BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

1. Pengertian Umum Perjanjian

  Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, dimana didalamnya juga mengatur tentang perikatan. Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

  Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata “overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau istilah ”agreement” dalam bahasa Inggris. Di dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

  Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

  Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perikatan” adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang

  15

  12

  lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak-Pihak yang ada dalam suatu perjanjian disebut sebagai subyek perjanjian yang terdiri dari manusia dan badan hukum.

  Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”. Karena dengan istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur dalam KUH Perdata, jadi termasuk juga baik perikatan yang terbit karena undang- undang maupun perikatan yang terbit dari perjanjian. Dalam hal ini jika dengan hukum perikatan, termasuk baik perikatan yang terbit dari undang-undang maupun perikatan yang terbit karena undang-undang, maka dengan hukum perjanjian, yang dimaksudkan hanya terhadap perikatan-perikatan yang terbit dari perjanjian saja. Sedangkan hukum yang berlaku terhadap perjanjian pada

  13 prinsipnya adalah KUH Perdata.

  Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan

  persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat

  12 13 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 1.

  Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 179. dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama

  14 artinya.

  Pihak-pihak yang ada dalam suatu perjanjian disebut sebagai subyek perjanjian yang terdiri dari manusia dan badan hukum.

2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

  15 Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat : 1.

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.

  Keempat syarat sahnya perjanjian di atas, dapat dibagi dalam 2 (dua)

  16

  kelompok, yaitu : 1.

  Syarat Subyektif Adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek perjanjian apabila yang menyangkut pada subyek ini tidak dipenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberiksan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Syarat subyektif terdiri dari :

  14 15 Subekti, Op.Cit. 16 Ibid., hlm. 17.

  Ibid. a.

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Maksud dari kata sepakat adalah tercapainya persetujuan kehendak antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat itu.

  Kata sepakat itu dinamakan juga perizinan, artinya bahwa kedua belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus bersepakat.

  b.

  Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

  Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang- undang tidak dinyatakan tidak cakap. Berkaitan dengan hal ini, Pasal 1330 KUH Perdata menemukan tentang orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian, yaitu :

  Orang-orang yang belum dewasa;

  • Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
  • Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang
  • dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi hal ini sudah dihapuskan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia. Bahwa Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang suatu isteri untuk melakukan suatu perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

2. Syarat Obyektif

  Adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian, yang meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat obyektif terdiri dari : a.

  Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek perjanjian biasanya berupa barang atau benda. Menurut Pasal 1332 KUH Perdatan menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat menjadi pokok persetujuan-persetujuan.

  Selain itu dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Jadi penentuan obyek perjanjian sangatlah penting untuk menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian jika timbul perselisihan dalam pelaksanaannya.

  b.

  Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian. Menurut pengertiannya, “sebab causa” adalah isi dan tujuan perjanjian, dimana hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang- undang, ketertiban umum dan kesusilaan Pasal 1337 KUH Perdata.

  Sedangkan dalam Pasal 1335 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Berkaitan dengan hal ini, maka akibat yang timbul dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah batal demi hukum. Dengan

  17 demikian tidak dapat memenuhi pemenuhannya di depan hukum.

3. Asas-Asas Perjanjian

  Menurut Salim H.S. didalam Hukum Kontrak atau Hukum Perjanjian,

  

18

  dikenal adanya 5 (lima) asas penting, yaitu : a.

  Asas Kebebasan Berkontrak Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

  Asas Kebebasan Berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : (a) membuat atau tidak membuat perjanjian, (b) mengadakan perjanjian dengan siapapun, (c) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, (d) 17 menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan. 18 Ibid., hlm. 20

Salim HS., Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,

  2010, hlm. 9. b.

  Asas Konsensualisme Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas Konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat kedua belah pihak. Asas Konsesualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

  c.

  Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Survanda) Asas Pacta Sunt Servanda disebut juga dengan Asas Kepastian Hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta

  Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH

  Perdata menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.

  Namun dalam perkembangannya, Asas Pacta Sunt Servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.

  d.

  Asas Iktikad Baik (Goede Trouw) Asas Iktikad Baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

  Asas Iktikad Baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur dan debitur, harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan dan keyakinan teguh atau kemauan baik para pihak. Asas ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu : (a)

  Iktikad Baik Nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek perjanjian.

  (b) Iktikad Baik Mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dengan dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan atau membuat penilaian yang tidak memihak menurut norma-norma yang obyektif.

  e.

  Asas Kepribadian (Personalitas) Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.

  Pasal 1315 menyebutkan bahwa pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.

  Pasal 1340 menyebutkan bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata menyebutkan bahwa dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu perjanjian dibuat untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

  Pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli waris, dan orang- orang yang memperoleh hak darinya.

3. Prestasi dan wanprestasi

  Suatu perjanjian dapat menimbulkan prestasi dan kontra prestasi bagi para pihak dari perjanjian tersebut. Prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan atau yang telah ditulis dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu. Jadi, memenuhi prestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak memnuhi

  19 janjinya.

  Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, maka prestasi dari suatu perjanjian terdiri dari :

1. Memberikan sesuatu; 2.

  Berbuat sesuatu; 3. Tidak berbuat sesuatu.

  Suatu perjanjian dapat dikatakan dilaksanakan dengan baik apabila para pihak telah memenuhi syarat yang telah diperjanjikan. Namun demikian pada kenyataannya, sering dijumpai bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian tidak dapat berjalan dengan baik karena salah satu pihak wanprestasi. Dapat pula dikemukakan, bahwa ia lalai atau alpa atau ingkar janji atau bahkan melanggar perjanjian dengan melakukan suatu hal yang tidak boleh dilakukan.

  Pengertian wanprestasi, yang kadang-kadang disebut juga dengan istilah “cidera janji” adalah kebalikan dari pengertian prestasi. Dalam bahasa Inggris disebut dengan “default” atau “nonfulfillment” atau “breach of contract”. Yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam

  20 kontrak yang bersangkutan.

  19 20 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers Jakarta, 2014, hlm. 207.

  

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 17.

  Menurut pendapat R. Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa

  21

  : a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

  Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang wanprestasi ada 4 (empat) macam, yaitu

  22

  : 1. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau membayar ganti rugi;

  2. pembatalan perjanjian; 3. peralihan risiko; 4. membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan di pengadilan.

  Debitur yang dituduh lalai atau wanprestasi oleh krediturnya dapat melakukan pembelaan guna mencegah terjadinya eksekusi obyek jaminan atau menghindari kewajiban membayar ganti rugi. Pembelaan debitur dapat meliputi 3 (tiga) macam, yaitu

  23

  :

  21 Subekti, Op.Cit., hlm. 45. 22 Ibid. 23 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Bebas Jeratan Utang Piutang, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm. 68.

1. Debitur mengajukan alasan adanya keadaan memaksa (force

  majeure/overmacht ) sehingga debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya.

  2. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur juga telah lalai melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian, misalnya kreditur terlambat mencairkan kredit.

  3. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur telah menetapkan aturan kredit yang tidak wajar misalnya menetapkan bunga dan denda yang terlalu tinggi atau menetapkan syarat agunan yang terlalu ketat.

B. Pengaturan Perjanjian Kredit Perbankan pada Umumnya

  Yang dimaksud dengan perkreditan adalah suatu penyediaan uang atau yang dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam-meminjam antara pihak kreditur (bank, perusahaan atau perorangan) dengan pihak debitur (peminjam), yang mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutangnya dalam jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditur (pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan atau

  24 pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung.

  Istilah kredit dapat didefinisikan dalam beberapa golongan, yaitu : 1. Berdasarkan Etimologis

24 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Op.Cit., hlm.111.

  Kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “credere” yang berarti kepercayaan (trust atau faith). Dengan demikian istilah kredit memiliki arti khusus, yaitu meminjamkan uang (atau penundaan pembayaran). Apabila orang mengatakan membeli secara kredit maka hal itu berarti si pembeli

  25 tidak harus membayarnya pada saat itu juga.

2. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan a.

  Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.

  b.

  Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunsai utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

25 H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2005, hlm.1.

  c.

  Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (disebut PBI 7/2005) menyebutkan bahwa penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk :

  • Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
  • Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
  • Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.” 3.

  Berdasarkan Pendapat Ahli Raymond P. Kent dalam bukunya Money and Banking mengatakan bahwa kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atas kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang diminta atau pada waktu yang akan datang karena penyerahan barang-barang sekarang.

  26 Menurut O.P. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi

  (misalnya uang, barang) dengan batas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern

26 Thomas Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2007, hlm. 12.

  adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan.

  

27

Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima

  kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan risiko, dan pertukaran ekonomi pada masa-masa mendatang.

28 Peraturan tentang perkreditan atau regulasi perkreditan di sektor

  perbankan secara nasional diatur dalam UU Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia. Di samping itu, pengaturan perkreditan juga diatur secara internal di masing-masing bank dalam bentuk Pedoman Perkreditan atau Peraturan Perkreditan.

29 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

  Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan di dalam Pasal 8 ayat (2) secara tegas meyebutkan bahwa Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan Pedoman Perkreditan dan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

  Pedoman Perkreditan yang harus ada di masing-masing Bank Umum, berdasarkan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) dari UU Nomor 10 Tahun 1998, harus memuat aturan tentang : 27 H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.

  123. 28 Ibid. 29 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 101. a.

  Perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis; b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya. Keyakinan tersebut harus berdasarkan hasil penilaian terhadap Prinsip 5-C (Character, Capacity,

  Capital, Collateral, dan Condition of Economy); c.

  Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; d. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; e.

  Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur atau pihak terafiliasi; f.

  Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa.

  Regulasi Perkreditan di sektor Perbankan juga diatur oleh Bank Indonesia yang berwenang untuk melakukan pengawasan bank di Indonesia. Berdasarkan SK Direksi BI No. 27/162/KTP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada setiap bank diwajibkan untuk memiliki kebijakan perkreditan secara tertulis, yang sekurang- kurangnya memuat atau mengatur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan, dan penyelesaian kredit bermasalah.

  30

30 Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010, hlm. 13.

  Melalui ketentuan tersebut diharapkan bank mempunyai panduan yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan perkreditannya. Dengan demikian risiko yang mungkin timbul sedini dapat dideteksi dan dikendalikan sedini mungkin, sekaligus dapat menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pemberian kredit. Dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja melanggar pedoman perkreditan, sesuai Pasal 49 ayat (2) huruf b UU No. 10/1998 dapat diancam pidana penjara 3 hingga 8 tahun serta denda Rp 5

  31 miliar hingga Rp 10 miliar.

  Unsur kredit yang paling esensial adalah “Kepercayaan” dari bank/kreditur terhadap nasabah peminjam/debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur, antara lain : jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau

  32 agunan, dan lain-lain.

  Dalam buku “Dasar-Dasar Perkreditan” karya Drs. Thomas Suyatno

  33

  mengemukakan unsur-unsur kredit terdiri atas : a. kepercayaan; b. tenggang waktu; c. tingkat risiko (degree of risk); d. pestasi dan obyek kredit.

  31 32 Ibid. 33 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 99.

  

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 56.

  Menurut CH. Gatot Wardoyo, bahwa perjanjian kredit mempunyai

  34

  beberapa fungsi, yaitu : 1.

  Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan barang jaminan;

  2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan hak dan kewajiban di antara kreditur/bank dengan nasabah/debitur;

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

  Dalam prakteknya saat ini, secara umum ada 2 (dua) jenis kredit yang

  35

  diberikan oleh bank kepada para nasabahnya, yaitu : 1.

  Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaannya, berupa :

a. Kredit Produktif

  Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya. Untuk kredit jenis ini terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu :

  • kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi
  • 34 dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan.

      Kredit modal kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai

      

    S. Mantayborbir, Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, Pustaka

    Bangsa Press, Jakarta, 2004, hlm. 89. 35 H.R. Daeng Naja, Op.Cit.,hlm. 125.

    • barang modal maupun jasa yang dimaksudkan untuk menghasilkan suatu barang ataupun jasa bagi usaha yang bersangkutan.

      Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan

    b. Kredit Konsumtif

      Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat umumnya (sumber pengembaliannya dari fixed income debitur).

    2. Kredit ditinjau dari segi jangka waktunya, berupa :

      a. Kredit Jangka Pendek

      Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun.

      b. Kredit Jangka Menengah

      Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.

      c. Kredit Jangka Panjang

      Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun.

    C. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Baku Antara Debitur dan Kreditur

      Perjanjian kredit dari bank (selaku kreditur) kepada nasabah (selaku debitur) harus selalu didasari adanya perjanjian kredit antara kedua belah pihak.

      Perjanjian kredit harus dibuat dengan memperhatikan semua aspek Hukum

      Perjanjian, terutama asas-asas Hukum Perjanjian dan syarat sahnya suatu

      36 perjanjian.

      Pemberian kredit dari Bank kepada Debitur, selain harus didasari oleh adanya unsur kepercayaan, juga harus didasari oleh adanya sebuah kontrak perjanjian kredit yang bersifat tertulis dan pada umumnya perjanjian kredit tersebut diikat dengan sebuah akta notaris agar kepastian hukumnya lebih

      37 terjamin.

      Menurut Prof. Subekti, S.H., pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian

      38 itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.

      Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana

      39 hak dan kewajiban di antara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.

      36 37 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 102. 38 Ibid. hlm. 103 39 Subekti, Op.Cit. hlm.1.

      H.R. Daeng Naja, Op.Cit.,hlm. 175.

      Perjanjian kredit antara Debitur dengan Bank terdiri dari 2 (dua) macam perjanjian, yaitu :

    1. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pokok

      Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok yang bersifat riil, yan diikuti dengan perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).

      Pengertian “riil” berarti perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang

      40 oleh pihak Bank kepada Debitur.

      Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan umumnya berbentuk perjanjian baku (standard contarct), karena bentuk perjanjiannya telah disediakan pihak bank sebagai kreditur, sedangkan pihak debitur hanya

      41 mempelajari dan memahami dengan baik.

      Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat yang telah dipersiapkan atau ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen.

      Dari pengertian tersebut, tampak bahwa isi perjanjian dengan klausula baku ditetapkan secara sepihak oleh kreditur, ini menunjukkan hukum yang berlaku pada perjanjian itu adalah hukum kreditur. Sekaligus juga

      40 41 Iswi Hariyani, Op.Cit., hlm. 15.

      Ibid. menunjukkan pihak yang berkedudukan sosial dan ekonominya kuat seolah-

      42 olah yang berwenang menetukan isi perjanjian.

      Dalam perjanjian baku, pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan melakukan negosiasi atau tawar menawar. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban menandatangani perjanjian kredit, tetapi apabila debitur menolak maka ia tidak perlu menandatangani

      43 perjanjian kredit tersebut.

      Perjanjian baku ini diperlukan untuk memenuhi kedudukan yang sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon nasabah debitur sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang diajukan dan ditetapkan oleh pihak kreditur, karena jika tidak demikian, maka calon

      44 nasabah debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud.

      Perjanjian kredit, walaupun umumnya berbentuk perjanjian baku, tetapi bentuk perjanjian baku tersebut tidak mengingkari asas kebebasan berkontrak, sepanjang tetap menegakkan asas-asas umum perjanjian seperti penetapan syarat-syarat yang wajar dengan menjunjung keadilan, dan adanya keseimbangan para pihak sehingga menghilangkan upaya penekanan kepada

      45 pihak lainnya.

      42 43 Gatot Supramo, Perjanjian Utang Piutang, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 20. 44 Hermansyah, Op.Cit., hlm. 67. 45 S. Mantayborbir, Op.Cit., hlm. 86.

      Iswi Hariyani, Op.Cit., hlm. 21.

      Rumusan perjanjian baku dalam perjanjian kredit harus memenuhi beberapa syarat, yaitu

      46

      : 1. tidak ada unsur kecurangan; 2. tidak ada unsur pemaksaan akibat ketidakseimbangan kekuatan para pihak;

      3. tidak ada syarat perjanjian yang hanya menguntungkan secara sepihak;

      4. tidak ada risiko yang hanya dibebankan secara sepihak; 5. tidak ada pembatasan hak untuk menggunakan upaya hukum.

      Perjanjian kredit yang bersifat baku tidak boleh bertentangan dengan

      Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha, sesuai Pasal 18, dilarang membuat klausula baku yang mencantumkan hal-hal sebagai berikut : a.

      Pelaku usaha dilarang membuat aturan baru, aturan tambahan, dan/atau aturan selanjutnya yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya (Pasal 18 ayat (1) huruf g).

      b.

      Pelaku usaha dilarang membuat klausula yang menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran (Pasal 18 ayat (1) huruf h). 46 Ibid. c.

      Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti (Pasal 18 ayat (2)). Pelanggaran terhadap ketentuan di atas dapat berakibat perjanjian baku tersebut dinyatakan batal demi hukum (Pasal 18 ayat (3)). Disamping itu, semua pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan Pasal 18 agar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 18 ayat (4)).

    2. Perjanjian Jaminan sebagai Perjanjian Tambahan

      Pemberian kredit dari bank kepada debitur, sebagaimana pemberian kredit pada umumnya, disamping harus didasarkan adanya perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, juga harus diikuti pembuatan perjanjian

      47 jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).

      Perjanjian jaminan digolongkan sebagai perjanjian accessoir karena perjanjian tersebut bersifat perjanjian tambahan atau ikutan yang pemberlakuannya mengikuti perjanjian pokok yang mendasarinya. Perjanjian jaminan berkaitan dengan pengikatan jaminan atau agunan kredit yang umumnya diikat dengan akta notaris yang bersifat baku dan bersifat

      48 eksekutorial.

      Sifat eksekutorial dari perjanjian jaminan mengandung konsekuensi 47 jika debitur melakukan wanprestasi maka bank dapat mengajukan 48 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 108.

      Ibid. permohonan eksekusi agunan melalui Ketua Pengadilan Negeri tanpa harus melalui proses peradilan biasa yang panjang dan berbelit-belit. Perjanjian jaminan dibuat pihak bank sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit sehingga kelak ada jaminan

      49 pengembalian kredit bank yang utuh.

Dokumen yang terkait

KATA PENGANTAR - Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Berdasarkan Hukum Positif Indonesia(Studi Padaunit Pelayanan Teknis Balai Kesehatan Indera Masyarakat Medan)

0 0 23

Perjanjian Kerjasama Operasi Pengusahaan Air Minum Di Pelabuhan Belawan Antara Pt. Pelindo I Dengan Pt. Metito Indonesia

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perjanjian Kerjasama Operasi Pengusahaan Air Minum Di Pelabuhan Belawan Antara Pt. Pelindo I Dengan Pt. Metito Indonesia

1 2 16

BAB II PERANAN DAN UPAYA PEMERINTAH (BPN) A. Pendaftaran Tanah dalam Pandangan Yuridis - Kesadaran Hukum Masyarakat Nias Dalam Rangka Pendaftaran Tanah (Studi Kasus Di Kabupaten Nias)

0 1 23

Kesadaran Hukum Masyarakat Nias Dalam Rangka Pendaftaran Tanah (Studi Kasus Di Kabupaten Nias)

0 0 41

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

0 0 56

Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

0 1 25

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Orangtua Terhadap Anak Kandungnya

1 2 31

Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

0 0 12