BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan - Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Penjualan Hak Tanggungan Di Bawah Tangan (Studi Pada Bank Mandiri Cabang Medan)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan Sebelum lahirnya UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan

  hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak atas tanah merupakan objek hukum dalam jaminan hipotik. Namun sesudah berlakunya UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan hutang tidak lagi menggunakan jaminan hipotik, melainkan menggunakan jaminan hak

   tanggungan.

  Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah yaitu hak tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hypotheek dan Credietverband, akan tetapi lembaga hak tanggungan di atas belum berfungsi sebagimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap, sesuai dengan yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 undang-undang tersebut sehingga ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II KUHPerdata dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebgaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 masih diberlakukan sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan UUPA. Padahal ketentuan-ketentuan tersebut di atas berasal dari zaman kolonial 10 belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya hukum tanah nasional. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan hukum tanah nasional dan tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi khusunya di bidang perkreditan dan hak jaminan dikarenakan perkembangan pembangunan ekonomi, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Dengan demikian perlu kiranya dibentuk suatu undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, sekaligus mewujudkan adanya unifikasi hukum tanah nasional.

  Setelah berlakunya UUHT, maka terpenuhilah apa yang diinginkan Pasal

  51 UUPA, sehingga berdasarkan Pasal 29 UUHT menyatakan bahwa dengan berlakunya UUHT, maka ketentuan hypotheek sebagaimana dimaksud dalam buku

  II KUHPerdata Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908- 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah berserta benda-benda yang

   berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

  Ketentuan mengenai hypotheek dan credietverband berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya hukum tanah nasional, oleh karena itu tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak zaminan sebagai akibat kemajuan pembangunan ekonomi. Pada zaman kolonial ketentuan hypotheek dipakai apabila 11 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, (Semarang: Fakultas Hukum yang dijadikan jaminan adalah hak barat seperti : hak eigendom, hak erfpacht dan hak opstal sedangkan ketentuan credit verband dipakai apabila yang dijadikan jaminan adalah tanah hak milik adat. Ketentuan tentang hypotheek dan credit

  

verband tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam

  kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Timbul perbedaan penafsiran mengenai jaminan atas tanah misalnya dalam hal pencantuman title eksekutorial, pelaksanaan eksekusi, sehingga dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum. Oleh karena peraturan mengenai peralihan hak tanggungan yang ditunjuk dalam Pasal 57 UUPA tersebut adalah termasuk bagian dari hukum perdata serta dibuat pada jaman pemerintahan kolonial belanda tentunya banyak menimbulkan masalah karena terjadinya dualisme hukum jaminan atas tanah. Dualisme tersebut terjadi dengan adanya dua macam lembaga tanggungan yaitu hypotheek dan credit verband, sehingga hal ini tidak sejalan dengan tujuan UUPA yang menghendaki adanya unifikasi hukum tanah nasional.

  Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 UUHT adalah : “hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan atas tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur tertentu dengan kreditur-kreditur lainnya”

   Pasal 1 butir 1 UUHT dapat diketahui bahwa: “pada dasarnya suatu hak

  tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahului, dengan objek jaminan berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.

  Hak tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian

  

  pembayaran lunas utang debitur kepadanya. Pada prinsipnya, hak tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Jaminan yang diberikan yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya bagi kreditur pemegang hak tanggungan.

  Proses pengikatan hak tanggungan sampai dengan lahirnya hak tanggungan ini adalah sebagai berikut;

  1. Proses pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT) proses ini dilakukan tetapi tidak wajib.

  2. Proses pembuatan akta pemberian hak tanggungan .proses ini wajib dilakukan.

  3. Proses pendaftaran hak tanggungan.proses ini wajib diikuti dan setelah pendaftaran inilah dianggap hak tanggungan secara resmi lahir. 12 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja Hak Tanggungan. (Kencana Jakarta: Prenada

  Media, 2005) hal 13 13 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang

  Adapun yang merupakan cirri-ciri dari suatu hak tanggungan adalah secara berikut

  1. Hak tanggungan memberikan hak preferensi (hak yang didahulukan) kepada pemegang hak tanggungan.

  2. Hak tanggungan mengikuti objek (tanah) yang dijamin,dalam tangan siapa pun objek atau hak atas objek tersebut berada.

  3. Hak tanggungan memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum.

  4. Hak tanggungan mudah dan pasti dalam pelaksanaanya eksekusinya.

B. Asas-asas Hak Tanggungan

  Asas-asas hak tanggungan tersebar dan diatur dalam berbagai pasal dan

  

  penjelasan dari UUHT. Asas-asas hak tanggungan tersebut adalah: 1.

  Asas hak didahulukan (preference), (penjelasan Pasal 5 UUHT umum angka 3 jo angka 4. Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak yang diutamakan (droit de preference) untuk dipenuhi. hal ini berarti bahwa kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani hak tanggungan tersebut.

  2. Asas hak kebendaan (Pasal 7 jo Penjelasan Umum angka 3 huruf b 14 UUHT). Dalam pasal tersebut tidak ada disebut kata hak kebendaan, yang

  Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Jaminan, (Bandung: Mandar Maju, ada disebut sifat hak kebendaan yaitu hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Artinya benda- benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap terbebani hak tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada (droit de suite).

  Dengan demikian apabila objek hak tanggungan sudah beralih kepemilikan kepada orang lain, kreditur tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan jika debitur cidera janji.

  3. Asas spesialitas dan publisitas (Penjelasan Umum angka 3 c UUHT). Asas spesialitas maksudnya benda yang dibebani hak tanggungan itu harus ditunjuk secara khusus. Dalam akta pemberian hak tanggungan harus disebutkan secara tegas dan jelas mengenai benda yang dibebani itu berupa apa, dimana letaknya, berapa luasnya, apa batas-batasnya dan apa bukti pemiliknya. Adapun asas publisitas artinya hal pembebanan hak tanggungan tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap akta pemberian hak tanggungan harus didaftarkan.

  4. Asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Penjelasan Umum angka 3 d UUHT). Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusi terjadi dengan adanya sifat hak melakukan eksekusi dari pemegang hak tanggungan dengan mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan yang Maha Esa” pada sertifikat hak tanggungan. Artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.

  5. Asas accessoir (Pasal 10 ayat (1), Penjelasan Umum angka 8 UUHT). Hak tanggungan adalah perjanjian ikutan dan tidak merupakan hak yang berdiri sendiri (zelfstandigrecht). Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan

  (accessorium) tergantung dari perjanjian pokok 6.

  Asas pemisahan horizontal. Asas ini mengajarkan bahwa hak atas tanah terpisah dari benda-benda yang melekat di atasnya (Penjelasan Umum angka 6 UUHT), tetapi berlakunya tidak secara otomatis. Penerapannya terjadi jika diperjanjikan yang dituangkan dalam APHT

C. Obyek dan Subyek Hak Tanggungan

  Di dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT pengertian hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, untuk pelunasan utang debitur yang telah dilakukan terhadap kreditur.

  Dimana dimaksudkan merupakan jaminan atas utang tersebut.

  Objek hak tanggungan, dalam Pasal 4 UUHT telah ditentukan secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang yang dapat dibebani hak tanggungan, yaitu: 1.

  Hak Milik 2. Hak guna usaha 3. Hak guna bangunan 4. Hak pakai, baik hak pakai atas tanah negara maupun hak pakai atas tanah hak milik

  5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan yang merupakkan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan. Objek hak tanggungan akan menjadi luas jika dikaitkan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun

  1985 tentang Rumah Susun yang berkenaan dengan penjaminan rumah susun beserta tempat dimana bangunan itu berdiri dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut yang berdiri di atas tanah hak milik.

  Pada dasarnya benda-benda (tanah) yang akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan, harus memenuhi syarat-syarat,

  

  yaitu: 1.

  Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang.

2. Termasuk hak yang didaftar dalam umum, karena harus memenuhi syarat publisitas.

  3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera janji (wanprestasi), benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum, dan 4. Menentukan penunjukan dengan undang-undang.

15 Budi Harsono, Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan,

  Sebagai bukti adanya hak tanggungan maka kantor badan pertanahan nasional menerbitkan sertifikat hak tanggunggan yang dimana menjadi patokan

   adalah tanggal pendaftaran/pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.

  Peraturan menteri negara agraria/kepala badan pertanahan nasional Nomor

  3 Tahun 1996 disebutkan bahwa sertifikat hak tanggungan terdiri atas salinan buku tanah hak tanggungan dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) yang bersangkutan yang telah dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan, dan dijilid dalam satu sampul dokumen yang bentuknya telah ditetapkan dalam aturan tersebut.

  Pada hak tanggungan juga terdapat subjek hukum yang menjadi hak tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri yaitu,

  

  sebagai berikut: a.

  Pemberi hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek hak tanggungan.

  b.

  Pemegang hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima hak tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya.

  Undang-undang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah memuat ketentuan mengenai subjek hak tanggungan

  

  dalam Pasal 8 dan Pasal 9, yaitu sebagai berikut:

  16 J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak Kebendaan, Hak Tanggungan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1998), hlm. 151. 17 18 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan,(Jakarta;Sinar Grafika, 2012), hal. 54 a.

  Pemberi hak tanggungan, yaitu orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan.

  b.

  Pemegang hak tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

  Subjek hak tanggungan selain warga negara Indonesia, dengan ditetapkannya hak pakai atas tanah negara sebagai satu objek hak tanggungan, bagi warga negara asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek/hak tanggungan, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

   1.

  Sudah tinggal di Indonesia dalam waktu tertentu; 2. Mempunyai usaha di Indonesia; 3. Kredit itu dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara republik indonesia

D. Pembebanan Hak Tanggungan

  Sesuai dengan sifat Accecoir dari hak tanggungan, maka pembebanan hak tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak 19 tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.

  Menurut Pasal 13 ayat (1) UUHT pemberian hak tangggungan wajib didaftarkan pada kantor Pertanahan. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.

  Proses pembebanan hak tanggungan menurut Penjelasan Umum angka 7 UUHT dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu: 1. tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya akta pemberian hak tanggungan oleh PPAT, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; 2. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

  PPAT/Pembuat Pejabat Akta Tanah adalah sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. PPAT diangkat oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja. Ia hanya berwenang membuat akta mengenai tanah yang ada di wilayah daerah kerjanya, kecuali dalam hal-hal khusus dengan izin Kepala Kantor BPN Wilayah Propinsi. Akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.

  Pasal 11 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa APHT wajib mencantumkan: a.

  Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan. Apabila hak tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi hak tanggungan adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut; b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih; c. Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). Penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan; d.

  Nilai tanggungan; e. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya.

  Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila obyek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT, wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan dan penerima hak

   tanggungan dan disaksikan oleh dua orang saksi.

  Menurut Pasal 13 UUHT, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan Dengan pengiriman oleh PPAT berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat.

  Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

  Mengenai tanggal buku-buku hak tanggungan adalah tanggal hari ke tujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi 20 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT,( Semarang pendaftarannya dan jika hari ke tujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku-tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku-tanah hak tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi kepastian hukum. Dengan adanya hari tanggal buku-tanah hak tanggungan, maka hak tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku-tanah hak tanggungan dan hak tanggungan mengikat kepada pihak ketiga.

  Sertifikat hak tanggungan merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan, maka sertifikat tersebut membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada. Mengenai bentuk sertifikat hak tanggungan, diatur lebih lanjut dalam

  Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk SKMHT, APHT, buku tanah hak tanggungan, dan sertifikat (seharusnya ditulis Sertifikat), bahwa sertifikat hak tanggungan itu terdiri atas salinan buku tanah hak tanggungan dan salinan APHT yang bersangkutan, yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan dijahit menjadi satu dalam sampul dokumen dengan bentuk sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996.

E. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

  Berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996, dimana dalam peraturan ini ditetapkan pembuatan SKMHT dan menetapkan mulai kapan wajib digunakan blanko-blanko sesuai bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri tersebut, yang secara tegas dimulai tanggal 1 Agustus 1996 Sebelum berlakunya UUHT, penggunaan surat kuasa dalam membebankan hipotik seringkali dipergunakan untuk menunda pembebanan hipotik. Banyak kreditur yang memegang surat kuasa membebankan hipotik yang hanya akan dilaksanakan apabila ada gejala debitur akan cidera janji. Walaupun risiko akibat belum dibebankannya hipotik itu ditanggung sepenuhnya oleh kreditur, karena jaminan yang demikian tidak memberikan kedudukan yang diutamakan dan tidak mengikuti benda yang dijaminkan, jika benda tersebut dipindahtangankan kepada pihak lain, namun dianggap perlu untuk tidak meneruskan praktek tersebut untuk menghidari adanya spekulasi ataupun manipulasi.

  Sesuai Pasal 24 ayat (3) UUHT, surat kuasa membebankan hipotik yang dibuat sebelum berlakunya UUHT, dapat digunakan sebagai SKMHT dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal 9 April 1996. APHT, yang dibuat berdasarkan surat kuasa harus tetap memenuhi ketentuan UUHT. Pengertian surat kuasa disini meliputi juga surat kuasa untuk menjaminkan tanah. Hal ini berarti surat kuasa yang dimaksudkan tidak harus bernama atau berkepala “Kuasa Membebankan atau memasang hipotik” melainkan mengenai surat kuasa dengan nama lain, hanya saja isinya harus berisi tentang pemberian kuasa untuk membebankan hak jaminan yang mempunyai ciri-ciri seperti hipotik, termasuk juga ciri-ciri memberikan hak didahului (preferen) bagi pemegang hak tanggungan.

  Ada beberapa keuntungan yang didapat kreditur dengan memiliki dan membuat surat kuasa membebankan hipotik antara lain : a.

  Kuasa membebankan hipotik dapat dibuat dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan membuat akta hipotik ; b.

  Kuasa membebankan hipotik dapat dibuat dimana saja dalam wilayah Indonesia, sedangkan membuat akta hipotik hanya boleh dibuat di kantor PPAT yang wilayah kerjanya meliputi kecamatan atau kabupaten dalam mana tanah yang akan dibebani hipotik itu berada ; c.

  Dengan kuasa membebankan hipotik itu, kreditur dapat saja tanpa bantuan pemegang hak atas tanah memasang hipotik ; d.

  Biaya untuk membuat kuasa membebankan hipotik minimal seperempat persen dari jumlah rupiah pembebanan hipotik Pada dasarnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan dan hadir di hadapan PPAT apabila benar-benar

  “diperlukan”, yaitu karena suatu sebab pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT, diperkenankan penggunaan SKMHT dengan cara menunjuk pihak lain sebagai kuasanya. Dengan demikian fungsi SKMHT adalah sebagai alat untuk mengatasi apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UUHT yang menyebutkan bahwa : “SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT”

  Sejalan dengan hal tersebut, SKMHT harus diberikan langsung oleh pemberi hak tanggungan dan harus memenuhi persyaratan tersebut mengenai muatannya sebagaimana yang tetapkan pada Pasal 15 UUHT. Tidak terpenuhinya persyaratan mengenai muatan SKMHT ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan akan batal demi hukum, yang berarti pula surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT.

  Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menolak permohonan untuk membuat APHT apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan, atau tidak memenuhi persyaratan seperti diatas. Menurut Pasal 15 UUHT, pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, ditugaskan juga kepada PPAT. SKMHT tersebut berbentuk akta otentik. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta otentik, namun pilihannya bukan hanya dengan akta Notaris saja, tetapi dapat juga dibuat dengan akta PPAT. Penugasan kepada PPAT untuk membuat SKMHT mengingat keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan, dalam rangka memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak yang memerlukannya.

  Dalam hal APHT dibuat berdasarkan SKMHT, maka pejabat pelaksana didalam membuatnya harus mencermati terlebih dahulu mengenai kondisi Surat kuasa membebankan hak tanggungan yaitu baik mengenai batas waktu berlakunya, kewenangan pejabat pelaksananya, dan formalitas pembuatan akta.

  Dapat dikatakan SKMHT wajib dibuat dengan akta otentik yang memuat kuasauntuk membebankan hak tanggungan. Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus di buat dengan akta Notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula di penuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu diantaranya : 1.

  Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan .Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain: dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek hak tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Berkenaan dengan larangan tersebut, maka tidak termasuk larangan memberikan kuasa dengan memberikan janji-janji

  

  fakultatif. Dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT ini menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan saja, sehingga dengan demikian pula terpisah dari akta-akta lain, maka kuasa membebankan hak tanggungan tidak lagi dapat dipersatukan dengan perjanjian kredit, tetapi harus dibuat terpisah secara khusus. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, apabila syarat ini tidak dipenuhi mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT, sehingga konsekuensi hukum yang ditetapkan berupa “batal demi hukum.

2. Tidak memuat kuasa substitusi. Yang dimaksud dengan pengertian

  “substitusi” menurut undang-undang ini adalah penggantian penerimaan kuasa melalui pengalihan. Dalam substitusi ada penggantian figur penerima kuasa atas dasar pelimpahan kuasa yang diterima penerima kuasa kepada orang lain atas inisiatif penerima kuasa sendiri. Dengan demikian bukanlah merupakan substitusi, apabila penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya pemberi jaminan memberikan kuasa kepada bank untuk membebankan hak tanggungan dan untuk pelaksanaan pembebanan tersebut bank menunjuk kepala cabang tertentu untuk mewakili direksi. Berdasarkan Pasal 1803 KUHPerdata 21 disimpulkan bahwa pada asasnya seorang kuasa berhak untuk mensubstitusikan kepada orang lain, kecuali pemberi kuasa menyatakan atau disimpulkan dari sikap dan tindakannya bahwa penerima kuasa tidak boleh mensubstitusikan kuasa itu kepada orang lain, hal ini merupakan ketentuan umum mengenai kuasa. Di dalam Pasal 1803 ayat (2) KUHPerdata, juga menentukan bahwa pemberi kuasa senatiasa dianggap telah memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam hal kuasa yang diberikan untuk mengurus benda-benda yang terletak di luar wilayah Indonesia atau di lain pulau selain daripada tempat tinggal pemberi kuasa. Hal ini kiranya SKMHT tidak sekedar dalam rumusannya tidak memuat kuasa substitusi, tetapi dalam rumusan SKMHT secara tegas dicantumkan bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi.

  Oleh karena berlakunya ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUHPerdata, maka dicantumkannya secara tegas di dalam rumusan SKMHT bahwa kuasa tersebut diberikan hak substitusi, secara yuridis mengandung pemberian kuasa substitusi dalam hal objek hak jaminan berada di lain pulau selain daripada tempat tinggal pemberi kuasa.

  3. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur, apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan “Jumlah utang “ yang dimaksud adalah jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan. Objek hak tanggungan adalah tanah berserta dengan segala sesuatu yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan yang diberikan sebagai jaminan. Kejelasan mengenai unsur- unsur pokok dalam pembebanan hak tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan, kepastian dan perlindungan, baik kepada penerima maupun pemberi kuasa. Ini berarti SKMHT adalah suatu surat kuasa yang benar-benar khusus, hanya terbatas untuk memberikan atau membebankan hak tanggungan semata-mata. Dalam hal SKMHT telah memenuhi syarat formal dan syarat substansi (materiil), maka dalam Pasal 15 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa, kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) UUHT. Dalam Pasal 15 ayat (3) UUHT, menyatakan bahwa SKMHT yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.

  Sedangkan dalam Pasal 15 ayat (4) UUHT, menyatakan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat- lambatnya 3 (tiga) bulan setelah diberikan. Tanah yang belum terdaftar batas waktu penggunaan SKMHT ditentukan lebih lama daripada tanah yang sudah terdaftar, karena pembuatan APHT pada hak atas tanah yang belum terdaftar harus dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hal ini lebih konkrit dijelaskan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) UUHT yang berbunyi : “Apabila objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama, yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan”

  Akan tetapi ketentuan ini diperluas, diberlakukan juga terhadap tanah- tanah yang sudah bersertifikat, akan tetapi belum terdaftar atas nama pemberi hak tanggungan sebagai pemegang hak atas tanah yang baru, yaitu tanah yang belum didaftar peralihan haknya, pemecahannya. Tanah-tanah yang demikian batas waktu penggunaan SKMHT dipersamakan dengan hak atas tanah yang berasal darikonversi hak lama. Batas waktu penggunaan SKMHT ini tidak menutup kemungkinan dibuatnya SKMHT baru. Selama masih diperlukan untuk proses pendaftaran hak atas tanah dan pembebanan hak tanggungan, SKMHT dapat diperpanjang atau diperbaharui lagi.

  Untuk itu perlu adanya ketentuan pembatasan jumlah penggunaan surat kuasa

  

  dalam pembebanan hak tanggungan. Sedangkan dalam Pasal 15 ayat (5) UUHT ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, untuk memberikan kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah. Dalam hubungannya dengan jaminan pemberian kredit tertentu telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

  4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan SKMHT untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu. Terhadap pemberian SKMHT yang diberikan sehubungan dengan pemberian :

22 Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah,

  a.

  Kredit produktif yang termasuk kredit usaha kecil, sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 ; b. Kredit pemilikan rumah yang termasuk dalam golongan kredit usaha kecil c. Kredit untuk perusahaan inti dalam rangka Perusahaan Inti Rakyat (PIR) lainnya yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaannya dibiayai dengan kredit tersebut. Pasal-pasal tentang hak tanggungan atas tanah, kredit pembebasan tanah dan kredit konstruksi yang diberikan kepada pengembang dalam rangka kredit pemilikan rumah, yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaan dan pengembangannya dibiayai dengan kredit tersebut.

  Dalam Pasal 15 ayat (6) UUHT, menyatakan SKMHT yang diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) dan (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) akan batal demi hukum.

F. Hapusnya Hak Tanggungan

   Berdasarkan Pasal 18 UUHT yang menentukan bahwa : 1.

  Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut : a.

  Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan; b. Dilepasnya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;

  23 c.

  Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan, adanya hak tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain dengan sendirinya hak tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Selain itu, pemegang hak tanggungan dapat melepaskan hak tanggungan dan hak atas tanah dapat hapus, yang mengakibatkan hapusnya hak tanggungan. Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34 dan

  Pasal 40 UUPA atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai yang dijadikan objek hak tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut. Hak tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.

  2. Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.;

  3. Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19;

4. Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak

  

  tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin

  24

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Penjualan Hak Tanggungan Di Bawah Tangan (Studi Pada Bank Mandiri Cabang Medan)

2 63 81

Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

6 143 108

PPemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Bangunan(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

3 124 100

Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

1 41 80

Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan

0 43 106

Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)

0 27 108

Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Pengikatan Jaminan Kebendaan Menurut Undang-Undang Nomor Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

0 16 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Konsekuensi Jaminan Kredit Untuk Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Kreditur Di Medan

0 0 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

0 0 25

BAB II KEDUDUKAN BANK SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN ATAS BERAKHIRNYA SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN (HPL) YANG MENJADI OBJEK JAMINAN A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan - Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank

0 0 50