Kaito41s Blog Makalah Etika Profesi dan

Kaito41’s Blog
Just another WordPress.com weblog

Makalah Etika Profesi dan Hukum Kesehatan
BAB I
PENDAHULUAN
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan
kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan
kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam
rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus
gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain,
dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis
yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik
tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari
kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga
pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal
didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa.
Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan
apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat

pun belum pernah diambil. Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul
dari tindakan malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masingmasing (keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang

tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui
sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hukum.
BAB II
LANDASAN TEORI
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal
tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah
sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau
buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi
bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana
saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia
menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia
menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi)
profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika

adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan
penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung
jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap
diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak
langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat
tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit. Bagi asosiasi profesi, etika
adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua
anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan
pelayanan profesi itu.
A. PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan
yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek
profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan
(perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan


dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society
de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan. Di dalam setiap
profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh
sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah
diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut
pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut
yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan
berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu
dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaanperbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka
ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau
yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
B. MALPRAKTEK DI BIDANG HUKUM
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan
Administrative malpractice.
Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni perbuatan
tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela dan
dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):
1. Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan,
yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj
diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling
banyak enam ratu rupiah.

Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu
hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
1. Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal
346 KUHP Mengatakan:
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.

1. Pasal 348 KUHP menyatakan:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun enam bulan
Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
1. Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang
tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
1. Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
pidana penjara paling lama lima tahun.
Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipdana.


II. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
1. Pasal 347 KUHP menyatakan:
Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
1. Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang
tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
III. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hatihati melakukan proses kelahiran.
1. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai
menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
1. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan,
jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
1. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan
(misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila

melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau
luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan:
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan
kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat

individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau
kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
Civil malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati
(ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1.

Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

2.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.
3.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
4.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan

dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan
prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
5.

Administrative malpractice

Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut
telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police
power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di

bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan
profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban
bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan
dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
C. LANDASAN HUKUM WEWENANG BIDAN
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di
dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta
ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan

atau Keputusan Menteri Kesehatan. Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan
tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang
dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh
karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan
cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah
lainnya.
1. Syarat Praktik Profesional Bidan
1. Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang
praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek
Swasta (BPS).
2. Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang
meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obatobatan dan kelengkapan administrasi.
3. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan
kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman
serta berdasarkan standar profesi.
4. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak
pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak
dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
dan melakukan medical record dengan baik.

5. Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan
pencatatan dan pelaporan.
1. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan
praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:

 Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi :
a.

Pelayanan kebidanan

b.

Pelayanan keluarga berencana

c.

Pelayanan kesehatan masyarakat
 Pasal 15 :

a.
Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan
kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak
b.
Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil,
masa bersalin , masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval)
c.
Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa
bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
 Pasal 16 :
Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
a.

Penyuluhan dan konseling

b.

Pemeriksaan fisik

c.

Pelayanan antenatal pada kehamilan normal

d.
Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan
abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia
ringan.
e.

Pertolongan persalinan normal

f.
Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet
kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post
partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan
preterm.
g.

Pelayanan ibu nifas normal

h.
Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan
infeksi ringan
i.
Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi
keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
a.

Pemeriksaan bayi baru lahir

b.

Perawatan tali pusat

c.

Perawatan bayi

d.

Resusitasi pada bayi baru lahir

e.

Pemantauan tumbuh kembang anak

f.

Pemberian imunisasi

g.

Pemberian penyuluhan
 Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 16,berwenang untuk :

a.

Memberikan imunisasi

b.

Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas

c.

Mengeluarkan plasenta secara secara manual

d.

Bimbingan senam hamil

e.

Pengeluaran sisa jaringan konsepsi

f.

Episiotomi

g.

Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2

h.

Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm

i.

Pemberian infuse

j.

Pemberian suntikan intramuskuler uterotonik

k.

Kompresi bimanual

l.

Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya

m.

Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul

n.

Pengendalian anemi

o.

Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu

p.

Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia

q.

Penanganan hipotermi

r.

Pemberian minum dengan sonde/pipet

s.
Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai
dengan formulir IV terlampir
t.

Pemberian surat kelahiran dan kematian.
1. Standar Kompetensi Kebidanan

Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi :
Undang-Undang
UU Kesehatan No. 23 Th 1992
pasal 15
ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil
dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan :
1.

berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;

2.
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim
ahli;
3.

dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;

4.

pada sarana kesehatan tertentu.

pasal 80
ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap
ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BAB III
Pembahasan Masalah
A. KAJIAN KASUS
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang dilakukan oleh
bidan di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan yang menolong
persalinan sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang berhak untuk
menangani kasus tersebut. Inilah kisah tragis bayi Nunuk Rahayu :
Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena
kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam
proses melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling
buruk, si bayi meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk
Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan
yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir
dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!
Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk.
Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu
dua anak ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi
kebahagiaan rumah tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan
mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan
Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.
Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan
untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik

Handayani), kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena
persalinan akan dimulai,” kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).
Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi,
persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang
persalinan, saya selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu
belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat
perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat
pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini
kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang
persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu
berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.
Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak
mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata
Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si
jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim.
Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua
perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala
bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih
kesakitan saja,” imbuh Wiji.
Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari
rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak
menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik
kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil
mengisap rokoknya dalam-dalam.
Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak
bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak
ada gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum
berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan
tubuh bayi saya kepada Bu Han.”
Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan
berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin
panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini).
“Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya
menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.
Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan
ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga

berhasil dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya
sangat kalut,” urainya.
Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk
membawa istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung
ada mobil pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr.
Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi
dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,”
urai Wiji.
Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu
Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya,
saya tetap memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.
Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa
langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan
kasus ini polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya.
Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan
bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu
itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan
istri saya kepadanya,” papar Wiji.
Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan
mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan
mengeluarkan kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk
menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran
lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.
Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah
ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah
menangani ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu
Han tetap saja salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta.
Ini adalah persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.
Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia
sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong
memenuhi kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup
menceritakan saat-saat menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis
bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena
sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.
B. Pembahasan Kasus

Malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurangmahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Kelalaian dapat terjadi dalam 3
bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti
melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau
improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan
tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan
tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper
performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya.
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai
membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri
hal-hal yang dianggap sepele. Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek
adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan
medis pada pasien. Hal ini sangat perlu tidak hanya untuk melindungi pasien dari
kesewenangan tenaga kesehatan seperti dokter atau bidan, tetapi juga diperlukan
untuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batasbatas hukum dan perundang-undangan malpraktek.
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah
merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan
dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah
melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut
telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif
act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan
dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan
pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya
unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau
kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1.

Cara langsung

Kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a.

Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak
berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b.
Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan
melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan
apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut
dapat dipersalahkan.
c.

Direct Causation (penyebab langsung)

d.

Damage (kerugian)

Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiwa atau tindakan sela diantaranya dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas.
Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan.
2.

Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin
res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur (doktrin pembuktian dalam hukum perdata yang membantu
pihak korban (penggugat) untuk membuktikan kasusnya) dapat diterapkan apabila
fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.

Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai

b.

Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan

c.
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak
ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik
berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat
dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan
akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang
harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1)

Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan
adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik
tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan
kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2)

Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub
ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang
diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3)

Liability in tort

Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan
yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau
berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap
orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Menurut penulis, Bidan Tutik Handayani telah melakukan Malpraktek dengan bentuk
kelalaian malfeansance, dengan alasan Bidan Tutik Handayani telah melakukan
tindakan medis yang tidak tepat dan ada upaya untuk mengaburkan kesalahan medis
yang dia lakukan dengan mengalihkan kesalahannya kepada Bapak Wiji. Misalnya
saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi, bidan Tutik Handayani
berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik.

BAB IV
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil
suatu kesimpulan sehubungan dengan masalah malapraktek bidan, adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan
adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya
rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orangorang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
2.
Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami
oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi
kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan
semakin banyaknya kasus malapraktek yang disidangkan di Pengadilan dan
bermunculannya berita-berita tentang malapraktek bidan di mass media karena
kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau
meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat
mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan
menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
3.
Sedangkan altematif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk
sementara waktu ini belum memadai, sehingga kasus-kasus malapraktek dijuimpai
kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu
pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan
altematif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malapraktek
tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat,
khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
B. Saran
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya
mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hatihati, yakni:

 Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian
akan berhasil (resultaat verbintenis).
 Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
 Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
 Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
 Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
Upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam menghadapi tuntutan hukum:
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan
pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat
melakukan :
 Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal
bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada
doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang
terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of
treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap
batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
 Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan
dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan
pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
 Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa
penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan
kepadanya.
 Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat
membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan
dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan
harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat
(bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
http://khanzima.wordpress.com/2010/01/13/makalah-etika-profesi-dan-hukumkesehatan/
http://purwanto78.wordpress.com/2008/09/14/malpraktik-dalam-bidang-medis/
About these ads
~ by kaito41 on January 18, 2011.