BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Persepsi Pasien Tentang Perilku Caring Perawat Di Unit Hemodialisa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku caring sangatlah penting untuk keperawatan, caring adalah fokus

  pemersatu untuk praktek keperawatan. Perilaku caring juga sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang, memperbaiki dan meningkatkan kondisi atau cara hidup manusia ( Blais, 2002 ). Kinerja perawat khususnya dalam perilaku caring menjadi sangat penting dalam mempengaruhi kualitas pelayanan dan kepuasan pasien terutama di rumah sakit atau klinik, dimana kualitas pelayanan menjadi penentu citra institusi pelayanan yang nantinya akan dapat meningkatkan kepuasan pasien dan mutu pelayanan khususnya pelayanan keperawatan (Potter & Perry, 2005)

2.1 Konsep Caring

  Adanya pergeseran demografi, pergeseran sosial ekonomi, serta meningkat dan bertambah rumitnya masalah kesehatan akan berdampak pada tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan. Masyarakat lebih sadar akan hak dan kewajiban untuk menuntut tersedianya pelayanan kesehatan dan keperawatan dengan mutu yang secara profesional dapat dipertanggungjawabkan. Menghadapi globalisasi ini tiada upaya lain yang perlu dilakukan kecuali mengadakan penyesuaian dan perbaikan terhadap mutu layanan keperawatan. Peningkatan mutu pelayanan keperawatan didukung oleh pengembangan teori-teori keperawatan, salah satunya adalah teori

  Caring menurut Jean Watson. Caring adalah sentral untuk praktek keperawatan karena caring merupakan suatu cara pendekatan yang dinamis, dimana perawat kualitas pelayanan asuhan keperawatan adalah perhatian, empati dan kepedulian perawat. Hal ini sangat sesuai dengan tuntutan masyarakat pada saat ini yaitu mengharapkan pelayanan keperawatan yang berkualitas.

2.1.1. Pengertian Caring

  Caring didefinisikan oleh Swanson sebagai cara memelihara untuk

  berhubungan dengan orang lain, terhadap yang satu merasa bertanggung jawab pada suatu pekerjaan yang akan dinilai oleh orang lain. (Marriner &Tomey, 2006). Sedangkan Carper (1979) mencatat bahwa “caring sebagai sebuah nilai profesional dan personal, merupakan inti penting dalam menyediakan standar normatif yang mengarahkan tindakan dan sikap kita terhadap orang yang kita asuh”. Begitu pula menurut Pratt (1980) berpendapat bahwa caring adalah kekuatan pendorong utama yang memotifasi seseorang untuk masuk kedalam profesi keperawatan.

  Menurut Nelson (1976) Caring didefinisikan sebagai suatu sikap aktif yang benar-benar memberikan pengertian kepada orang lain bahwa ia benar-benar peduli itu didasarkan pada kasih karunia Allah, yang telah dimiliki. Caring juga diartikan sebagai sikap peduli yang memudahkan diperoleh kesehatan dan pemulihan (Shoffiner, 2003). Dimana menurut Milton mayeroff (1971) tentang

  

caring adalah sebagai upaya menolong orang lain untuk memperjelas apa arti hubungan dengan orang lain,yang juga merupakan manifestasi dari rasa kepedulian. dukungan kepada induvidu secara utuh, tindakan dalam bentuk prilaku caring seharusnya diajarakan kepada manusia sejak lahir, masa perkembangan, masa pertumbuhan, masa pertahanan sampai dengan meninggal. Caring adalah esensi dari keperawatan yang membedakan dengan profesi yang lain dan mendominasi serta mempersatukan tindakan-tindakan keperawatan, menurut Watson (2002 dalam Dwidiyanti 2007). Hal ini juga senada dengan pengertian Caring yang dikemukan oleh Leinenger (1991) bahwa Caring didefinisikan sebagai "tindakan- tindakan manusia dan proses yang memberikan bantuan kepada individu atau kelompok lain berdasarkan kepentingan atau keprihatinan manusia. Caring juga di definisikan sebagai tindakan yang bertujuan memberikan asuhan fisik dan perhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan keselamatan klien meanurut Carruth el all (1999 dalam Nurachmah 2001).

  Definisi lain dari caring juga menekankan caring yang merupakan motivasi untuk melindungi kesejahteraan orang lain atau untuk membantu orang yang tumbuh dan mengaktualisasikan dirinya (Gaylin,1976). Begitu pula ,Caring adalah cara yang memiliki makna dan motivasi tindakan menurut Marriner & Tomey (1994 dalam Nurachmah 2001).

  Definisi caring menurut Benner and Wrubel (1989) berarti bahwa orang, peristiwa, proyek dan hal-hal yang penting bagi individu, itu adalah kata yang terhubung. Karena caring menentukan apa yang penting bagi seseorang, ia menjelaskan berbagai keterlibatan. Benner melihat perhatian pribadi caring sebagai fitur yang melekat pada praktek keperawatan, dimana oleh perawat pada penyakit itu, dan untuk mempertahankan atau kembali sembuh..

  Griffin (1983) menggambarkan caring dalam keperawatan sebagai sebuah proses interpersonal esensial yang mengharuskan perawat melakukan aktifitas peran yang spesifik dalam sebuah cara dengan menyampaikan ekspresi emosi- emosi tertentu kepada pasien atau klien. Aktifitas tersebut menurut Griffin meliputi membantu, menolong, dan melayani orang yang mempunyai kebutuhan khusus. Proses ini dipengaruhi oleh hubungan antara perawat dengan pasien.

  Emosi “menyukai” dan “kasih sayang” ditawarkan secara sementara sebagai respon efektif penting yang diekspresikan melalui hubungan.

  Beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa caring adalah manifestasi dari perhatian kepada orang lain , berpusat pada orang, menghormati harga diri dan kemanusiaan, komitmen untuk mencegah terjadinya status yang memburuk, memberi perhatian dan menghormati kepada orang lain dan kehidupan manusia (Dwidiyanti, 2009).

  2. 1.2 Persepsi Klien Tentang Caring

  Penilaian terhadap seorang perawat dapat terlihat dari perilaku Caring yang dimiliki perawat. Teori Caring Swanson menyajikan permulaan yang baik untuk memahami kebiasaan dan proses karakteristik pelayanan. Teori Caring Swanson (1991) menjelaskan tentang proses Caring yang terdiri dari bagaimana perawat mengerti kejadian yang berarti di dalam hidup seseorang, hadir secara emosional, melakukan suatu hal kepada orang lain sama seperti melakukan terhadap diri sendiri, memberi informasi dan memudahkan jalan seseorang dalam menjalani hidup. (Potter & Perry, 2005).

  Mengenali kebiasaan perawat yang dirasakan klien sebagai Caring menegaskan apa yang klien harapkan dari pemberi pelayanan. Kemudian, klien menilai efektivitas perawat dalam menjalankan tugasnya. Klien juga menilai pengaruh dari pelayanan keperawatan. Sikap pelayanan yang dinilai klien terdiri dari bagaimana perawat menjadikan pertemuan yang bermakna bagi klien, menjaga kebersamaan, dan bagaimana memberikan perhatian penuh.

  Perbedaan persepsi klien dapat terlihat dari contoh berikut. Contoh pertama, perawat masuk ke kamar klien dengan memberi salam dan senyuman, lalu melakukan kontak mata, kemudian duduk, menyentuh klien dan bertanya tentang apa yang ada dipikiran klien lalu mendengarkannya, kemudian memeriksa cairan intravena, mengkaji, dan memeriksa rangkuman tanda vital klien sebelum meninggalkan ruangan. Contoh kedua, perawat masuk ke kamar klien kemudian memeriksa cairan intravena, memeriksa rangkuman tanda vital, melakukan salam tanpa duduk dan menyentuh klien, perawat bertanya tentang keadaan klien kemudian pergi.

  Pada contoh pertama terlihat kepedulian dan keramahan perawat sehingga klien merasa nyaman. Contoh kedua mengekspresikan ketidakpedulian terhadap masalah klien sehingga klien merasa kurang nyaman. Persepsi klien dapat berbeda-beda karena semua klien memiliki ciri khas. Persepsi klien menjadi hal yang penting bagi perawat dalam meningkatkan kemampuan. Penelitian terhadap persepi klien penting karena pelayanan merupakan fokus terbesar dari tingkat menggunakan sistem pelayanan kesehatan. Apa keuntungan yang klien dapat juga sebagai indikator tingkat kepuasan klien.

  Jika perawat memiliki sikap sensitif, simpatik, melindungi klien, memberi kenyamanan, menunjukkan kemampuan, maka klien merasa lebih dekat serta mudah berbagi perasaan yang dimilikinya. Klien merasa semakin puas saat perawat melakukan tindakan caring. Pelayanan keperawatan yang baik terdiri dari perhatian yang penuh, hubungan kerja yang baik, serta perilaku Caring. Kepuasan klien tidak hanya terlihat dari kepuasan pelayanan kesehatan tetapi juga kepuasan terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan. Kepuasan klien juga merupakan faktor penting dalam memutuskan kembali untuk berobat atau menjalani tindakan keperawatan. Tindakan Caring membangun kepercayaan klien terhadap kemampuan perawat dalam memberikan pelayanan. Kepercayaan pada tindakan keperawatan juga memunculkan kepercayaan terhadap institusi kesehatan.

  Hal yang penting adalah mengetahui bagaimana klien menerima Caring dan pendekatan apa yang paling baik dalam menyelenggarakan pelayanan. Sikap

  

Caring merupakan permulaan yang baik. Hal ini juga penting untuk menjelaskan

  persepsi dan harapan khusus klien. Membangun suatu hubungan yang baik terhadap klien dapat membantu perawat mengetahui apa yang penting bagi klien.

  Sikap ini juga membantu perawat mengatasi perbedaan antara persepsi perawat dan klien tentang Caring. Perawat harus mengetahui siapa klien dan mengenali klien agar suatu hubungan yang baik terwujud dan perawat mampu memilih pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan klien.

2.1.3. Teori Caring Menurut Watson

  Dr. Jean Watson adalah seorang sarjana keperawatan Amerika yang lahir di West Virginia dan sekarang tinggal di Boulder, Colorado sejak tahun 1962. Dia telah menerbitkan berbagai karya yang menjelaskan filsafat dan teori kepedulian manusia, yang dipelajari oleh perawat di berbagai belahan dunia. Dasar dari teori keperawatan Jean Watson di terbitkan pada tahun 1979 di keperawatan yaitu ”The Philosphy and Science of Caring”. Pada tahun 1988, teorinya diumumkan dalam "nursing: Human Science and Human Care”(Watson, 2004). Komponen- komponen penting dalam teori Watson tersebut menyangkut 3 hal yaitu ; sepuluh (Carative Faktor), Interpersonal Caring, dan Caring Moment.

  2.1.3.1 Faktor Carative dalam Caring

  Original carative factors kemudian dikembangkan oleh Watson menjadi

clinical caritas processes yang menawarkan pandangan yang lebih terbuka

  (Watson, 2004), yaitu:

  • Menerapkan perilaku yang penuh kasih sayang dan kebaikan dan ketenangan dalam konteks kesadaran terhadap caring.
  • Hadir dengan sepenuhnya, dan mewujudkan dan mempertahankan system keperacayaan yang dalam dan dunia kehidupan subjektif dari dirinya dan orang dirawat.
  • Memberikan perhatian terhadap praktekpraktek spiritual dan transpersonal diri orang lain, melebihi ego dirinya.
  • Mengembangkan dan mempertahankan suatu hubungan caring yang sebenarnya, yang saling bantu dan saling percaya.
  • Hadir untuk menampung dan mendukung ekspresi perasaan positif dan negative
  • Menggunakan diri sendiri dan semua cara yang diketahui secara kreatif sebagai bagian dari proses caring, untuk terlibat dalam penerapan caring-healing yang artistik.
  • Terlibat dalam pengalaman belajar mengajar yang sebenarnya yang mengakui keutuhan diri orang lain dan berusaha untuk memahami sudut pandang orang lain.
  • Menciptakan lingkungan healing pada seluruh tingkatan, baik fisik maupun non fisik, lingkungan yang kompleks dari energi dan kesadaran, yang memiliki keholistikan, keindahan, kenyamanan, martabat, dan kedamaian.
  • Membantu terpenuhinya kebutuhan dasar, dengan kesadaran caring yang penuh, memberikan “human care essentials”, yang memunculkan penyesuaian jiwa, raga dan pikiran, keholistikan, dan kesatuan diri dalam seluruh aspek care; dengan melibatkan jiwa dan keberadaan secara spiritual.
  • Menelaah dan menghargai misteri spritual, dan dimensi eksistensial dari kehidupan dan kematian seseorang, “soulcare” bagi diri sendiri dan orang yang dirawat.

  Watson kemudian memperkenalkan “Clinical Caritas Process” (CCP), untuk menempatkan carative faktor-nya,yang berasal dari bahasa yunani

  Process adalah suatu praktek perawatan pasien dengan sepenuh hati kesadaran, dan cinta.

  Merawat pasien dengan penuh kesadaran,sepenuh hati dan cinta. hadir secara jiwa dan raga,supportif dan mampu mengekspresikan perasaan negative dan positif dari dasar-dasar nilai spiritual diri dalam hubunganya dengan pasien sebagai one-being-cared-for. Budidaya nilai spiritual dan transpersonal,melampaui diri sendiri dan supaya lebih terbuka peka dan iba. kreatif menggunakan diri dan segala cara dalam proses perawatan,secara artistk,sebagai bagian dari caring-healing-practice. menciptakan lingkungan penyembuhan di semua level,f isik dan non fisik, dengan penuh kesadaran dan keseluruhan, yang memperhatikan keindahan, kenyamanan, kehormatan dan kedamaian. Terlibat dalam proses pengalaman belajar mengajar, yang dihadirkan sebagai kesatuan “menjadi dan berarti ”(being and meaning)”, dan mencoba melihat dan mengacu pada kerangka berfikir orang lain.

  2.1.3.2 Transpersonal Caring Relationship Menurut Watson (1999), Transpersonal caring relationship berkarakteristikkan hubungan khusus manusia yang tergantung pada moral perawat yang berkomitmen, melindungi, dan meningkatkan martabat manusia sepeti dirinya atau lebih tingggi dari dirinya. Perawat merawat dengan kesadaran yang dikomunikasikan untuk melestarikan dan menghargai spiritual, oleh karena itu tidak memperlakukan seseorang sebagai sebuah objek.

  Perawat sadar bahwa mempunyai hubungan dan potensi untuk menyembuhkan. Hubungan ini menjelaskan bagaimana perawat telah melampaui penilain secara objektif, menunjukkan perhatian kepada subjektifitas seseorang, dan lebih mendalami situasi kesehatan diri mereka sendiri. Kesadaran perawat menjadi perhatian penting untuk berkelanjutan dan pemahaman terhadap persepsi orang lain. Pendekatan ini melihat keunikan dari kedua belah pihak, yaitu perawat dan pasien, dan juga hubungan saling mneguntungkan antara dua individu, yang menjadi dasar dari suatu hubungan. Oleh karena itu, yang merawat dan yang di rawat keduanya terhubung dalam mencari makna dan kesatuan, dan mungkin mampu merasakan penderitaan pasien. Istilah transpersonal berarti pergi keluar dari diri sendiri dan memungkinkan untuk menggapai kedalaman spiritual dalam meningkatkan kenyamanan dan penyembuhan pasien. Pada akhirnya, tujuan dari transpersonal caring relationship adalah berkaitan dengan melindungi, meningkatkan dan mempertahankan martabat, kemanusiaan, kesatuan dan keselarasan batin.

  2.1.3.3. Caring Moment Caring occation/ moment menurut Watson(1988, 1999) adalah kesempatan

  (mengenai tempat dan waktu) pada saat perawat dan orang lain datang pada saat human caring dilaksanakan, dan dari keduanya dengan phenomena tempat yang unik mempunyai kesempatan secara bersama datang dalam moment interaksi human to human. Bagi Watson (1988 b, 1999) bidang yang luar biasa yang sesuai dengan kerangka refensi seseorang atau perasaan-perasaan yang dialami seseorang, sensasi tubuh, pikiran atau kepercayaan spiritual, tujuan-tujuan, kesemuanya berdasar pada pengalaman hidup yang dialami seseorang, sekarang atau masa yang akan .

  Watson (1999) menekankan bahwa perawat dalam hal ini sebagai care giver juga perlu memahami kesadaran dan kehadirannya dalam moment merawat dengan pasienya, lebih lanjut dari kedua belah pihak perawat maupun yang dirawat dapat dipengaruhi oleh perawatan dan tindakan yang dilakukan keduanya, dengan demikian akan menjadi bagian dari pengalaman hidupnya sendiri Caring occation bisa menjadi tranpersonal bilamana memungkinkan adanya semangat dari keduanya(perawat dan pasien) kemudian adanya kesempatan yang memungkinkan keterbukaan dan kemampuan–kemampuan untuk berkembang. (Watson, 1999).

2.2 Konsep Hemodialisa

2.2.1. Definisi

  Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.

  Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).

  Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain : 1). Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain. 2). Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.

  3). Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal. 4). Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

  Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyebabkan penyembuhan atau pemulihan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan tampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien ( Brunner & Suddarth, 2002).

  Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Brunner & Suddarth, 2001). Sistem dapar (buffer sisite) tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena (Brunner & Suddarth, 2001).

2.2.3. Indikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisa

  Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.

  Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.

  Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala- gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga menyebutkan ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.

2.3. STUDI FENOMENOLOGI

  Fenomenologi sebenarnya lebih merupakan suatu gerakan pemikiraan filsafat dibandingkan sebagai suatu aliran filsafat. Oleh karena itu, sebagian kalangan, misalnya Embree (1998) berbicara tentang gerakan fenomenologis (phenomenology movement) ,yakni gerakan internasional di bidang filsafat yang meluas ke berbagai disiplin ilmu, terutama sosiologi, antropologi, dan psikiatri, kemudian komunikasi. Berawal di Jerman menjelang akhir abad ke-19, gerakan yang dirintis oleh Edmund Husserl in, kemudian meluas ke Eropa, Amerika, dan Asia termasuk Indonesia.

  Edmund Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode

  Fenomenologi, dia lahir di Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi, dengan membawa seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia, sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara tulisan-tulisan pentingnya adalah : Logische Untersuchungen (Penyeliddikan-penyelidikan

  

Logis) dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen

Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat

  Konsep fenomenologi ini bermula dari pandangan Edmund Husserl yang meyakini bahwa sesungguhnya objek ilmu itu tidak terbatas pada hal-hal yang empiris (terindra), tetapi juga mencakup fenomena yang berada di luar itu, seperti persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek tentang “sesuatu” di luar dirinya. Sesungguhnya, memang demikian. Pada dasarnya, harus diakui bahwa masih banyak objek yang tidak terindra oleh manusia dan terkadang yang terindra oleh manusia belumlah merupakan tampilan sesungguhnya dari apa yang semestinya. Misalnya, saat kita menanyakan pendapat seseorang tentang sesuatu dan yang bersangkutan mengangguk-angguk dengan pendapat yang kita kemukakan, fenomena mengangguknya yang terindra oleh manusia memiliki banyak makna. Pada kasus ini, mungkin saja yang bersangkutan mengangguk karena menyetujui lontaran pendapat dari yang lainnya, atau mungkin pula yang bersangkutan sedang berfikir dan mencerna pendapat itu.

  Penelitian dengan berlandaskan fenomenologi melihat objek penelitian dalam satu konteks naturalnya. Artinya seorang peneliti kualitatif yang menggunakan dasar fenomenologi melihat suatu peristiwa tidak secara parsial, lepas dari konteks sosialnya karena satu fenomena yang sama dalam situasi yang berbeda akan pula memiliki makna yang berbeda pula. Untuk itu, dalam mengobservasi data di lapangan, seorang peneliti tidak dapat melepas konteks atau situasi yang menyertainya. Dengan kalimat lain, muhajir (1990) mengungkapkan bahwa penelitian dengan menggunakan model fenomenologi menuntut bersatunya subjek penelitian dengan subjek pendukung objek penelitian. adanya empat kebenaran, yaitu; kebenaran empiris yang terindra, kebenaran

empiris logis, kebenaran empiris etik, dan kebenaran transcendental.

  (Muhammad Idrus, 2009).

  Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.

  Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu:

  

Reduksi pertama . Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus

obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua.

  Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin. (Dr. Uhar Suharsaputra, 2009) sebagai upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui. Objek pengetahuan berupa gejala atau kejadian-kejadian dipahami melalui pengalaman secara sadar (councius experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang aktual sebagai data tentang realitas yang dipelajari. Kata gejala (phenomenon yang bentuk jamaknya adalah phenomena) merupakan asal istilah fenomenologi dibentuk, dan dapat diartikan sebagai suatu tampilan dari objek, kejadian, atau kondisi-kondisi menurut persepsi (Littlejohn, 2002). Dari sini, tampak bahwa sebagian esensi dari fenomenologi sebenarnya adalah pendekatan kualitatif terhadap gejala dan/atau realitas yang diteliti.

  Berbeda dengan kalangan positivis yang biasa bekerja meneliti dengan mengemukakan hipotesa-hipotesa tentang realitas dan kemudian melakukan pengamatan untuk membuktikan apakah hipotesa yang bersangkutan benar maka kalangan fenomenologis tidak mengajukan hipotesa apapun, tetapi langsung melakukan pengamatan untuk melihat, dan kemudian mendeskripsikannya, seperti apa kenyataan yang ada. Hal ini terutama disebabkan oleh karena kalangan fenomenologis pada umumnya berkeyakinan bahwa pengalaman adalah bersifat subjektif, bukan objektif. Bahwa apa yang orang ketahui adalah apa yang orang alami, dan bahwa subjektivitas sudah selayaknya dihargai sebagai suatu jenis pengetahuan yang penting. Dalam ungkapan Maurice & Ponty, salah seorang pendukung fenomenologis (lihat Littlejohn, ibid), hal ini ditegaskan,All my knowledge of the world, even my scientific knowledge, is gained from my own particular point of view, or from some experience of the world without which any ini, bahkan pengetahuan ilmiah saya, tumbuh dari sudut pandang saya secara khusus atau dari beberapa pengalaman saya tentang dunia tanpa itu symbol- simbol manusia mana pun menjadi tidak berarti).

  Menurut Stanley Deetz pendukung fenomenologi lainnya, seperti dikutip oleh Littlejohn (2002) mengidentifikasi tiga prinsip dasar yang menjadi pilar dari gerakan fenomenologi. 1).Bahwa pengetahuan ()knowledge) diperoleh secar langsung melalui pengalaman yang sadar atau disengaja. Hal ini memilik arti bahwa pengetahuan tidak diperoleh dari (is not inferred from) pengalaman (experience), tetapi ditemukan (is found) secara langsung dari pengalaman secara sadar (concius experience). 2).Bahwa makna tentang sesuatu bagi seseorang sebenarnya terdiri dari atau terbangun oleh potensi pengalaman seseorang berkenaan dengan objek bersangkutan. Artinya, bagaimana seseorang memiliki hubungan dengan objek akan menentukan makna objek bersangkutan bagi sesorang.

  3).Bahwa bahasa merupakan kendaraan yang mengangkut makna-makna. Orang memperoleh pengalaman-pengalaman melalui bahasa yang kita gunakan untuk mendefenisikan dan mengekspresikan pengalaman.

  Dengan bertolak dari tiga prinsip dasar tersebut fenomenologi membangun karakter yang oleh Embree (1998) diidentifikasi meliputi empat hal sebagai positivisme, terutama naturalisme. Seperti telah dijelaskan pada bagia sebelumnya bahwa aliran filsafat naturalism pada dasarnya menganjurkan agar dalam dunia ilmu hanya diberlakukan satu metodologi, yakni metodologi yang lazim digunakan dalam ilmu alam (natural science). Dengan kata lain naturalism mendesak agar metode kuantitatif dijadikan model dan diterapkan juga dalam disiplin ilmu-ilmu social dan ilmu perilaku. Menolak pandangan demikina, kalangan fenomenologis lebih jauh berpendapat bahwa persoalan sosio-historis dan kultural pantas menjadi fokus kajian dalam ilmu-ilmu social, dan demikian lalu kecenderungan reduksionis seperti tampak jelas dalam paradigma pendekatan kuantitif harus dihindari.

  Kedua, fenomenologi pada saat yang sama juga menolak pemikiran spekulatif (speculative thinking) serta kecenderungan bertumpu pada segi-segi bahasa semata. Bagi kalangan fenomenologis, pengetahuan selayaknya didasarkan pada apa yang oleh Embree dikatakan sebagai intuiting’or the seeing of the matters themselves that thought about (intuisi atau penglihatan mengenai persoalan-persoalan yang dipikirkan itu sendiri). Ketiga, sebagai konsekuensinya, kalangan fenomenologis menyarankan suatu metode reflektif berkenaan dengan proses kesadaran dengan memberikan penekanan pada persoalan bagaimana dan/atau untuk tujuan apa proses-proses kesadaran termaksud digunakan. Keempat, fenomenologi cenderung menggunakan analisis-analisis yang mengarah pada penggambaran (descriptions), serta pemberian makna-makna (interpretations) atas gejala-gejala yang diteliti.

  Melakukan pemahaman terhadap fenomena melalui fenomenologi, mempertimbangkan mengetahui dua aspek penting yang biasa disebut dengan “logos”nya fenomenologi, yakni ‘intentionality’ dan ‘bracketing’. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, di mana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud

  

(intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide. Aspek

  kedua ‘bracketing’ atau juga disebut reduksi phenomenology, dimana seorang “pengamat” berupaya menyisihkan semua asumsi umum yang dibuat mengenai sesuatu fenomena. Seorang pengamat akan berusaha untuk menyisihkan dirinya dari prasangka, teori, filsafat, agama, bahkan ‘common sense’ sehingga dirinya mampu menerima gejala yang dihadapi sebagai mana adanya.

  Fenomenologi dalam pelaksanaannya memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi peneliti. Creswell (1998) menjelaskan tantangan tersebut yaitu: Peneliti membutuhkan landasan yang solid dalam ajaran filosofis fenomenologi, para peserta dalam penelitian ini perlu hati-hati dipilih untuk menjadi individu yang mengalami fenomena tersebut, pengalaman Bracketing pribadi oleh peneliti mungkin sulit, eneliti harus memutuskan bagaimana dan dengan cara apa nya atau pengalaman pribadinya akan diperkenalkan ke ruang kerja . Hakekatnya tantangan itu harus mampu duhadapi oleh seorang fenomenolog, penguasaan pada landasan subyek yang mengalami yang akan dieksplorasi, kemampuan memelihara dan meningkatkan kemampuan logos fenomenologi, dan memilih serta memilah pengalaman bermakna yang dikonstruksi oleh subyek penelitian.(Atwarbajari, 2008).

  .Fenomenologi adalah cabang dari filosofi yang menekankan pengertian bahwa tingkah laku social dimiliki individu. Karenanya, untuk setiap tindakan yang dilakukan oleh individu, pengertian dikembangkan yang membantu menimbulkan realita yang unik bagi orang itu. Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran, dalam kognitif dan dalam tindakan-tindakan perseptual. Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep kunci yang intersubyektif. Karena itu, menurut Kuswarno “…penelitian fenomenologis harus berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala…”.(Atwarbajari, 2008).

  Perawat peneliti yang menggunakan pendekatan fenomenologis menaruh perhatian terhadap totalitas pengalaman manusia. Hal ini meliputi semua nuansa pengalaman yang diberikan. Riset fenomenologis mengamanatkan peneliti untuk akrab dengan peserta riset dan lingkungannya (Davis, 1978). Maka aka ada beberapa harapan tentang apa yang akan ditemukan dalam mempelajari peserta dan pengalamannya. Peserta menghasilkan realitas pengalaman tanpa hipotesa atau “firasat” sebelumnya yang ditetapkan untuk mengarahkan apa yang harus menulis suatu bab baru tentang pengetahuan yang dicari (Omery, 1983).

  Sementara melakukan riset dengan menggunakan metoda fenomenologis, peneliti harus masuk dalam pengalaman peserta riset. Usaha harus dilakukan untuk memahami arti suatu peristiwa dengan berpartisipasi dalam proses ini. Melalui keterlibatan aktif dalam kenyataan hidup peserta dimana peneliti mencoba memahami arti dari pengalaman dalam pertanyaan (Oiler, 1982). Dengan cara ini peneliti mencoba memahami sepenuhnya pengalaman hidup dari fenomena studi ini.

  Dalam usaha untuk menggambarkan pengalaman hidup, peneliti berfokus pada apa yang terjadi dalam kehidupan seseorang, apa yang penting tentang pengalaman mereka, dan perubahan-perubahan apa yang dapat diperhatikan. Langkah-langkah yang dianjurkan dapat diambil untuk mengarahkan peneliti dalam menguraikan pengalamn hidup yang telah diuraikan oleh beberapa ahli (Leinenger, 1985; Munhall &Oiler, 1986; Oiler 1982; Omery, 1983; Parse, Coyne & Smith, 1985). Harus diperhatikan bahwa langkah-langkah ini tidak pasti dan kenyataannya, bervariasi dari satu perspektif filosofis terhadap perspektif lainnya dalam gerakan fenomenologis itu sendiri.

  Pertama, perawat peneliti berusaha mengidentifikasi pertanyaan riset. Identifikasi ini meliputi pennetuan dan pengalaman spesifik apa yang diteliti. Perawat berusaha mencari tahu tentang pengalamn hidup dari perspektif peserta. Suatu contoh pertanyaan riset fenomenologis yang tepat adalah “Apa pengalaman Para peserta riset yang dipilih adalah yang sesuai dengan pertanyaan riset.

  Perhatian utama adalah pemilihan individu yang saat ini telah mempunyai pengalaman yang sedang diselidiki (Omery, 1983). Ukuran sampel harus adekuat untuk mengizinkan penjelasan fenomena sepenuhnya dari studi. Peneliti perlu menggambarkan atau memutuskan ukuran sampel tetapi tidak dapat meramalkan sendiri jumlah yang diperlukan sebelumnya (Field & Morse, 1985).

  Setting studi juga merupakan pertimbangan penting. Untuk mengeluarkan perasaan peserta tentang pengalaman tertentu, sangat bermanfaat bila berada dalam lingkungan yang nyaman, seperti lingkungan rumah, masyarakat atau lingkungan kerja peserta. Jika perawat mempelajari pengalaman nyeri persalinan, ruang persalinan mungkin merupakan lingkungan yang lebih tepat digunakan.

  Penjelasan apa arti pengalaman dalam studi bagi peserta adalah hal penting dalam metoda fenomenologis. Bracketing adalah teknik yang digunakan untuk membantu klien menggambarkan pengalaman hidup dengan mengesampingkan perasaan pribadi seseorang sehingga seluruh perspektif yang tersedia sapat dipertimbangkan dalam mempelajari fenomena tersebut (Parse, Coyne & Smith, 1985). Sekali para peserta mempunyai kesempatan untuk menggambarkan seluruh pengalamannya, peneliti harus berusaha menggali data dengan secara sistematis membuat daftar dan mengatur informasi yang dikumpulkan. Peneliti harus menggunakan intuisi untuk mencoba mengembangkan suatu kesadaran mengenai pengalaman hidup tanpa memaksa Pada waktu data telah diklasifikasikan, peneliti mencoba mengurangi jumlah kategori untuk memasukkan jumlah terkecil yang penting untuk menyusun pengalaman. Proses ini mungkin bermaksud untuk mengurangi data beberapa kali sampai informasi yang ganda, dan informasi yang tidak relevan dapat dihilangkan.

  Daftar kategori yang terakhir seharusnya menggambarkan pengalaman- pengalaman hidup yang ditangkap dalam suatu cara yang koheren dan berarti.

  Proses analisis meliputi tugas yang sulit meliputi membedakan dan membandingkan data akhir untuk menentukan pola-pola, tema-tema atau 5 benang yang timbul (Knaack, 1984). Dalam analisa akhir, perawat peneliti mencari tahu pengetahuan lebih jauh tentang beberapa fenomena dan berusaha menangkap pengalaman hidup tersebut dalam cara ringkas. Jika pengetahuan tersebut relevan dengan peneliti lainnya maka pengetahuan harus dapat dimengerti dan jelas, merinci hubungan-hubungan yang ada.