BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun - Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas Pada Sabun Mandi Sediaan Padat Secara Titrimetri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sabun

  Sabun adalah garam alkali (Li, Na, atau K) dari asam lemak berantai panjang. Karena kebanyakan kotoran yang menempel pada permukaan berbentuk lapisan minyak tipis, sulit membuangnya kecuali bila lapisan minyak tersebut diemulsikan dulu dengan air (Wilbrahami, 1992).

  Sabun dihasilkan dari proses saponifikasi, yaitu hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam NaOH (minyak dipanaskan dengan NaOH) sampai terhidolisis sempurna. Asam lemak yang berikatan dengan natrium ini dinamakan sabun (Ketaren, 1996).

  2.1.1 Fungsi Sabun Fungsi sabun dalam anekaragam cara adalah sebagai bahan pembersih.

  Sabun menurunkan tegangan permukaan air, sehingga memungkinkan air itu membasahi bahan yang dicuci dengan lebih efektif, sabun bertindak sebagai suatu zat pengemulsi untuk mendispersikan minyak dan gemuk; dan sabun teradsorpsi pada butiran kotoran (Keenan, 1980).

  2.1.2 Komposisi Sabun

  Menurut Wasitaatmadja (1997), sabun biasanya mengandung: a. Surfaktan

  Surfaktan (surface acting agent) merupakan senyawa organik yang dalam molekulnya memiliki sedikitnya satu gugus hidrofilik dan satu gugus hidrofobik. Apabila ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antarmuka cairan tersebut Surfaktan merupakan bahan terpenting dari sabun. Lemak dan minyak yang dipakai dalam sabun berasal dari minyak kelapa (asam lemak C

  12 ), minyak zaitun

  (asam lemak C -C ), atau lemak babi. Penggunaan bahan berbeda menghasilkan

  16

  18

  sabun yang berbeda, baik secara fisik maupun kimia. Ada sabun yang cepat berbusa tetapi terasa airnya kasar dan tidak stabil, ada yang lambat berbusa tetapi lengket dan stabil (Elefani, 2008; Wasitaatmadja (1997).

  b.

  Pelumas Untuk menghindari rasa kering pada kulit diperlukan bahan yang tidak saja meminyaki kulit tetapi juga berfungsi untuk membentuk sabun yang lunak, misal: asam lemak bebas, fatty alcohol, gliserol, lanolin, paraffin lunak, cocoa butter, isotionat, asam lemak etanolamid, polimer JR, dan carbon resin (polimer akrilat).

  Bahan-bahan selain meminyaki kulit juga dapat menstabilkan busa dan berfungsi sebagai peramas (plasticizers).

  c.

  Antioksidan dan Sequestering Agents Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Untuk menghindari kerusakan lemak terutama bau tengik, dibutuhkan bahan penghambat oksidasi, misalnya stearil hidrazid dan

  

butilhydroxy toluene (0,02% - 0,1%). Sequestering Agents dibutuhkan untuk mengikat logam berat yang mengkatalis oksidasi EDTA. d.

  Deodorant Deodorant adalah suatu zat yang digunakan untuk menyerap atau mengurangi bau menyengat pada badan Deodorant dalam sabun mulai dipergunakan sejak tahun 1950, namun oleh karena khawatir efek samping, penggunaannya dibatasi. Bahan yang digunakan adalah triklorokarbon, heksaklorofen, diklorofen, triklosan, dan sulfur koloidal (Nurdieni, 2013; Wasitaatmadja (1997).

  e.

  Warna Kebanyakan sabun toilet berwarna cokelat, hijau biru, putih, atau krem.

  Pewarna sabun dibolehkan sepanjang memenuhi syarat dan peraturan yang ada, pigmen yang digunakan biasanya stabil dan konsentrasinya kecil sekali (0,01- 0,5%). Titanium dioksida 0,01% ditambahkan pada berbagai sabun untuk transparan.

  f.

  Parfum Isi sabun tidak lengkap bila tidak ditambahkan parfum sebagai pewangi.

  Pewangi ini harus berada dalam pH dan warna yang berbeda pula. Setiap pabrik memilih bau dan warna sabun bergantung pada permintaan pasar atau masyarakat pemakainya. Biasanya dibutuhkan wangi parfum yang tidak sama untuk membedakan produk masing-masing.

  g.

  Pengontrol pH Penambahan asam lemak yang lemah, misalnya asam sitrat, dapat menurunkan pH sabun. h.

  Bahan Tambahan Khusus Berbagai bahan tambahan untuk memenuhi kebutuhan pasar, produsen, maupun segi ekonomi dapat dimasukkan ke dalam formula sabun. Menurut

  Wasitaatmadja (1997), dikenal berbagai macam sabun khusus misalnya: 1.

  Superfatty yang menambahkan lanolin atau paraffin.

  2. Transparan yang menambahkan sukrosa dan gliserin.

  3. Antiseptik (medicated = carbolic) yang menambahkan bahan antiseptik, misalnya: fenol, kresol, dan sebagainya.

  4. Sabun bayi yang lebih berminyak, pH netral, dan noniritatif.

  5. Sabun netral, mirip dengan sabun bayi dengan sabun bayi dengan konsentrasi dan tujuan yang berbeda.

2.1.3 Jenis-jenis Minyak atau Lemak pada Pembuatan Sabun

  Menurut Rohman (2009), beberapa jenis minyak atau lemak yang biasa dipakai dalam proses pembuatan sabun di antaranya:

1. Tallow

  Tallow adalah lemak sapi atau domba yang dihasilkan oleh industri pengolahan daging sebagai hasil samping. Kualitas dari tallow ditentukan dari warna, titer (temperatur solidifikasi dari asam lemak), kandungan FFA (Free

  

Fatty Acid ), bilangan saponifikasi, dan bilangan iodin. Tallow dengan kualitas

  baik biasanya digunakan dalam pembuatan sabun mandi dan tallow dengan kualitas rendah digunakan dalam pembuatan sabun cuci. Oleat dan stearat adalah asam lemak yang paling banyak terdapat dalam tallow. Jumlah FFA dari tallow berkisar antara 0,75-7,0%. Titer pada tallow umumnya di atas 40°C. Tallow dengan titer di bawah 40°C dikenal dengan nama grease.

  2. Lard Lard merupakan minyak babi yang masih banyak mengandung asam lemak tak jenuh seperti oleat (60-65%) dan asam lemak jenuh seperti stearat (35-40%).

  Jika digunakan sebagai pengganti tallow, lard harus dihidrogenasi parsial terlebih dahulu untuk mengurangi ketidakjenuhannya. Sabun yang dihasilkan dari lard berwarna putih dan mudah berbusa.

  3. Palm Oil (minyak kelapa sawit) Minyak kelapa sawit umumnya digunakan sebagai pengganti tallow.

  Minyak kelapa sawit dapat diperoleh dari pemasakan buah kelapa sawit. Minyak kelapa sawit berwarna jingga kemerahan karena adanya kandungan zat warna harus dipucatkan terlebih dahulu. Sabun yang terbuat dari 100% minyak kelapa sawit akan bersifat keras dan sulit berbusa. Maka dari itu, jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun, minyak kelapa sawit harus dicampur dengan bahan lainnya.

  4. Coconut Oil (minyak kelapa) Minyak kelapa merupakan minyak nabati yang sering digunakan dalam industri pembuatan sabun. Minyak kelapa berwarna kuning pucat dan diperoleh melalui ekstraksi daging buah yang dikeringkan (kopra). Minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak jenuh yang tinggi, terutama asam laurat, sehingga minyak kelapa tahan terhadap oksidasi yang menimbulkan bau tengik. Minyak kelapa juga memiliki kandungan asam lemak kaproat, kaprilat, dan kaprat.

  5. Palm Kernel Oil (minyak inti kelapa sawit) Minyak inti kelapa sawit diperoleh dari biji kelapa sawit. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak yang mirip dengan minyak kelapa sehingga dapat digunakan sebagai pengganti minyak kelapa. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi dan asam lemak rantai pendek lebih rendah daripada minyak kelapa.

  6. Palm Oil Stearine (minyak sawit stearin) Minyak sawit stearin adalah minyak yang dihasilkan dari ekstraksi asam- asam lemak dari minyak sawit dengan pelarut aseton dan heksana. Kandungan asam lemak terbesar dalam minyak ini adalah stearin.

  Marine Oil Marine oil berasal dari mamalia laut (paus) dan ikan laut. Marine oil memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang cukup tinggi, sehingga harus dihidrogenasi parsial terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan baku.

  8. Castor Oil (minyak jarak) Minyak ini berasal dari biji pohon jarak dan digunakan untuk membuat sabun transparan.

  9. Olive oil (minyak zaitun) Minyak zaitun berasal dari ekstraksi buah zaitun. Minyak zaitun dengan kualitas tinggi memiliki warna kekuningan. Sabun yang berasal dari minyak zaitun memiliki sifat yang keras tapi lembut bagi kulit.

10. Campuran minyak dan lemak

  Industri pembuat sabun umumnya membuat sabun yang berasal dari campuran minyak dan lemak yang berbeda. Minyak kelapa sering dicampur dengan tallow karena memiliki sifat yang saling melengkapi. Minyak kelapa memiliki kandungan asam laurat dan miristat yang tinggi dan dapat membuat sabun mudah larut dan berbusa. Kandungan stearat dan palmitat yang tinggi dari tallow akan memperkeras struktur sabun.

2.1.4 Efek Samping Sabun pada Kulit

  Sabun digunakan untuk membersihkan kotoran pada kulit baik berupa kotoran yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak. Namun dengan penggunaan sabun kita akan mendapatkan efek lain pada kulit seperti berikut ini: a.

  Daya Pembengkakan dan Pengeringan Kulit Kontak air (pH) pada kulit yang lama akan menyebabkan lapisan tanduk kulit membengkak akibat kenaikan permeabilitas kulit terhadap air. Cairan yang mengandung sabun dengan pH alkalis akan mempercepat hilangnya mantel asam pada lemak kulit permukaan sehingga pembengkakan kulit akan terjadi lebih cepat. Marchionini dan Schade (1928) yang meneliti hal tersebut menyatakan bahwa kelenjar minyak kulit berperan dalam membentuk keasaman kulit dengan pembentukan lapisan lemak permukaan kulit yang agak asam. Besarnya kerusakan lapisan lemak kulit yang terjadi bergantung pada: temperatur, konsentrasi, waktu kontak, dan tipe kulit pemakai. Kerusakan lapisan lemak kulit dapat meningkatkan permeabilitas kulit sehingga mempermudah benda asing menembus kedalamnya. Bergantung pada lama kontak dan intensitas pembilasan, maka cairan sabun dapat diabsorpsi oleh lapisan luar kulit sehingga dapat tetap berada di dalam kulit sesudah dibilas. Kerusakan lapisan lemak kulit dapat menambah kekeringan kulit akibat kegagalan sel kulit mengikat air. Pembengkakan kulit akan menurunkan pula kapasitas sel untuk menahan air sehingga kemudian terjadi pengeringan yang akan diikuti oleh kekenduran dan pelepasan ikatan antarsel tanduk kulit. Kulit tampak kasar, dan tidak elastis. Penambahan sabun dengan bahan-bahan pelumas (superfatty) dapat mengurangi efek ini (Wasitaatmadja, 1997).

  b.

  Daya Antimikrobial Sabun yang mengandung surfaktan, terutama kation, mempunyai daya antimikroba, apalagi bila ditambah bahan antimikroba. Daya antimikroba ini terjadi akibat kekeringan kulit, pembersihan kulit, oksidasi di dalam sel keratin, c.

  Daya Antiperspirasi Kekeringan kulit juga dibantu oleh penekanan perspirasi. Pada percobaan dengan larutan natrium lauril sulfat, didapat penurunan produksi kelenjar keringat antara 25-75% (Wasitaatmadja, 1997).

  d.

  Lain-lain Efek samping lain berupa dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergik, atau kombinasi keduanya. Sabun merupakan iritan lemah. Penggunaan yang lama dan berulang akan menyebabkan iritasi. Pembuktian efek iritasi sering kontroversial. Uji tempel konvensional dengan larutan sabun tidak adekuat sebab menimbulkan reaksi eritema monomorfik dengan intensitas yang bervariasi. Reaksi alergi terhadap deterjen sintetik lebih jarang, lebih mungkin terjadi secara kumulatif akibat penggunaan yang berulang pada kulit yang sensitif (Wasitaatmadja, 1997).

2.2 Sabun Mandi Padat

  Sabun dihasilkan oleh proses saponifikasi, yaitu hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam kondisi basa. Pembuatan kondisi basa yang biasa digunakan adalah natrium hidroksida (NaOH) dan kalium hidroksida (KOH). Jika basa yang digunakan adalah NaOH, maka produk reaksi tersebut berupa sabun keras (padat), sedangkan basa yang digunakan berupa KOH maka produk reaksi berupa sabun cair (Dalimunthe, 2009).

  Sabun mandi adalah senyawa natrium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa, dengan atau penambahan lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit (SNI, 1994).

  Sabun mandi merupakan garam logam alkali (Na) dengan asam lemak dan minyak dari bahan alam yang disebut trigliserida. Lemak dan minyak mempunyai dua jenis ikatan, yaitu ikatan jenuh dan ikatan tak jenuh dengan atom karbon 8-12 yang berikatan ester dengan gliserin. Secara umum, reaksi antara kaustik dengan gliserol menghasilkan gliserol dan sabun yang disebut dengan saponifikasi. Setiap minyak dan lemak mengandung asam-asam lemak yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menyebabkan sabun mempunyai sifat yang berbeda. Minyak dengan kandungan asam lemak rantai pendek dan ikatan tak jenuh akan menghasilkan sabun cair. Sedangkan rantai panjang dan jenuh menghasilkan sabun yang tak larut pada suhu kamar (Andreas, 2009).

  Dalam pembuatan sabun, lemak dipanasi dalam ketel besi yang besar dengan larutan natrium hidroksida dalam air, sampai lemak itu terhidrolisis sempurna. Pereaksi semacam itu sering disebut penyabunan (latin, sapo adalah sabun), karena reaksi itu telah digunakan sejak zaman Romawi kuno untuk mengubah lemak dan minyak menjadi sabun. Kebanyakan sabun alamiah sekarang terbuat terutama dari empat lemak sapi, minyak palma, minyak kelapa dan minyak zaitun. Sabun itu diendapkan dengan penambahan garam. Kemudian diambil dengan disaring, dicuci, dan dicampur dengan zat warna parfum dan komponen istimewa lain. Setelah mengeras, dipotong-potong dan dicetak menjadi sabun yang lazim dijual (Keenan, 1980).

  Garam asam lemak biasanya disebut sabun. Daya pembersih sabun bertumpu pada sifat amfipatik molekul sabun. Molekul-molekul sabun dengan megikatkan diri pada molekul-molekul lemak. Bagian-bagian polar dari molekul-molekul sabun yang bergabung menyebabkan kotoran dan partikel- partikel lemak menjadi mantap dalam larutan berair sehingga dapat dicuci lepas di dalam air (Page, 1989).

2.1.1 Syarat Mutu Sabun Mandi

  Syarat mutu sabun mandi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 06- 3235-1994 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat Mutu Sabun Mandi No. U r a i a n Satuan Tipe I Tipe II Superfat

  1. Kadar air % maks. 15 maks. 15 maks. 15

  2. Jumlah asam % > 70 64 – 70 > 70 lemak

  3. Alkali bebas Dihitung

  • sebagai NaOH % maks. 0,1 maks. 0,1 maks. 0,1
  • sebagai KOH % maks. 0,14 maks. 0,14 maks. 0,14

  Dihitung

  4. Asam lemak bebas dan atau lemak % < 2,5 < 2,5 2,5 – 7,5 netral

  5. Minyak mineral Negatif Negative - Negatif (Acuan SNI 06-3235-1994 )

  Lemak adalah senyawa kimia yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik. Lemak adalah campuran trigliserida. Trigliserida terdiri atas satu molekul gliserol yang berikatan dengan tiga molekul asam lemak. Digliserida terdiri dari gliserol yang mengikat dua molekul asam lemak sedangkan monogliserida hanya memiliki satu asam lemak (Gaman dan Serington, 1994).

  Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, dan hal ini tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat atau asam linolenat dengan titik cair yang rendah. Lemak hewan pada umumnya berbentuk padat pada suhu kamar karena banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempuyai titik cair lebih tinggi (Ketaren, 1996).

  Minyak/lemak merupakan senyawa lipid yang memiliki struktur berupa ester dari gliserol. Pada proses pembuatan sabun, jenis minyak atau lemak yang digunakan adalah minyak nabati atau lemak hewan. Perbedaan antara minyak dan lemak adalah wujud keduanya dalam keadaan ruang. Minyak akan berwujud cair pada temperatur ruang (± 28°C), sedangkan lemak akan berwujud padat. Minyak tumbuhan maupun lemak hewan merupakan senyawa trigliserida. Trigliserida yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun memiliki asam lemak dengan panjang rantai karbon antara 12 sampai 18. Asam lemak dengan panjang rantai karbon kurang dari 12 akan menimbulkan iritasi pada kulit, sedangkan rantai karbon lebih dari 18 akan membuat sabun menjadi keras dan dan linolenat yang terlalu banyak akan menyebabkan sabun mudah teroksidasi pada keadaan atmosferik sehingga sabun menjadi tengik. Asam lemak tak jenuh memiliki ikatan rangkap sehingga titik lelehnya lebih rendah daripada asam lemak jenuh yang tak memiliki ikatan rangkap, sehingga sabun yang dihasilkan juga akan lebih lembek dan mudah meleleh pada temperatur tinggi (Rohman, 2009).

  Minyak dan lemak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida, yaitu 1) lipid kompleks (lesithin, cephalin, fosfatida, dan glikolipid), 2) sterol, berada dalam keadaan bebas atau terikat dengan asam lemak, 3) asam lemak bebas, 4) lilin, 5) pigmen yang larut dalam lemak, dan 6) hidrokarbon (Ketaren,1996).

2.3.1 Pembagian Lemak

  Menurut Budianto (2009), ada atau tidaknya ikatan rangkap yang dikandung asam lemak, maka asam lemak dapat dibagi menjadi:

  1.

  2 nO 2 ), Saturated Fatty Acid (SFA)

  Asam lemak jenuh (CnH Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mempunyai ikatan tunggal atom karbon (C) dimana masing-masing atom C ini akan berikatan dengan atom

  H. contohnya adalah asam butirat (C

  4 ), asam kaproat (C 6 ), asam kaprilat (C 8 ), asam kaprat (C ).

  10 2.

  Asam lemak Tak Jenuh Tunggal (MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid/C

6 H

  2 NO 2 )

  Asam lemak tak jenuh merupakan asam lemak yang selalu mangandung ikatan rangkap 2 atom C dengan kehilangan paling sedikit 2 atom H. contohnya adalah asam burat, asam palmitoleat (C

  12 ), asam oleat (C 18 ).

  2 3.

  n)

  2 Asam lemak Tak Jenuh Poli (PUFA, Poly Unsaturated Fatty Acid/CnH

  Asam lemak tak jenuh dengan ikatan rangkap banyak merupakan asam lemak yang mengandung lebih dari 1 ikatan rangkap. Asam lemak ini akan kehilangan paling sedikit 4 atom H. contohnya adalah asam lemak linoleat (C )

  18

  berikatan rangkap dua, asam lemak eleostear (C 1 ) berikatan rangkap tiga.

2.3.2 Sifat Lemak

  Menurut Gaman dan Serington (1992), sifat lemak sebagai berikut: a. Kelarutan

  Lemak dan minyak tidak larut dalam air. Namun begitu, karena adanya suatu substansi tertentu, yang dikenal sebagai agensia pengemulsi, dimungkinkan terbentuknya campuran yang stabil antara lemak dan air. Campuran ini dinamakan emulsi. Lemak dan minyak larut dalam pelarut organik seperti minyak tanah, eter dan karnon tetraklorida. Pelarut-pelarut tipe ini dapat digunakan untuk menghilangkan kotoran oleh gemuk pada pakaian.

  b.

  Ketengikan Ketengikan adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan rusaknya lemak dan minyak. Pada dasarnya ada dua tipe reaksi yang berperan pada proses ketengikan.

  1. Oksidasi Ini terjadi sebagai hasil reaksi antara trigliserida tidak jenuh dan oksigen dari udara. Molekul oksigen bergabung pada ikatan ganda molekul trigliserida dan dapat terbentuk berbagai senyawa yang menimbulkan rasa tengik yang tidak konsentrasi amat kecil, khususnya tembaga.

  2. Hidrolisis Enzim lipase menghidrolisis lemak, memecahnya menjadi gliserol dan asam lemak.

  lipase

  Lemak + air gliserol + asam lemak Lipase dapat terkandung secara alami pada lemak dan minyak, tetapi enzim itu dapat diinaktivasi dengan pemanasan. Enzim ini dapat pula dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat pada bahan makanan berlemak. Asam lemak bebas yang dihasilkan oleh reaksi ini dapat memberikan rasa dan bau tidak sedap. c.

  Saponifikasi Trigliserida bereaksi dengan alkali membentuk sabun dan gliserol. Proses ini dikenal sebagai saponifikasi. Natrium hidroksida adalah basa yang paling umum digunakan dalam pembuatan sabun tetapi kalium hidroksida dapat pula digunakan. Reaksi saponifikasi sebagai berikut:

  O ‖

  CH

2 CH

  2 OH

  ― O ― C ― R O

  O ‖

  ‖ CH ― O ― C ― R + 3NaOH CHOH + 3Na ― O― C ― R

  O ‖

  CH CH OH

  2 ― O ― C ― R

  2 Trilgliserida basa gliserol sabun (garam Na dari

  asam lemak)

2.3.3 Sumber Minyak dan Lemak

  Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, mentega, margarin dan lemak hewan. Sumber lemak lain adalah kacang-kacangan, biji-bijian, daging, ayam, krim, susu, keju dan kuning telur serta makanan yang telah dimasak dengan minyak atau lemak (Almatsier, 2001).

2.4 Asam Lemak Bebas

  Asam lemak bebas merupakan asam lemak pada sabun yang tidak terikat sebagai senyawa natrium atau pun senyawa trigliserida (lemak netral). Tingginya asam lemak bebas pada sabun akan mengurangi daya membersihkan sabun, karena asam lemak bebas merupakan komponen yang tidak diinginkan dalam proses pembersihan. Sabun pada saat digunakan akan menarik komponen asam lemak bebas yang masih terdapat dalam sabun sehingga secara tidak langsung mengurangi kemampuannya untuk membersihkan minyak dari bahan yang berminyak (Qisti, 2009).

  Dalam reaksi hidrolisa, minyak atau lemak akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak tersebut (Ketaren, 1996).

  O ‖

  H C – O – C – R

  2 O H

  2 C – OH O

  | ‖

  ‖ |

  O H

  

2 C – OH

  ‖ H C – O – C – R

2 Gliserida gliserol asam lemak

  Persamaan reaksi di atas adalah reaksi hidrolisa dari minyak atau lemak menurut Schwiter (1957). Proses hidrolisa yang sengaja, biasanya dilakukan dengan penambahan sejumlah basa. Proses itu dikenal sebagai reaksi penyabunan. Proses penyabunan ini banyak dipergunakan dalam industri. Minyak atau lemak dalam ketel, pertama-tama dipanasi dengan pipa uap dan selanjutnya ditambah alkali (NaOH), sehingga terjadi reaksi penyabunan. Sabun yang terbentuk dapat diambil dari lapisan teratas pada larutan yang merupakan campuran dari larutan alkali, sabun dan gliserol. Dari larutan ini dapat dihasilkan gliserol yang murni melalui penyulingan (Ketaren, 1996).

  Asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi dan hidrolisa enzim selama pengolahan dan penyimpanan. Dalam bahan pangan, asam lemak dengan kadar lebih besar dari 0,2 persen dari berat lemak akan mengakibatkan flavor yang tidak diinginkan dan kadang-kadang dapat meracuni tubuh. Dengan proses netralisasi minyak sebelum digunakan dalam bahan pangan, maka jumlah asam lemak bebas dalam lemak dapat dikurangi sampai kadar maksimum 0,2 persen (Ketaren, 1996).

  Netralisasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock). Pemisahan asam lemak de-asidifikasi. Netralisasi dengan kaustik soda (NaOH) banyak dilakukan dalam skala industri, karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan cara netralisasi lainnya. Selain itu penggunaan kaustik soda, membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa getah dan lender dalam minyak (Ketaren, 1996).

  Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH adalah sebagai berikut: O O

  ‖ ‖ R – C + NaOH R – C + H O

  2 OH ONa

  Asam lemak bebas Basa Sabun Air

  Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fostatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi (Ketaren, 1996).

2.5 Metode Titrimetri

  Titrimetri atau analisis volumetri adalah pemeriksaan jumlah zat yang didasarkan pada pengukuran volume larutan pereaksi yang dibutuhkan untuk bereaksi secara stoikiometri dengan zat yang ditentukan (Rivai, 1995).

2.5.1 Penggolongan Titrimetri

  Menurut Rohman (2007), analisis secara titrimetri (volumetri) dapat digolongkan sebagai berikut: a.

  Berdasarkan reaksi kimia Berdasarkan reaksi yang terjadi selama titrasi, volumetri dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis:

  1. Reaksi asam-basa (asidi-alkalimetri = netralisasi) Penetapan kadar ini berdasarkan pada perpindahan proton dari zat yang bersifat asam atau basa, baik dalam lingkungan air ataupun dalam lingkungan bebas air (TBA = titrasi bebas air).

  2. Reaksi oksidasi-reduksi (redoks) Dasar yang digunakan adalah perpindahan elektron. Penetapan kadar senyawa berdasarkan reaksi ini digunakan secara luas seperti permanganometri, serimetri, iodi-iodometri, iodatometri, serta bromatometri.

  3. Reaksi pengendapan (presipitasi) Penetapan kadar berdasarkan pada terjadinya endapan yang sukar larut misalnya pada penetapan kadar secara argentometri.

  4. Reaksi pembentukan kompleks Dasar yang digunakan adalah terjadinya reaksi antara zat-zat pengkompleks organik dengan ion logam menghasilkan senyawa kompleks yang mantap.

  Penetapan kadar yang menggunakan prinsip ini adalah metode kompleksometri.

  b.

  Berdasarkan cara titrasi Teknik volumtri berdasarkan cara titrasinya dapat dikelompokkan menjadi: 1. Titrasi langsung

  Cara ini dilakukan dengan melakukan titrasi langsung terhadap zat yang akan ditetapkan. Cara ini mudah, cepat, dan sederhana.

  Titrasi kembali Dilakukan dengan cara penambahan titran dalam jumlah berlebihan, kemudian kelebihan titran dititrasi dengan titran lain. Pada cara ini ada 2 sumber kesalahan karena menggunakan 2 titran sehingga kesalahan menjadi lebih besar. Disamping itu cara ini juga memakan waktu yang lama.

  c.

  Berdasarkan jumlah sampel Menurut Rohman (2007) berdasarkan jumlah sampel, teknik volumetri dibedakan menjadi:

  1. Titrasi makro : 100 – 1000 mg

  − Jumlah sampel : 10 – 100 ml

  − Volume titran

  : 0,02 ml − Ketelitian buret 2.

  Titrasi semi mikro : 10 – 100 mg

  − Jumlah sampel : 1 – 10 ml

  − Volume titran : 0,001 ml

  − Ketelitian buret 3.

  Titrasi mikro : 1 – 100 mg

  − Jumlah sampel : 0,1 – 1 ml

  − Volume titran : 0,001 ml

  − Ketelitian buret

2.5.2 Alkalimetri

  Alkalimetri termasuk reaksi netralisasi yakni reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa untuk menghasilkan air yang bersifat netral. Netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi antara donor proton (asam) dengan penerima proton (basa). Alkalimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa-senyawa yang bersifat asam dengan menggunakan baku basa (Rohman, 2007).

  Titrasi Langsung Asam-Basa Dalam Larutan Air, menurut Rohman (2007): 1. Titrasi asam kuat/basa kuat

  Pada awal titrasi perubahan nilai pH berlangsung lambat sampai menjelang titik ekivalen. Pada saat titik ekivalen, nilai pH meningkat secara drastis. Untuk mengamati titik akhir titrasi dapat digunakan indikator atau menggunakan metode elektrokimia.

  Suatu indikator merupakan asam atau basa lemah yang berubah warna diantara bentuk terionisasinya dan bentuk tidak terionisasinya. Kisaran penggunaan indikator adalah 1 unit pH disekitar nilai pKa-nya. Sebagai contoh fenolftalein (pp), mempunyai pKa 9,4 (perubahan warna antara pH 8,4-10,4).

  Struktur fenolftalein akan mengalami penataan ulang pada kisaran pH ini karena proton dipindahkan dari struktur fenol dari pp sehingga pH-nya meningkat akibatnya akan terjadi perubahan warna.

  2. Titrasi asam lemah dengan basa kuat dan titrasi basa lemah dengan asam kuat Jika sejumlah kecil volume asam kuat atau basa kuat ditambahkan pada basa lemah atau asam lemah maka nilai pH akan meningkat secara drastis sekitar 1 unit pH, di bawah atau di atas nilai pKa. Seringkali pelarut organik yang dapat campur dengan air, seperti etanol ditambahkan untuk melarutkan analit sebelum dilakukan

  3. Titrasi tidak langsung dalam pelarut air Titrasi tidak langsung ini dapat dilakukan untuk titrasi asam kuat/basa kuat, titrasi asam lemah dengan basa kuat, ataupun titrasi basa lemah dengan asam kuat.

  Contoh yang paling umum dilakukan adalah titrasi asam lemah dengan basa kuat.