Pengaruh Suhu Dan Waktu Penyimpanan Terhadap Perubahan Warna, Kekuatan Parfum, Kadar Air, Alkali Bebas, Asam Lemak Bebas, Dan Bilangan Peroksida Pada Sabun Mandi Dan Sabun Cuci Padat

(1)

PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN TERHADAP

PERUBAHAN WARNA, KEKUATAN PARFUM, KADAR AIR,

ALKALI BEBAS, ASAM LEMAK BEBAS, DAN BILANGAN

PEROKSIDA PADA SABUN MANDI DAN

SABUN CUCI PADAT

SKRIPSI

KIKI ANDRIANI

120822009

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN TERHADAP

PERUBAHAN WARNA, KEKUATAN PARFUM, KADAR AIR,

ALKALI BEBAS, ASAM LEMAK BEBAS, DAN BILANGAN

PEROKSIDA PADA SABUN MANDI DAN

SABUN CUCI PADAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

KIKI ANDRIANI

120822009

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN WARNA, KEKUATAN PARFUM, KADAR AIR, ALKALI BEBAS, ASAM LEMAK BEBAS, DAN BILANGAN PEROKSIDA PADA SABUN MANDI DAN SABUN CUCI PADAT

Kategori : SKRIPSI

Nama : KIKI ANDRIANI

Nomor Induk Mahasiswa : 120822009

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA EKSTENSI

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, Juli 2014

Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Dra. Emma Zaidar Nst, M.Si Dr. Rumondang Bulan, MS NIP. 195509181987012001 NIP. 195408301985032001

Diketahui/Disetujui Oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan , MS NIP. 1954080301985032001


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN WARNA, KEKUATAN PARFUM, KADAR AIR,

ALKALI BEBAS, ASAM LEMAK BEBAS, DAN BILANGAN PEROKSIDA PADA SABUN MANDI DAN

SABUN CUCI PADAT

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2014

KIKI ANDRIANI 120822009


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Pemurah dan Penyayang, dengan limpahan karunia-Nya kertas kajian ini berhasil diselesaikan dalam waktu yang telah ditetapkan.

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Dr. Rumondang Bulan, MS, dan Dra. Emma Zaidar Nst, M.Si selaku pembimbing pada penyelesaian skripsi ini yang telah memberikan panduan dan penuh kepercayaan kepada saya untuk menyempurnakan kajian ini. Panduan dan masukan yang telah diberikan kepada saya agar penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Ketua Departemen Kimia Dr. Rumondang Bulan, MS., Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, semua dosen pada Departemen Kimia FMIPA USU, pegawai Departemen Kimia FMIPA USU, dan rekan-rekan mahasiswa selama kuliah di Kimia Ekstensi. Akhirnya, tidak terlupakan kepada bapak, ibu, suami, anak dan semua keluarga yang selama ini memberikan bantuan dan dorongan yang diperlukan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa akan membalasnya.


(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh suhu dan waktu penyimpanan terhadap perubahan warna, kekuatan parfum, kadar air, alkali bebas, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida pada sabun mandi dan sabun cuci padat. Warna dan parfum merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam industri sabun. Karena warna sabun memberikan efek yang dapat menarik konsumen untuk mencoba ataupun membeli sabun, sedangkan parfum merupakan bahan pendukung yang memegang peranan besar dalam hal keterkaitan konsumen akan produk sabun. Kadar air, alkali bebas, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida merupakan kriteria uji untuk persyaratan standar mutu sabun. Bilangan peroksida dan asam lemak bebas merupakan indikator kerusakan minyak/ lemak. Sabun yang digunakan adalah sabun mandi padat Soft silk 150 g dan sabun cuci padat Saba 230 g yang disimpan pada suhu 25-30oC (suhu kamar) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim) yang melibatkan parameter warna, parfum, kadar air, alkali bebas, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida. Waktu penelitian dilakukan 1 minggu sekali secara duplo selama 8 minggu. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa parfum, kadar air, alkali bebas pada sabun yang disimpan pada suhu yang berbeda yaitu suhu 25-30oC (suhu kamar) dan 45-50oC (suhu ekstrim) mengalami penurunan disetiap minggu sampai dengan minggu ke delapan. Sebaliknya warna, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida mengalami peningkatan


(7)

ABSTRACT

The have been done research about the influence of temperature and time storage to change of color, strength of perfume, moisture content, free alkali, free fatty acid, and peroxide value of solid bath soap and solid laundry soap. The color of the soap to give effect to entice consumers to try or buy soap , while the perfume is supporting materials play a major role in terms of linkages will consumer soap products. Moisture content, free alkali, free fatty acids and peroxide value is the test characteristic for the quality standard. requirements soap. Peroxide and free fatty acid is an indicator of damage to oil/ fat. Soap used is solid soap 150 g Soft silk anda solid soap Saba 230 g at a temperature of 25 - 30oC (room temperature) and a temperature of 45 - 50oC (extreme temperature) parameters involving color, perfume, water content, free alkali, free fatty acid and peroxide value. Time studies were conducted in duplicate 1-week for 8 weeks. Observations show that perfume, water content, free alkali in soap stored at different temperatures are 25 - 30oC temperature (room temperature) and 45 - 50oC (temperature extreme) has decreased every week until the eighth week. The opposite color, free fatty acids and peroxide value increased.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Judul i

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Lampiran xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Pembatasan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

1.6 Lokasi Penelitian 5

1.7 Metodologi Penelitian 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Sabun 7

2.1.1 Sejarah Sabun 8

2.1.2 Sifat-sifat Sabun 9

2.1.3 Kegunaan Sabun 10

2.1.4 Jenis-jenis Sabun 10

2.1.5 Cara Kerja Sabun Sebagai Penghilang Kotoran 11 2.1.6 Proses Pembuatan Sabun dalam Industri 12 2.2 Bahan Baku Utama Pembuatan Sabun 15

2.2.1 Minyak atau Lemak 15

2.2.2 Alkali 18

2.3 Bahan – bahan Pendukung Pembuatan Sabun 19

2.3.1 Garam (NaCl) 19

2.3.2 Bahan Aditif 19

a. Builders (Bahan Penguat) 19

b. Fillers (Bahan Pengisi) 20

c. Coloring Agent (Zat Pewarna) 20

d. Fragrance (Bahan Pewangi) 20

e. Antioksidan 21

2.4 Kadar Air 21

2.5 Kadar Alkali Bebas (NaOH) 22

2.6 Kadar Asam Lemak Bebas 22

2.7 Bilangan Peroksida 23


(9)

2.7.2 Natrium Tiosulfat 28

2.7.3 Starch (Amilum) 29

2.8 Uji Organoleptik 30

BAB 3 METODE PENELITIAN 32

3.1 Alat dan Bahan 32

3.1.1 Alat-alat 32

3.1.2 Bahan-bahan 33

3.2 Prosedur Penelitian 33

3.2.1 Pembuatan Larutan 33

a. Asam Sulfat (H2SO4) 0.1 N 33

b. Asam Sulfat (H2SO4) 30% 34

c. Alkohol Netral 95% 34

d. Fenolftalein (PP) 1% 34

e. Natrium Hidroksida (NaOH) 0.1 N 34

f. Amilum 1% 34

g. Metill Orange (M.O ) 0.1% 34

h.Kalium Iodida (KI) 15% 34

3.2.2 Standarisasi 35

a. Standarisasi Larutan Asam Sulfat (H2SO4)

0.1N 35

b. Standarisasi Larutan Natrium Hidroksida (NaOH)

0.1 N 35

c. Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat (Na2S2O3)

0.01 N 36

3.2.3 Pemisahan Fatty Acid dari Sabun Mandi Padat

dan Sabun Cuci Padat 36

3.2.4 Penentuan Perubahan Warna 36

3.2.4.1 Preparasi Sampel (Henkel Test Method) 36 3.2.4.2 Analisa dengan Tintometer Colorimeter

Model F (AOCS Official Test Method

Cc 13e-92) 37

3.2.5 Penentuan Kekuatan Parfum (Secara Organoleptik) 37 3.2.6 Penentuan Kadar Air (AOCS Official Test Method,

Da 2a-48) 37

3.2.7 Penentuan Kadar Alkali Bebas (AOCS Official Test

Method,Da 4a-48) 37

3.2.8 Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas (AOCS

Official Test Method,Da 4a-48) 38 3.2.9 Penentuan Bilangan Peroksida Bebas (AOCS

Official Test Method,Da 4a-48) 38

3.2.9.1 Preparasi Sampel 38

3.2.9.2 Prosedur Penentuan Bilangan Peroksida 39

3.3 Bagan Penelitian 40

3.3.1 Flowchart Parameter Analisa Sabun Mandi dan Sabun


(10)

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

4.1 Hasil 41

4.1 Data Perubahan Warna dari Sabun Mandi Padat Soft

Silk 150 g 41

4.2 Data Perubahan Warna dari Sabun Cuci Padat Saba

230 g 42

4.3 Data Kekuatan Parfum dari Sabun Mandi Padat Soft

Silk 150 g 43

4.4 Data Kekuatan Parfum dari Sabun Cuci Padat Saba

230 g 44

4.5 Data Kadar Air dari Sabun Mandi Padat Soft Silk 150 g 45 4.6 Data Kadar Air dari Sabun Cuci Padat Saba 230 g 46 4.7 Data Kadar Alkali Bebas dari Sabun Mandi Padat Soft

Silk 150 g 47

4.8 Data Kadar Alkali Bebas dari Sabun Cuci Padat Saba

230 g 47

4.9 Data Kadar Asam Lemak Bebas dari Sabun Mandi

Padat Soft Silk 150 g 48

4.10 Data Bilangan Peroksida dari Sabun Mandi Padat

Soft Silk 150 g 49

4.11 Data Bilangan Peroksida dari Sabun Cuci Padat Saba

230 g 50

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan terhadap

Perubahan Warna 51

4.2.2 Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan terhadap

Kekuatan Parfum 51

4.2.3 Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan terhadap

Kadar Air 52

4.2.4 Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan terhadap

Kadar Alkali Bebas 53

4.2.5 Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan terhadap

Kadar Asam Lemak Bebas 53 4.2.6 Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan terhadap

Bilangan Peroksida 54

4.3 Reaksi Percobaan 55

4.3.1 Reaksi Penyabunan (Saponifikasi) 55

4.3.2 Reaksi Iodometri 56

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 58

5.1 Kesimpulan 58

5.2 Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Asam Lemak Jenuh Dalam Minyak Sawit 17 Tabel 2.2 Asam Lemak Tidak Jenuh Dalam Minyak Sawit 18 Tabel 3.1 Berat Sampel untuk Bilangan Peroksida yang Diharapkan 39 Tabel 4.1 Data Perubahan Warna dari Sabun Mandi Padat Soft Silk 150 g 41 Tabel 4.2 Data Perubahan Warna dari Sabun Cuci Padat Saba 230 g 42 Tabel 4.3 Data Kekuatan Parfum dari Sabun Mandi Padat Soft Silk 150 g 43 Tabel 4.4 Data Kekuatan Parfum dari Sabun Cuci Padat Saba 230g 44 Tabel 4.5 Data Kadar Air dari Sabun Mandi Padat Soft Silk 150 g 45 Tabel 4.6 Data Kadar Air dari Sabun Cuci Padat Saba 230 g 46 Tabel 4.7 Data Kadar Alkali Bebas dari Sabun Mandi Padat Soft Silk 150 g 47 Tabel 4.8 Data Kadar Alkali Bebas dari Sabun Cuci Padat Saba 230 g 47 Tabel 4.9 Data Kadar Asam Lemak Bebas dari Sabun Mandi Padat Soft Silk

150 g 49

Tabel 4.10 Data Bilangan Peroksida dari Sabun Mandi Padat Soft Silk 150 g 49 Tabel 4.11 Data Bilangan Peroksida dari Sabun Cuci Padat Saba 230 g 50


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Hasil Uji Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan terhadap Perubahan Warna 61 Gambar 1 Sabun Mandi Padat Soft Silk 150 g 61


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sabun termasuk salah satu jenis surfaktan yang terbuat dari minyak atau lemak alami. Surfaktan mempunyai struktur bipolar, bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Karena sifat inilah sabun mampu mengangkat kotoran (biasanya lemak) dari badan atau pakaian. (Permono, 2001).

Dewasa ini pemanfaatan sabun sebagai pembersih kulit makin menjadi trend dan beragam. Keragaman sabun yang dijual secara komersial terlihat pada jenis, warna, wangi dan manfaat yang ditawarkan. Berdasarkan jenisnya sabun dibedakan atas dua macam yaitu sabun padat (batangan) dan sabun cair. Pewangi ditambahkan pada proses pembuatan sabun untuk memberikan efek wangi pada produk sabun. Pewangi yang sering digunakan dalam pembuatan sabun adalah dalam bentuk parfum dengan berbagai aroma (buah-buahan, bunga, tanaman herbal dan lain-lain). Penilaian parfum yang tepat akan sangat berarti bagi produk yang dipasarkan. Perubahan warna dan kekuatan parfum sangat mempengaruhi kualitas sabun. Perubahan wana dan kekuatan parfum merupakan salah satu dari sekian masalah yang cukup serius bagi perusahaan sabun dan dapat menimbulkan keluhan konsumen baik sebelum pemakaian maupun setelah pemakaian sabun.

Uji warna merupakan salah satu pengujian kualitatif pada penyimpanan. Uji warna dilakukan untuk mengetahui perubahan warna karena kondisi penyimpanan. Zat warna dibedakan menjadi dua, yaitu warna alamiah dan warna akibat oksidasi dan degradasi komponen kimia yang terdapat dalam minyak. Zat warna alamiah terdapat secara alamiah dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstraksi bersama minyak bersama dalam proses ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain alfa dan beta karoten, xanthofil dan anthosianin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna


(14)

kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan. Sedangkan, warna akibat oksidasi dan degradasi komponen kimia yang terdapat pada minyak antara lain: warna gelap disebabkan oleh oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). (Ketaren, 1986)

Sistem penelitian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilai dalam laboratorium, dunia usaha dan perdagangan. Laboratorium penilaian organoleptik pun telah menjadi umum di industri maupun di lembaga-lembaga penelitian. Penelitian organoleptik telah pula digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan. Untuk melaksanakan suatu penilaian organoleptik diperlukan panel. Panel adalah satu atau sekelompok orang yang bertugas untuk menilai sifat atau mutu benda berdasarkan kesan subjektif. (Purnamawati, 2006)

Sifat kimia seperti kadar air, asam lemak bebas, alkali bebas (NaOH), dan bilangan peroksida merupakan faktor yang berperan dalam perubahan warna dan kekuatan parfum sabun. Indikator kerusakan minyak antara lain adalah bilangan peroksida dan asam lemak bebas. Bilangan peroksida menunjukkan banyaknya kandungan peroksida di dalam minyak akibat proses oksidasi dan polimerisasi. Asam lemak bebas menunjukkan sejumlah asam lemak bebas yang dikandung oleh minyak yang rusak, terutama karena peristiwa oksidasi dan hidrolisis.

Sewaktu penyimpanan minyak atau lemak, akan terjadi perubahan flavor dan rasa. Perubahan ini disertai dengan terbentuknya komponen-komponen yang tidak diinginkan dan ditandai dengan timbulnya bau tengik. Beberapa penyelidik berpendapat, bahwa ester asam oleat merupakan unsur yang utama dari minyak yang mudah mengalami degradasi. Bahan harus disimpan pada kondisi penyimpanan yang sesuai dan bebas dari pengaruh logam. Bahan tersebut harus dilindungi dari kemungkinan serangan oksigen, cahaya serta temperatur tinggi. Keadaan lingkungan juga mempengaruhi penyimpanan minyak atau lemak termasuk, Rh ruang penyimpanan, temperatur, ventilasi, tekanan dan masalah dalam pengangkutan. (Ketaren, 1986)

Peneliti sebelumnya yaitu Mulia Maulana juga pernah melakukan penelitian tentang sabun. Peneliti mengambil sampel sabun mandi batang kecantikan dan sabun


(15)

mandi batang kesehatan dan memvariasikan empat suhu dan juga menggunakan parameter kadar air, kadar alkali bebas (NaOH), asam lemak bebas, dan kadar garam.

Dari permasalahan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang perubahan warna, kekuatan parfum, kadar air, kadar alkali bebas, asam lemak bebas dan bilangan peroksida pada sabun mandi padat dan sabun cuci padat. Dengan temperatur penyimpanan suhu 25-30oC (suhu ruang) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim). Karena suhu ruang adalah suhu yang biasa digunakan oleh konsumen sebagai penyimpanan, dan suhu ekstrim adalah suhu tertinggi yang kemungkinan bisa terjadi dalam peti kemas pada saat pengiriman dan negara-negara tujuan.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh suhu dan waktu penyimpanan terhadap perubahan warna, kekuatan parfum, kadar air, alkali bebas, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida pada sabun mandi padat Soft silk 150 g dan sabun cuci padat Saba 230 g dengan suhu yang berbeda yaitu suhu 25-30oC (suhu ruang) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim)

2. Apakah ada pengaruh kadar air, alkali bebas, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida terhadap perubahan warna dan kekuatan parfum sabun mandi padat Soft silk 150 g dan sabun cuci padat Saba 230 g.

1.3 Pembatasan Masalah

1. Sampel yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah sabun mandi padat Soft silk 150 g dan sabun cuci padat Saba 230 g yang bersumber dari PT. Oleochem and Soap Industry.


(16)

2. Parameter yang akan di uji adalah perubahan warna, kekuatan parfum, kadar air, alkali bebas, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida,

3. Waktu penelitian dilakukan setiap 1 minggu sekali selama 2 bulan secara duplo, dengan penyimpanan suhu 25-30oC (suhu ruang) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim).

4. Perubahan warna dianalisa dengan menggunakan alat tintometer colorimeter model F.

5. Kekuatan parfum dianalisa secara organoleptik yang dilakukan secara penciuman, dengan penilaian sebagai berikut: 1 (tidak berkurang), 2 (sedikit berkurang), 3 (berkurang), dan 4 (sangat berkurang).

1.4Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu penyimpanan terhadap perubahan warna, kekuatan parfum, kadar air, alkali bebas, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida sabun mandi padat Soft silk 150 g dan sabun cuci padat Saba 230 g pada suhu 25-30oC (suhu ruang) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim).

2. Untuk mengetahui penyebab dari perubahan warna dan kekuatan parfum yang ditinjau dari sifat kimia dari sabun mandi padat Soft silk 150 g dan sabun cuci padat Saba 230 g yaitu: kadar air, alkali bebas, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida.

1.5Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada perusahaan dan konsumen tentang batasan suhu penyimpanan yang standar pada sabun mandi dan sabun cuci padat.


(17)

1.6Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium PT. Oleochem and Soap Industry, Kawasan Industri Medan 2, Mabar.

1.7Metodologi Penelitian

Panelitian ini dilakukan dengan diawali proses pembuatan sabun mandi pada saponifikasi plant yaitu dengan mereaksikan minyak dengan NaOH pada perbandingan 3:1 yang dikenal dengan proses penyabunan, minyak yang digunakan adalah Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO), Refined Bleached Deodorized Palm Stearin (RBDPS), Palm Kernel Oil (PKO) proses ini dilakukan di dalam wadah reaktor dengan suhu + 1210C. Kemudian sabun yang sudah terbentuk akan dilakukan pengeringan dengan bantuan alat Vacum Liquid Sapon (VLS) dan atomizer yang dikenal dengan proses dryer, dari hasil dryer terbentuklah chips sabun yang dikenal dengan soap noodle, kemudian soap noodle ini akan di masukkan dalam tangki penyimpanan yang di kenal dengan silo, kemudian soap noodle di timbang dan di masukkan ke dalam tangki mixing bersamaan dengan penambahan bahan-bahan lainnya sesuai formulasi yang ada. Kemudian setelah semuanya homogen sabun diteruskan ke alat pencetak sabun (stamping) sehingga di dapat bentuk sabun yang diinginkan.

Untuk pembuatan sabun cuci pada proses saponifikasi dengan mereaksikan minyak dan NaOH 3:1 dan minyak yang digunakan adalah Refined Bleached Deodorized Palm Stearin (RBDPS) 100%. Setelah semuanya tercampur dalam tangki reaktor pada suhu + 1210C. Kemudian sabun yang didapat disebut dengan neat soap diteruskan ke dalam tangki crutcher dan dicampur dengan bahan-bahan sesuai formulasi. Setelah melalui proses pengeringan sabun dicetak dengan menggunakan alat pencetak sabun.

Sabun yang diperoleh dilakukan analisis sifat kimianya seperti kadar air, alkali bebas (NaOH), asam lemak bebas, dan bilangan peroksida yang terlebih dahulu


(18)

diperoleh asam lemak nya (fatty acid) dan juga sifat fisik seperti perubahan warna dan kekuatan parfum sabun.

Pengambilan sampel dilakukan pada saat produksi berlangsung, sampel dikemas dengan rapi kemudian di simpan di dalam suhu 25-30oC (suhu ruang) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim) selama 2 bulan dan dianalisis setiap 1 minggu sekali secara duplo. Perubahan warna ditentukan menurut Henkel Test Method dengan menggunakan alat tintometer colorimeter model F, kekuatan parfum menurut pengujian organoleptik, kadar air secara gravimetri menurut AOCS Official Method Da 2a-48, kadar alkali bebas menurut AOCS Official Method Da 4a-48, kadar asam lemak bebas menurut AOCS Official Method Da 9a-48, bilangan peroksida menurut AOCS Official Method Cd 8-53,

Dalam penelitian ini digunakan 3 variabel yaitu :

1. Variabel bebas (berubah), yaitu variabel yang mempengaruhi terhadap penelitian, dalam hal ini adalah suhu dan waktu penyimpanan yaitu pada suhu 25-30oC (suhu ruang) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim), dengan jangka waktu 2 bulan.

2. Variabel tetap yaitu variabel yang dibuat tetap (tidak berubah) agar tidak menyebabkan terjadinya perubahan pada variabel terikat. Yang menjadi variabel tetap pada penelitian ini yaitu berat sabun mandi 150 g dan sabun cuci 230 g.

3. Variabel terikat yaitu variabel yang terukur terhadap perubahan perlakuan, yang meliputi perubahan warna, kekuatan parfum, kadar air, kadar alkali bebas, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sabun

Sabun adalah dari senyawa garam asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkam dari kekuatan

pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaaan dari air. Konsep ini dapat dipahami dengan mengingat kedua sifat dari anion sabun. Suatu gambaran dari stearat terdiri dari ion karboksil sebagai “kepala” dengan hidrokarbon yang panjang sebagai “ekor” (Rukaesih, 2004).

Sabun merupakan produk pembersih untuk kulit manusia. Seperti detergen, sabun mempunyai gugus hidrofobik yang berinteraksi dengan minyak dan ujung anionik yang larut air. Mekanisme sabun mengangkat minyak/ lemak dari benda adalah molekul sabun larut dalam air dan ujung hidrofobik mengepung molekul minyak sedangkan ujung anion terlarut dalam air membentuk misel sehingga minyak terlepas dari benda.

Garam natrium atau kalium yang dihasilkan oleh asam lemak dapat larut dalam air dikenal sebagai sabun. Sabun kalium disebut sabun lunak dan digunakan sebagai sabun untuk bayi. Asam lemak yang digunakan untuk sabun umumnya adalah asam palmitat atau stearat. Dalam industri, sabun tidak dibuat dari asam lemak tetapi langsung dari minyak yang berasal dari tumbuhan. Minyak adalah ester asam lemak tidak jenuh dengan gliserol. Melalui proses hidrogenasi dengan bantuan katalis Pt atau Ni, asam lemak tidak jenuh diubah menjadi asam lemak jenuh, dan melalui proses penyabunan dengan basa KOH dan NaOH akan terbentuk sabun dan gliserol (Poejiadi, 2007).


(20)

Minyak nabati seperti sawit merupakan bahan utama pembuat sabun. Minyak hewani seperti lemak sapi dan babi juga sering dimanfaatkan untuk pembuatan sabun. Molekul sabun terdiri atas rantai hidrokarbon dengan gugus COO- pada ujungnya. Bagian hidrokarbon bersifat hidrofob artinya tidak suka pada air atau tidak mudah larut dalm air, sedangkan gugus COO- bersifat hidrofil, artinya suka akan air, jadi dapat larut dalam air. Oleh karena adanya dua bagian itu, molekul sabun tidak sepenuhnya larut dalam air, tetapi membentuk misel yaitu kumpulan rantai hidrokarbon dengan ujung yang bersifat hidrofil dibagian luar (Poejiadi, 2007).

Sementara itu SNI (1994) menjelaskan bahwa sabun mandi merupakan pembersih yang dibuat dengan mereaksikan secara kimia antara basa natrium atau basa kalium dan asam lemak yang berasal dari minyak nabati dan atau lemak hewani yang umumnya ditambahkan zat pewangi atau antiseptik dan digunakan untuk membersihkan tubuh manusia dan tidak membahayakan kesehatan. Sabun tersebut dapat berwujud padat, lunak atau cair, berbusa dan digunakan sebagai pembersih.

2.1.1 Sejarah Sabun

Tidak ada catatan pasti kapan sejarah pembuatan sabun dimulai. Pada waktu dahulu kala di tahun 600 SM masyarakat Funisia di mulut Sungai Rhone sudah membuat sabun dari lemak kambing dan abu kayu khusus. Mereka juga membarterkannya dalam berdagang dengan bangsa Kelt, yang sudah bisa membuat sendiri sabun dari bahan serupa.

Pliny (dalam bukunya berjudul Historia Naturalis, 23 – 79) menyebut sabun sebagai bahan cat rambut dan salep dari lemak dan abu pohon beech yang dipakai masyarakat di Gaul, Perancis. Tahun 100 masyarakat Gaul sudah memakai sabun keras. Ia juga menyebut pabrik sabun di Pompei yang berusia 2000 tahun, yang belum tergali. Di masa itu sabun lebih sebagai obat. Baru belakangan ia dipakai sebagai pembersih, seperti kata Galen, ilmuwan Yunani, di abad II.


(21)

Tahun 700-an di Italia membuat sabun mulai dianggap sebagai seni. Seabad kemudian muncul bangsa Spanyol sebagai pembuat sabun terkemuka di Eropa. Sedangkan Inggris baru memproduksi tahun 1200-an. Secara bersamaan Marseille, Genoa, Venice, dan Savona menjadi pusat perdagangan karena berlimpahnya minyak zaitun setempat serta deposit soda mentah. Akhir tahun 1700-an Nicolas Leblanc, kimiawan Perancis, menemukan larutan alkali dapat dibuat dari garam meja biasa. Sabun pun makin mudah dibuat, alhasil sabun terjangkau bagi semua orang. (Tambun, 2006)

2.1.2 Sifat – sifat Sabun:

1. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa.

CH3(CH2)16COONa + H2O →CH3(CH2)16COOH + OH

-2. Jika larutan sabun dalam air diaduk maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.

CH3(CH2)16COONa + CaSO4 → Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2

3. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non polar. Molekul sabun mempunyai rantai CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang

bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat organik sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air. ( Pratiwi, 2013)

2.1.3Kegunaan Sabun

Kegunaan sabun ialah kemampuannya mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun.


(22)

Pertama, rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun larut dalam zat-zat non-polar, seperti tetesan-tetesan minyak. Kedua, ujung anion molekul sabun, yang tertarik pada air, ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak-menolak antara tetes-tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung tetapi tetap tersuspensi. (Ralph J, Fessenden, 1992)

2.1.4 Jenis – jenis Sabun

Jenis sabun yang utama adalah sabun mandi dan sabun cuci, kedua jenis sabun ini dibuat dengan beberapa cara. Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan sabun. Salah satunya adalah penggolongan berdasarkan bentuk fisik dan fungsi.

1. Sabun batang

Terbuat dari lemak netral yang padat dan dikeraskan melalui proses hidrogenasi. Jenis alkali yang digunakan adalah natrium hidroksida dan sukar larut dalam air. Kebanyakan orang mulai meninggalkan sabun batang karena alasan kurang higienis dan berisiko menjadi tempat perpindahan bakteri, namun sabun batang dipercaya irit dan memiliki wangi yang lebih tahan lama. Terbukti, sebesar 43% dari 100 orang yang disurvei masih menggunakan sabun batang hingga kini. Jenis sabun batangan lainnya adalah sabun mandi kecantikan. Sabun mandi kecantikan adalah suatu produk sabun untuk perawatan kecantikan kulit wajah dan tubuh dengan formulasi yang sesuai untuk kulit. Memberikan zat-zat gizi dan nutrisi yang sangat diperlukan kulit dan membantu memelihara kulit dengan mempertahankan kelembaban kulit serta membantu pertumbuhan sel-sel baru jika terjadi kerusakan sel kulit. Pada sabun kecantikan busa harus lembut dan sifat basanya lebih rendah. (Luis Spitz, 1996).

2. Sabuncair

Sabun jenis ini dibuat dari minyak kelapa jernih dan penggunaan alkali yang berbeda yaitu kalium hidroksida. Bentuknya cair dan tidak mengental pada suhu kamar. Sabun cair lebih digemari karena praktis dan mudah penyimpanannya, terutama bagi orang yang suka bepergian.


(23)

3. Showergel

Sabun dengan kandungan emulsi berupa cocamide DEA, lauramide DEA, linoleamide DEA, dan oleamide DEA ini berfungsi sebagai substansi pengental untuk mendapatkan tekstur gel. Sabun jenis ini memang belum terlalu populer dan biasanya lebih sering digunakan oleh wanita yang hobi berendam karena menghasilkan busa yang cenderung lebih banyak.

4. Sabun antisepik

Mengandung bahan aktif antibacterial, seperti triclosan, triclocarban/ trichlorocarbamide, yang berguna untuk membantu membunuh bakteri dan mikroba,

namun tidak efektif untuk menonaktifkan virus.

2.1.5 Cara Kerja Sabun Sebagai Penghilangan Kotoran

1. Sabun di dalam air menghasilkan busa yang akan menurunkan tegangan permukaan sehingga kain menjadi bersih dan air meresap lebih cepat kepermukaan kain.

2. Molekul sabun akan mengelilingi kotoran dengan ekornya dan mengikat molekul kotoran. Proses ini disebut emulsifikasi karena antara molekul kotoran dan molekul sabun membentuk suatu emulsi.

Sedangkan bagian kepala molekul sabun didalam air pada saat pembilasan menarik molekul kotoran keluar dari kain sehingga kain menjadi bersih. ( Pratiwi, 2013)

2.1.6 Pembuatan Sabun dalam Industri 1. Saponifikasi (Penyabunan)

Pada proses saponifikasi trigliserida dengan suatu alkali, kedua reaktan tidak mudah bercampur. Reaksi saponifikasi dapat mengkatalisis dengan sendirinya pada kondisi


(24)

tertentu dimana pembentukan produk sabun mempengaruhi proses emulsi kedua reaktan tadi, menyebabkan suatu percepatan pada kecepatan reaksi.

Proses reaksi saponifikasi adalah proses mereaksikan minyak dan NaOH pada reaktor pada suhu ± 1250C dengan bantuan pemanas steam. Komposisi antara minyak dan NaOH dengan perbandingan 3 : 1, jika tidak maka akan didapati reaksi yang tidak setimbang sehingga akan didapat sabun yang kurang sempurna. Reaksi dilakukan selama 10 menit dengan bantuan agitator dan recycle pompa ke reaktor. Minyak dan NaOH yang berada dalam storage tank (tangki penyimpanan) diumpankan ke reaktor lalu diinjeksikan steam sebesar 2 bar, selanjutnya ditambahkan larutan garam NaCl (brine) 22%. Hal ini dilakukan guna memperkaya elektrolit sehingga hasil reaksi antara minyak dan NaOH mudah dipisahkan pada proses selanjutnya.

O

CH2 O C R1 CH2 OH R1COONa

O

CH O C R2 + 3NaOH CH OH + R2COONa

O

CH2 O C R3 CH2 OH R3COONa

Trigliserida Natrium hidroksida Gliserol Asam Lemak

Minyak yang direaksikan adalah campuran dari beberapa minyak (dalam satuan %b/%b) yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun yaitu palm oil, palm stearine, dan palm kernel oil dengan perbandingan yang berbeda-beda sesuai dengan formulasi yang telah ditetapkan untuk sabun yang akan diproduksi.

Setelah reaksi sempurna maka sabun dipompakan ke static separator untuk memisahkan antara sabun dan gliserol. Gliserol yang didapat hasil proses saponifikasi ini yang dijadikan sebagai bahan baku untuk proses pembuatan gliserin yang disebut dengan spent lye dengan kemurnian gliserin 20-30%.

Dalam static separator ini sabun akan terpisah dengan spent lye dan kemudian dilanjutkan atau dimasukkan ke washing coloumn sambil diumpankan fresh lye, untuk


(25)

memisahkan sabun, half spent lye, magnesium, dan logam-logam lain yang terkandung di dalamnya. Half spent lye yang dihasilkan diumpankan kembali ke reaktor. Fresh lye (larutan pencuci) yang akan dimasukkan (dicampurkan) ke dalam washing coloumn ini terdiri dari larutan NaOH 48%, larutan NaCl 22%, dan air atau H2O. (PT. Oleochem and Soap Industri, 2010)

Minyak dan lemak mempunyai sifat yang berbeda selama proses pembuatan sabun seperti laju penyabunan, jumlah alkali yang dibutuhkan untuk saponifikasi dan kekuatan elektrolit untuk penggaraman. Keduanya juga mempunyai hasil sabun setengah jadi dan gliserin yang bervariasi.

2. Netralisasi

Setelah sabun telah dipisahkan di washing coloumn selanjutnya dimasukkan ke Centrifuge (Cf). Didalam centrifuge ini sabun ini juga dipisahkan antara lye dan neat soap. Lye yang telah dipisahkan dikembalikan lagi ke washing coloumn sedangkan sabunnya dilanjutkan ke Neutralizer. Didalam neutralizer ini aditif yang dicampur adalah Palm Kernel Oil (PKO) dan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetate). PKO ditambahkan dengan tujuan untuk memastikan kandungan kadar NaOH dalam neat soap sebesar 0,025% - 0,045%. dan selanjutnya di transfer ke Crutcher. Didalam crutcher ini neat soap masih dicampur aditif yaitu EDTA dan Turpinal, kemudian diaduk agar homogen kemudian dilanjutkan ke Feed Tank. (PT. Oleochem and Soap Industri, 2010)

Reaksi asam basa antara asam dengan alkali untuk menghasilkan sabun berlangsung lebih cepat daripada reaksi trigliserida dengan alkali. Jumlah alkali (NaOH) yang dibutuhkan untuk menetralisasi suatu paduan asam lemak dapat dihitung sebagai berikut :

NaOH = {berat asam lemak x 40) / MW asam lemak Berat molekul rata rata suatu paduan asam lemak dapat dihitung dengan persamaan :


(26)

Dimana AV (angka asam asam lemak paduan) = mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralisasi 1 gram asam lemak

3. Pengeringan Sabun

Setelah feed tank telah terisi maka neat soap direcycle untuk tahap pengeringan (drying) dan kemudian direcycle dengan cara dipanaskan melalui Heat Exchanger (HE) dengan speed VLS 50% dan dengan speed feed tanknya 42% dengan tekanan 1,5 bar. Disetting secara perlahan-lahan. Setelah semuanya dalam kondisi yang telah disetting maka saatnya diumpankan (feeding) ke atomizer dengan menjaga tekanan dan temperatur agar jangan sampai drop. Sabun yang sudah dikeringkan dan didinginkan tersimpan pada dinding ruang vakum dan dipindahkan dengan alat pengerik sehingga jatuh di plodder, yang mengubah sabun ke bentuk lonjong panjang atau butiran yang kemudian disimpan dalam suatu wadah penyimpanan soap noodle dikenal dengan nama Silo. (PT. Oleochem & Soap Industri, 2010)

Sabun banyak diperoleh setelah penyelesaian saponifikasi (sabun murni) yang umumnya dikeringkan dengan vacum spray dryer. Kandungan air pada sabun dikurangi dari 30-35% pada sabun murni menjadi 8-18% pada sabun butiran atau lempengan. Jenis jenis vacum spray dryer, dari sistem tunggal hingga multi sistem, semuanya dapat digunakan pada berbagai proses pembuatan sabun. Operasi vacum spray dryer sistem tunggal meliputi pemompaan sabun murni melalui pipa heat exchanger dimana sabun dipanaskan dengan uap yang mengalir pada bagian luar pipa. Dryer dengan mulai memperkenalkan proses pengeringan sabun yang lebih luas dan lebih efisien dari pada dryer sistem tunggal.

4. Penyempurnaan Sabun

Dalam pembuatan produk sabun batangan, sabun butiran dicampurkan dengan zat pewarna, parfum, dan zat aditif lainnya ke dalam mixer (analgamator). Campuran sabun ini kemudian diteruskan untuk digiling untuk mengubah campuran tersebut menjadi suatu produk yang homogen. Produk tersebut kemudian dilanjutkan ke tahap pemotongan. Sebuah alat pemotong dengan mata pisau memotong sabun tersebut menjadi potongan - potongan terpisah yang dicetak melalui proses penekanan menjadi


(27)

sabun batangan sesuai dengan ukuran dan bentuk yang diinginkan. Proses pembungkusan, pengemasan, dan penyusunan sabun batangan merupakan tahap akhir. (Pratiwi, 2013)

2.2 Bahan Baku Utama Pembuatan Sabun 2.2.1 Minyak Atau Lemak

Minyak dan lemak yang umum digunakan dalam pembuatan sabun adalah trigliserida dengan tiga buah asam lemak yang tidak beraturan diesterifikasi dengan gliserol. Masing- masing lemak mengandung sejumlah molekul asam lemak dengan rantai karbon panjang antara C12 (asam laurat) hingga C18 (asam stearat) pada lemak jenuh

dan begitu juga dengan lemak tak jenuh. Campuran trigliserida diolah menjadi sabun melalui proses saponifikasi dengan larutan natrium hidroksida membebaskan gliserol. Sifat-sifat sabun yang dihasilkan ditentukan oleh jumlah dan komposisi dari komponen asam asam lemak yang digunakan. Komposisi asam asam lemak yang sesuai dalam pembuatan sabun dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan. Pada umumnya, panjang rantai yang kurang dari 12 atom karbon dihindari penggunaanya karena dapat membuat iritasi pada kulit, sebaliknya panjang rantai yang lebih dari 18 atom karbon membentuk sabun yang sukar larut dan sulit menimbulkan busa. Terlalu besar bagian asam lemak tak jenuh menghasilkan sabun yang mudah teroksidasi bila terkena udara. Alasan-alasan diatas, faktor ekonomis dan daya jual menyebabkan lemak dan minyak yang dibuat menjadi sabun terbatas.

Asam lemak tak jenuh memiliki ikatan rangkap sehingga titik lelehnya lebih rendah daripada asam lemak jenuh yang tak memiliki ikatan rangkap, sehingga sabun yang dihasilkan juga akan lebih lembek dan mudah meleleh pada temperatur tinggi.

Asam lemak (fatty acid) adalah senyaw Bersama-sama denga nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua Asam ini mudah dijumpai dalam minyak masak (goreng),


(28)

dan menentukan nilai gizinya. Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas (sebagai lemak yang terhidrolisis) maupun terikat sebagai

Asam lemak tidak lain adalah rumus kimia R-COOH atau R-CO2H. Contoh yang cukup sederhana misalnya adalah

H-COO

Karena berguna dalam mengenal ciri-cirinya, asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki jenuh memiliki paling sedikit satu penyusunnya.

Asam lemak merupaka Umumnya berfase cair atau padat pada suhu ruang (27° Celsius). Semakin panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut. Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil (tidak mudah bereaksi) daripada asam lemak tak jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi). Karena itu, dikenal istila

Keberadaan ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh menjadikannya memiliki dua bentuk: (dilambangkan dengan "Z", singkatan dari bentuk trans (trans fatty acid, dilambangkan dengan "E", singkatan dari bahasa Jerman entgegen) hanya diproduksi oleh sisa metabolisme hewan atau dibuat secara sintetis. Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis memiliki rantai yang melengkung. Asam lemak trans karena atom H-nya berseberangan tidak mengalami efek polarisasi yang kuat dan rantainya tetap relatif lurus.

akibat


(29)

berbagai produk ini.

Karena mudah terhidrolisis dan teroksidasi pada suhu ruang, asam lemak yang dibiarkan terlalu lama akan turun nilai gizinya. Pengawetan dapat dilakukan dengan menyimpannya pada suhu sejuk dan kering, serta menghindarkannya dari kontak langsung dengan udara.

Asam lemak jenuh :

1. Bersifat non essensial 2. Dapat disintesis oleh tubuh 3. Padat pada suhu kamar

4. Diperoleh dari sumber zat hewani contoh mentega 5. Tidak ada ikatan rangkap

Tabel 2.1 Asam Lemak Jenuh Dalam Minyak Sawit

Jenis Asam Rumus Molekul Titik Cair (oC) Titik Didih (oC)

Asetat CH3COOH -16,6 118

Laurat CH3(CH2)10COOH 44 225

Miristat CH3(CH2)12COOH 58 250,5

Palmitat CH3(CH2)14COOH 64 215

Stearat CH3(CH2)16COOH 69,4 383

Asam lemak tidak jenuh :

1. Bersifat essensial

2. Tidak dapat diproduksi tubuh 3. Cair pada suhu kamar

4. Diperoleh dari sumber zat nabati contoh minyak goreng 5. Ada ikatan rangkap


(30)

Tabel 2.2 Asam Lemak Tidak Jenuh Dalam Minyak Sawit

Jenis

Asam Rumus Molekul

Titik Cair (oC)

Titik Didih

(oC)

Oleat CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH 14 360

Linoleat CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH 5 230

Linolenat CH3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH 11 231

2.2.2 Alkali

Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH, KOH, Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines. NaOH, atau yang biasa dikenal dengan soda

kaustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling banyak digunakan dalam pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam pembuatan sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu soda/natrium karbonat) merupakan

alkali yang murah dan dapat menyabunkan asam lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan trigliserida (minyak atau lemak).

Ethanolamines merupakan golongan senyawa amin alkohol. Senyawa tersebut dapat digunakan untuk membuat sabun dari asam lemak. Sabun yang dihasilkan sangat mudah larut dalam air, mudah berbusa, dan mampu menurunkan kesadahan air.

Sabun yang terbuat dari ethanolamines dan minyak kelapa menunjukkan sifat mudah berbusa tetapi sabun tersebut lebih umum digunakan sebagai sabun industri dan deterjen, bukan sebagai sabun rumah tangga. Pencampuran alkali yang berbeda sering dilakukan oleh industri sabun dengan tujuan untuk mendapatkan sabun dengan keunggulan tertentu.


(31)

2.3 Bahan-Bahan Pendukung Pembuatan Sabun

Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses penyempurnaan sabun hasil saponifikasi (pengendapan sabun dan pengambilan gliserin) sampai sabun menjadi produk yang siap dipasarkan. Bahan-bahan tersebut adalah NaCl (garam) dan bahan-bahan aditif.

2.3.1 Garam (NaCl)

NaCl merupakan komponen kunci dalam proses pembuatan sabun. Kandungan NaCl pada produk akhir sangat kecil karena kandungan NaCl yang terlalu tinggi di dalam sabun dapat memperkeras struktur sabun. NaCl yang digunakan umumnya berbentuk air garam (brine) atau padatan (kristal). NaCl digunakan untuk memisahkan produk sabun dan gliserin. Gliserin tidak mengalami pengendapan dalam brine karena kelarutannya yang tinggi, sedangkan sabun akan mengendap. NaCl harus bebas dari besi, kalsium, dan magnesium agar diperoleh sabun yang berkualitas.

2.3.2 Bahan Aditif

Bahan aditif merupakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam sabun yang bertujuan untuk mempertinggi kualitas produk sabun sehingga menarik konsumen. Bahan-bahan aditif tersebut antara lain : builders, fillers inert, anti oksidan, pewarna, dan parfum.

a. Builders (Bahan Penguat)

Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut pada air, sehingga bahan - bahan lain yang berfungsi untuk mengikat lemak dan membasahi permukaan dapat berkonsentrasi pada fungsi utamanya. Builder juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Yang sering digunakan sebagai builder


(32)

adalah senyawa - senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat atau zeolit.

b. Fillers (Bahan Pengisi)

Bahan ini berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran bahan baku. Pemberian bahan ini berguna untuk memperbanyak atau memperbesar volume. Keberadaan bahan ini dalam campuran bahan baku sabun semata mata ditinjau dari aspek ekonomis. Pada umumnya, sebagai bahan pengisi sabun digunakan sodium sulfat. Bahan lain yang sering digunakan sebagai bahan pengisi, yaitu tetra sodium pyrophosphate dan sodium sitrat. Bahan pengisi ini berwarna putih, berbentuk bubuk, dan mudah larut dalam air.

c. Coloring Agent ( Zat Pewarna)

Bahan ini berfungsi untuk memberikan warna kepada sabun. Ini ditujukan agar memberikan efek yang menarik bagi konsumen untuk mencoba sabun ataupun membeli sabun dengan warna yang menarik. Biasanya warna warna sabun itu terdiri dari warna merah, putih, hijau maupun orange.

d. Fragrance (Bahan Pewangi)

Parfum termasuk bahan pendukung. Keberadaaan parfum memegang peranan besar dalam hal keterkaitan konsumen akan produk sabun. Artinya, walaupun secara kualitas sabun yang ditawarkan bagus, tetapi bila salah memberi parfum akan berakibat fatal dalam penjualannya. Parfum untuk sabun berbentuk cairan berwarna kekuning kuningan dengan berat jenis 0,9. Dalam perhitungan, berat parfum dalam gram (g) dapat dikonversikan ke mililiter. Sebagai patokan 1 g parfum = 1,1ml. Pada dasarnya, jenis parfum untuk sabun dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu parfum umum dan parfum ekslusif.

Parfum umum mempunyai aroma yang sudah dikenal umum di masyarakat seperti aroma mawar dan aroma kenanga. Pada umumnya, produsen sabun


(33)

menggunakan jenis parfum yang ekslusif. Artinya, aroma dari parfum tersebut sangat khas dan tidak ada produsen lain yang menggunakannya. Kekhasan parfum ekslusif ini diimbangi dengan harganya yang lebih mahal dari jenis parfum umum. Beberapa nama parfum yang digunakan dalam pembuatan sabun diantaranya bouquct deep water, alpine, dan spring flower. (Fitri, 2013)

e. Antioksidan

EDTA (ethylene diamine tetra acetate) ditambahkan dalam sabun untuk membentuk kompleks (pengkelat) ion besi yang mengkatalis proses degradasi oksidatif. Degradasi oksidatif akan memutuskan ikatan rangkap pada asam lemak membentuk rantai lebih pendek, aldehid dan keton yang berbau tidak enak. EDTA adalah reagen yang bagus, selain membentuk kelat dengan semua kation, kelat ini juga cukup stabil untuk metode titriametil. (Supena, 2007)

Bahan antioksidan pada sabun juga dapat menstabilkan sabun terutama pada bau tengik atau rancid. Natrium silikat, natrium hiposulfid, dan natrium tiosulfat diketahui dapat digunakan sebagai antioksidan. Stanous klorida juga merupakan antioksidan yang sangat kuat dan juga dapat memutihkan sabun atau sebagai bleaching agent. (Farid Kurnia, 2009)

2.4 Kadar Air

Keberadaan air dalam suatu produk sangat menentukan mutu produk tersebut tak terkecuali sabun padat. Splitz (1996) berpendapat kuantitas air yang terlalu banyak dalam sabun akan membuat sabun tersebut mudah menyusut dan tidak nyaman saat akan digunakan. Keberadaan air dan udara dapat memicu terjadinya oksidasi.

Kataren (1986) menjelaskan bahwa proses oksidasi dapat berlangsung apabila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dan minyak atau lemak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida. Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroksida menjadi aldehid dan keton serta


(34)

asam-asam lemak bebas. Senyawa aldehid dan keton yang dihasilkan dari lanjutan reaksi oksidasi ini memiliki sifat mudah menguap seperti alkohol .

2.5 Kadar Alkali Bebas (Dihitung Sebagai NaOH)

Sabun dihasilkan melalui reaksi safonifikasi antara asam lemak dalam minyak/ lemak dengan alkali/ basa. Sabun yang baik adalah sabun yang dihasilkan dari reaksi yang sempurna antara asam lemak dan alkali dan diharapkan tidak terdapat residu/ sisa setelah reaksi . Namun tidak selamanya reaksi yang diharapkan dapat berlangsung sempurna. Untuk itu diperlukan pengujian kadar alkali setelah beraksi karena dalam pembuatan sabun padat ini digunakan alkali berupa NaOH maka kadar alkali bebas dihitung sebagai NaOH.

Di dalam buku SNI (1994) dijelaskan bahwa alkali bebas ialah alkali dalam sabun yang tidak terikat sebagai senyawa. Kelebihan alkali dalam sabun mandi tidak boleh melebihi 0,1%. Kelebihan alkali pada sabun mandi dapat disebabkan jumlah alkali yang melebihi jumlah alkali yang digunakan untuk melakukan saponifikasi keseluruhan minyak menjadi sabun. Keberadaan alkali bebas yang berlebihan dapat membahayakan kulit.

2.6 Kadar Asam Lemak Bebas

Asam lemak bebas adalah bilangan yang menunjukkan banyaknya NaOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas didalam sabun. Maksudnya untuk menentukan kadar asam lemak bebas yang tidak bereaksi dengan alkali menjadi sabun. Penetapannya dilakukan dengan cara titrasi alkalimetri dengan larutan alkohol KOH sebagai penitarnya karena asam lemak dicari jumlahnya dimana jumlahnya ekivalen dengan asam dititar dengan alkali.


(35)

2.7 Bilangan Peroksida

Bilangan peroksida merupakan jumlah miliekivalen peroksida per 1000 gram sampel, yang dioksidasi kalium iodida.

Minyak atau lemak bersifat tidak larut dalam semua pelarut berair, tetapi larut dalam pelarut organik seperti misalnya : petroleum eter, dietil eter, alkohol panas, khloroform dan benzena. Dimana asam lemak rantai pendek sampai panjang rantai atom karbon sebanyak delapan bersifat larut dalam air. Makin panjang rantai sehingga akan terbentuk gugus karboksil yang tidak bermuatan. Kemudian dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut non-polar seperti petroleum. Asam lemak jenuh sangat stabil terhadap oksidasi, akan tetapi asam lemak tidak jenuh sangat mudah terserang oksidasi. Dimana lemak tidak dapat meleleh pada satu titik suhu, akan tetapi lemak akan menjadi lunak pada suatu interval suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lemak merupakan campuran gliserida dan masing-masing gliserida mempunyai titik cair sendiri-sendiri (Tranggono & Setiaji, 1989).

Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan pembentukkan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida. Menurut teori yang sampai kini masih dianut orang sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya disebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehid- aldehid, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak (Winarno, 1997)


(36)

Reaksi oksidasi bergantung pada banyak frekuensi reaksi dari lemak dalam bahan makanan. Ini biasanya terdiri oleh atmosfer oksigen, frekuensi yang sedikit oleh ozon, peroksida, logam dan agen oksidasi yang lain. Dalam penambahan untuk oksigen dan ozon, lemak dapat dirusak oleh pembentukan reaksi lain, seperti anion superoksida (O2) dan radikal (O2), radikal perhidrosilik (HO2), hidrogen peroksida dan

hidrosil radikal (HO). Asam peroksida diproduksi oleh autoxidasi dari aldehid, dan mungkin reaksi dengan molekul lain dari produk aldehid asam karboksilat.

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada lemak dan minyak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida dapat ditentukan dengan metode iodometri. Cara yang sering digunakan untuk menentukan bilangan peroksida, berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat. Penentuan peroksida ini kurang baik dengan cara iodometri biasa meskipun bereaksi sempurna dengan alkali iod. Hal ini disebabkan karena peroksida jenis lainnya hanya bereaksi sebagian. Di samping itu dapat terjadi kesalahan yang disebabkan oleh reaksi antara alkali iodida dengan oksigen dari udara (Ketaren, 1986).

Pada proses oksidasi ini akan dihasilkan sejumlah aldehid, asam bebas dan peroksida organik. Untuk mengetahui tingkat ketengikan dari minyak atau lemak, dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah peroksida yang telah terbentuk pada minyak atau lemak tersebut. Lemak tidak jenuh khususnya oleat ternyata lebih cepat tengik dibandingkan lemak jenuh. Lemak yang tengik menimbulkan rasa tidak enak, bahkan pada beberapa individu dapat menimbulkan keracunan ringan, dan dapat merusak zat-zat lain yang ada dalam makanan seperti karoten, vitamin A dan vitamin E. Kerusakan minyak dan lemak selain disebabkan oleh proses oksidasi dapat juga disebabkan oleh proses hidrolisa. Pada proses hidrolisa dihasilkan gliserida dari asam-asam lemak berantai pendek (C4-C12) sehingga akan terjadi perubahan rasa dan bau


(37)

Menurut Buckle et al. (1997) ada dua tipe kerusakan yang utama pada minyak dan lemak, yaitu :

a. Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau yang mudah menguap terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita-rasa yang tak diinginkan dalam lemak dan minyak produk-produk yang mengandung lemak dan minyak itu.

b. Hidrolisa minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena kegiatan enzim.

Menurut Soedarmo et al (1988), kerusakan karena proses hidrolisa terutama banyak terjadi pada minyak atau lemak yang mengandung asam lemak jenuh dalam jumlah cukup banyak seperti pada minyak kelapa yang mengandung asam laurat, sedangkan bau yang tengik ditimbulkan oleh asam lemak bebas yang terbentuk selama proses hidrolisa. Proses hidrolisa pada minyak atau lemak umumnya disebabkan oleh aktifitas enzim dan mikroba. Proses hidrolisa dapat dipercepat dengan kondisi kelembaban yang tinggi, kadar air tinggi serta temperatur tinggi. Proses hidrolisa pada minyak dan lemak akan menghasilkan ketengikan hidrolitik, dimana terjadi pembebasan asam-asam lemak yang mempengaruhi rasa dari minyak tersebut. Enzim yang dapat menimbulkan ketengikan hidrolitik adalah enzim lipase. Ketengikan pada minyak dan lemak nabati terjadi karena berkurangnya kandungan vitamin E (tocopherol) yang dapat berfungsi sebagai anti oksidan.

Lemak netral murni tidak berbau, tidak ada rasa, dan umumnya tidak berwarna. Warna dari lemak dan minyak alami adalah karena adanya pigmen-pigmen yang bercampur atau larut dalam lemak. Bila lemak dibiarkan dalam waktu yang lama kontak langsung dengan udara dan lembab, khususnya ada cahaya dan panas, akan terjadi perubahan menjadi tengik. Perubahan ini terjadi karena proses oksidasi dan


(38)

proses ini akan dipercepat dengan adanya logam-logam yang bersifat katalisator seperti Zn, Cu. (Soedarno & Girindra, 1988)

2.7.1 Titrasi Iodometri

Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2. I2 yang terbentuk secara kuantitatif dapat

dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka titrasi iodometri adalah dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali.

Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini disebabkan karena faktor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indikator yang dapat dipakai untuk iodide. Oleh sebab itu titrasi kembali merupakan proses titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodida.

Senyawaan iodida umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada larutan oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah equivalent dengan jumlah

oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2 dengan

larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan indikator


(39)

tepat hilang. Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut :

IO3- + 5 I- + 6H+ → 3I2 + H2O

I2 + 2S2O32-→ 2I- + S4O62-

Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan tepat

bereaksi dengan 6 mmol S2O32- (1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2 mmol S2O3

2-sehingga mmol IO3- ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol S2O32- Kita menitrasi

langsung antara tiosulfat dengan analit, alasannya adalah karena analit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi tiosulfat menjadi senyawaan yang bilangan oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat dan umumnya reaksi ini tidak stoikiometri. Alasan kedua adalah tiosulfat dapat membentuk ion kompleks dengan beberapa ion logam seperti Besi(II).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi Iodometri adalah sebagai berikut: Penambahan amilum sebaiknya dilakukan saat menjelang akhir titrasi, dimana hal ini ditandai dengan warna larutan menjadi kuning muda (dari oranye sampai coklat akibat terdapatnya I2 dalam jumlah banyak), alasannya

kompleks amilum- I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya maka banyak I2 yang akan

terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal titrasi, alasan kedua adalah biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat sehingga akan menghindari terjadinya hidrolisis amilum. Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodida oleh udara bebas. Pengocokan pada saat melakukan titrasi iodometri sangat diwajibkan untuk menghindari penumpukan tiosulfat pada area tertentu, penumpukkan konsentrasi tiosulfat dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi tiosulfat untuk menghasilkan belerang. Terbentuknya reaksi ini dapat diamati dengan adanya belerang dan larutan menjadi bersifat koloid (tampak keruh oleh kehadiran S).


(40)

Pastikan jumlah iodida yang ditambahkan adalah berlebih sehingga semua analit tereduksi dengan demikian titrasi akan menjadi akurat. Kelebihan iodida tidak akan mengganggu jalannya titrasi redoks akan tetapi jika titrasi tidak dilakukan dengan segera maka I- dapat teroksidasi oleh udara menjadi I2.

2.7.2 Natrium Tiosulfat

Larutan Natrium tiosulfat tidak stabil dalam waktu lama. Bakteri yang memakai belerang akhirnya masuk ke larutan itu, dan proses metaboliknya akan mengakibatkan pembentukan SO32-, SO42- dan belerang koloidal. Belerang ini akan menyebabkan

kekeruhan, bila timbul kekeruhan larutan harus dibuang. Biasanya air yang digunakan untuk menyiapkan larutan tiosulfat dididihkan agar steril, dan sering ditambahkan boraks atau natrium karbonat sebagai pengawet. Oksidasi tiosulfat oleh udara berlangsung lambat. Tetapi runutan tembaga sering kadang-kadang terdapat dalam air suling akan mengkatalisis oksidasi oleh udara. Tiosulfat diuraikan dalam larutan asam dengan membentuk belerang sebagai endapan mirip susu. (A.L. Underwood, 1986).

Larutan standard yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri adalah natrium tiosulfat. Lazimnya garam ini dibeli sebagai pentahidrat, Na2S2O3.5H2O.

Larutan tak boleh distandarisasikan berdasarkan penimbangan langsung, melainkan harus distandarisasikan terhadap standard primer.

S2O32- + 2H+→ H2S2O3 → H2S2O3 + S(s)

Tetapi reaksi lambat dan tak terjadi bila tiosulfat dititrasikan ke dalam larutan iod yang asam, jika larutan diaduk dengan baik. Reaksi antara iod dan tiosulfat jauh lebih cepat daripada reaksi penguraian.

Iod mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat : 4I2 + S2O32- + 5H2O → 8I- + 2SO42- + 10H+


(41)

Dalam larutan netral atau sedikit sekali basa, oksidasi menjadi sulfat itu tidak terjadi, jika digunakan iod sebagai titran. Banyak zat pengoksid kuat, seperti pereaksi dichromat, permanganat dan garam serium (IV), mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat, namun reaksinya tidak kuantitatif. (A.L. Underwood, 1986)

2.7.3 Kanji (Starch)

Larutan kanji mudah terurai oleh bakteri, suatu proses yang dapat dihambat dengan jalan sterilisasi atau dengan penambahan suatu zat pengawet. Hasil peruraiannya memakai iodium dan berubah menjadi kemerah-merahan. Merkurium (II) iodida, asam borat atau asam furoat dapat digunakan sebagai pengawet. Kondisi yang menimbulkan hidrolisis atau koagulasi kanji hendaklah dihindari. Kepekaan indikator berkurang dengan naiknya temperatur dan oleh beberapa zat organik, seperti metil dan etil alkohol.

Warna larutan iod 0,1 N cukup kuat sehingga iodium dapat bertindak sebagai indikator sendiri. Iodium juga memberikan warna ungu atau merah lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut seperti karbon tetraklorida atau kloroform, dan kadang-kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir reaksi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloid) kanji, dari warna biru tua kompleks pati-iodium berperan sebagai uji kepekaan terhadap pati-iodium.

Kepekaan lebih besar dalam larutan sedikit sekali asam daripada dalam larutan netral dan lebih adanya ion iodida. Mekanisme yang tepat dari pembentukan kompleks itu belum diketahui. Tetapi diduga bahwa molekul iodium diikat pada permukaan β -amilosa, suatu konstituen-konstituen kanji lain, α-amilosa, atau amilopektin, membentuk kompleks kemerahan dimana warna tidak mudah dihilangkan. Oleh karena itu, kanji yang mengandung amilopektin sebaiknya tak digunakan. Produk


(42)

2.8 Uji Organoleptik

Menurut Soekarto (1981), penilaian dengan indera disebut penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian dengan indera banyak digunakan untuk meneliti mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang – kadang penilaian ini dapat memberikan hasil penelitian yang teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif.

Sistem penelitian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilai dalam laboratorium, dunia usaha dan perdagangan. Laboratorium penilaian organoleptik pun telah menjadi umum di industri maupun di lembaga-lembaga penelitian. Penelitian organoleptik telah pula digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan. Untuk melaksanakan suatu penilaian organoleptik diperlukan panel. Panel adalah satu atau sekelompok orang yang bertugas untuk menilai sifat atau mutu benda berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Ada 6 macam panel yang biasa digunakan dalam penilaian organoleptik yaitu :

1. Pencicip perorangan (individual expert)

Pencicip perorangan disebut juga pencicip tradisional. Pencicip demikian telah lama digunakan dalam industri-industri makanan seperti pencicip teh, kopi, es krim atau penguji bau pada industri minyak wangi (parfum).

2. Panel pencicip terbatas

Untuk menghindari ketergantungan pada seorang pencicip perorangan maka beberapa industri menggunakan 3 – 5 orang penilai yang mempunyai kepekaan tinggi yang disebut panel pencicip terbatas. Biasanya panel ini diambil dari personel laboratorium yang sudah mempunyai pengalaman luas akan komoditi tertentu. Penggunaan panel pencicip terbatas dapat mengurangi faktor kecenderungan (bias) dalam menilai rasa suatu komoditi. Dalam mengambil keputusan dilakukan secara musyawarah diantara anggota.


(43)

3. Panel terlatih

Anggota panel terlatih yaitu antara 15 – 25 orang. Tingkat kepekaan yang diharapkan tidak perlu setinggi panel pencicip terbatas. Untuk menjadi anggota panel ini perlu diseleksi dan yang terpilih kemudian dilatih. Panel terlatih ini juga berfungsi sebagai alat analisa, dan pengujian-pengujian yang dilakukan biasanya terbatas pada kemampuan membedakan.

4. Panel tak terlatih

Jika panel terlatih biasanya untuk menguji pembedaan (different test), maka panel tak terlatih umumnya untuk menguji kesukaan (preference test). Pemilihan anggota dilakukan bukan terhadap kepekaan calon anggota tetapi pemilihan itu lebih mengutamakan segi sosial seperti latar belakang pendidikan, asal daerah ekonomi, dalam masyarakat dan sebagainya.

5. Panel konsumen

Panel ini biasanya mempunyai anggota yang besar jumlahnya dari 30 sampai 1000 orang. Pengujiannya biasanya mengenai uji kesukaan (preference test) dan dilakukan sebelum pengujian pasar. Hasil uji kesukaan dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu jenis komoditi dapat diterima oleh masyarakat.

6. Panel agak terlatih

Panel ini tidak dipilih menurut prosedur pemilihan panel terlatih, tetapi juga tidak diambil dari orang-orang awam yang tidak tahu menahu mengenai sifat-sifat sensorik dan penilaian organoleptik. Panelis dalam kategori ini mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang dinilai karena mendapat penjelasan atau sekedar latihan. Termasuk dalam kategori panel agak terlatih adalah sekelompok mahasiswa dan atau staf peneliti yang dijadikan panelis secara musiman atau hanya kadang-kadang. Panelis pada panel agak terlatih dipilih berdasarkan kepekaan dan keandalan penilaian. Jumlahnya berkisar antara 15 – 25 orang. Pengujian organoleptik dapat digolongkan dalam beberapa kelompok. Cara yang paling populer adalah kelompok pengujian pembedaan (different test) dan kelompok pengujian pemilihan (preference test). (Purnamawati, 2006)


(44)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

1. Oven (minimum 30oC, maksimum 400oC) Memmert

2. Tintometer Colorimeter Model F Scale Berkat Saintifindo (5.25 cell Lovibond)

3. Buret Automatic 10 ml skala 0.02 Isolab 4. Buret Automatic 25 ml skala 0.05 Isolab

5. Buret Manual 2 ml skala 0.05 Duran

6. Statif dan Klem

7. Erlenmeyer 150 ml dan 250 ml Pyrex

8. Gelas Beaker 250 ml dan 500 ml Iwaki

9. Hot Plate Stirrer Cimarec

10.Kertas Saring No.91 Whatman

11.Corong Pisah 500 ml Iwaki

12.Neraca Analitis Akurasi 0,0001 g Presica

13.Labu Ukur 1000 ml Iwaki

14.Iodine Flask 300 ml Iwaki

15.Spatula 16.Pipet Tetes 17.Magnetic Stirrer 18.Batu Didih

19.Dispensette 50 ml Brand

20.Desikator 21.Cawan Porselen

22.Gelas Ukur 50 ml Pyrex

23.Slicer (parutan)


(45)

25.Pipet Volum 1 ml dan 10 ml Iwaki 26.Timer

3.1.2 Bahan-bahan

1. Sabun Mandi Padat Soft Silk 150 g dan Sabun Cuci Padat Saba 230 g dari PT. Oleochem and Soap Industry

2. Akuades

3. Asam Sulfat (H2SO4) 95-97% p.a Merck

4. Alkohol 95%

5. Fenolftalein (C20H14O4) p.a Merck

6. Natrium Hidroksida (NaOH) p.a Merck

7. Natrium Karbonat (Na2CO3) p.a Merck

8. Kalium Hidrogen Ftalat (C8H5KO4) p.a Merck

9. Kalium Dikromat (K2Cr2O7) p.a Merck

10.Asam Asetat– Kloroform (CH3COOH – CHCl3 3:2, v/v) p.a Merck

11.Kalium Iodida (KI) p.a Merck

12.Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) p.a Merck

13.Amilum (C6H10O5)n p.a Merck

14.Asam Klorida (HCl) 35-37% p.a Merck

15.Metil Orange (C14H14N3NaO3S) p.a Merck

3.2 Prosedur Penelitian 3.2.1 Pembuatan Larutan a. Asam Sulfat (H2SO4) 0.1 N

Dimasukkan akuades 250 ml ke dalam labu ukur 1000 ml. Dipipet 2.75 ml larutan H2SO4, dituangkan perlahan melalui dinding labu ukur. Ditambahkan akuades secara

perlahan sampai garis tanda. b. Asam Sulfat (H2SO4) 30%

Dimasukkan akuades 500 ml ke dalam labu ukur 1000 ml. Dipipet 309,2 ml larutan H2SO4, dituangkan perlahan-lahan melalui dinding labu ukur. Ditambahkan akuades


(46)

c. Alkohol Netral 95%

Dimasukkan alkohol 300 ml ke dalam erlenmeyer 500 ml, ditambah larutan indikator Fenolftalein (PP) 0,5 ml dan dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah muda.

d. Fenolftalein (PP) 1%

Ditimbang 10 gr Fenolftalein (PP) dalam beaker glass 250 ml. Ditambahkan alkohol 100 ml, diaduk sampai larut. Dituangkan kedalam labu ukur 1000 ml, dibilas beaker glass dengan alkohol dan dituangkan ke dalam labu ukur, ditambahkan alkohol sampai garis tanda.

e. Natrium Hidroksida (NaOH) 0.1 N

Ditimbang 8 gr NaOH dalam beaker glass 400 ml. Ditambahkan akuades 200 ml, diaduk sampai larut. Dituangkan ke dalam labu ukur 2000 ml, di cuci beaker glass dengan akuades dan dituangkan ke dalam labu ukur, ditambahkan akuades sampai garis tanda.

f. Amilum 1%

Ditimbang 1 g amilum, dilarutkan dengan 50 ml akuades dingin. Dituangkan sedikit demi sedikit larutan kanji ke dalam beaker glass yang berisi 50 ml akuades panas sambil terus dipanaskan di hotplate.

g. Metil Orange (M.O) 0,1%

Ditimbang 1 g metil orange dalam gelas beaker 250 ml. Ditambahakan 100 ml akuades, diaduk sampai larut. Dituangkan ke dalam labu ukur 1000 ml, dibilas gelas beaker dengan akuades dan dituangkan ke dalam labu ukur, kemudian ditambahkan akuades sampai garis tanda.

h. Kalium Iodida (KI) 15%

Ditimbang 150 g Kalium Iodida kedalam gelas beaker 1000 ml. Dilarutkan dengan 500 ml akuades, diaduk sampai larut. Dituangkan ke dalam labu ukur 1000 ml, dibilas gelas beaker dengan akuades dan dituangkan kedalam labu ukur, kemudian ditambahkan akuades sampai garis tanda.

3.2.2 Standarisasi

a. Standarisasi Larutan Asam Sulfat (H2SO4) 0.1 N

Dengan menggunakan buret, dimasukkan 40 ml larutan H2SO4 dalam erlenmeyer 300


(47)

menggunakan larutan natrium hidroksida yang sudah distandarisasi dengan normalitas yang sama dengan larutan H2SO4 yang akan distandarisasi sampai muncul warna

merah jambu. Standarisasi dilakukan sebanyak tiga kali perulangan dan diambil rata-rata.

Perhitungan:

N =

Dimana: N = Normalitas H2SO4 (N)

V titrasi = Volume titrasi NaOH (ml)

N NaOH = Normalitas NaOH (N)

V H2SO4 = Volume H2SO4 (ml)

Referensi: AOCS Official Method H 13-52

b. Standarisasi Larutan Natrium Hidroksida (NaOH) 0.1 N

Ditimbang dengan teliti 0.1000 - 0.2000 g kalium hidrogen ftalat (KHP) ke dalam erlenmeyer 300 ml. Ditambahkan 50 ml akuades bebas CO2. Diaduk sampai kalium

hidrogen ftalat (KHP) larut. Ditambahkan beberapa tetes larutan indikator fenolftalein 1% dan dititrasi dengan larutan standard hingga mendapatkan warna merah jambu yang permanen. Standarisasi dilakukan sebanyak tiga kali perulangan dan diambil rata-rata.

Perhitungan: N =

Dimana: N = Normalitas NaOH (N) W = Berat KHP (g)

Vtitrasi = Volume titrasi NaOH (ml)

Referensi: AOCS Official Methods H 12-52

c. Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,01N

Ditimbang dengan teliti 0,016-0,022 g kalium dikromat ke dalam iodine flask 300 ml. dilarutkan dalam 2,5 ml akuades, ditambahkan 0,5 ml larutan HCl pekat, 2 ml larutan KI dan diaduk. Dibiarkan selama 5 menit dan kemudian ditambahkan 10 ml akuades. Kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat, diaduk terus menerus hingga


(48)

warna kuning hampir hilang. Ditambahkan 0,2 ml larutan indikator amilum 1% dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang.

Perhitungan:

N =

Dimana: N = Normalitas Na2S2O3 (N)

W = Berat kalium dikromat (g) V = Volume titrasi Na2S2O3 (ml)

Referensi: AOCS Official Methods Cd 1b-87

3.2.3 Pemisahan Fatty Acid dari Sabun Mandi dan Sabun Cuci Padat

a) Diparut sebanyak 25 g sabun mandi padat atau sabun cuci padat dengan menggunakan slicer (parutan).

b) Dilarutkan dengan 300 ml akuades di dalam gelas beaker 1000 ml. c) Ditambahkan 50 ml H2SO4 30%.

d) Dipanaskan sampai terbentuk 2 lapisan (lapisan atas fatty acid dan lapisan bawah pelarut), lalu dipisahkan dengan corong pisah dan dibilas dengan air panas sampai keasamannya hilang.

e) Lapisan atas (fatty acid) disaring ke dalam gelas beaker 250 ml, sehingga terbentuk fatty acid murni dan residu (impurities).

3.2.4 Penentuan Perubahan Warna

3.2.4.1 Preparasi sampel (Henkel Test Methods)

a) Ditimbang 10 g sampel dalam erlenmeyer 250 ml. b) Ditambahkan alkohol 20% dan dipanaskan hingga larut.

c) Dianalisa warna dengan menggunakan tintometer colorimeter model F.

3.2.4.2 Analisa Menggunakan Tintometer Colorimeter Model F (AOCS Cc 13e- 92)

a) Diisi sampel ke dalam tabung 5.25cell.


(49)

c) Sampel diamati melalui kamera penglihatan dan samakan warna sampel sebelah kiri dengan warna pembanding sebelah kanan.

d) Dicatat warna yang paling sesuai sebagai warna sampel.

3.2.5 Penentuan Kekuatan Parfum (Secara Organoleptik)

Uji organoleptik pada produk sabun dilakukan untuk mengetahui tingkat perbedaan terhadap kekuatan parfum pada sabun mandi dan sabun cuci padat. Uji ini menggunakan panelis terlatih sebanyak 15 orang dengan skala 1 – 4. Skala penilaian yang diberikan yaitu: 1 (tidak berkurang), 2 (sedikit berkurang), 3 (berkurang), dan 4 (sangat berkurang).

3.2.6 Penentuan Kadar Air (AOCS Official Methods, Da 2a – 48) a) Ditimbang 5 g sampel dalam cawan yang telah ditara (W 1) b) Cawan ditimbang berserta isinya (W2)

c) Dikeringkan sampel dalam oven pada 105° C selama 60 menit.

d) Dinginkan pada temperatur kamar dalam desikator kemudian ditimbang (W3) e) Perhitungan:

Kadar Air (%) = x 100%

Dimana :W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat cawan + berat sampel sebelum dikeringkan (g) W3 = Berat cawan + berat sampel sesudah dikeringkan (g)

3.2.7 Penentuan Kadar Alkali Bebas (AOCS Official Method Da 4a-48)

a) Ditimbang 5 g sabun dalam beaker glass 250 ml dan ditambahkan 150 ml alkohol yang telah dinetralisasi.

b) Dipanaskan sampai larut dan saring kedalam erlenmeyer 250 ml. c) Ditambahkan 0.5 ml larutan indikator fenolftalein 1%.

d) Dititrasi dengan larutan asam sulfat 0.1 N sampai warna merah menghilang. e) Perhitungan :


(50)

Dimana : V = Volume titrasi larutan H2SO4 (ml)

N = Normalitas larutan H2SO4 (N)

W = Berat sampel (g)

3.2.8 Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas (AOCS Official Methods Da 4a-48) a) Ditimbang 5 g sabun dalam beaker glass 250 ml dan ditambahkan 150 ml

alkohol yang telah dinetralisasi.

b) Dipanaskan sampai larut dan saring dalam erlenmeyer 250 ml. c) Ditambahkan 0.5 ml larutan indikator enolftalein 1%.

d) Dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai muncul warna merah. e) Perhitungan:

Kadar Asam Lemak Bebas (%) =

Dimana : V = Volume titrasi larutan NaOH (ml) N = Normalitas larutan NaOH (N) W = Berat sampel (g)

3.2.9 Penentuan Bilangan Peroksida (AOCS Official Methods Cd 8-53) 3.2.9.1 Preparasi Sampel

a) Sampel (fatty acid) dalam keadaan padat, dicairkan terlebih dahulu di atas hotplate.

b)Ditimbang asam lemak (fatty acid) dalam iodine flask yang kering dan bersih, dicatat beratnya. Digunakan perhitungan atau tabel 3.1 dibawah ini untuk menentukan berat sampel untuk bilangan peroksida yang diharapkan. Tabel 3.1 Berat Sampel Untuk Bilangan Peroksida yang Diharapakan

Bilangan Peroksida yang Diharapakan

Berat Sampel (g) 0 – 12 5.0 to 2.0 12 – 20 2.0 to 1.2 20 – 30 1.2 to 0.8 30 – 50 0.8 to 0.5 50 – 90 0.5 to 0.3


(51)

3.2.9.2 Prosedur Penentuan Bilangan Peroksida

a) Ditimbang dengan teliti 5.00 ± 0.05 g asam lemak (fatty acid) ke dalam iodine flask dan ditambahkan 30 ml larutan asam asetat kloroform 3:2. Diaduk untuk melarutkan sampel.

b) Ditambahkan 0.5 ml larutan KI jenuh dengan menggunakan pipet volum yang sesuai.

c) Dibiarkan larutan dan aduk selama 1 menit dan tambahkan 30 ml akuades. d) Dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.01 N dan diaduk dengan kocokan

konstan. Lanjutkan titrasi sampai warna iodin hampir hilang. Ditambahkan 2 ml larutan indikator amilum 1%, dan dititrasi kembali dengan pengadukan konstan sampai hampir mendekati titik akhir untuk membebaskan iodin dari larutan, ditambahkan beberapa tetes tiosulfat sampai warna biru hilang. Dicatat volume titrasi sampel dan hitung hasilnya.

e) Disiapkan blanko untuk setiap reagen harian. Volume titrasi blanko harus dilebihkan 0,1 ml larutan natrium tiosulfat 0,01 N.

f) Perhitungan: Peroxide Value (miliequivalents peroxide/1000 g sample) Bilangan Peroksida (meq/kg) =

Dimana : Vs = Volume titrasi sampel (ml) Vb = Volume titrasi blanko (ml)

N = Normalitas larutan natrium tiosulfat (N) W = Berat sampel (g)


(52)

3.3 Bagan Penelitian

3.3.1 Flow Chart Parameter Analisa Sabun Mandi dan Sabun Cuci Padat

Dilakukan analisa terhadap parameter berikut

Sabun Mandi dan Sabun Cuci Padat

Hasil

Kekuata n

Kadar Air

Kadar Alkali Bebas

Kadar Asam Lemak

Bilangan Peroksid Perubaha

n Warna

Hasil Hasil

Hasil Hasil


(53)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil

4.1.1 Hasil Analisa Perubahan Warna dari Sabun Mandi dan Sabun Cuci Padat Hasil analisa perubahan warna dari sabun mandi padat Soft silk 150 g dan sabun cuci padat Saba 230 g yang disimpan pada suhu 25-30oC (suhu kamar) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim) dapat dilihat pada tabel 4.1 dan tabel 4.2.

Tabel 4.1 Data perubahan warna dari sabun mandi padat Soft silk 150 g

Minggu

Penyimpanan Sabun pada (25-30)oC

Penyimpanan Sabun pada (45-50)oC

Warna Rata-rata

Warna Warna

Rata-rata Warna 0 0.3 Y / 0.1 R 0.3 Y / 0.1 R 0.3 Y / 0.1 R 0.3 Y / 0.1 R

0.3 Y / 0.1 R 0.3 Y / 0.1 R

1 0.3 Y / 0.1 R 0.3 Y / 0.1 R 0.3 Y / 0.1 R 0.3 Y / 0.1 R

0.3 Y / 0.1 R 0.3 Y / 0.1 R

2 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

3 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.5 Y / 0.2 R 0.5 Y / 0.2 R

0.4 Y / 0.1 R 0.5 Y / 0.2 R

4 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.6 Y / 0.2 R 0.6 Y / 0.2 R

0.4 Y / 0.1 R 0.6 Y / 0.2 R

5 0.5Y / 0.2 R 0.5Y / 0.2 R 0.7 Y / 0.3 R 0.7 Y / 0.3 R

0.5Y / 0.2 R 0.7 Y / 0.3 R

6 0.5 Y / 0.2 R 0.5Y / 0.2 R 0.9 Y / 0.3 R 0.9 Y / 0.3 R

0.5Y / 0.2 R 0.9 Y / 0.3 R

7 0.5 Y / 0.2 R 0.5Y / 0.2 R 1.0 Y / 0.3 R 1.0 Y / 0.3 R

0.5Y / 0.2 R 1.0 Y / 0.3 R

8 0.6 Y / 0.2 R 0.6 Y / 0.2 R 1.2 Y / 0.4 R 1.2 Y / 0.4 R


(54)

Tabel 4.2 Data perubahan warna dari sabun cuci padat Saba 230 g

Minggu

Penyimpanan Sabun pada (25-30)oC

Penyimpanan Sabun pada (45-50)oC

Warna Rata-rata

Warna Warna

Rata-rata Warna 0 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

1 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

2 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

3 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R

4 0.4 Y / 0.1 R 0.4 Y / 0.1 R 0.5 Y / 0.1 R 0.5 Y / 0.1 R

0.4 Y / 0.1 R 0.5 Y / 0.1 R

5 0.5 Y / 0.1 R 0.5 Y / 0.1 R 0.6 Y / 0.2 R 0.6 Y / 0.2 R

0.5 Y / 0.1 R 0.6 Y / 0.2 R

6 0.5 Y / 0.2 R 0.5 Y / 0.2 R 0.6 Y / 0.2 R 0.6 Y / 0.2 R

0.5 Y / 0.2 R 0.6 Y / 0.2 R

7 0.6 Y / 0.2 R 0.6 Y / 0.2 R 0.7 Y / 0.2 R 0.7 Y / 0.2 R

0.6 Y / 0.2 R 0.7 Y / 0.2 R

8 0.6 Y / 0.2 R 0.6 Y / 0.2 R 0.8 Y / 0.3 R 0.8 Y / 0.3 R

0.6 Y / 0.2 R 0.8 Y / 0.3 R

Keterangan: R = Red Y = Yellow

4.1.2 Hasil Analisa Kekuatan Parfum dari Sabun Mandi dan Sabun Cuci Padat Hasil analisa kekuatan parfum dari sabun mandi padat Soft silk 150 g dan sabun cuci padat Saba 230 g yang disimpan pada suhu 25-30oC (suhu kamar) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim) dapat dilihat pada tabel 4.3 dan tabel 4.4.

Kekuatan parfum dianalisa secara organoleptik. Uji ini menggunakan panelis terlatih sebanyak 15 orang dengan skala 1 – 4. Skala penilaian yang diberikan yaitu: 1 (tidak berkurang), 2 (sedikit berkurang), 3 (berkurang), dan 4 (sangat berkurang).


(55)

Tabel 4.3 Data kekuatan parfum dari sabun mandi padat Soft silk 150 g

Minggu Panelis

Penyimpanan Sabun Penyimpanan Sabun pada Suhu (25 - 30)oC pada Suhu (45 - 50)oC Nilai Jumlah

Nilai

Hasil

Nilai Nilai

Jumlah Nilai

Hasil Nilai

0 15 orang

1 15

1

1 15

1

2 0 2 0

3 0 3 0

4 0 4 0

1 15 orang

1 14

1

1 14

1

2 1 2 1

3 0 3 0

4 0 4 0

2 15 orang

1 13

1

1 11

1

2 2 2 4

3 0 3 0

4 0 4 0

3 15 orang

1 11

1

1 4

2

2 4 2 10

3 0 3 0

4 0 4 0

4 15 orang

1 10

1

1 7

2

2 5 2 8

3 0 3 0

4 0 4 0

5 15 orang

1 7

2

1 6

2

2 8 2 8

3 0 3 1

4 0 4 0

6 15 orang

1 6

2

1 5

2

2 9 2 8

3 0 3 2

4 0 4 0

7 15 orang

1 7

2

1 5

2

2 8 2 7

3 0 3 2

4 0 4 1

8 15 orang

1 7

2

1 5

2

2 8 2 6

3 0 3 2


(56)

Tabel 4.4 Data kekuatan parfum dari sabun cuci padat Saba 230 g

Minggu Panelis

Penyimpanan Sabun Penyimpanan Sabun pada Suhu (25 - 30)oC pada Suhu (45 - 50)oC Nilai Jumlah

Nilai

Hasil

Nilai Nilai

Jumlah Nilai

Hasil Nilai

0 15 orang

1 15

1

1 15

1

2 0 2 0

3 0 3 0

4 0 4 0

1 15 orang

1 15

1

1 13

1

2 0 2 2

3 0 3 0

4 0 4 0

2 15 orang

1 14

1

1 12

1

2 1 2 3

3 0 3 0

4 0 4 0

3 15 orang

1 13

1

1 8

1

2 2 2 7

3 0 3 0

4 0 4 0

4 15 orang

1 13

1

1 5

2

2 2 2 10

3 0 3 0

4 0 4 0

5 15 orang

1 12

1

1 5

2

2 3 2 10

3 0 3 0

4 0 4 0

6 15 orang

1 12

1

1 6

2

2 3 2 9

3 0 3 0

4 0 4 0

7 15 orang

1 6

2

1 7

2

2 9 2 8

3 0 3 0

4 0 4 0

8 15 orang

1 7

2

1 7

2

2 8 2 8

3 0 3 0


(57)

4.1.3 Hasil Analisa Kadar Air dari Sabun Mandi dan Sabun Cuci Padat

Hasil analisa kadar air dari sabun mandi padat Soft silk 150 g dan sabun cuci padat Saba 230 g yang disimpan pada suhu 25-30oC (suhu kamar) dan suhu 45-50oC (suhu ekstrim) dapat dilihat pada tabel 4.5 dan tabel 4.6.

Contoh penentuan kadar air dalam sabun

Diketahui berat sampel (W1) 5.0140 g, berat cawan+ sampel yang belum dikeringkan (W2) 59.4755 g dan berat cawan + sampel setelah dikeringkan (W3) 58.7780 g, maka:

Moisture and Voloatile Matter (%) = x 100%

Moisture and Voloatile Matter (%) = g x 100% = 13.9110 %

Tabel 4.5 Data kadar air dari sabun mandi padat Soft silk 150 g

Minggu

Penyimpanan Sabun pada (25-30)oC

Penyimpanan Sabun pada (45-50)oC

Kadar Air (%)

Rata-rata Kadar Air (%) Kadar Air (%) Rata-rata Kadar Air (%)

0 13.9110 13.8810 13.9110 13.8810

13.8492 13.8492

1 13.6820 13.6052 12.6810 12.5940

13.5284 12.5070

2 13.4240 13.3881 11.8045 11.7833

13.3522 11.7620

3 13.2930 13.2534 11.1582 11.1121

13.2138 11.0660

4 13.0641 12.9883 10.8420 10.8123

12.9125 10.7826

5 12.5570 12.5865 10.6240 10.6175

12.6160 10.6110

6 12.4010 12.4488 10.2230 10.1935

12.4966 10.1640

7 12.1640 12.1010 9.8720 9.8619

12.0380 9.8518

8 11.2510 11.4015 9.6820 9.7120


(1)

(2)

(3)

(4)

3.3.5 Flow Chart Penentuan Kadar Air

Ditimbang cawan berserta isinya (W2) Dikeringkan sampel dalam oven pada 105°C selama 60 menit.

Sampel didinginkan pada temperatur kamar dalam desikator.

Ditimbang cawan beserta isinya setelah dipanaskan (W3)


(5)

3.3.6 Flow Chart Penentuan Kadar Alkali Bebas (NaOH)

Ditambahkan 150 ml alkohol yang telah dinetralisasi.

Dipanaskan sampai larut dan saring dalam erlenmeyer. Ditambahkan 0.5 ml indikator phenolphthalein.

Dititrasi dengan asam sulfat 0.1 N sampai warna merah menghilang.

3.3.7 Flow Chart Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas

Ditambahkan Alkohol yang telah dinetralkan.

Dipanaskan sampai larut dan saring dalam erlenmeyer. Ditambahkan 0.5 ml indikator phenolphthalein.

Dititrasi dengan NaOH 0.1 N sampai muncul warna merah.

3.3.8 Flow Chart Pemisahan Fatty Acid dari Sabun Mandi dan Sabun Cuci Padat

Ditambahkan akuades 500 ml dan panaskan serta diaduk sampai larut.

Ditambahkan asam sulfat 30% 10 ml dan panaskan sampai minyak dan air terpisah sempurna.

Air dan minyak dipisahkan dengan menggunakan corong pisah, dan dibilas dengan air panas.

Hasil Hasil

5 g sampel

Hasil

5 gram sampel


(6)

Minyak yang terpisah dengan air menjadi sampel analisa bilangan peroksida.

3.3.9 Flow Chart Penentuan Bilangan Peroksida

Ditambahkan 30 ml acetic acid : chloroform 3:2 dan diaduk sampai sampel larut.

Ditambahkan 0.5 ml KI fresh dan diaduk 1 menit.

Ditambahkan akuades 30 ml dan dititrasi dengan sodium tiosulfat sampai warna kekuningan.

Ditambahkan indikator pati 2 ml dan dititrasi lagi dengan sodium tiosulfat 0.01 N sampai warna biru hilang.

5 gsampel

Hasil Sampel minyak


Dokumen yang terkait

Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas Pada Sabun Mandi Sediaan Padat Secara Titrimetri

57 250 49

Penetapan Kadar Alkali Bebas Pada Sabun Mandi Sediaan Padat Secara Titrimetri

76 499 48

Pengaruh Waktu Penyimpanan Inti Sawit Terhadap Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) Di PTPN III Sei Mangkei-Perdagangan

3 41 41

Pengaruh Lama Penyimpanan CPO Terhadap Kadar Asam Lemak Bebas Dan Kadar Air Pada Storage Tank Di PTPN III PKS Sei Mangkei Perdagangan

29 179 55

Pengaruh Suhu Dan Waktu Penyimpana Sabun Mandi Batang Kecantikan Dan Sabun Mandi Batang Kesehatan Terhadap Kadar Air, Kadar Alkali Bebas NaOH, Asam Lemak Bebas, Dan Kadar Garam NaCl

14 146 46

Pengaruh Waktu Penyimpanan Inti Sawit Terhadap Kadar Air Dan Kadar Asam Lemak Bebas (ALB)

4 68 48

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun - Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas Pada Sabun Mandi Sediaan Padat Secara Titrimetri

1 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun - Pengaruh Suhu Dan Waktu Penyimpanan Terhadap Perubahan Warna, Kekuatan Parfum, Kadar Air, Alkali Bebas, Asam Lemak Bebas, Dan Bilangan Peroksida Pada Sabun Mandi Dan Sabun Cuci Padat

0 1 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Suhu Dan Waktu Penyimpanan Terhadap Perubahan Warna, Kekuatan Parfum, Kadar Air, Alkali Bebas, Asam Lemak Bebas, Dan Bilangan Peroksida Pada Sabun Mandi Dan Sabun Cuci Padat

0 0 6

Pengaruh Suhu Dan Waktu Penyimpanan Terhadap Perubahan Warna, Kekuatan Parfum, Kadar Air, Alkali Bebas, Asam Lemak Bebas, Dan Bilangan Peroksida Pada Sabun Mandi Dan Sabun Cuci Padat

0 0 12