Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)

(1)

OBJEKNYA BERSTATUS MILIK PIHAK KETIGA

(Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

Iman Adiananda

080200014

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEDUDUKAN HUKUM TERHADAP HAK TANGGUNGAN YANG

OBJEKNYA BERSTATUS MILIK PIHAK KETIGA

(Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan)

Oleh

Iman Adiananda

080200014

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum

NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I

M. Husni., M.H NIP. 195802021988031004

Dosen Pembimbing II

Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum NIP.196801281994032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK * Iman Adiananda

**M.Husni

*** Puspa Melati Hasibuan

Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Jaminan kredit yang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang berkaitan dengan kepentingan bank. Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Artinya bahwa pihak penerima kredit (debitur) harus memberikan jaminan kepda bank (kreditur) yang nilainya sepadan dengan kredit yang telah diberikan. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang bjeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif adalah untuk mengkaji berbagai peraturan-peraturan yang ada terkait dengan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga. Yuridis normatif melakukan penelitian pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Penelitian deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih muda dipahami dan disimpulkan.

Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian terlebih dahulu. Proses pemberian kredit merupakan tindakan terencana dengan menekankan prinsip kehati-hatian yaitu melakukan tindakan awal dengan cara menganalisa pendahuluan, pembukuan, dan melakukan deteksi awal terhadap segala kemungkinan yang timbul atas diberikannya kredit kepada debitur. Perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.Kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Kedudukan pihak ketiga yang telah dibebani hak tanggungan, adalah pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah dengan diberikannya sertifikat hak milik atas tanah, selain itu pihak pembeli tanah mempunyai hak tagih kepada debitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren) terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank, dan debitur/pemilik tanah secara hukum wajib membayar hutangnya sebagai bentuk tanggung jawab dari kelalaian yang telah dilakukan.


(4)

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan.

6. Muhammad Husni, M.H selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis ayahanda Alm Adanan dan Ibunda Hakimah, adik-adik penulis M Novrizal Adlani, Jeny Andari dan kakanda penulis dr.Hanifa Adriani yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

10.Buat teman-teman stambuk 08, Zefri Zulfi SH, Barita News Lumbanbatu SH, Fudjli Rinanda Simangunsong, Robert Joshua Maail, Fahmi Anggia Lubis SH, M Karami SH, Vitra Armadhana SH, adik-adik stambuk, kawan-kawan Natural Justice FH USU dan satma AMPI yang tak bisa penulis sebutkan satu


(6)

persatu terima kasih atas dukungan dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, September 2015 Penulis,

Iman Adiananda 080200014


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN ... 16

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan ... 16

B. Objek dan Subjek Hak Tanggungan ... 20

C. Proses Pembebanan Hak Tanggungan ... 27

D. Berakhirnya Hak Tanggungan ... 36

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ... 49

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Milik ... 49

B. Kedudukan Hak Milik ... 64


(8)

BAB IV KEDUDUKAN HUKUM TERHADAP HAK TANGGUNGAN YANG OBJEKNYA BERSTATUS HAK MILIK

PIHAK KETIGA ... 72

A. Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan yang Objeknya Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan ... 72

B. Perlindungan Hukum terhadap Pembebanan Hak Tanggungan yang Objeknya Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan ... 87

C. Kedudukan Hukum terhadap Pembebanan Hak Tanggungan yang Objeknya Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97 LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK * Iman Adiananda

**M.Husni

*** Puspa Melati Hasibuan

Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Jaminan kredit yang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang berkaitan dengan kepentingan bank. Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Artinya bahwa pihak penerima kredit (debitur) harus memberikan jaminan kepda bank (kreditur) yang nilainya sepadan dengan kredit yang telah diberikan. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang bjeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif adalah untuk mengkaji berbagai peraturan-peraturan yang ada terkait dengan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga. Yuridis normatif melakukan penelitian pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Penelitian deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih muda dipahami dan disimpulkan.

Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian terlebih dahulu. Proses pemberian kredit merupakan tindakan terencana dengan menekankan prinsip kehati-hatian yaitu melakukan tindakan awal dengan cara menganalisa pendahuluan, pembukuan, dan melakukan deteksi awal terhadap segala kemungkinan yang timbul atas diberikannya kredit kepada debitur. Perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.Kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Kedudukan pihak ketiga yang telah dibebani hak tanggungan, adalah pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah dengan diberikannya sertifikat hak milik atas tanah, selain itu pihak pembeli tanah mempunyai hak tagih kepada debitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren) terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank, dan debitur/pemilik tanah secara hukum wajib membayar hutangnya sebagai bentuk tanggung jawab dari kelalaian yang telah dilakukan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) tidak memberikan pengertian agraria, hanya memberikan ruang lingkup agraria sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasanya. Ruang lingkup agrarian menurut UUPA meliputi Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya.1

tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur mengenai keagrariaan. Tanggal 9 April 1996, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT).

Hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang

Kehadiran lembaga Hak Tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek (selanjutnya disebut dengan hipotik yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu pengikatan) sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan

1


(11)

Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 51 UUPA Nomor 5 Tahun 1960, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut.2

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Hak Tanggungan ini sangat berarti dalam menciptakan unifikasi hukum tanah nasional, khususnya di bidang hak jaminan atas tanah. Kenyataannya menunjukkan bahwa dalam praktik pelaksanaan penjaminan atas tanah selama ini telah terjadi hal-hal yang tidak mendukung keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dengan segala dampaknya, seperti yang terjadi dalam praktik yang seolah-olah melembagakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga Hak Tanggungan yang kuat, di antaranya mengenai kedudukan SKMHT.

Jaminan kepastian hukum bagi pembeli tanah biasanya menjadi harapan setiap orang, oleh karena itu ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah harus jelas, lebih-lebih yang berkaitan dengan debitur yang sering kali karena kelalaiannya, menimbulkan wanprestasi dengan cara tidak melunasi kewajibannya kepada kreditur. Namun, pihak debitur pada sisi lain telah menerima pembayaran atau pelunasan sebidang tanah beserta bangunan, hal ini sering menimbulkan masalah.

Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

2


(12)

kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790, selanjutnya disingkat UU Perbankan). Secara sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga keperantaraan antara kelompok orang yang untuk sementara mempunyai dana lebih (surplus spending group) dan kelompok orang yang untuk sementara pula kekurangan dana (defisit spending group).3

Terlihat dua fungsi utama bank, yakni fungsi pengerahan dana dan penyaluran dana, maka terdapat dua hubungan yang lazim antara bank dannasabah, yaitu: hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana; dan hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.4 Pada hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur, memberikan pemahaman bahwa bank merupakan lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. Hubungan tersebut dimaknai sebagai hubungan nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dan nasabah yang bersangkutan.5

Proses pemberian kredit, bank tidak serta merta memberikan kredit kepada nasabah, oleh sebab itu nasabah (developer) memberikan jaminan berupa sertifikat Hak Milik Atas Tanah kepada bank kemudian diikat dengan perjanjian jaminan yaitu Hak Tanggungan.

3

Ibid., hal.12

4

Ronny Sautama Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk

Tabungan dan Deposito. Citra Aditya Bakti, Bandung.1995, hal 32 5

Lukman Santoso Az, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank. Pustaka Yustisia, Yogyakarta. 2011, hal 58.


(13)

Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Jaminan kredit yang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang berkaitan dengan kepentingan bank. Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Artinya bahwa pihak penerima kredit (debitur) harus memberikan jaminan kepda bank (kreditur) yang nilainya sepadan dengan kredit yang telah diberikan. Adanya jaminan tersebut akan memberikan kepastian kepada bank dalam memperoleh kembali kredit yang diberikan kepada debitur.

Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain dengan memperhatikan aspek hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan. Hal ini dilakukan oleh pihak bank agar bank mendapat kepastian bahwa kredit yang diberikan kepada masyarakat dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat kembali dengan aman. Maka dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk perjanjian jaminan tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila penerima kredit wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit atau pinjamannya. Dengan demikian, jaminan dalam perjanjian kredit ini bertujuan untuk menjamin bahwa utang debitur. Apabila di kemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan (penjualan) atas objek jaminan kredit yang bersangkutan.

Terkait dengan tanah sebagai barang jaminan dalam pemberian kredit, bank telah meletakkan persyaratan pembebanan Hak Tanggungan yang


(14)

memberikan hak istimewa bagi pihak kreditur dalam perjanjian kredit dengan debitur. Pembebanan Hak Tanggungan dapat memberikan kepastian hak bagi kreditur dalam memperoleh pelunasan piutangnya jika debitur wanprestasi. Hal ini tercantum pada Pasal 6 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disingkat UU Hak Tanggungan), bahwa apabila debitur cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Bank sebagai badan usaha yang wajib dikelola berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent banking) yang dikenal dengan formula 5C, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition, tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku agar dapat mengamankan dan melindungi kepentingannya. Prinsip kehati-hatian tersebut penting untuk diterapkan oleh pihak bank. Unsur collateral (jaminan) merupakan salah satu unsur penting yang harus dipenuhi oleh pihak debitur dalam pengajuan perjanjian kredit.Berkaitan dengan hal melayani anggota masyarakat yang memerlukan dana bank, masing-masing bank mempunyai berbagai skim kredit tersendiri sesuai dengan kebijakannya. Skim kredit yang ditawarkan bank kepada masyarakat memuat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh kredit yang diatur dalam skim kredit tersebut.


(15)

Setelah penelitian bank (kreditur) dianggap cukup sesuai standar kelayakan pemberian kredit dengan kriteria bank, kemudian pihak bank dan pemilik tanah datang ke Kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pemberian Hak Tanggungan itu dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut ditandatangani oleh pemilik tanah selaku pemberi hak tanggungan, pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri. Selanjutnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya APHT) ini wajib didaftarkan pada kantor pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu terletak disertai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

Pasal 6 dan Pasal 7 UU Hak Tanggungan memberikan kepastian hukum kepada kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tepat mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada Substansi dari Pasal 6 UU Hak Tanggungan menunjukkan hak yang dipunyai pemegang Hak Tanggungan untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila debitur cidera janji.


(16)

Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan menunjukkan jaminan kepentingan pemegang Hak Tanggungan, walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya untuk mengeksekusi.

Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-irah Demi Keadilan berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa yang dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan. Sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata (Pasal 14 ayat (2) dan (3) berikut penjelasan UUHT.6

Berdasarkan uraian di atas merasa tertarik memilih judul Kedudukan

Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Milik Pihak Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan)

I. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang digunakan peneliti dalam penelitian ini, sebagai berikut :

6


(17)

1. Bagaimana pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang bjeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan?

3. Bagaimana kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan?

J. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang bjeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.

3. Untuk kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.


(18)

K. Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun kepentingan praktis, sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya terhadap kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan)

2. Manfaat praktis

Memberikan suatu gambaran mengenai permasalahan dan hambatan yang timbul dalam kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga.

L. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang diketahui dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan skripsi terkait dengan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan).

Immanuel Rumapea (2012), NIM, 080200127dengan judul Tinjauan Yuridis Penyelesaian Kredit Macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan. Permasalahan


(19)

dalam penelitian ini adalah Syarat dan Prosedur Pemberian Kredit Usaha Rakyat pada Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan. Penyebab Terjadinya Kredit Macet pada Kredit Usaha Rakyat Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan. Dan Upaya yang dilakukan dalam Penyelesaian Kredit Macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan.

Ahmad Huda Dayan Nasution (2012) NIM 070200368 dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Eksekusi Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Prosedur Umum Pemberian Kredit Dengan Jaminan di Indonesia. Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan dan Perlindungan bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan.

Oleh karena itu, penulisan skripsi ini merupakan ide asli penulis, adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan ini bersifat menambah penguraian penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademik.

M.Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah bersifat kualitatif, dengan cara menganalisis bahan hukum secara komprehensif baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang diperoleh selama melakukan penelitian. Selain itu juga dilakukan secara deskriptif yaitu penulis berkeinginan untuk


(20)

memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang berkaitan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan). 7

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan sosiologis empiris. Yuridis normatif adalah untuk mengkaji berbagai peraturan-peraturan yang ada terkait dengan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan), sebagai dasar untuk memecahkan masalah. Sedangkan metode sosiologis empiris didasarkan berdasarkan pengamatan dan penalaran. Pengamatan berati susun yang berhubungan dengan panca indra manusia yang dialaminya dalam kehidupan sosial. Sedangkan penalaran berati semua berhubungan dengan akal budi manusia yang bersifat rasional. Sifat empiris ini sering dihubungan dengan sifat ilmu yang diuji dengan fakta.

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini, bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh, mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga (Studi Bank Rakyat

7


(21)

Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan). 8

3. Sumber Data

Penelitian ini akan dibantu dengan kajian dari sisi normatif, yaitu nilai ideal sesuai dengan apa yang seharusnya berlaku menurut aturan hukum positif.

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dilapangan, diamati dan dicatat gejala hukum yang terjadi yang berasal dari informan yang menjadi sumber dalam penelitian ini.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil studi dokumentasi dan studi kepustakaan serta berbagai macam dokumen tertulis lainnya yang didapatkan pada lokasi penelitian dan memiliki relevansi dengan objek penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini, terdapat dua teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Sasaran penelitian kepustakaan ini terutama untuk mencari landasan teori dari objek kajian dengan cara:

1) mempelajari buku-buku yang berhubungan baik langsung dengan objek dan materi skripsi ini.

8

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 42


(22)

2) Mempelajari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Dalam penelitian ini, peneliti ke PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan guna melakukan wawancara/Interview secara langsung pada Wawancara dengan Imam Mahadi selaku Supervisor, Penunjang Bisnis PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan dan yang berhubungan dengan masalah yang terkait pada penelitian skripsi ini.

5. Teknik Analisis Data

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.9

9

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai


(23)

N. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci adapun bagiannya, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

Bab ini berisikan mengenai pengertian dan dasar hukum hak tanggungan, objek dan subjek hak tanggungan dan proses pembebanan hak tanggungan serta berakhirnya hak tanggungan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK

Bab ini berisikan mengengai pengertian dan dasar hukum hak milik Kedudukan Hak Milik serta beralihnya hak milik


(24)

BAB IV KEDUDUKAN HUKUM TERHADAP HAK TANGGUNGAN YANG OBJEKNYA BERSTATUS HAK MILIK

PIHAK KETIGA

Bab ini berisikan mengenai pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya, berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan dan Perlindungan Hukum terhadap Pembebanan Hak Tanggungan yang bjeknya Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan serta Kedudukan Hukum terhadap Pembebanan Hak Tanggungan yang Objeknya Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dari isi skripsi ini. Pada bagian ini, penulis mengemukakan kesimpulan dan saran yang didapat sewaktu penulis mengerjakan skripsi ini mulai dari awal hingga pada akhirnya


(25)

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

E. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan

Sejak diberlakukannya UUHT maka ketentuan dalam Buku Kedua Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata tentang Hipotik atas tanah dan dalam Staatsblad Tahun 1908 nomor 542 tentang ketentuan Creditverband dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tersebut, disebutkan bahwa:10

Sebelum jadi UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak atas tanah merupakan objek hukum dalam jaminan hipotik. Namun sesudah berlakunya UUHT, pembebanan hak tas tanah sebagai jaminan hutang tidak lagi menggunakan jaminan hipotik, melainkan menggunakan jaminan hak tanggungan.

Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertendu terhadap kreditur-kreditur lain.

11

10

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

11


(26)

Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut, yaitu:

(1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang. (2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.

(3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

(4) Hutang yang dijamin harus suatu utang tertentu.

(5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Dibandingkan dengan definisi Hak Tanggungan tersebut dengan definisi hypotheek dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1162 KUH Perdata, bahwa .hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Dalam definisi Hipotik tersebut di atas, disebutkan unsur-unsur Hipotik sebagai berikut:

(1) Hipotik adalah suatu hak kebendaan.

(2) Objek hipotik adalah benda-benda tak bergerak. (3) Untuk pelunasan suatu perikatan.

Membandingkan antara definisi Hak Tanggungan dengan definisi hipotik, ternyata pembuat UUHT lebih baik dalam membuat umusan definisi Hak Tanggungan dari pada pembuat undang-undang KUH Perdatadalam membuat


(27)

rumusan definisi hipotik, sebagaimana dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini berikut ini12

Definisi Hipotik banyak unsur-unsur dan hipotik yang belum dimasukkan, sehingga definisi tersebut masih sangat jauh untuk dapat memberikan gambaran mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hipotik. Sekalipun rumusan definisi Hak Tanggungan lebih baik dari pada rumusan definisi Hipotik dalam KUH Perdata, tetapi belum semua unsur-unsur yang berkaitan dengan hak tanggungan telah dimasukkan dalam rumusan definisinya. Misalnya dalam rumusan definisi Hak Tanggungan itu belum dimasukkan bahwa Hak Tanggungan adalah suatu hak kebendaan. Sebagaimana diketahui, KUH Perdata Indonesia diambil dari Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda yang lama. BW Belanda yang lama pada saat ini telah diganti dengan BW Belanda yang baru, Nieuw Nederlands Burgelijk Wetboek (NNBW), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1992. Dalam NNBW, hak jaminan untuk pelunasan hutang juga disebut Hypotheek seperti BW yang lama disamping Pand.

Definisi dari Hypotheek di dalam NNBW dirumuskan dalam Art. 227 3.9.1.1) bersama-sama dengan Pand. Definisi Hypotheek dalam Art, 227 (3.9.1.1) NNBW adalah:13

12

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan

Hak Pand dan hak hypotheek adalah hak-hak yang terbatas (beperkte rechten) yang dimaksudkan untuk dalam memperoleh pembayaran dari penjualan benda-benda dengan didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Apabila hak itu dibebankan di atas benda-benda yang terdaftar, hak itu adalah hypotheek,

Maasalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, 1999., hal 12-13

13


(28)

sedangkan apabila hak itu dibebankan atas benda-benda lain, hak itu adalah pand. Setelah membaca definisi hypotheek dalam NNBW tersebut, ternyata rumusan definisi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan masih lebih baik dari pada NNBW.

Pengaturan mengenai jaminan hak tanggungan diatur dalam UUHT, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Selain melaksanakan amanat UUPA, kelahiran UUHT didasarkan pula pada pertimbangan untuk member kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemberian kredit dengan membebankan hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit serta untuk menciptakan keseragaman hukum jaminan hak atas tanah.14

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHT merumuskan pengertian hak tanggungan yaitu:

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.

14


(29)

Hak Tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas utang debitur kepadanya.15

Hak tanggungan secara jelas terdapat dalam dalam Pasal 1 angka (1) UUHT, yaitu : Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu, terhadap Kreditur-Kreditur lain.

Prinsipnya, Hak Tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Jaminan yang diberikan yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya bagi kreditur-kreditur pemegang hak tanggungan.

F. Objek dan Subjek Hak Tanggungan

Di dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Daerah Pokok-Pokok

15

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang


(30)

Agraria, berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, untuk pelunasan utang debitur yang telah dilakukan terhadap kreditur. Dimana dimaksudkan merupakan jaminan atas utang tersebut.

Mengenai objek Hak tanggungan, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 telah ditentukan secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang yang dapat dibebani Hak tanggungan, yaitu:

1. Hak Milik 2. Hak guna usaha 3. Hak guna bangunan

4. Hak pakai, baik hak pakai atas tanah Negara maupun hak pakai atas tanah hak milik

5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akanada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan yang merupakkan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam akta pemberian Hak tanggungan yang bersangkutan

Objek Hak Tanggungan akan menjadi luas jika dikaitkan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang berkenaan dengan penjaminan rumah susun beserta tempat dimana bangunan itu berdiri dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut yang berdiri di atas tanah hak milik.


(31)

Pada dasarnya benda-benda (tanah) yang akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani Hak tanggungan, harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:16

1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang.

2. Termasuk hak yang didaftar dalam umum, karena harus memenuhi syarat publisitas.

3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera janji (wanprestasi), benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum, dan

4. Menentukan penunjukan dengan Undang-Undang.

Sebagai bukti adanya Hak Tanggungan maka Kantor Badan Pertanahan Nasional menerbitkan sertifikat Hak Tanggunggan yang dimana menjadi patokan adalah tanggal pendaftaran/pencatatannya dalam buku tanah Hak tanggungan.17

Di dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu pemberi hak tanggungan, penerima atau pemegang hak tanggungan.

Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 disebutkan bahwa sertifikat Hak Tanggungan terdiri atas salinan buku tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT yang bersangkutan yang telah dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan, dan dijilid dalam satu sampul dokumen yang bentuknya telah ditetapkan dalam aturan tersebut.

16

Budi Harsono, Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan, Hasil Seminar, Bandung, 1996, hal 5

17

J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998, hal. 151


(32)

a. Pemberi Hak Tanggungan

Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT menyatakan: Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan. Dari bunyi ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUHT di atas, dapat diketahui siapa yang menjadi pemberi Hak Tanggungan dan mengenai persyaratannya sebagai pemberi Hak Tanggungan. Sebagai pemberi Hak Tanggungan tersebut, bias orang perseorangan atau badan hukum dan pemberinya pun tidak harus debitur sendiri, bias saja orang lain atau bersama-sama dengan debitur, di mana bersedia menjamin pelunasan utang debitur.18

Pada prinsipnya setiap orang perseorangan maupun badan hukum dapat menjadi pemberi hak tanggungan, sepanjang mereka mempunyai “kewenangan hukum” untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanah yang akan dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang dengan dibebani hak tanggungan sebagaimana dipersyaratkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT dan demikian pula dinyatakan antara lain dalam angka 7 penjelasan umum atas UUHT:

Pada saat pembuatan SKMHT dan Akta Pemberian Hak Tanggungan, harus sudah ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang bersangkutan, bahwa pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang dibebankan walaupun kepastian

18


(33)

mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak Tanggungan didaftar.

Dari ketentuan di atas, jelas bahwa pemberi Hak Tanggungan haruslah mereka yang mempunyai kewenangan dalam melakukan perbuatan hukum atau tindakan hukum terhadap hak atas tanah yang akan dibebani dengan Hak Tanggungan. Sebab mereka inilah yang mempunyai kewenangan melakukan tindakan kepemilikan (beschikking) atas persil yang bersangkutan, termasuk kewenangannya untuk membebankan persilnya tersebut sebagai jaminan pelunasan tertentu. Jadi, persyaratan pemberi Hak Tanggungan, selain mereka yang cakap dalam bertindak, mereka juga mempunyai kewenangan hukum artinya setiap orang dinyatakan cakap bertindak secara hukum dapat menjadi pemberi Hak Tanggungan, tetapi dipersyaratkan pula harus orang perseorangan atau badan hukum yang untuk melakukan tindakan kepemilikan atas persil yang menjadi objek Hak Tanggungan.19

Pemberi Hak Tanggungan adalah pemilik hak atas tanah atau pemilik atas tanah berikut bangunan yang ada di atas tanah itu. Pemilik tanah bisa debitur sendiri atau orang lain atau badan hukum lain bukan debitur. Hanya saja orang atau badan hukum pemilik tanah saja yang berhhak menjaminkan dengan member Hak Tanggungan. Untuk membuktikan bahwa orang atau badan hukum tersebut sebagai pemilik hak atas tanah maka dapat diketahui dari sertifikat tanahnya.Dari sertifikat dapat diketahui siapa pemilik hak atas tanah sehingga hanya orang atau

19


(34)

badan hukum yang tertulis di atas tanah itu yang berhak memberikan Hak Tanggungan.20

Selanjutnya ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT menyatakan: Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Penjelasan atas Pasal 8 ayat (2) menegaskan sebagai berikut:

Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Dengan demikian berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT beserta dengan penjelasannya, maka kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diwajibkan atau harus ada dan terbukti kebenarannya pada saat pendaftaran hak Tanggungan, yaitu pada tanggal pembuatan buku tanah pembuatan Hak Tanggungan pihak yang bersangkutan, yang menentukan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. Namun demikian seyogyanya pada saat pembuatan Akta Pemberian Hak.

Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan dengan sendirinya juga diharuskan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan terhadap objek

20

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 162-163


(35)

Hak Tanggungan yang dibebankan, kendati tidak harus disertai alat-alat bukti yang menunjukkan pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan atas objek Hak Tanggungan yang dibebankan tersebut. Pembuktian terhadap keabsahan atau kebenaran kewenangan dimaksud dilakukan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.21

b. Penerima atau Pemegang Hak Tanggungan

Siapa saja dapat menjadi penerima dan pemegang Hak Tanggungan, baik perseorangan maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Ketentuan Pasal 9 UUHT menyatakan:

Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

Berbeda dengan pemberi hak tanggungan, terhadap penerima dan pemegang Hak Tanggungan tidak terdapat persyaratan khusus. Penerima dan pemegang Hak Tanggungan dapat orang perseorangan atau badan hukum, bahkan orang asing atau badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia maupun luar negeri dapat menjadi penerima dan pemegang Hak Tanggungan, asalkan kredit yang diberikan tersebut menurut Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia. Dengan demikian yang menjadi pemegang Hak Tanggungan, bisa orang (person alamiah) dan badan hukum (rechtspersoon).22

Menurut J.Satrio sekalipun dalam praktiknya bagian yang terbesar menggunakan lembaga Hak Tanggungan itu bank, sebuah badan hukum, tetapi

21

Rachmadi Usman, op.cit., hal 384-385.

22


(36)

tidak tertutup bagi perseorangan untuk juga memanfaatkan lembaga Hak Tanggungan.Dengan begitu ditegaskan, bahwa yang bertindak sebagai kreditur pemegang Hak Tanggungan bisa juga perseorangan. Ini yang ditegaskan dalam Pasal 9 UUHT di atas dan penegasan ini memang sangat bermanfaat, karena dapat menghilangkan keraguan yang mungkin ada di dalam masyarakat.23

G. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sebagai mana tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai mana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT pemberian Hak Tanggungan yang wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan dan dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik (Penjelasan Umum angka 7 UUHT).

Proses pelaksanaan pemberian Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua (2) tahap, yaitu tahap pemberian hak tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan :

23

J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 268.


(37)

a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan

Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. Tahap pemberian Hak Tanggungan diawali atau didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Janji untuk memberikan Hak Tanggungan tersebut dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan: “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainny yang menimbulkan utang tersebut.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui. bahwa pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan terlebih dahulu dan janji itu dipersyaratkan harus dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Ini berarti setiap janji untuk memberikan Hak Tanggungan terlebih dahulu dituangkan dalam perjanjian utang


(38)

piutangnya. Dengan kata lain sebelum Akta Pemberian Hak Tanggungan dibuat, dalam perjanjian utang piutang untuk dicantumkan “janji” pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berhubung sifat Hak Tanggungan sebagai perjanjian accessoir.Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis, yang dituangkan dalam APHT. APHT ini merupakan akta Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT menyatakan: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu mengenai subyek, obyek maupun utang yang dijamin, maka menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, di dalam APHT wajib dicantumkan hal-hal di bawah ini.24

1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; 2) Domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;

3) Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin, yang meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;

4) Nilai tanggungan;

5) Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan

Penjelasan atas Pasal 11 ayat (1) UUHT menegaskan, bahwa ketentuan mengenai isi Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut, sifatnya wajib untuk

24

Purwahid Patrik dan Kashadi, 2008. Hukum Jaminan Edisi Revis Dengan UUHT, Bandung, Remaja Rosda Karya, hal. 66-68


(39)

sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jika tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang sifatnya wajib dalam APHT, mengakibatkan APHT-nya batal demi hukum. Konsekuensi hukum bagi tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebutkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT tersebut, seyogyanya dicantumkan sebagai salah satu ayat atau pasal dalam Batang Tubuh UUHT dan tidak sekadar dikemukakan dalam Penjelasannya.25 Bahwa nama dan identitas para pihak dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan harus disebutkan suatu syarat yang logis. Tanpa identitas yang jelas, PPAT tidak tahu siapa yang menghadap kepadanya, dan karenanya tidak tahu siapa yang menandatangani aktanya, apakah penghadap cakap bertindak, apakah ia mempunyai kewenangan bertindak terhadap persil jaminan dan sebagainya. Hal itu berkaitan dengan masalah kepastian hukum dan asas spesialitas daripada Hak Tanggungan.26

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa pemberian Hak Tanggungan hanya akan terjadi bilamana sebelumnya didahului adanya perjanjian pokok yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan, sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan Hak Tanggungan. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT: “Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah pada saat permohonan eksekusi Hak

25

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku

I,Bandung: Alumni 2010, hal. 144 26


(40)

Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utangpiutang yang bersangkutan.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT, yang kemudian dihubungkan dengan Penjelasannya, dapat disimpulkan bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan tidaklah selalu dalam jumlah yang tertentu dan tetap, tetapi bisa pula jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian. Adapun utang yang dimaksud tersebut dapat berupa:27

1) Utang yang telah sudah ada, dengan jumlah tertentu;

2) Utang yang belum ada, tetapi telah (sudah) diperjanjikan, dengan jumlah tertentu, seperti utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan bank garansi: 3) Jumlahnya tertentu secara tetap atau ditentukan kemudian pada saat

permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan, seperti utang bunga atas pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian;

4) Berdasarkan cara perhitungan yang telah ditentukan dalam : a. Perjanjian utang-piutang;

b. Perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan, berupa perjanjian pinjam-meminjam maupun perjanjian lain, misalnya perjanjian pengelolaan harta kekayaan orang yang belum dewasa atau yang berada di bawah pengampuan yang diikuti dengan pemberian Hak Tanggungan oleh pihak pengelola Utang yang telah ada

27


(41)

adalah utang yang benar-benar sudah direalisir dan karenanya yang jumlah uang utangnya sudah diserahkan kepada debitur atau dengan perkataan lain, di sini benar-benar sudah terutang sejumlah uang tertentu, baik itu berupa utang murni ataupun utang dengan ketentuan waktu.

Pada utang murni hanya disebutkan besarnya utang dan kalau ada perjanjian juga bungannya dan yang segera matang untuk ditagih. Dalam praktik sering bertemu dengan perjanjian utang piutang (kredit) dengan ketentuan waktu, dalam mana disebutkan juga untuk berapa lama utang (kredit) itu diberikan, dengan konsekuensinya sesuai dengan asas Pasal 1349 KUH Perdata, yang menetapkan bahwa dalam perjanjian utang piutang, ketentuan waktu harus ditafsirkan untuk keuntungan debitur, kecuali ditentukan lain, kreditur tidak bisa menagih kembali utang tersebut sebelum waktu yang ditentukan, sedang debitur bisa sewaktu-waktu melunasinya dan biasanya dalam perjanjian utang piutang (kredit) memang ditetapkan adanya kesempatan debitur untuk mempercepat pelunasan, baik dengan disertai denda atau tidak.28

Selain itu, di dalam APHT, dapat dicantumkan janji-janji seperti yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. Janji janji yang dimaksud dalam pasal11 ayat (2) UUHT merupakan upaya kreditur untuk sedapat mungkin menjaga agar obyek jaminan tetap mempunyai nilai yang tinggi, khususnya nanti pada waktu eksekusi. Karenanya, sedapat mungkin semua kemungkinan mundurnya nilai obyek jaminan, sebagai akibat dari ulahnya pemberi jaminan atau karena suatu malapetaka, diantisipasi.

28


(42)

Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT menyebutkan janji-janji yang dapat dicantumkan dalam APHT, yaitu 29

1) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan terlebih tertulis dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan

untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cedera janji; janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

4) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji;

29


(43)

5) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; 6) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas

obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

7) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;

8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan; 9) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak

Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; 10) Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).

Kemudian ketentuan dalam Pasal 12 UUHT memuat janji yang dilarang dicantumkan dalam APHT, yaitu:30 “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum”

30


(44)

b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan

Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 14 UUHT dijelaskan bahwa :

1) sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;

2) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

3) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. 4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah

dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan pada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

5) Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.


(45)

Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata. Hal ini berarti sertipikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertipikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.31

H. Berakhirnya Hak Tanggungan

Hapusnya Hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan 19 UUHT. Yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi Hak Tanggungan

Pasal 18 UUHT disebutkan mengenai hapusnya hak tanggungan yaitu:32 1) Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:

a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;

31

Boedi Harsono dan Sudarianto Wiriodarsono, Konsepsi Pemikiran tentang UUHT, Bandung, Makalah Seminar Nasional, 27 Mei 1996, hal 17

32


(46)

d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

2) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

3) Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.

4) Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani HakTanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.

Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud di atas, maka harus dilakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya di Kantor Pertanahan (diroya). Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.33

Selanjutnya proses yang harus dilakukan setelah pemberi Hak Tanggunganmenerima pemberian pernyataan tertulis tersebut adalah pemberi hak tanggungan harus segera mengajukan surat permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri Surat Pernyataan tertulis tersebut agar pernyataan

33


(47)

tersebut dicatat pada buku tanah hak tanah yang menjadi objek hak tanggungan bahwa hak tanggungan itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, hak tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi bagi pihak ketiga.34

Dalam Pasal 19 UUHT diatur tata cara penghapusan Hak Tanggungan jika hasil penjualan objek Hak Tanggungan ternyata tidak cukup untuk melunasi hutang yang dijamin. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa: Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga penjualan. Tanpa diadakan pembersihan, Hak Tanggungan tersebut akan tetap membebani objek Hak Tanggungan yang dibeli

Selain itu, sebab-sebab yang menghapus Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :35

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

Karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditur (pemegang Hak Tanggungan) adalah logis bila Hak Tanggungan dapat (dan hanya dapat) dihapuskan oleh kreditur (pemegang Hak Tannggungan) sendiri. Sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan Hak Tanggungan itu.

34

Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hal. 161

35


(48)

Sesuai dengan sifat Hak Tannggungan yang accesoir, adanya Hak Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga.

b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

Mengenai hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegang Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan menentukan sebagai berikut: hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

Hal ini pokoknya sejalan dengan ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

Perikatan-perikatan hapus: 1. Karena pembayaran;

2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikkuti dengan penyimpanan atau penitipan;

3. Karena pembaruan utang;

4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi; 5. Karena percampuran utang;

6. Karena pembebasan utang;


(49)

8. Karena kebatalan atau pembatalan; 9. Karena berlakunya suatu syarat batal; 10 Karena lewatnya waktu.

Tanpa adanya pernyataan bebas dari kreditur terhadap debitur, maka utang debitur masih tetap harus dipenuhi oleh debitur kepada kreditur. Demikian pula halnya suatu Hak Tanggungan, tanpa adanya pernyataan pelepasan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan tidak pernah hapus. Jelas, bahwa suatu Hak Tanggungan yang telah diberikan sebelum dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan tidak akan hapus dan akan terus berlaku untuk menjamin pelunasan utang yang masih akan ada di kemudian hari selama dan sepanjang perikatan pokok antara debitur dan kreditur pemegang Hak Tanggungan yang (akan) lahir dari perjanjian antara mereka tidak atau belum dihapuskan.

Dalam konteks ini pun, untuk kepentingan praktis, maka pernyataan tertulis kreditur pemegang Hak Tanggungan mengenai maksudnya untuk melepaskan Hak Tanggungan harus disampaikan agar pencoretan Hak Tanggungan dapat dilakukan. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;

Mengenai hapusnya Hak Tanggungan sebagai akibat pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Hak Tanggungan yang berbunyi: Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri


(50)

terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.

Dari konteks rumusan yang diberikan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa hapusnya Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena terdapat lebih dari satu Hak Tanggungan yang diletakkan atas bidang tanah tersebut. Selanjutnya, dari rumusan Pasal 19 UUHT yang menyatakan bahwa:

1. Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian

2. Pembersihan obyek Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

3. Apabila obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan obyek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak


(51)

Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekalligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut perundang-undangan yang berlaku.

4. Permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan dari Hak Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila pembelian demikian itu dilakukan dengan jual beli sukarela dan dalam Akte Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak denga telah tegas memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.

Dapat diketahui bahwa permintaan penghapusan tersebut dapat dimintakan oleh setiap pembeli hak atas tanah, yang diatasnya terletak beban berupa Hak Tanggungan yang jumlahnya lebih dari satu, dengan ketentuan bahwa:

1. Jika pembelinya dilakukan melalui pelelangan, maka pembersihan harus dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri;

2. Jika pembelinya dilakukan melalui penjualan sukarela, maka pembersihan dikabulkan jika dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan yang selanjutnya tidak tercantum janji untuk tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan, hingga seluruh kewajiban debitur dipenuhi. Dengan demikian berarti dalam hal perjanjian pemberian atau pembebanan Hak Tanggungan dimuat janji bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban


(52)

Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f Undang-Undang Hak Tanggungan, maka pembeli objek Hak Tanggungan melalui penjualan sukarela tidak dapat meminta agar hak atas tanahnya dibersihkan.

Pasal 11

(2) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji- janji, antara lain: janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; dari ketentuan tersebut diata , dapat diketahui bahwa hanya pembeli kebendaan yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan melalui pelelangan (umum) yanng dapat secara mutlak meminta pembersihan Hak Tanggungan dan sekaligus meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk membagi hasil penjualan kebendaan tersebut manakala terjadi sengketa mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan tersebut. Secara teoretis masalah perolehan pembuktian dapat muncul dari pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya, manakala hasil penjualan tidak mencukupi untuk melunasi piutang mereka. Untuk itu maka, khusus bagi pembeli melaluui pelelanngan umum, mereka ini diberikan suatu kepastian bahwa kebendaan yang dibeli adalah bebas dari segala beban, maka itu mereka berhak untuk menuntut pembebasan tersebut, meskipun hal tersebut mungkin dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya.

Tujuan diadakannya lembaga pembersihan adalah Lembaga pembersihan ini diadakan untuk melindungi kepentingan pembeli obyek Hak Tanggungan agar


(53)

benda yang dibelinya bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya, jika harga pembelian itu tidak mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UUHT. Jika obyek Hak Tanggungan akan dijual, pembeli obyek Hak Tanggungan tentu tidak tertarik untuk memebeli obyek Hak Tanggungan ittu, karena pemegang Hak Tanggungan berdasarkan hak kebendaannya senantiasa berhak mengejar pembeli agar membayar kekurangan yang dideritanya akibat dari harga jual yang lebih rendah dari piutangnya.

Di dalam konteks ini ada konflik antara dua asas, yaitu hak kebendaan dari Hak Tanggungan dan penjualan obyek Hak Tanggungan. Dari konflik inilah lahir konsep “pembersihan” (zuivering) sebagai upaya hukum untuk membebaskan obyek Hak Tanggungan dari tagihan yang melekat diatas obyek itu, karena harga jualnya lebih rendah dari jumlah kredit yang dijamin Hak Tanggungan itu.

Adapun tata cara pembersihan UUHT menentukan tata cara pembersihan itu sebagai berikut:

a. Obyak Hak Tanggungan dibebani satu Hak Tanggungan

b. Obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan, maka ditempuh tatacara sebagai berikut:

Dalam hal tidak terdapat kesepakatan diantara pemegang Hak Tanggungan, maka pembeli menngajukan ke Ketua Pengadilan Negeri di dalam wilayah mana obyek Hak Tanggungan itu terletak, mengenai:

1. Pembersihan;

2. Pembagian hasil penjualan lelang diantara pemegang Hak Tanggungan; 3. Peringkat pemegang Hak Tanggungan.


(54)

Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Alasan terakhir hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari bidang tanah tertentu yang dijaminkan.

Selain itu, mengenai hapusnnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu. Objek dari Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah negara. Karena itu Hak Tanggungan akan hapus apabila hak-hak atas tanah itu hapus atau berakhir.

Perlu diperhatikan bahwa khusus untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan ketentuan Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik, berlaku ketentuan sebagaimana dibawah ini.

1) Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.


(55)

3) Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atas Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.

4) Untuk melindungi kepentingan kreditur/ bank yang semula dijammin dengan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus. sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan SKMHT dengan objek Hak Millik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut.

5) Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanahdapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.

Berdasarkan ketentuan PMNA/KBPN tersebut saat hapusnya Hak Tannggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang diperolehnya, karen asetelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditur menjadi kreditur konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditur dapat membuat APHT berdsarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan itu lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan , yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.


(56)

Terhadap ketentuan PMNA/KBPN terdapat beberapa hal yanng perlu diperhatikan, yaitu:

1. Jangka waktu SKMT. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMNA/KBPN tersebut, jangka waktu SKMHT terbatas yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan (5) UUHT.

2. Peringkat SKMHT. Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi, mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya adalah sama dengan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebelumnya dan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin sebelumnya dan krediturnya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat dibuat SKMHT, seyogyanya adalah sesuai dengan peringkat yang termuat dalam sertifikat Hak Tanggungan yang semula membebani tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Kreditur pemegang SKMHT ini haruslah kreditur yang semula pemeganng Hak Tanggungan, sebab ketentuan PMNA/KBPN ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan perubahan hak atas tanah.

3. Atas perubahan hak, bagi kreditur perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana kreditur tidak lagi menjadi kreditur preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus (pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut, kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur pemegang SKMHT. Mengingat bahwa APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan waktu sesuai


(57)

dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. 4. ketentuan PMNA/KBPN tersebut hanya berlaku khusus untuk tanah Hak

Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.


(58)

D. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Milik

Ketentuan Hak Atas Tanah Menurut UUPA tercantum pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam UUPA Pasal 1 ayat (2) memberi wewenang kepada negara

UUPA Pasal 20:

Ayat (1) : Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan inengingat ketentuan dalam Pasal 6. Ayat (2) : Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. lntinya, ciri hak milik adalah sebagai berikut:

a. Turun-temurun

Hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya telah meninggal dunia maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. b. Terkuat dan terpenuh

Kata-kata “terkuat” dan “terpenuh” dimaksudkan untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lainnya. Hal tersebut


(59)

menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki orang, hak miliklah yang terkuat dan terpenuh (artinya: paling).

c. Dapat beralih dan dialihkan

Dari segi bahasa, ada perbedaan antara “beralih” dan “dialihkan”. Peristiwa “beralih” (bentuk aktif) dapat terjadi tanpa adanya sesuatu subjek yang melakukan pengalihan. Di sini, tidak diperlukan suatu subjek movens (menggerakkan). Hal tersebut berbeda dengan peristiwa “dialihkan” (bentuk pasif), yang harus ada suatu subjek movens. Berpindahnya hak milik atas tanah karena dialihkan atau pemindahan hak harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT, kecuali lelang dibuktikan dengan berita acara lelang yang dibuat oleh pejabat dan kantor lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah tersebut harus didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertifikat dari pemilik tanah yang lama kepada pemilik tanah yang baru.

Peralihan hak milik atas tanah, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang asing, kepada seseorang yang mempunyai dua kewarganegaraan, atau kepada badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Artinya, tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

1. Jangka waktu 2. Tidak dibatasi. 3. Objek tanahnya


(1)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan penelitian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan antara lain :

1. Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian terlebih dahulu. Proses pemberian kredit merupakan tindakan terencana dengan menekankan prinsip kehati-hatian yaitu melakukan tindakan awal dengan cara menganalisa pendahuluan, pembukuan, dan melakukan deteksi awal terhadap segala kemungkinan yang timbul atas diberikannya kredit kepada debitur

2. Perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan yaitu dengan memberikan Hak tanggungan diberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila debitur melakukan wanprestasi maka debitur dapat memanfaatkan kekuatan eksekutorial tersebut untuk mengeksekusi hak tanggungan. Jadi kekuatan


(2)

eksekutorial yang dimiliki oleh hak tanggungan adalah sama dan setara dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 3. Kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya

berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Kedudukan pihak ketiga yang telah dibebani hak tanggungan, adalah pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah dengan diberikannya sertifikat hak milik atas tanah, selain itu pihak pembeli tanah mempunyai hak tagih kepada debitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren) terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank, dandebitur/pemilik tanah secara hukum wajib membayar hutangnya sebagai bentuk tanggung jawab dari kelalaian yang telah dilakukan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, terdapat beberapa saran yang penulis dapat berikan, yaitu :

1. Kepada masyarakat disarankan agar perjanjian jual beli atas tanah dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang yaitu Notaris/PPAT, sehingga dapat terjaminnya kepastian hukum terhadap kedudukan para pihak (pihak pemilik tanah dan pihak pembeli tanah), dari sengketa atas jual beli tanah yang bersangkutan dapat diminimalisir.


(3)

2. Kepada masyarakat disarankan agar bersikap lebih selektif dan lebih berhati-hati, sehingga tidak tertipu oleh developer dengan langsung memberikan pembayaran lunas terhadap tanah dan rumah sebelum terjadinya penyerahan bukti kepemilikan tanah


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Az ,Lukman Santoso, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank. Pustaka Yustisia, Yogyakarta. 2011.

Bako, Ronny Sautama Hotma, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito. Citra Aditya Bakti, Bandung.1995.

Dirdjosisworo, Soerdjono Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008. Harsono, Budi, Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan,

Hasil Seminar, Bandung, 1996.

Hermit, Herman, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2004.

Ikhsan, Edy dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Rajawali Pers, Jakarta, 2012. Lontoh, Rudhi A.,(ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau

Penundaan Kewajiban Pembayaran utang, Bandung: Alumni, 2001.

MD, Moh. Mahfud., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia,Jakarta, 2001.

Patrik, Purwahid dan Kashadi, 2008. Hukum Jaminan Edisi Revis Dengan UUHT, Bandung, Remaja Rosda Karya.

Poesoko, Herowati, Parate Executie Objek Hak Tanggungan:Inkonsiitensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT, Laksbang Pressindo, Yogyakarta,2007.

Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005. Satrio,J, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku


(5)

Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Maasalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, 1999.

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2009 Sutedi, Adrian Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Usman, Rachmadi, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Usman, Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Cetakan Pertama, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Wahid, Muchtar, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika,Jakarta, 2005

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang mulai berlaku tanggal 9 April 1996

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790).

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Kitab Undangp-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).


(6)

Makalah

Harsono, Boedi dan Sudarianto Wiriodarsono, Konsepsi Pemikiran tentang UUHT, Bandung, Makalah Seminar Nasional, 27 Mei 1996

Internet

tanggal 11 Agustus 2015)

Wawancara

Wawancara dengan Imam Mahadi selaku Supervisor, Penunjang Bisnis PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan, 20 Agustus 2015


Dokumen yang terkait

PPemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Bangunan(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

3 124 100

Kekuatan Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Pengembalian Utang Pembiayaan Bermasalah Dalam Praktik PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Medan

1 107 141

Akibat Hukum Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Objeknya Hak Guna Bangunan Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Pembantu Asia Unit Cemara Medan

10 122 96

Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)

0 0 8

Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)

0 0 1

Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)

0 0 15

Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)

0 1 33

Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)

0 0 3

Akibat Hukum Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Objeknya Hak Guna Bangunan Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Pembantu Asia Unit Cemara Medan

0 0 8

PPemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Bangunan(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

0 0 26