari proses dalam menghitung luas permukaan dan penggunaan
satuan luas. Dari Gambar 4.9 menunjukkan bahwa siswa kelas eksperimen kurang
teliti dalam menuliskan satuan luas yang seharusnya cm2 menjadi cm dan juga

68

salah dalam merubah satuan luas dari cm2 menjadi m2. Dari Gambar 4.10
menunjukkan bahwa siswa kelas kontrol kurang teliti dalam perhitungan
perkaliannya, sehingga menyebabkan perhitungan luas permukaan yang diminta
menjadi salah. Hal tersebut menyebabkan hasil akhir yang diminta tidak terjawab
dengan benar meskipun kedua siswa tersebut mampu mengkoneksikan konsep
matematika dengan kehidupan sehari-hari.
Dilihat dari hasil pretest dan posttest siswa, baik kelas eksperimen maupun
kelas kontrol pada indikator koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari
cenderung mengalami peningkatan kualitas jawaban yang berbeda. Berdasarkan
jawaban pretest pada soal nomor 5, baik siswa kelas eksperimen maupun siswa
kelas kontrol hampir semua siswa mendapat skor 0 dari 3 karena tidak menjawab.
Beberapa diantaranya memperoleh skor 2 dan 3 untuk siswa kelas eksperimen dan
skor 1 dan 2 untuk siswa kelas kontrol.
Berdasarkan jawaban posttest untuk soal yang sama, siswa kelas
eksperimen tidak ada yang memperoleh skor 0, sedangkan siswa kelas kontrol
masih ada yang memperoleh skor 0 sebanyak 4 orang atau sebesar 9,76%. Siswa
kelas kontrol yang memperoleh skor 0 dikarenakan tidak memberikan jawaban
dari pertanyaan yang diberikan. Siswa kelas eksperimen yang memperoleh skor 1
sebanyak 4 orang atau sebesar 9,76%, dan siswa kelas kontrol yang memperoleh
skor 1 sebanyak 16 orang atau sebesar 39%. Dilihat dari hasil jawaban siswa yang
memperoleh skor 1 baik siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol
dikarenakan siswa kurang tepat dalam menentukan rumus luas permukaan balok
yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari.
Siswa kelas eksperimen kebanyakan memperoleh skor 2 dari 3, yaitu
sebanyak 21 siswa atau sebesar 51,2%, sedangkan siswa kelas kontrol yang
memperoleh skor 2 sebanyak 12 orang atau sebesar 29,3%. Dilihat dari hasil
jawabannya, siswa kelas eksperimen sudah menunjukkan pemahaman terhadap
penggunaan konsep luas permukaan balok tanpa tutup, dapat mengkoneksikan
dengan biaya yang ditanyakan, tetapi masih ada kesalahan dalam proses
perhitungannya. Sedangkan siswa kelas kontrol menunjukkan pemahaman

69

penggunaan konsep luas permukaan balok tanpa tutup, masih terdapat kesalahan
dalam perhitungan luas permukaan yang akan dipasangi keramik, sehingga salah
dalam menghitung biaya pemasangan yang ditanyakan.
Siswa kelas eksperimen yang memperoleh skor maksimum sebanyak 16
orang atau sebesar 39%, sedangkan kelas kontrol sebanyak 9 orang atau sebesar
22%. Dilihat dari hasil jawaban siswa yang mendapat skor maksimum
menunjukkan bahwa siswa mampu mengenali dan memahami keterkaitan konsepkonsep matematika untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada perbedaan yang begitu signifikan dari hasil jawaban siswa yang
memperoleh skor maksimum.
Selain dari kemampuan koneksi matematik untuk indikator koneksi
matematika dengan kehidupan sehari-hari, perbedaan juga terlihat dari
peningkatan kemampuan koneksi matematiknya. Rata-rata peningkatan (gain)
siswa kelas eksperimen (0,645) untuk indikator koneksi matematika dalam
kehidupan sehari-hari lebih tinggi daripada kelas kontrol (0,559), dengan selisih
peningkatannya sebesar 0,086. Gain kedua kelas sampel berada pada kategori
sedang. Hal ini membuktikan bahwa melalui pembelajaran matematika dengan
menggunakan model Experiential Learning untuk semua tahapannya, khususnya
pada tahap concrete experience, cukup signifikan untuk meningkatkan
kemampuan koneksi matematik siswa pada indikator koneksi matematika dalam
kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa kemampuan koneksi matematik
siswa dapat ditingkatkan dengan menggunakan model Experiential Learning
dalam pembelajaran matematika. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rudy Kurniawan, bahwa kemampuan koneksi matematik siswa dapat
meningkat secara signifikan dengan menggunakan pendekatan kontekstual.
Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Nonoy Intan Haety dan Endang
Mulyana, bahwa pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran
Matematika Knisley (MPMK) dapat meningkatkan kemampuan koneksi
matematik siswa.

70

C. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari penelitian ini belum sepenuhnya sempurna meskipun
berbagai upaya telah dilakukan agar diperoleh hasil yang optimal. Ada beberapa
faktor yang sulit dikendalikan sehingga penelitian ini memiliki beberapa
keterbatasan, diantaranya:
1. Penelitian ini hanya diteliti pada pokok bahasan Kubus dan Balok, sehingga
belum dapat digeneralisasikan pada pokok bahasan lain.
2. Alokasi waktu yang terbatas menyebabkan perlunya persiapan dan pengaturan
yang lebih baik agar setiap tahapan dalam pembelajaran dengan menggunakan
model Experiential Learning dapat berlangsung lebih maksimal.
3. Penelitian ini hanya berlangsung selama satu bulan menyebabkan kurang
maksimalnya pengaruh pembelajaran matematika dengan menggunakan
model Experiential Learning terhadap kemampuan koneksi matematik.
Peneliti hanya melakukan kontrol terhadap subjek penelitian yang meliputi
variabel X (model Experiential Learning) dan variabel Y (kemampuan koneksi
matematik). Variabel lain seperti minat, motivasi, intelegensi, lingkungan belajar
dan lain-lain, tidak dapat dikontrol secara langsung. Hasil penelitian ini
kemungkinan dapat dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel yang ditetapkan
dalam penelitian ini.