Fiqih Ibadah pengertian dan hakikat ibad

IBADAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
“Fiqih Ibadah”
Dosen Pengampu:
H. Abdul Wahab Ah Kholil, M

DisusunOleh:
Nurul Rahmatun Khasanah

(931312114)

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI (STAIN)
KEDIRI
2015
1

KATA PENGANTAR

‫اَلٌس َّل ُم عَليٌ ًك ْم َو َرحْ َمة اِ َوبَ َر َكاتُه‬

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan
hidayah-Nya,

sehingga kami dapat

menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul

“Ibadah” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Terimakasih kami sampaikan khususnya kepada Bapak H. Abdul Wahab Ah Kholil,
M, yang telah membimbing dan memberi pengarahan kepada kami dalam menyusun makalah
ini. Kami yakin makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kami
mohon kritik dan saran dari pembaca. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

‫َوالٌس َّل ُُم عَليٌ ًك ْم َو َرحْ َمة اِ َوبَ َر َكاتُه‬

Kediri, 01 September 2015

Penulis


2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibadah merupakan unsur mutlak dalam agama. Agama yang intinya adalah
keyakinan tentang adanya zat yang berkuasa di atas alam raya, dan kerinduan manusia
untuk mengagumkan dan berhubungan dengan-Nya, melahirkan berbagai macam cara
pengabdian, pemujaan dan ibadah. Dalam pelaksanaannya pun mempunyai cara yang
berbeda-beda. Misalnya, para penganut kepercayaan animisme memuja roh yang
dipercaya mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia. Meraka yang beragama
dinamisme memuja kekuatan yang terdapat pada benda-benda tertentu yang dianggap
kramat, misalnya benda-benda alam seperti matahari dan bintang-bintang. Sedangkan
kaum paganis memuja berhala-berhala sebagai peragaan dari dewa-dewa gaib, dan
lain sebagainya.1
Sejak dilahirkan di dunia, kita telah membawa beberapa kecenderungan alami
yang tidak berubah. Salah satunya ialah mengabdi kepada Yang Maha Kuasa
sekaligus mengagungkan-Nya. Karena itu, perpindahan dari satu bentuk ‘Ubudiyyah
ke bentuk ‘Ubudiyyah yang lain dapat dilihat sebagai tindakan substitutif belaka.
Sebab, kenyataannya hampir tidak seorangpun yang bebas sepenuhnya dari bentuk

ekspresi pengagungan bernilai ibadah dan ketundukan. Jika seseorang tidak
melakukan suatu bentuk ibadah tertentu, Ia pasti sedang melakukan bentuk ibadah
yang lain.2
Oleh karena itu, Allah mengajarkan bahwa pentingnya diutus para rasul untuk
memberi petunjuk tentang siapa yang berhak disembah dan bagaimana cara
1

Sidik Tono, dkk, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998). Hal. 1-2.
Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). Hal.
63 dalam buku Yunasril Ali. Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah, (Jakarta: Zaman, 2012). Hal. 18.
2

3

melakukan penyembahan kepada-Nya. Allah berfirman dalam surat An-Nahl (16):36
yang berbunyi:

ّ ُ‫ي ك‬
‫ه‬
ُ ‫مةٍ َر‬

َ ‫ن اع ْبُدُواالل‬
ّ ُ‫ل ا‬
ِ َ ‫سوْ للا‬
ْ ِ‫َول َ َقد ْ بَعَثْنَاف‬
‫ت‬
ْ ‫وَا‬....
َ ْ‫جتَنِبُواالطّاغُو‬
Artinya:” Sesungguhnya telah Kami utus seorang rasul pada tiap-tiap umat
(untuk mengajarkan), beribadahlah kamu sekalian kepada Allah, dan hindarilah
penyembahan kepada selain Allah “.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ibadah ?
2. Apa Hakikat Ibadah ?
3. Apa Ruang Lingkup dan Sistematika Ibadah ?
4. Bagaimana hubungan Ibadah dan Iman ?
5. Apa tujuan Ibadah ?
6. Bagaimana Syarat diterimanya Ibadah ?
7. Apa saja macam-macam Ibadah ditinjau dari berbagai segi ?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ibadah

4

Ibadah berasal dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‘ibadat ) yang berarti
pengabdian, penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama
kita mengenal istilah ‘abd (hamba, budak) yang menghimpun makna kekurangan,
kehinaan, dan kerendahan. Karena itu, inti ibadah ialah pengungkapan rasa
kekurangan, kehinaan dan kerendahan diri dalam bentuk pengagungan, penyucian dan
syukur atas segala nikmat. Kata ‘abd diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi abdi,
seorang yang mengabdi dengan tunduk dan patuh kepada orang lain. Dengan
demikian, segala bentuk sikap pengabdian dan kepatuhan merupakan ibadah
walaupun tidak dilandasi suatu keyakinan.3
Kata “Ibadah” menurut bahasa berarti “taat, tunduk, merendahkan diri dan
menghambakan diri” (Basyir, 1984:12). Adapun kata “Ibadah” menurut istilah berarti
penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya untuk mencapai keridhoan Allah dan
mengharap pahala-Nya di akhirat” (Ash-Shiddiqy, 1954:4).4
Dari sisi keagamaan, ibadah adalah ketundukkan atau penghambaan diri
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk kegiatan

manusia di dunia ini, yang dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba hanya
kepada Allah. Jadi, semua tindakan mukmin yang dilandasi oleh niat tulus untuk
mencapai ridha Allah dipandang sebagai ibadah. Makna inilah yang terkandung
dalam firman Allah :

ّ ‫س‬
‫ن‬
ِ ‫ْت ال‬
ُ ‫ماخَلَق‬
َ َ‫و‬.
َ ْ ‫ن وَا ْ ّلِن‬
ِ ْ‫اللِيَعْبُدُو‬
ّ ‫ج‬

3

Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). Hal.
63 dalam buku Yunasril Ali. Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah, (Jakarta: Zaman, 2012). Hal. 5.
4
Sidik Tono, dkk, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998). Hal. 2.


5

Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan untu mengabdi kepada-Ku, (alDzariyat [51]: 56).5
Dengan demikian, segenap tindakan mukmin yang dilakukan sepanjang hari
dan malam tidak terlepas dari nilai ibadah, termasuk tindakan yang dianggap sepele,
seperti senyum kepada orang lain. Atau bahkan tindakan yang dianggap kotor atau
tabu jika dituturkan kepada orang lain, seperti buang hajat, melakukan hubungan seks,
dan lain-lain. Beberapa sahabat bertanya kepada Nabi saw. tentang pahala shalat,
puasa, dan sedekah. Rasulullah saw. juga bersabda, “Seseorang muslim yang
menanam pohon atau tumbuhan lain, kemudian buahnya dimakan burung, orang atau
binatang ternak, semua itu menjadi sedekah baginya.”6
B. Hakikat Ibadah
Tujuan di ciptakannya manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah
kepada-Nya. Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu
kemampuan yang besar kepada makhluknya, karena apabila direnungkan, hakikat
perintah beribadah itu berupa peringatan agar kita menunaikan kewajiban terhadap
Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya.
Hakikat ibadah itu antara lain firman Allah yang berbunyi:


Artinya: “Wahai para manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu, yang telah
menjadikan kamu dan telah menjadikan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.”
(QS. Al-Baqarah (2) ;21).
5
6

Ibid., Hal. 5.
Ibid., hal. 6.

6

Adapun hakikat ibadah yaitu :7
1. Ibadah adalah tujuan hidup kita.
2. Melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukkan dan
perendahan diri kepada Allah SWT.
3. Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meniggalkan
larangan-Nya.
4. Cinta, maksudnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengandung makna
mendahulukan kehendak Allah dan Rasul-Nya atas yang lainnya. Adapun tandatandanya : mengikuti sunnah Rasulullah saw.
5. Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu yang

dicintai Allah).
6. Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk
dan jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian orang-orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah
yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan
melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itu tujuan
hidupnya akan terwujud.
C. Ruang Lingkup dan Sistematika Ibadah
Membicarakan ruang lingkup ibadah, tentunya tidak dapat melepaskan diri
dari pemahaman terhadap pengertian ruang lingkup itu sendiri. Oleh sebab itu,
menurut Ibnu Taimiyah (661-726 H/ 1262-1371 M) yang dikemukakan oleh Ritonga,
bahwa ruang lingkup ibadah mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan kepada
Allah, baik dalam perkataan maupun batin; termasuk dalam pengertian ini adalah
7

Lembaga Pembinaan Pengembangan Keislaman Kemuhammadiyahan Univesitas Muhammadiyah
Palangkaraya, http://lppk-umpalangkaraya.blogspot.com/2014/09/materi-i-penegrtian-hakikat-dan-hikmah.html?
m=1, di akses pada 27 Agustus 2015.

7


salat, zakat, haji, benar dalam pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat baik
kepada orang tua, menjalin silahturrahmi, memenuhi janji, amar ma’ruf nahi munkar,
jihad terhadap orang kafir, berbuat baik pada tetangga, anak yatim, fakir miskin dan
ibn sabil, berdo’a, zikir, baca Al-qur’an, rela menerima ketentuan Allah dan lain
sebagainya.8
Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi dua, yaitu:9
1. Ibadah Umum, artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan
dalam rangka mencari keridhoan Allah. Unsur terpenting agar dalam
melaksanakan segala aktivitas kehidupan di dunia ini agar benar-benar
bernilai ibadah adalah “niat” yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan agama
dengan menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram.
2. Ibadah Khusus, artinya ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya
ditentukan dalam syara’ (ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad
SAW). ibadah khusus ini bersifat tetap dan mutlak, manusia tinggal
melaksanakan sesuai dengan peraturan dan yuntutan yang ada, tidak boleh
mengybah, menambah, dan mengurangi, seperti tuntutan bersuci (wudhu),
salat, puasa ramadhan, ketentuan nisab zakat.
Secara garis besar sistematika ibadah ini sebagaimana dikemukakan Wahbah
Zuhayli, sebagai berikut :10

1. Taharah
2. Shalat
3. Penyelenggaraan jenazah
8

A. Rahman Ritonga, dkk, Fiq Ibadah, (Jakarta: Gay Media Pratama, 1997). Hal. 6 dalam Khoirul
Abror, Sepintas Arti Ibadah, http://khoirulabror.blospot.com/2013/10/sepintas-arti-ibadah.html?m=1, di akses
pada 27 Agustus 2015.
9
Sidik Tono, dkk,Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998). Hal. 7.
10
Wahbah Zuhayli, Al-Fiqhu al Islamy waadilatuhu,I, Daar Al-Fikr, 1989. Hal. 11 dalam Khoirul
Abror, Sepintas Arti Ibadah, http://khoirulabror.blospot.com/2013/10/sepintas-arti-ibadah.html?m=1, di akses
pada 27 Agustus 2015.

8

4. Zakat
5. Puasa
6. Haji dan Umroh
7. I’tikaf
8. Sumpah dan Kaffarah
9. Nazar
10. Qurban dan Aqiqah

D. Hubungan Ibadah dengan Iman
Ibadah, yang merupakan ekspresi kehinaan dan kerendahan diri di hadapan
Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahaagung, harus dilandasi oleh keimanan dan
keyakinan yang kukuh kepada-Nya. Sejatinya, ketundukan dan kepatuhan manusia di
hadapan Tuhannya dengan melakukan berbagai bentuk ibadah merupakan manifestasi
iman yang bersifat abstrak ke dalam perbuatan yang konkret, ketundukan dan
kepatuhan yang tidak dilandasi keimanan, seperti ketundukan seseorang kepada
pemimpinnya, tidak termasuk ibadah. Begitu pula kekaguman dan pengabdian
seseorang kepada kekasihnya.11 Jadi, iman yang bersifat abstrak belum sempurna
sebelum direalisasikan dalam bentuk amal nyata, yakni ibadah. Karena itulah AlQur’an selalu menggandengkan kata iman dengan amal shaleh, karena iman tidak
sempurna tanpa amal shaleh. Rasulullah saw. sendiri selalu menegaskan realisasi
iman dengan amal shaleh. Misalnya beliau bersabda, “Mukmin yang paling sempurna
imannya ialah yang paling baik akhlaknya.” (HR Bukhari dan Muslim). Ia juga
bersabda, “Tidak (sempurna) iman salah seorang kalian hingga ia mencintai
11

Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). Hal.
63 dalam buku Yunasril Ali. Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah, (Jakarta: Zaman, 2012). Hal. 21.

9

saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, ibadah merupakan institusi iman. Karena tidak terlihat, keimanan
seseorang tak dapat diukur dan diperkirakan. Namun, kita dapat melihat realitas
imannya dari ibadah yang dilakukannya. Kita sendiri dapat merasakan, saat iman
menurun, ibadah kita pun menurun, begitu pun sebaliknya.
Iman dan ibadah sering pula saling menguatkan dan saling menyempurnakan.
Ketika seseorang memiliki kesempatan yang luas untuk beribadah, tetapi
keimanannya belum kokoh, ia meningkatkan dan memperkukuh imannya dengan
terus-menerus menambah kualitas dan kuantitas ibadahnya. Sebaliknya, iman yang
semakin mantap pasti akan membuahkan ibadah yang banyak dan berkualitas. Itulah
hubungan timbal-balik antara iman dan ibadah.12
E. Tujuan Ibadah
Ada lima tujuan yang dicapai melalui pelaksanaan ibadah:13
1. Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang mutlak, seperti ilmu,
kekuasaan, dan kehendak-Nya. Artinya, kesempurnaan sifat-sifat Allah tak
terbatas, tak terikat syarat, dan meniscayakan-Nya tanpa membutuhkan yang lain.
2. Menyucikan Allah dari segala cela dan kekurangan, seperti kemungkinan untuk
binasa, terbatas, bodoh, lemah, kikir, semena-mena, dan sifat-sifat tercela lainnya,
3. Bersyukur kepada Allah sebagai sumber segala kebaikan yang kita dapatkan
berasal dari-Nya, sedangkan segala sesuatu selain kebaikan hanyalah perantara
yang Dia ciptakan.
4. Menyerahkan diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya secara mutlak.
Mengakui bahwa Dialah yang layak ditaati dan dijadikan tempat berserah diri.
Dialah yang yang berhak memerintah dan melarang kita, karena Dialah Tuhan
12
13

Ibid., hal. 22.
Murtadha Muthahhari, Energi Ibadah, (Jakarta: Serambi, 2007). Hal. 16-17.

10

kita. Kita semua wajib taat dan menyerahkan diri kepada-Nya, sebab kita adalah
hamba-Nya.
5. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam masalah apapun yang kami sebutkan di atas,
dialah satu-satunya yang Mahasempura. Dialah satu-satunya yang Mahasuci dari
segala cela dan kekurangan. Dan dialah satu-satunya pemberi nikmat yang
sebenarnya, serta pencipta segala kenikmatan. Karena itu, segala bentuk syukur
layak dipanjatkan hanya kepada-Nya. Dialah satu-satunya yang layak ditaati dan
dijadikan tempat berserah diri secara tulus. Ketaatan kita kepada Nabi, imam,
pemimpin, agama, ayah, ibu, atau guru harus kita lakukan dalam bingkai ketaatan
kita kepada-Nya. Inilah sikap yang layak bagi seorang hamba di hadapan
Penciptanya Yang Mahaagung. Sikap semacam itu hanya boleh dilakukan kepada
Dia yang betul-betul nyat keagungan dan kebesaran-Nya.
F. Syarat diterimanya Ibadah
Tidak semua tindakan manusia dianggap ibadah kecuali jika memenuhi dua
syarat berikut ini.
Pertama, niat yang ikhlas, suatu perbuatan dinilai ibadah kalau diniatkan sebagai
ibadah. Rasulullah saw. bersabda, “Suatu suatu amal hanya (akan dinilai sebagai ibadah)
sesuai dengan niatnya, dan masing-masing orang akan meraih sesuatu sesuai dengan
niatnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Hussein Ateshin, pakar Islam asal Turki, mengatakan,
“Suatu tindakan dianggap ibadah hanya jika dimulai dengan niat, yakni secara mental kita
harus menyadari bahwa apa yang akan kita lakukan itu demi dan dalam kerangka kepatuhan
serta ketaatan kepada kehendak Allah Yang Mahakuasa.”14
Kedua, tidak bertentangan dengan syariat. Bila bertentangan dengan syariat, suatu
tindakan tidak akan dianggap ibadah meskipun dilandasi dengan niat ibadah, misalnya
memperkosa, mencuri, merampok, korupsi dan sebagainya. Semua itu tidak dianggap ibadah
14

Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban. Hal. 17-18.

11

meskipun hasil dari tindakan itu dipergunakan untuk kebaikan, misalnya bersedekah dengan
harta hasil korupsi. Allah berfirman, Janganlah kamu campurkan yang hak dengan yang
batil ... (al-Baqarah [2]: 42).15
G. Macam-macam Ibadah ditinjau dari berbagai segi
1. Dilihat dari segi umum dan khusus, maka ibadah dibagi dua macam:16
a. Ibadah Khoshoh adalah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan dalam nash
(dalil/dasar hukum) yang jelas, yaitu sholat, zakat, puasa dan haji.
b. Ibadah Ammah adalah semua perilaku baik yang dilakukan semata-mata
karena Allah SWT seperti bekerja, makan, minum dan tidur sebab semua itu
untuk menjaga kelangsungan hidup dan kesehatan jasmani supaya dapat
mengabdi kepada-Nya.
2. Ditinjau dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat, ibadah ada dua
macam:
a. Ibadah wajib (fardhu) seperti sholat dan puasa.
b. Ibadah ijtima’i, seperti zakat dan haji.
3. Dilihat dari cara pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi tiga:
a. Ibadah jasmaniyah dan ruhiyah seperti sholat dan puasa
b. Ibadah ruhiyah dan amaliyah seperti zakat.
c. Ibadah jasmaniyah, ruhiyah dan amaliyah seperti pergi haji.
4. Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dibagi menjadi:
a. Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu dengan perkataan dan perbuatan,
seperti sholat, zakat, puasa dan haji.

15

Ibid., hal. 18.
Pustaka Abatasa,
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/fih/ibadah/921/macam-macam-ibadah.html,
di akses pada 27 Agustus 2015.
16

12

b. Ibadah yang berupa ucapan, seperti membaca Al-Qur’an, berdo’a dan
berdzikir.
c. Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti
membela diri, menolong orang lain, mengurus jenazah dan jihad.
d. Ibadah yang berupa menahan diri, seperti ihrom, berpuasa dan i’tikaf (duduk
di masjid); dan
e. Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan hutang atau
membebaskan hutang orang lain.

BAB III
13

PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.

Ibadah berasal dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‘ibadat ) yang berarti
pengabdian, penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan. ibadah ialah
pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan dan kerendahan diri dalam bentuk
pengagungan, penyucian dan syukur atas segala nikmat.

2.

Hakikat ibadah yaitu agar manusia di muka bumi ini untuk beribadah kepadaNya. Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu
kemampuan yang besar kepada makhluknya, karena apabila direnungkan,
hakikat perintah beribadah itu berupa peringatan agar kita menunaikan
kewajiban terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya.

3.

menurut Ibnu Taimiyah (661-726 H/ 1262-1371 M) yang dikemukakan oleh
Ritonga, bahwa ruang lingkup ibadah mencakup semua bentuk cinta dan
kerelaan kepada Allah, baik dalam perkataan maupun batin.

4.

meningkatkan dan memperkukuh imannya dengan terus-menerus menambah
kualitas dan kuantitas ibadahnya. Sebaliknya, iman yang semakin mantap pasti
akan membuahkan ibadah yang banyak dan berkualitas. Itulah hubungan
timbal-balik antara iman dan ibadah,

5.

Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang mutlak, Menyucikan
Allah dari segala cela dan kekurangan, bersyukur kepada Allah, Menyerahkan
diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya secara mutlak, Dialah satu
satunya yang Mahasempura.

6.

Niat yang ikhlas, tidak bertentangan dengan syariat.

7.

Dilihat dari segi umum dan khusus : ibadah khosoh dan ammah

14

dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat : ibadah wajib dan ijma’i
dari cara pelaksanaannya : ibadah jasmaniyah dan ruhiyah, ruhiyah dan
amaliyah, jasmaniyah,ruhiyah dan amaliyah.
dari segi bentuk dan sifatnya : ibadah yang berupa pekerjaan, ucapan,
perbuatan, menggugurkan diri dan ibadah yang sifatnya menggugurkan hak.
B. SARAN
Dalam setiap penulisan makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan dan
memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan saran yang dapat
membangun untuk lebih baik, karena hasil dari setiap pemikiran saran dari banyak
pihak akan berkembang sesuai zaman dan realitas yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
15

A. Rahman Ritonga, dkk, Fiq Ibadah, (Jakarta: Gay Media Pratama, 1997).
Hal. 6 dalam Khoirul Abror, Sepintas Arti Ibadah,
http://khoirulabror.blospot.com/2013/10/sepintas-arti-ibadah.html?m=1,
di akses pada 27 Agustus 2015.
Murtadha Muthahhari, Energi Ibadah, Serambi, 2007, Jakarta .
Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban , Yayasan Wakaf Paramadina,
1992, Jakarta.

Sidik Tono, dkk,Ibadah dan Akhlak dalam Islam, UII Press, 1998, Yogyakarta
di akses pada 27 Agustus 2015.
Tono Sidik, dkk, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, UII Press, 1998,
Yogyakarta.
Wahbah Zuhayli, Al-Fiqhu al Islamy waadilatuhu,I, Daar Al-Fikr, 1989. Hal.
11 dalam Khoirul Abror, Sepintas Arti Ibadah,
http://khoirulabror.blospot.com/2013/10/sepintas-arti-ibadah.html?m=1,
Pustaka Abatasa,
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/fiqh/ibadah/921/macammacam-ibadah.html, di akses pada 27 Agustus 2015.

16