Peluang dan Tantangan Prospek Perbankan

Peluang dan Tantangan Prospek Perbankan 2014
Bank Indonesia (BI) menilai, meski pertumbuhan industri perbankan nasional
terus mengalami perbaikan, namun kontribusinya dalam pembangunan ekonomi
nasional masih sub-optimal alias belum memadai. Hal yang berlawanan itu terlihat pada
fakta bahwa rasio total aset industri perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB)
Indonesia pada September 2011 beberapa taun yang lalu lalu hanya sebesar 47,2%.Di
sisi lain, rasio penyaluran kredit terhadap PDB hanya 29%. Sebagai perbandingan,
rasio kredit terhadap PDB di Malaysia 114%, Thailand 117%, dan Cina 131%.Selain itu,
perspektif dari dunia usaha memberi gambaran yang sama, seperti hasil survei BI yang
menyebutkan bahwa pangsa kredit bank dari total pembiayaan perusahaan sangat
minim, yaitu untuk modal kerja (KMK) hanya 25% dan untuk investasi (KI) hanya 21%.
Sebaliknya, dana internal perusahaan (self financing) tersebut merupakan
sumber utama pembiayaan perusahaan, yaitu 61% untuk investasi dan 48% untuk
modal kerja.Tingginya aset industri perbankan yang belum seimbang dengan
peningkatan kontribusinya terhadap perekonomian nasional terjadi karena aset
perbankan yang dari perspektif makro tidak produktif, yaitu penempatan dalam
instrumen moneter dan surat berharga negara (SBN). Kepemilikan

bank

pada


SBN

adalah Rp 245,97 triliun, sementara dana bank pada instrumen moneter di SBI dan
term deposit Rp 415,48 triliun. Total penempatan ini mencapai 31,4% dari total kredit
yang mencapai Rp 2.106,2 triliun. Sekitar 60% dari penempatan dana bank di
instrumen moneter BI dikuasai oleh 10 bank besar. Itulah yang ditengarai bahwa
perbankan Indonesia masih belum efisien bekerjanya.Tingkat efisiensi industri
perbankan yang masih rendah juga memberi kontribusi terhadap penetapan suku
bunga kredit yang tinggi. Sebagai perbandingan, rasio BOPO perbankan di kawasan
ASEAN berada pada 40-60%.Jadi, meskipun fungsi intermediasi telah berjalan cukup
baik, namun ketidak efisienan perbankan melahirkan biaya ekonomi tinggi, yang secara
nyata tecermin pada tingginya suku bunga kredit modal kerja (KMK), kredit investasi
(KI), dan konsumsi (KK) yang masing-masing 12,09%, 11,66%, dan 13,4.Sebagai
perbandingan, di Malaysia dan Filipina, suku bunga acuan mereka 3% dan 4,5%.

Sementara suku bunga kredit banknya hanya 6,5% dan 5,7%. Dalam hal ini,
terdapat 13 bank Indonesia dinilai layak menjadi bank paling efisien dibandingkan
dengan bank-bank lain pada kategori masing-masing. Kategori itu adalah bank asing
dan campuran, bank umum swasta nasional, bank syariah dan bank pembangunan

daerah (BPD), serta bank umum atau bank BUMN. Ke-13 bank terdiri atas atas dua
bank BUMN, empat bank umum swasta nasional devisa, satu bank perkreditan rakyat
(BPR), dua bank campuran, tiga bank asing, dan satu bank umum swasta nasional
devisa syariah. Tahun ini, terjadi peningkatan jumlah bank yang masuk kategori bank
efisien. Tahun lalu, bank yang tergolong efisien hanya berjumlah tujuh.Selain itu,
sebaran bank yang masuk kategori efisien lebih merata yang mengindikasikan terjadi
peningkatan efisiensi dalam operasional pada hampir semua kategori bank.Dari
gambaran itu, yang perlu dicermati adalah konstruksi berpikir bahwa rasio kredit
terhadap PDB yang rendah dinilai sebagai kegagalan bank dalam menjalankan fungsi
intermediasinya. Pandangan ini boleh jadi tidak sepenuhnya benar, karena kalau dilihat
dari posisi loan to deposit ratio (LDR) yang berkisar 81%, maka rasio ini
menggambarkan penyaluran kredit cukup besar. Bahkan beberapa bank memiliki LDR
mendekati 100%.Negasi yang lain adalah bahwa yang memberikan kontribusi terhadap
PDB bukan hanya sektor perbankan saja, namun juga sektor keuangan non perbankan
seperti industri pasar modal, anjak piutang, leasing, asuransi dan modal ventura.
Untuk pasar modal, setiap tahun rata-rata 20 emiten baru mencatatkan
sahamnya di bursa efek dengan akumulasi nilai kapitalisasi pasar berkisar Rp 10–15
triliun. Bahkan untuk 2011, konon 25 emiten baru sudah melantai di bursa. Dengan
akumulasi dana publik puluhan triliun itulah perseroan-perseroan menjalankan roda
operasional usahanya.Negasi berikutnya adalah bahwa tidak sedikit pula korporasi

yang karena berbagai pertimbangan tidak menggunakan dana perbankan maupun
pasar modal sebagai sumber pendanaan, namun menggunakan dana miliknya sendiri
(self financing) untuk mengembangkan usahanya. Kalau pun mau menghitung volume
PDB, maka ini mencerminkan akumulasi perolehan nilai moneter yang dihitung dari
semua jenis transaksi perdagangan produk nasional dan internasional. Tentu
didalamnya merupakan kontribusi dari berbagai aspek dan sektor yang saling terkait.
Jadi tidak bisa dipilah-pilah sendiri-sendiri.

Tingginya nisbah kredit terhadap PDB di beberapa negara ASEAN di atas juga
disebabkan oleh regulasi setempat baik di bidang perbankan maupun non perbankan
yang memberikan sokongan nyata kepada perbankan untuk agresif menyalurkan kredit.
Jadi, jangan digeneralisasi kondisi regulasi di Indonesia sama dengan di negara-negara
ASEAN lainnya. Ambil contoh kasus di bidang pembiayaan infrastruktur. Selama ini
urusan pembebasan lahan untuk industri banyak menemui kendala sehingga kredit
tidak bisa tersalurkan dengan lancar. Hal yang sama boleh jadi tidak terjadi di negaranegara ASEAN. Lebih daripada sekadar pembelaan oleh kalangan perbankan, kalau
memang kontribusi perbankan dinilai belum optimal, lantas siapa yang harus
bertanggung jawab? Perbankannya? Pemerintahnya? Regulatornya? Atau, sektor
riilnya? Sebab, suka atau tidak suka, pemerintah, regulator atau otoritas perbankan
juga memiliki andil mengapa fungsi intermediasi perbankan dinilai tidak optimal dengan
mengacu kepada tolok ukur rasio kredit terhadap PDB saja? Soal suku bunga yang

dikatakan tinggi, jelas ini semua karena mekanisme pasar terkait dengan hukum
permintaan dan penawaran. Lagi-lagi perbandingannya dengan perbankan negaranegara ASEAN yang jumlah banknya jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah bank di
Indonesia yang 121 bank. Siapa pun tahu kalau banyak pemain, maka persaingan akan
ketat. Untuk memenangkan persaingan, penetapan suku bunga simpanan yang
kompetitif menjadi senjata utama bank. Celakanya, dalam menggali dana publik,
perbankan juga ”bersaing” secara langsung dengan pemerintah yang terus menerus
menerbitkan surat negara (SUN) utang dengan tingkat imbal hasil yang tinggi. Jadilah
produk tabungan dan deposito bersaing dengan SUN atau ORI. Belum lagi beberapa
kementerian dalam menempatkan dana di perbankan juga melakukan ”tender” di mana
dana akan ditempatkan di bank yang memberikan imbal hasil tertinggi. Jadi, mau
dengan cara bagaimana lagi bank-bank harus menurunkan suku bunga kalau faktanya
pasar selalu mendikte perbankan? Dikhawatirkan bank yang tidak efisien sekali pun
tetap akan menarik minat pemilik dana karena mereka dinilai mampu memberikan imbal
hasil atau bunga yang tinggi, padahal sejatinya bank ini tengah dalam kesulitan
likuiditas.

Jadi, sungguh kasihan bagi bank-bank yang sudah berusaha meningkatkan
efisiensi operasionalnya, lantas harus menurunkan bunga simpanan, namun kemudian
pemilik dana akan memindahkan dananya ke bank-bank pesaing yang berani
memberikan bunga simpanan sedikit lebih tinggi. Sekali lagi, inilah konsekuensi dari

mekanisme pasar dengan persaingan terbuka menjadi aturan mainnya. Lantas, apakah
tidak ada jalan keluar yang lain untuk menggerakkan penurunan suku bunga? Ada,
yakni bank menawarkan produk dan jasa perbankannya secara paket sehingga
penetapan pricing bisa menjadi lebih rendah. Model “value chain” atau “supply chain”
bisa terapkan di perbankan sehingga pricing menjadi jauh lebih kompetitif. Dengan cara
demikian, tercipta spirit “menang-menang” (mengambil salah satu pilar

”Tujuh

Kebiasaan Hebat” menurut Steven Covey) karena di satu sisi bank diuntungkan dan di
sisi lain para nasabah juga diuntungkan. Apalagi kalau bank mampu memberikan
layanan prima yang di atas standar rata-rata layanan perbankan, tentu nasabah akan
loyal kepada banknya. Di samping aspek tantangan nyata yang dihadapi perbankan
nasional terkait semakin muramnya wajah perekonomian dunia 2014 ini, maka prospek
dan peluang yang baik pun tersedia melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan

Ekonomi

Indonesia


(MP3EI).MP3EI

bisa

menjadi

faktor

kunci

menggenjot kredit karena kebutuhan pendanaan untuk sektor infrastruktur berskala
besar amat dinantikan. Bahkan pembiayaan perbankan akan semakin tersebar karena
pelaksanaan MP3EI dilakukan melalui enam koridor ekonomi dari Aceh hingga Papua.
Dengan demikian, pusat-pusat pertumbuhan dengan potensi investasi dan
industri unggulannya akan semakin memeratakan pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi
terkonsentrasi di Jawa. Yang pasti, perbaikan peringkat utang Indonesia menjadi
investment grade (BBB-) dan prospek stabil perbankan yang diberikan Fitch Rating
jangan sampai membuat industri perbankan terlena dalam menyalurkan kredit.Ramburambu penyaluran kredit yang bijak dan aman tetap harus diterapkan. Contoh, pada
saat krisis 2008 perekonomian Indonesia bagus, tetapi terjadi kelengahan terhadap

kondisi ekonomi global sehingga kepercayaan investor asing turun.

Belajar dari penanganan krisis moneter 1997/98 dan krisis ekonomi 2008 silam,
maka kalangan perbankan nasional tetap harus hati-hati, waspada dan terus memantau
perkembangan lingkungan global agar dapat melakukan langkah-langkah antisipasi
secara tepat dan efektif. Lebih baik lagi jika setiap bank menyiapkan protokol
manajemen krisis masing-masing untuk berjaga-jaga jika keadaan ke depannya
semakin memburuk. Sebagai contoh, ketika likuiditas valas sedang seret, sebaiknya
perbankan menghentikan sementara waktu pembiayaan valas dengan mengarahkan
debitur meminjam dalam rupiah. Pelambatan ekonomi masih akan membayangi kinerja
industri perbankan tahun depan. Pertumbuhan industri perbankan di tahun 2014
diperkirakan semakin lambat. Tahun depan, tantangan industri perbankan kian berat
lantaran likuiditas semakin ketat, sementara risiko kredit bermasalah meningkat.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan, pertumbuhan kredit perbankan tahun depan hanya
di kisaran 15,3%-16,6%. Angka ini jauh di bawah perkiraan pertumbuhan kredit tahun
2013 di kisaran 20,8%.Gubernur BI, Agus Martowardojo, mengatakan upaya stabilisasi
ekonomi yang diperkirakan masih akan berlangsung hingga 2014 menjadi alasan
penurunan angka pertumbuhan kredit perbankan. Pelambatan pertumbuhan penyaluran
kredit juga dipicu kenaikan suku bunga perbankan. Alih-alih agresif, bank akan bersikap
konservatif. Sebagian besar bank memilih mengerem laju pertumbuhan kredit dan

memasang target pertumbuhan sesuai proyeksi BI.
Mansuri, Direktur Keuangan Bank Mandiri, mengatakan rata-rata pertumbuhan
kredit tiga tahun terakhir mencapai 24%. Tahun 2014, sudah saatnya pertumbuhan
kredit melambat di kisaran 15%-17%. Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja
Setiaatmadja, mengatakan kredit sektor konsumer seperti kredit properti dan kredit
kendaraan bermotor pada tahun depan akan tersendat akibat kebijakan pengetatan
loan to value (LTV) yang dirilis BI. Selain kredit melambat, bank juga menghadapi dua
tantangan besar pada tahun depan. Direktur Bank Jabar Banten, Bien Subiantoro,
mengatakan likuiditas yang semakin ketat menjadi tantangan utama perbankan di tahun
depan. Banyak dana nasabah institusi keluar dari sistem perbankan lantaran dialihkan
untuk membeli surat utang negara (SUN) demi mendongkrak yield. Alhasil, likuiditas
semakin seret dan persaingan memperebutkan dana pihak ketiga (DPK) makin ketat.

Thila Nadason, Pjs Presiden Direktur Bank Internasional Indonesia (BII),
mengatakan likuiditas pada tahun depan semakin ketat lantaran langkah The Federal
Reserve melakukan tapering off. Alhasil, likuiditas akan kembali lari ke luar negeri.
Menurut Pahala, pengetatan likuiditas sudah terlihat dari pertumbuhan dana pihak
ketiga (DPK) yang melambat dua tahun terakhir. Sebagai gambaran, tahun 2011,
penghimpunan DPK industri perbankan masih tumbuh 19%. Tahun lalu DPK cuma naik
15%. Risiko kekeringan likuiditas makin meningkat sejak BI mengerek bunga acuan (BI

rate) Juni 2013 lalu. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan, pertumbuhan
DPK tahun depan hanya naik 14,1%. "Bank kecil paling terpukul efek kekeringan
likuiditas," kata Doddy Ariefianto, Head of Economic and Banking System Risk Division
LPS. Risiko NPL meningkat Karena itu, perang suku bunga simpanan masih akan
berlangsung hingga tahun depan. Bank akan berlomba menawarkan suku bunga
deposito setinggi-tingginya untuk menggaet dana nasabah. Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) Bidang Pengawas Perbankan, Nelson Tampubolon, mengakui
likuiditas perbankan menjadi persoalan potensial tahun depan. Ia khawatir, saat kondisi
ekonomi makro memburuk, bank saling menahan diri memberikan pinjaman di pasar
uang antarbank (PUAB).
Untuk mengantisipasi, BI meminta perbankan aktif bertransaksi di pasar
keuangan selain PUAB. BI juga menginisiasi mini master repurchase agreement (MRA)
yang melibatkan delapan bank. Proyek tersebut diharapkan memicu peningkatan
transaksi repo antarbank sehingga likuiditas perbankan lebih longgar. Meski begitu,
bankir harus menyiapkan strategi alternatif, seperti penerbitan obligasi untuk menjaga
likuiditas di 2014.Tantangan kedua yang tak kalah berat adalah risiko kenaikan kredit
bermasalah alias non-performing loan (NPL) akibat kenaikan suku bunga kredit dan
penurunan dana beli masyarakat. BI memperkirakan, NPL tahun depan bisa mencapai
2,8%-3,1%. Per Oktober 2013, NPL perbankan masih di level 1,9%. Mirza Adityaswara,
Deputi Gubernur Senior BI, meminta perbankan meningkatkan biaya pencadangan

alias provisi, mengantisipasi dampak kenaikan kredit bermasalah. Bank juga harus
meningkatkan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) untuk
memperkuat ketahanan permodalan saat ekonomi melemah.

Achmad Baequni, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI), mengakui
ada potensi kenaikan NPL tahun depan meski tidak besar. BRI telah mengantisipasi
dengan selektif menyalurkan kredit. "Bank harus mempelajari profil nasabah dan usaha
mereka serta mengelola penyaluran kredit untuk mengendalikan NPL," kata Parwati
Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP. Jadi, tahun depan bankir mesti lebih
berhati-hati. Sementara itu, Pengamat Ekonomi Aviliani yang juga Sekjen Komite
Ekonomi Nasional (KEN) memaparkan, tantangan dunia perbankan 2014, khususnya
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia tetap tahan banting terhadap krisis.
Bertolak pada krisis 2008 lalu, rupiah menyentuh angka Rp 12 ribu. Meski demikian,
waktu itu Indonesia dapat bertahan dan keluar dari krisis saat itu. Yang terjadi saat ini,
katanya, investasi terus menurun sementara rupiah melemah.”Itu dikarenakan barangbarang dan peralatan kita masih impor. Kebijakan Bank Indonesia sudah bagus, namun
efektifi tasnya masih kurang,” ujarnya. Menurutnya, yang harus diperbaiki adalah hal
fundamental. Mencontoh India, mata uang Rupee melemah, na mun mereka meiliki nilai
ekspor yang bagus. Demikian Prancis yang mempertahankan modenya, Jepang
mempertahankan dan fokus pada otomotif dan elektroniknya.”Jadi Indonesia impornya
harus dikurangi dan ekspornya diperbanyak Pelambatan ekonomi masih akan

membayangi kinerja industri perbankan tahun depan. Pertumbuhan industri perbankan
di tahun 2014 diperkirakan semakin lambat. Tahun depan, tantangan industri perbankan
kian berat lantaran likuiditas semakin ketat, sementara risiko kredit bermasalah
meningkat. Bank Indonesia (BI) memperkirakan, pertumbuhan kredit perbankan tahun
depan hanya di kisaran 15,3%-16,6%. Angka ini jauh di bawah perkiraan pertumbuhan
kredit tahun 2013 di kisaran 20,8%. Gubernur BI, Agus Martowardojo, mengatakan
upaya stabilisasi ekonomi yang diperkirakan masih akan berlangsung hingga 2014
menjadi alasan penurunan angka pertumbuhan kredit perbankan. Pelambatan
pertumbuhan penyaluran kredit juga dipicu kenaikan suku bunga perbankan.

Alih-alih agresif, bank akan bersikap konservatif. Sebagian besar bank memilih
mengerem laju pertumbuhan kredit dan memasang target pertumbuhan sesuai proyeksi

BI.Pahala N. Mansuri, Direktur Keuangan Bank Mandiri, mengatakan rata-rata
pertumbuhan kredit tiga tahun terakhir mencapai 24%. Tahun 2014, sudah saatnya
pertumbuhan kredit melambat di kisaran 15%-17%. Presiden Direktur Bank Central Asia
(BCA), Jahja Setiaatmadja, mengatakan kredit sektor konsumer seperti kredit properti
dan kredit kendaraan bermotor pada tahun depan akan tersendat akibat kebijakan
pengetatan loan to value (LTV) yang dirilis BI. Selain kredit melambat, bank juga
menghadapi dua tantangan besar pada tahun depan. Direktur Bank Jabar Banten, Bien
Subiantoro, mengatakan likuiditas yang semakin ketat menjadi tantangan utama
perbankan di tahun depan. Banyak dana nasabah institusi keluar dari sistem perbankan
lantaran dialihkan untuk membeli surat utang negara (SUN) demi mendongkrak yield.
Alhasil, likuiditas semakin seret dan persaingan memperebutkan dana pihak ketiga
(DPK) makin ketat.
Thila Nadason, Pjs Presiden Direktur Bank Internasional Indonesia (BII),
mengatakan likuiditas pada tahun depan semakin ketat lantaran langkah The Federal
Reserve melakukan tapering off. Alhasil, likuiditas akan kembali lari ke luar negeri.
Menurut Pahala, pengetatan likuiditas sudah terlihat dari pertumbuhan dana pihak
ketiga (DPK) yang melambat dua tahun terakhir. Sebagai gambaran, tahun 2011,
penghimpunan DPK industri perbankan masih tumbuh 19%. Tahun lalu DPK cuma naik
15%. Risiko kekeringan likuiditas makin meningkat sejak BI mengerek bunga acuan (BI
rate) Juni 2013 lalu. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan, pertumbuhan
DPK tahun depan hanya naik 14,1%. "Bank kecil paling terpukul efek kekeringan
likuiditas," kata Doddy Ariefianto, Head of Economic and Banking System Risk Division
LPS. Risiko NPL meningkat Karena itu, perang suku bunga simpanan masih akan
berlangsung hingga tahun depan. Bank akan berlomba menawarkan suku bunga
deposito setinggi-tingginya untuk menggaet dana nasabah. Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) Bidang Pengawas Perbankan, Nelson Tampubolon, mengakui
likuiditas perbankan menjadi persoalan potensial tahun depan. Ia khawatir, saat kondisi
ekonomi makro memburuk, bank saling menahan diri memberikan pinjaman di pasar
uang antarbank (PUAB).
Untuk mengantisipasi, BI meminta perbankan aktif bertransaksi di pasar
keuangan selain PUAB. BI juga menginisiasi mini master repurchase agreement (MRA)

yang melibatkan delapan bank. Proyek tersebut diharapkan memicu peningkatan
transaksi repo antarbank sehingga likuiditas perbankan lebih longgar. Meski begitu,
bankir harus menyiapkan strategi alternatif, seperti penerbitan obligasi untuk menjaga
likuiditas di 2014. Tantangan kedua yang tak kalah berat adalah risiko kenaikan kredit
bermasalah alias non-performing loan (NPL) akibat kenaikan suku bunga kredit dan
penurunan dana beli masyarakat. BI memperkirakan, NPL tahun depan bisa mencapai
2,8%-3,1%. Per Oktober 2013, NPL perbankan masih di level 1,9%. Mirza Adityaswara,
Deputi Gubernur Senior BI, meminta perbankan meningkatkan biaya pencadangan
alias provisi, mengantisipasi dampak kenaikan kredit bermasalah. Bank juga harus
meningkatkan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) untuk
memperkuat ketahanan permodalan saat ekonomi melemah.
Achmad Baequni, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI), mengakui
ada potensi kenaikan NPL tahun depan meski tidak besar. BRI telah mengantisipasi
dengan selektif menyalurkan kredit. "Bank harus mempelajari profil nasabah dan usaha
mereka serta mengelola penyaluran kredit untuk mengendalikan NPL," kata Parwati
Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP. Jadi, tahun depan bankir mesti lebih
berhati-hati. Ketatnya likuiditas yang terlihat dari melambatnya pertumbuhan Dana
Pihak Ketiga (DPK) dua tahun terakhir menjadi tantangan terbesar perbankan syariah
pada 2014. Risiko kekeringan likuiditas makin meningkat sejak BI mengerek bunga
acuan (BI Rate) pada Juni 2013. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan
pertumbuhan DPK di 2014 hanya naik 14,1 persen.Perbankan syariah dengan skalanya
yang relatif masih kecil serta jaringan outlet yang belum terlalu besar, tentu akan
menghadapi tingkat persaingan tidak berimbang dengan bank-bank konvensional yang
ukurannya besar.

Bank-bank besar, tentunya dengan kelebihan skalanya, akan lebih mudah
menarik DPK dibanding bank-bank syariah yang skalanya relatif kecil. Itulah kenapa
komposisi dana bank-bank besar relatif lebih baik dibanding perbankan syariah.

Komposisi dana murah bank-bank besar lebih baik dibanding perbankan syariah.
Kenaikan BI Rate hingga 7,5 persen akan mendorong perebutan dana, khususnya bagi
bank kecil, menjadi kian ketat. Implikasinya, biaya dana menjadi kian mahal, sehingga
berpotensi menaikan margin pembiayaan dan menahan laju pembiayaan. Di sisi lain,
sebagai bank yang relatif baru berkembang, ketentuan terkait dengan financing to
deposit ratio (FDR) sebesar 78 persen-100 persen menjadi batasan (constraint) bagi
perbankan syariah untuk melakukan ekspansi pembiayaan. Kebutuhan untuk
melakukan ekspansi pembiayaan di satu sisi, sedang di sisi lain menghadapi
keterbatasan dana (terutama dana murah) bisa menghambat laju pertumbuhan
perbankan syariah secara keseluruhan.Ketentuan FDR ini jelas memberatkan
perbankan syariah yang sedang berupaya meningkatkan pembiayaan. Sulitnya
memobilisasi dana, khususnya dana murah, dapat membuat mereka terpaksa menahan
laju ekspansi pembiayaannya. Sebab, bila laju pembiayaan tinggi tanpa diimbangi laju
pendanaan yang seimbang, akan mendorong posisi FDR mereka di atas 100 persen
dari DPK. Padahal, FDR yang melebihi 100 persen belum tentu mencerminkan bank
berpotensi mengalami masalah likuiditas. Bisa jadi, bank memang memiliki masalah
dengan DPK, tetapi bank terkait memiliki modal yang cukup sehingga likuiditas bank
tidak bermasalah.
“Saya mengusulkan agar BI atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu
mempertimbangkan rasio lain yang lebih fair sebagai ukuran likuiditas,” ujar Sunarsip,
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Senin (30/12). Misalnya, dengan
menggunakan financing to funding ratio (FFR) yang menggunakan total sumber
pendanaan (DPK plus modal) sebagai denominator. BI atau OJK juga dapat membuat
kebijakan F/LDR yang berbeda di antara kelas bank. Bank kecil dengan kemampuan
mobilisasi simpanan yang relatif lebih kecil, tentunya tidak fair bila harus dituntut
memenuhi ketentuan F/LDR yang sama dengan bank besar.
BI dapat membuat kebijakan F/LDR yang berbeda, misalnya berdasarkan
kelompok bank menurut besarnya modal mereka. Sektor Mikro Sekalipun kondisi
perekonomian 2014 tidak terlalu prospektif, perbankan syariah tetap memiliki peluang
untuk tumbuh lebih baik dibanding 2013. Pembiayaan sektor mikro menjadi salah satu

potensi bisnis untuk digarap selain pasar ritel dan konsumer yang selama ini telah
digarap. Pembiayaan mikro juga menjadi pilihan ekspansi pembiayaan yang lebih cocok
dengan situasi regulasi yang cenderung membatasi kegiatan ekspansi pembiayaan
(khususnya pembiayaan besar). Ini mengingat, skala pembiayaan mikro yang kecil
akan mampu diimbangi dengan pertumbuhan DPK perbankan syariah. Kesimpulannya,
sekalipun berat tantangan yang dihadapi perbankan syariah di 2014, peluang untuk
tumbuh tetap terbuka. Namun demikian, target mengejar pangsa pasar 5 persen dari
perbankan nasional, sepertinya masih akan tertunda di 2014. Tampaknya, perbankan
syariah tetap masih membutuhkan peran pemerintah dan otoritas perbankan untuk
mempercepat akselerasinya