Arsitektur Tradisional dan Identitas Kota

Arsitektur Tradisional dan Identitas Kota
Danang Priatmodjo *)

I.

Pengantar: Kota dan Identitas

Apa yang membuat sekitar dua juta wisatawan mancanegara setiap hari menjelajahi berbagai pelosok kota
Paris? Apa yang membuat Las Vegas setiap hari diserbu wisatawan dari seluruh dunia, meski mereka tidak
datang untuk berjudi di “kota judi” ini? Jawabannya adalah identitas kota. Identitas Paris terkait erat dengan
sejarah perkembangannya dan wajah kota yang didominasi oleh bangunan-bangunan kuno dari jaman
Abad Pertengahan sampai dengan abad-19. Identitas Las Vegas adalah bangunan-bangunan dengan
berbagai bentuk yang fanciful dan lampu neon warna-warni yang gemerlap di malam hari.
Para pengelola kota Paris sangat cerdik mempertahankan identitas kota yang memikat warga dunia ini.
Bukan hanya menetapkan daftar bangunan yang dilindungi, Paris membagi kota inti ke dalam bagianbagian yang ditetapkan sebagai “kawasan yang dilindungi” (protected areas). Masing-masing protected
area memiliki derajad perlindungan yang berbeda (dinyatakan dalam kelas I, II, III, dst.) berdasarkan
signifikansi kesejarahan serta signifikansi kandungan arsitektural kawasan.
Ketika ada tuntutan untuk menampilkan bangunan-bangunan modern, di tahun 1960-an Paris membuka
distrik baru: La Defense, yang berjarak sekitar 8 km dari Arc de Triomphe, untuk memberi tempat bagi
hadirnya bangunan-bangunan modern dengan berbagai bentuk yang bila “dicampurkan” di bagian kota
lama akan “merusak” wajah kota. Dengan cara ini kelestarian identitas Paris tetap terjaga.

Las Vegas sebagai pelopor kota yang “berani tampil beda” tak pernah berhenti melakukan inovasi dan
menampilkan wajah yang selalu baru. Bangunan-bangunan yang dianggap sudah usang segera
dirobohkan dan diganti dengan bangunan dengan tampilan baru. Meski belakangan banyak kota-kota lain
yang meniru tampilan kota ini, Las Vegas tetap dikenal sebagai kota nomor satu dalam hal kehadiran
fancy buildings dan neon signs.

Gb. 1 – Bagian kota inti Paris (foto: www.msnbc.msn.com)

II.

Gb. 2 – Las Vegas (foto: www.FriedmanArchives.com)

Identitas Kota di Era Global

Sampai dengan masa Perang Dunia II, setidaknya dibutuhkan waktu satu dekade bagi kota-kota di Asia
untuk meniru langgam bangunan yang sedang marak di Eropa. Langgam Neo Gotik yang digunakan oleh
bangunan-bangunan Gereja Katedral di kota-kota besar di Jawa (dibangun sekitar tahun 1920-an) adalah
tiruan langgam serupa yang telah muncul di kota-kota Eropa seperempat abad sebelumnya. Ketika
merancang kawasan hunian Menteng di tahun 1910, arsitek P.A.J. Moojen menerapkan konsep “Garden
City” yang digagas oleh Ebenezer Howard satu dekade sebelumnya. Ketika itu komunikasi Eropa-Asia

masih mengandalkan sarana transportasi kapal laut yang memakan waktu berbulan-bulan, sehingga
diperlukan waktu cukup panjang untuk menyerap dan kemudian “meniru” trend kota-kota Eropa.

1

Sejak tahun 1950-an, komunikasi antar benua mengalami kemajuan yang pesat. Pesawat terbang menjadi
sarana transportasi utama. Gerakan Arsitektur Modern yang membawa pembaruan segera menyebar ke
seluruh dunia. Lahirlah apa yang disebut “International Style”. Bangunan-bangunan menara berbentuk
kotak sederhana yang dipopulerkan oleh Mies van der Rohe di New York segera ditiru oleh kota-kota besar
di seluruh dunia, termasuk oleh jajaran bangunan di Jalan M.H. Thamrin Jakarta.
Kini, “globalisasi” telah semakin membuat dunia menjadi tanpa batas. Faktor jarak dan waktu menjadi hal
yang nisbi. Komunikasi melalui media elektronik memungkinkan pengiriman surat, gambar atau foto dari
belahan dunia satu ke belahan dunia lainnya dilakukan dalam hitungan detik. Desain bangunan di Amerika
atau Eropa dengan cepat bisa ditiru di Asia. Para arsitek kelas dunia pun sering membuat bangunan yang
mirip-mirip di berbagai kota dari belahan dunia yang berbeda. Tidak mengherankan bila wajah jalan
(streetscape) Jalan Sudirman atau Jalan Rasuna Said di Jakarta sama dengan streetscape jalan raya kotakota besar di Amerika, Eropa atau Australia.
Pasar ekonomi global menjadikan wajah kota semakin runyam. Dengan berlindung di balik company
image, Mc Donald, Hard Rock Cafe dan berbagai produk waralaba lainnya membangun gedung dengan
langgam yang sama di berbagai belahan dunia. Wajah kota menjadi seragam. Identitas kota tidak lagi
berakar pada kebudayaan atau tradisi lokal, melainkan dicetak oleh globalisasi.


Gb. 3 – Wajah jalan di Jakarta (foto: Danang Pri)

Gb. 4 – Wajah jalan di Los Angeles (foto: Kingfisher)

III. Krisis Identitas Kota-kota di Indonesia
Pada masa Presiden Soekarno, kota Jakarta sebagai ibukota negara mendapat perhatian khusus dari
Presiden yang kebetulan seorang arsitek serta pecinta seni. “Patung Selamat Datang” di Bundaran HI,
“Patung Dirgantara” di Pancoran, “Patung Pembebasan Irian Barat” di Lapangan Banteng, “Patung
Diponegoro” dan “Tugu Monas” di Lapangan Merdeka, adalah contoh-contoh identitas kota yang digagas
dan dikontrol langsung desain serta penempatannya oleh Bung Karno.

Gb. 5 – Patung-patung di Jakarta peninggalan Bung Karno (foto: Danang Pri, buku “Monumen dan Patung di Jakarta”,
buku “Jakarta Tempo Doeloe”)
2

Sepeninggal Bung Karno, identitas kota tak lagi mendapat perhatian. Wajah kota-kota di Indonesia tumbuh
secara alamiah, sesuai selera masyarakat serta pengelola kota. Ketika terjadi boom minyak di tahun 1970an yang melahirkan para OKB (orang kaya baru), wajah kota banyak diwarnai oleh bangunan-bangunan
rumah gaya “Spanyol-an” serta gaya “Yunani-Romawi”. Pilar-pilar pracetak berlanggam Dorik, Ionik atau
Korintian dijual di tepi-tepi jalan.

Di tahun 1980-an, seiring dengan semakin banyaknya arsitek yang dihasilkan oleh perguruan tinggi kita,
muncul “inovasi” dengan banyak dibangunnya rumah-rumah “gaya Jepang”. Sejak tahun 200-an, kembali
International Style melanda kota-kota kita, berupa bangunan-bangunan serta rumah-rumah tinggal
berlanggam “Minimalis”. Wajah kota berubah-ubah seiring dengan perubahan “mode” seperti layaknya di
dunia fashion.
Dari semua perkembangan itu yang paling menyedihkan adalah dominasi tipe bangunan “ruko” (rumahtoko) di kota-kota kita. Bangunan deret dua sampai empat lantai dengan langgam arsitektur yang relatif
sama, belakangan banyak menampilkan paduan warna-warni mencolok, miskin penghijauan, adalah ciri
ruko yang mendominasi kota-kota dari Sabang sampai Merauke. Tidak berlebihan bila kita katakan bahwa
arsitektur kota di Indonesia adalah “arsitektur ruko”.
Sementara itu, keseriusan menata penanda simpul kawasan sebagaimana pernah dilahirkan di Jakarta
pada masa Bung Karno tidak pernah terulang lagi. Alih-alih menempatkan patung sekelas karya Edhi
Soenarso, simpul-simpul kawasan kini dipenuhi oleh baliho papan iklan raksasa. Patung penghias kota
yang kini mudah dijumpai di setiap kota adalah “Tugu Adipura”. Seolah merupakan kebanggaan bagi
Walikota atau Bupati bila berhasil membangun “Tugu Adipura” yang menjadi bukti bahwa kotanya pernah
meraih penghargaan itu. Akibatnya wajah kota menjadi seragam dengan tampilan elemen-elemen
penghias kota berkualitas rendah.

Gb. 6 – Ruko di kota Batam (foto: Danang Pri)
Flickr)


Gb. 7 – Tugu Adipura di depan ruko (foto: Adhi_003 on

Dari uraian di atas kita bisa mengatakan bahwa kota-kota di Indonesia sedang mengalami krisis identitas.
Tidak ada ciri khusus yang membedakan satu kota dengan kota lainnya. Wajah kota mengalami
penyeragaman. Di beberapa daerah terlihat ada upaya untuk menampilkan ciri berupa elemen arsitektur
tradisional setempat, namun kebanyakan terjebak pada pemasangan “tempelan” yang tidak terencana
dengan baik, sehingga terkesan dipaksakan.

IV. Arsitektur Tradisional sebagai Identitas Kota
Merujuk pada kisah sukses kota Paris dan Las Vegas sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini, mestinya
kota-kota di Indonesia menggali sumber identitas dari khasanah arsitektur tradisional yang dimiliki oleh
masing-masing daerah. Dengan kekayaan arsitektur Nusantara yang kita miliki, kita punya potensi untuk
menampilkan kota-kota yang berwajah cantik dan masing-masing memiliki ciri sesuai dengan daerahnya.
Bila hal ini dapat kita realisasikan, kita dapat membanggakan kota-kota yang berwajah khas dan
memberikan kesan mendalam bagi para pengunjungnya.
3

Patut disayangkan, dari sekian banyak daerah di Indonesia nampaknya hanya Bali yang mampu
menghadirkan kota-kota berwajahkan khasanah arsitektur lokal yang tidak berkesan dipaksakan. Di daerah
lain, upaya menampilkan elemen arsitektur tradisional kurang digarap dengan baik, sehingga hasilnya

adalah tempelan “atap Minangkabau”, “atap joglo” atau “atap Toraja” yang tidak pas dengan bangunan
yang ditempeli. Gejala ini sering dipicu oleh antusiasme daerah untuk menampilkan ciri lokal yang diberi
landasan hukum berupa Perda atau SK Gubernur/Walikota/Bupati yang mewajibkan penggunaan bentuk
khas daerah pada bangunan-bangunan perkotaan. Karena peraturan yang dibuat tidak memuat panduan
penggunaan elemen lokal, hasilnya adalah “sekedar tempel” yang justru merendahkan martabat khasanah
arsitektur lokal tersebut.

Gb. 8 – Elemen arsitektur tradisional yang “dipaksakan”. Kiri: Atap Minangkabau di gedung bank di kota Padang;
Kanan: Atap Toraja di bangunan rumah sakit di kota Makale (foto: Danang Pri)

Yang terjadi di kota Jakarta lebih memprihatinkan lagi. Halte bis dipaksakan ditempel lisplang berornamen
Betawi yang tidak memiliki keserasian dengan desain halte. Di samping itu, lisplang yang terbuat dari pelat
baja dengan ujung-ujung runcing sangat membahayakan bagi keselamatan manusia yang berada di bawah
halte tersebut. Umur bahan, faktor korosi dan pemasangan yang tidak sempurna bisa mengakibatkan
lisplang terlepas jatuh dan melukai manusia. Sebagai pembanding, untuk tujuan yang serupa, gerbang tol
di kota Beijing menunjukkan solusi desain yang lebih terpadu dan konsepsional.

Gb. 9 – Halte bis kota di Jakarta (foto: Nur Rajiman) Gb. 10 – Gerbang tol di Beijing (foto: www.galitz.com)

Daerah-daerah di Indonesia sebaiknya mencontoh Bali dalam mengolah elemen lokal untuk memberi ciri

pada wajah kota. Inovasi desain hotel, cafe, restoran dan pertokoan di kawasan Nusa Dua, Sanur, Ubud,
Jimbaran, Kuta, Legian, atau Seminyak dapat dijadikan sumber inspirasi. Di Bali, elemen arsitektur
tradisional tidak sekedar ditempel melainkan diolah secara terpadu ke dalam keseluruhan desain
bangunan. Hasilnya adalah bangunan dengan berbagai fungsi sesuai dengan kebutuhan masa kini
dihadirkan dalam tampilan bernuansa tradisi.
Masih ada lagi contoh upaya mengolah khasanah arsitektur tradisional yang bisa dijadikan rujukan, yaitu
hasil rancangan para arsitek Belanda di masa kolonial, terutama karya-karya Henry Maclaine Pont. Gedung
4

Aula Barat dan Aula Timur ITB di Bandung, serta Gereja Katolik di Puh Sarang, Kediri adalah contohcontoh keberhasilan Maclaine Pont menggunakan bahasa arsitektur lokal untuk menghadirkan sosok
bangunan modern. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Thomas Karsten yang merancang kawasankawasan kota serta pasar-pasar dengan memperhatikan kaidah-kaidah arsitektur lokal. Patut disayangkan
inovasi seperti dilakukan arsitek Belanda ini justru kurang dikembangkan oleh para arsitek kita masa kini.

Gb. 11 – Cafe di Ubud, Bali (foto: Danang Pri)

Gb. 13 – Aula Barat ITB (foto: Danang Pri)

V.

Gb. 12 – Rumah di Nusa Dua, Bali (foto: Danang Pri)


Gb. 14 – Gereja Puh Sarang, Kediri (foto: ww.indonesialogue.com)

Penutup

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa khasanah arsitektur tradisional suatu daerah merupakan
potensi besar untuk membentuk identitas kota. Namun perlu dicatat bahwa penggunaan elemen-elemen
arsitektur lokal ini hendaknya tidak sekedar “tempelen yang dipaksakan” pada bangunan-bangunan baru,
melainkan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan desain bangunan. Inovasi seperti ditunjukkan oleh
Maclaine Pont atau Karsten hampir seabad yang lalu seyogyanya menjadi rujukan bagi para arsitek kita
masa kini.
Kekayaan arsitektur Nusantara sungguh tiada bandingannya. Tidak ada negara lain di dunia ini yang
mempunyai ragam arsitektur tradisional sebanyak dan seindah yang kita miliki. Apabila kita mampu
mengolah kekayaan itu, kita dapat menghadirkan wajah-wajah kota yang khas dan menampilkan identitas
daerahnya secara elegan. Elemen-elemen arsitektur tradisional pun akan berkembang dengan dinamis
seiring dengan perubahan jaman, bukan sekedar merupakan “ragam hias” yang statis dan dijadikan barang
pajangan. Kalau Bali bisa melakukan hal itu, kenapa daerah lain tidak bisa?

5


Daftar Pustaka
Banerjee, Tridib and Michael Southworth (eds.)
1991, City Sense and City Design, Cambridge: The MIT Press
Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta,
2000, Monumen dan Patung di Jakarta, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Heuken, Adolf & Grace Pamungkas,
2001, Menteng ‘Kota Taman’ pertama di Indonesia, Jakarta: Cipta Loka Caraka
Priatmodjo, Danang,
2001 “Mencermati Pengembangan Kota di Era Otonomi Daerah”, jurnal arsitektur NALARS, Jurusan
Arsitektur Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Vol. 1 No.2 Juli
2005 “Pengembangan Kawasan Berwawasan Pelestarian di Lingkungan Perkotaan”, makalah
Seminar Nasional ASPI, Jurusan Planologi Universitas Tarumanagara, Jakarta 25-26 Agustus
2007, “Ketidaksinambungan Arsitektur Nusantara – Arsitektur Indonesia”, makalah Seminar Nasional
Perkembangan Arsitektur Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang, 5 Mei
Rossi, Aldo
1991, The Architecture of the City, Cambridge: The MIT Press
Sumalyo, Yulianto,
1995, Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------*) Dr. Ir. Danang Priatmodjo, M.Arch., arsitek kota, mengajar di Universitas Tarumanagara, Jakarta.


6