Krisis Moneter 1997 1998 Sebab dan Dampa

Krisis Moneter 1997-1998: Sebab dan Dampaknya Terhadap
Perekonomian Indonesia
Oleh: Mulki Mulyadi
A. Latar Belakang Krisis Indonesia
Sejak awal berdirinya, Republik Indonesia sejatinya telah beberapa kali mengalami krisis
yang sempat mengguncang ekonomi nasional. Pada masa Orde Lama (1945-1965/66) terjadi
stagflasi1 akibat pendudukan Jepang, perang dunia kedua, perang revolusi dan akibat
buruknya manajemen ekonomi makro pada saat itu. Menjelang akhir periode Orde Lama
tingkat inflasi mencapai lebih dari 500 % (hyper inflasi) yang menyebabkan tingginya bahanbahan pokok seperti beras, terjadinya defisit neraca pembayaran keuangan pemerintah
sehingga kegiatan produksi pertanian dan industri terhenti. Selain itu krisis juga timbul
karena adanya sikap konfrontasi pemerintah terhadap kekuatan Barat yang menyebabkan
susahnya meminjam dana dari luar negeri, operasi terhadap Irian Barat, nasionalisasi
perusahaan Belanda tahun 1957-1958, serta instabilitas politik pada masa akhir kekuasaan
Presiden Soekarno (kasus PKI).2
Ekonomi Indonesia yang buruk tersebut kemudian diwarisi oleh rezim Orde Baru. Krisis ini
adalah krisis ekonomi pertama yang dialami oleh rezim Orde Baru. Warisan ekonomi Orde
Lama pada masa transisi ini diantaranya adalah besarnya defisit neraca perdagangan dan
utang luar negeri, tingkat inflasi yang tetap tinggi serta kebijakan pengawasan devisa yang
amat ketat menyebabkan pelarian modal besar-besaran ke luar negeri. Dalam menanggulangi
krisis ini, Orde Baru mengambil langkah-langkah untuk stabilisasi fiskal, moneter dan lalu
lintas devisa. Selain itu pemerintah juga melakukan program rehabilitasi infrastruktur dan

membangun hubungan baik dengan lembaga donor internasional.
Krisis kedua yang menimpa orde baru adalah krisis inflasi dengan rata-rata laju inflasi
pertahun adalah 20% selama tahun 1972-1980. Inflasi ini berfluktuasi dengan rata-rata 9%
pada dekade 1980an dan rata-rata 41% pada tahun 1974. Penyebab krisis inflasi ini
diantaranya adalah krisis pangan di dunia pada akhir 1972, jumlah uang yang beredar di
masyarakat terlalu banyak karena adanya oil boom yang meningkatkan pendapatan

1 Stagflasi adalah stagnasi kegiatan produksi atau kegiatan produksi yang sama sekali terhenti yang dibarengi
dengan tingkat inflasi yang tinggi, yang pada umumnya berada di kisaran tiga digit atau lebih.
2 Tulus Tambunan, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, h. 2

pemerintah serta ekspor besar-besaran. Selain itu devaluasi rupiah sebesar 50% yang terjadi
pada November 1978 hampir saja menimbulkan krisis ekonomi yang serius.
Begitu pula di tahun-tahun berikutnya yaitu antara tahun 1981 hingga 1995, pemerintah Orde
Baru tidak pernah sepi dari masalah ekonomi. Beberapa masalah yang terjadi diantaranya
adalah lemahnya permintaan minyak pada tahun 1981 dan berakhir pada jatuhnya harga
minyak yang meningkatkan hutang luar negeri antara tahun 1982-1986. Tahun 1984 terjadi
krisis perbankan akibat kurang baiknya manajemen bank, kurangnya modal serta kurangnya
pengawasan Bank Indonesia (BI) terhadap bank lokal. Selain itu masalah yang kembali

muncul dari tahun 1990 hingga 1995 adalah ketika mata uang Jepang menguat terhadap
dollar sehingga utang luar negeri Indonesia kepada Jepang meningkat yang disertai dengan
ancaman devaluasi rupiah akibat meningkatnya arus pembelian Dollar.3
Meskipun di dera masalah ekonomi yang berkepanjangan, secara garis besar pada
pertengahan dasawarsa 1990an Indonesia dianggap sebagai salah satu negara di Asia yang
tingkat pertumbuhan ekonominya dapat dikatakan memuaskan dan berpotensi besar untuk
terus tumbuh. Bersama negara-negara Asia lainnya seperti Thailand, Malaysia dan Korea
Selatan, Indonesia menjadi negara yang memukau para ekonom Bank Dunia dan IMF yang
mengira bahwa fundamental ekonomi negara-negara tersebut kuat. Pada saat itu dari sisi
indikator dasar terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat stabil dan dinamis
(sekitar 8-9 %). Utang luar negeri yang besar dapat dicicil dengan baik, tingkat inflasi masih
dalam kendali, investasi bertumbuh dan modal asing ramai-ramai masuk ke Indonesia,
cadangan devisa cukup dan defisit transaksi dari neraca pembayaran masih dapat diatur. 4
Maka sangat mengherankan ketika mata uang di Asia Tenggara terdepresiasi, Indonesia yang
dianggap memiliki ekonomi yang kuat justru kelimpungan menghadapi gempuran pasar atas
nilai rupiah yang terus merosot tajam dan bahkan mendapatkan dampak paling parah dari
krisis Asia tersebut.
B. Krisis dan Korupsi Orde Baru
Krisis yang terjadi di Asia Tenggara bermula dari krisis ekonomi yang terjadi di Thailand.
Penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi Thailand yang lamban sehingga para spekulan

menarik dukungan dana investasi di bursa saham Thailand pada 2 Juli 1997, selain itu juga
karena rapuhnya institusi perbankan Thailand. Bank sentral Thailand kemudian
3 Tulus Tambunan, h. 4-7
4 F. Harianto Santoso, “Kenapa Indonesia Kolaps?”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis:
1997-2002, Kompas, Jakarta, 2002, h. 3

mengambangkan mata uang baht sesuai dengan mekanisme pasar yang menyebabkan
turunnya nilai baht atas dollar. Akibatnya fatal dengan terjadinya efek domino (contagion
effect) di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pada tanggal 11 Juli 1996 pemerintah Filipina
terpaksa mengambangkan nilai peso, seminggu kemudian dollar Singapura anjlok hingga ke
angka 1,46 per dollar AS. Seminggu setelahnya lagi giliran Malaysia yang terkena imbas,
kurs ringgit terdepresiasi hingga 2,65. Ketika itu rupiah masih dijaga dan di devaluasi secara
periodik oleh BI dengan memperlebar sedikit rentang kendali rupiah dari delapan menjadi 12
persen dan stabil pada posisi Rp. 2.430 per Dollar AS, namun ketika mata uang lainnya sudah
tumbang BI ternyata tidak mampu lagi menahan gempuran pasar yang menghabiskan devisa
negara. Dengan alasan itu pada 14 Agustus 1997 BI akhirnya menghapus rentang kendali
rupiah dan nilainya diserahkan kepada mekanisme pasar, saat itu kurs rupiah sudah anjlok
menjadi Rp. 2.820.5
Paul Krugman yang dalam majalah The Economist menyebutkan salah satu faktor mengapa
ekonomi Indonesia terpuruk adalah adanya praktik yang disebut sebagai Crony Capitalism

dalam pemerintahan Orde Baru. Crony Capitalism adalah istilah yang mengacu pada adanya
“kongkalingkong” antara pebisnis dan pejabat pemerintah dalam mengatur perekonomian
Indonesia sehingga ekonomi Indonesia sepenuhnya dikendalikan sesuai dengan kepentingan
kedua belah pihak. Senada dengan itu, Fredy B.L Tobing dalam tulisannya tentang hubungan
antara relasi kekuasaan Soeharto dengan krisis yang terjadi di Indonesia, berargumen bahwa
krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru tidak terjadi dengan tiba-tiba
namun sebagai imbas dari berbagai kebijakan politik dan ekonomi rezim Orde Baru yang
sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme sebelum dan ketika krisis terjadi.
Praktik Crony Capitalism terlihat dari bagaimana Presiden Soeharto sangat mengandalkan
orang-orang kepercayaannya dalam membuat kebijakan negara serta mengelola ekonomi dan
sumber daya alam Indonesia. Dalam hal ini Tobing menjelaskan bahwa Presiden Soeharto
membiarkan timbulnya beberapa kelompok dalam pemerintahannya. Kelompok-kelompok
tersebut adalah kelompok militer dan kelompok sipil yang diwakili oleh para teknokrat
lulusan luar negeri, kelompok teknokrat ini kemudian terpecah lagi menjadi dua yaitu
kelompok teknokrat ekonom yang diwakili oleh Widjojo Nitisastro dan kelompok teknokrat
teknolog yang diwakili oleh Habibie dan kawan-kawan. Presiden Soeharto sendiri
menciptakan mekanisme birokrasi yang menempatkan militer pada pos-pos penting dalam
5 F. Harianto Santoso, “Kenapa Indonesia Kolaps?”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis:
1997-2002, h. 3


pemerintahan, selain itu Soeharto juga memainkan suatu oligarki kekuasaan yang hanya
sekelompok kecil elit yang dapat masuk ke lingkaran tengah. Kedua kelompok teknokrat
tersebut kemudian menjadi bagian dari elit kecil di lingkaran kekuasaan Soeharto yang
memberikan saran dan nasehat dan keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden. 6 Faktor
lainnya adalah kesalahan manajemen dalam ekonomi makro dan bobroknya manajemen
perbankan yang didiamkan oleh pemerintah. Situasi ini kemudian diperburuk lagi dengan
campur tangan IMF dalam pengelolaan ekonomi negara yang sudah amburadul.7
Dalam bidang politik, Presiden Soeharto pada awal berkuasanya (1965-1970) berfokus untuk
melakukan konsolidasi serta mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya dari rakyat, karena
itu pemilu yang semula direncanakan pada tahun 1968 diundur menjadi tahun 1971.
Kemudian setelah memenangi pemilu Soeharto mulai melakukan kebijakan-kebijakan yang
bertujuan untuk memperkuat posisi militer dalam pemerintahan dan membungkam gerakan
oposisi yang berpotensi membahayakan posisi rezim. 8 ABRI dengan dukungan Presiden
perlahan-lahan menguasai posisi-posisi penting dalam pemerintahan yang seharusnya
menjadi tempat bagi kalangan sipil. Bahkan, Presiden Soeharto sendiri yang mengawasi
penempatan para perwira ABRI dalam jabatan sipil. Pengaruh kekuatan politik ABRI yang
berlandaskan doktrin dwi fungsi menegaskan bahwa ABRI berhak untuk terjun dalam
kehidupan politik di Indonesia. Karena itu sejak kudeta 1965 atas nama keamanan nasional
ABRI telah melakukan intervensi di semua aspek sosial, politik dan ekonomi.9
Kemudian dengan dukungan kuat angkatan darat (ABRI), semua aksi protes massa segera

diberangus oleh pemerintah (seperti pada tragedi Malari 1974). Kemudian dalam sekejap
Soeharto berhasil mengontrol DPR dan MPR dengan memposisikan kedua lembaga tinggi itu
langsung di bawah pengawasannya. Dengan undang-undang baru, Soeharto mempunyai hak
untuk menunjuk seperlima dari anggota DPR dan tiga perlima anggota MPR. Karena itu
lengkap sudah dominasi rezim Orde Baru dengan melanggar konstitusi UUD 1945 tentang
hak perwakilan rakyat.10

6 Fredy B.L Tobing, Praktik Relasi Kekuasaan: Soeharto dan Krisis Ekonomi 1997-1998, Kompas, Jakarta,
2013, h. 79
7 Shalendra D. Sharma, “The Indonesian Financial Crisis: From Banking Crisis to Financial Sector Reforms
(1997-200)”, Indonesia, No. 71, April 2001, Southeast Asia Program Publication at Cornell University
8 Zainuddin Djafar, Soeharto: Mengapa Kekuasaannya Dapat Bertahan Selama 32 Tahun?, FISIP UI Press,
Depok, 2005, h. 39-45
9 Zainuddin Djafar, h. 50-51
10 David Bourchier & Vedi R. Hadiz (ed), Indonesia Politics and Society: A Reader, Routledgecurzon, London,
2003, h. 97

Pada tahun 1973 Presiden Soeharto membatasi partai politik menjadi tiga yang mewakili tiga
ideologi yang berbeda yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Meski telah mengizinkan adanya dua
partai oposisi, gerakan politik oposisi tetap saja mendapatkan pengawasan yang ketat dari

pemerintah. Pergerakan politik yang paling diawasi dalam sejarah Orde Baru salah satunya
adalah sepak terjang partai politik Islam. Zainuddin Djafar mengemukakan bahwa sejak lama
Soeharto dengan para Inner Circle nya sudah mencurigai aktivitas para pendakwah Islam dan
Partai Islam sebagai ancaman politik bagi Orde Baru karena kuatnya organisasi kultural
seperti NU dan Muhammadiyah dalam masyarakat karena dalam pemilu 1971 Partai Islam
masih mampu mendapatkan 30-40% suara dari rakyat yang hampir sama dengan perolehan
pada pemilu 1955. Salah satu strategi untuk melemahkan pergerakan politik Islam adalah
dengan memaksa PPP mengubah ideologi Islam menjadi ideologi Pancasila serta melarang
kampanye dengan menggunakan lambang Ka’bah yang menghilangkan identitas PPP sebagai
partai Islam. Imbasnya PPP semakin kehilangan reputasi di kalangan masyarakat apalagi
dengan dicabutnya dukungan dari NU maka posisi PPP dalam pemerintahan semakin
terpuruk.11
Dalam bidang ekonomi, Orde Baru mengadakan perbaikan hubungan politik dengan negaranegara Barat serta memperlihatkan kesungguhan untuk melakukan rekonstruksi dan
pembangunan ekonomi sehingga penanaman modal asing dan bantuan luar negeri setiap
tahun terus meningkat. Karena itu terjadi perubahan haluan ekonomi Indonesia secara
menyeluruh. Meskipun secara resmi undang-undang ekonomi Indonesia berlandaskan prinsip
kebersamaan atau koperasi, ekonomi Indonesia yang pada masa Orde Lama tadinya
cenderung beraliran sosialis kemudian berubah kearah semi-kapitalis yang memihak ke Barat
dan modal asing. Perubahan drastis ini meliputi sistem, pola perkembangan maupun hasilnya.
Perlahan Rezim Orde Baru menjadikan Indonesia sebagai negara yang selalu bertumpu pada

hutang luar negeri (Aid Oriented Policies) yang berbeda dengan kebijakan Orde Lama yang
lebih menekankan Independence Oriented Policies.12 Hasil kongkrit dari dari kebijakan Aid
Oriented Policies adalah masuknya aliran dana dari sejumlah negara-negara maju yang
mendukung pembangunan ekonomi Indonesia yang kemudian membidangi terbentuknya
suatu kelompok konsorsium yang bernama Inter-Government Group On Indonesia yang
disingkat sebagai IGGI (kemudian berubah menjadi CGI pada tahun 1992). Konsorsium ini
bertujuan untuk membiayai pembangunan ekonomi Indonesia. 13 Nilai bantuan internasional
11 Zainuddin Djafar, h. 63-64
12 Fredy B.L Tobing, h. 3
13 Tulus Tambunan, h. 4

dari IGGI (1989-1992) berkisar 4.2-4.7 juta dollar per-tahun sedangkan CGI mulai tahun
1992 hingga 1997 mengucurkan bantuan senilai 4.9 hingga 5.2 juta dollar AS per-tahun.14
Ketersediaan dana luar negeri untuk menunjang program-program pembangunan nasional
tersebut sayangnya tidak diimbangi dengan manajemen pengelolaan ekonomi yang baik dan
menyebabkan maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam rezim Orde
Baru. Hal ini muncul setelah Soeharto berhasil melenyapkan oposisi serta menerapkan
sentralisasi kekuasaan yang berpusat pada dirinya dan elit-elit politik disekitar presiden
utamanya militer. Demi membangun pusat-pusat bisnis penguasa dan bisnis kelompok
militer, rezim Orde Baru melakukan kontrol ketat terhadap sumber daya ekonomi yang

dimaksudkan untuk menjaga loyalitas militer dan birokrasi kepada Presiden. Struktur politik
yang diterapkan pada masa Orde Baru dapat disebut sebagai otokrasi birokratik (bureaucratic
authoritarian) yang bertentangan dengan demokrasi sebab penguasa menjadikan birokrasi
sebagai alat untuk melaksanakan pemerintahan secara sewenang-wenang. Maka, tidak heran
ketika akhirnya krisis moneter melanda Indonesia, banyak kalangan langsung menuding
sebab utama dari terjadinya krisis adalah kegagalan kebijakan ekonomi Orde Baru yang sarat
dengan KKN dan bahwa sesungguhnya fundamental ekonomi Indonesia sangat rapuh
sehingga krisis ekonomi menjadi berkepanjangan.15
C. Usaha Awal Menghalau Krisis
Dalam upaya menanggulangi krisis moneter, pemerintah melakukan berbagai langkahlangkah utamanya untuk mengurangi laju inflasi yang diperkirakan akan mencapai 80 persen
pada akhir tahun 1998. Diantara langkah-langkah tersebut adalah dengan mengeluarkan
kebijaksanaan pengetatan moneter, kebijaksanaan penentuan kurs dan pengawasan devisa,
Dalam melaksanakan pengetatan moneter pada April 1997, beberapa bulan sebelum krisis
terjadi, pemerintah sudah mulai melakukan pengetatan namun masih dalam tahap
meningkatkan rasio wajib minimum dari 3 persen menjadi 5 persen. Setelah krisis terjadi
pemerintah Orde Baru mulai mengurangi kemampuan bank komersial untuk menciptakan
kredit melalui peningkatan rasio cadangan minimum, pembatasan akses pinjaman luar negeri,
penghentian pemberian Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), peningkatan suku bunga, serta
mulai mengadakan intervensi terhadap pasar valas dengan melebarkan bahkan menghapus
rentang kendali rupiah.

14 Zaim Saidi, Soeharto Menjaring Matahari: Tarik Ulur Reformasi Ekonomi Orde Baru pasca 1980, Mizan,
Bandung, 1998, h. 20
15 Fredy B.L Tobing, h. 23

Efek dari pengetatan moneter ini adalah terjadinya pelambatan pada roda perekonomian
nasional khususnya dunia usaha yang semakin sulit untuk bergerak akibat mahalnya bahan
baku serta biaya kredit yang menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pemerintah
mulai mengeluarkan kebijakan antisipasi diantaranya adalah pelonggaran likuiditas dan
penurunan suku bunga secara bertahap sesuai dengan perkembangan keadaan. Bahkan
pemerintah juga menaikkan suku bunga SBI untuk semua jangka waktu antara 2 sampai 23
persen, kecuali dalam jangka waktu 1 hari tetap sebesar 40 persen. Kenaikan suku bunga SBI
berimbas pada kenaikan suku bunga dana antar bank dan deposito. 16 Secara khusus tabel
kebijakan moneter penting pemerintah dari April 1997 hingga Maret 1998 akan di tampilkan
di bawah ini:
Periode
April
Juli

-


Kebijakan
Peningkatan rasio wajib minimum dari 3% ke 5%
Pembatasan pemberian kredit oleh bank umum untuk pembelian atau
pengolahan tanah, kecuali untuk proyek rumah sederhana (RS) dan sangat

Agustus

-

sederhana (RSS)
Pelebaran batas ambang intervensi kurs dari Rp. 192 menjadi Rp. 304
Melakukan intervensi penjualan pada pasar valas sebesar 1,02 miliar

-

Dollar AS
4 kali menaikkan tingkat suku bunga SBI dari 7% menjadi 30 %
Melakukan intervensi penjualan pada transaksi spot di pasar valas sebesar

-

500 juta dollar AS
Mengeluarkan instruksi kepada BUMN untuk mengkonversikan deposito

-

mereka dalam bentuk SBI
Mematok transaksi swap valuta yang tidak ada kaitannya dengan eksporimpor serta investasi, dengan pihak asing sebanyak 5 juta dollar AS per

Oktober

Maret

-

nasabah.
Dua kali intervensi di pasar valas sebesar 300 juta dollar AS
Kembali Intervensi di pasar valas sebanyak 100 juta dollar AS melalui

-

pelaku pasar lokal dan para pialang.
Menetapkan tingkat suku bunga bank komersial 150% di atas tingkat suku

bungan SBI
- Menaikkan suku bunga SBI 2% sampai 23 %
Ternyata kebijakan pemerintah dalam mengetatkan sistem moneter pada masa krisis belum
mampu menanggulangi imbas krisis yang terjadi sebab kebijakan tersebut menuai reaksi
negatif dari mayarakat yakni dengan indikasi semakin naiknya permintaan terhadap dollar.
Sebabnya adalah tidak adanya kepercayaan dari masyarakat dan para pelaku usaha baik di
16 Tulus Tambunan, h. 140

dalam maupun di luar negeri terhadap pemerintah Orde Baru. 17 Rupiah pun semakin
terdepresiasi. Awal dicabutnya rentang kendali rupiah oleh BI pada 14 Agustus saja telah
memerosotkan Rupiah ke angka Rp. 2.820, dua bulan kemudian pada awal Oktober dollar
makin naik ke angka Rp. 3.400 sehingga ketika pemerintah terpaksa meminta bantuan dana
dari IMF pada Oktober 1997, kurs dollar sudah tembus angka Rp. 3.660 yang kembali
menguat sedikit di angka Rp. 3.630.18
Kebijakan kedua pemerintah dalam menanggulangi krisis moneter adalah dengan penentuan
kurs dan pengawasan devisa. Pada awalnya pemerintah Indonesia menganut sistem
penentuan kurs bebas terkendali (managed floating) dan sistem devisa bebas yang berarti
keluar masuk modal tidak dibatasi. Pada awal krisis pemerintah masih mempertahankan
sistem penentuan kurs namun ketika rupiah semakin melemah pemerintah akhirnya
melepaskan intervensi atas rupiah sepenuhnya. Sejak itu sistem yang berlaku di Indonesia
adalah mengambang (floating) sepenuhnya sehingga kurs rupiah bergerak bebas atas dollar.
Alasannya adalah karena cadangan devisa BI dalam bentuk dollar semakin menipis
sementara rupiah semakin melemah atas dollar. Kurangnya dollar akan mengancam
kelanjutan impor Indonesia untuk bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat dan untuk
kebutuhan produksi dalam negeri.19
Dalam pengambilan keputusan, pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab mengatasi
krisis ternyata tidak cepat dan tanggap dalam mengambil keputusan karena harus melewati
serangkaian prosedur yang panjang. Hal ini terlihat ketika pada awal terjadinya depresiasi
rupiah, dewan moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan dan beranggotakan beberapa
menteri serta direksi Bank Indonesia harus mengadakan rapat-rapat yang membahas tentang
bagaimana solusi ekonomi Indonesia. Forum kemudian menghasilkan rekomendasi yang
seterusnya dilaporkan kepada Presiden. Pembahasan pertama dari rapat-rapat itu adalah
tentang opsi-opsi antara mengembangkan nilai rupiah secara bebas ataukah memperlebar
batas atas dan bawah kurs rupiah. Menteri Keuangan kemudian menjelaskan opsi-opsi
tersebut kepada Presiden yang akhirnya memilih opsi mengambangkan nilai rupiah secara
bebas. Keputusan tersebut ternyata malah menambah kepanikan para pelaku usaha dan
berimbas buruk pada sektor swasta termasuk mengenai ketidak-jelasan jumlah hutang
korporasi.20
17 Tulus Tambunan, h. 142
18 B.E. Julianery, “Rupiah Jatuh Bebas”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, h. 6
19 Tulus Tambunan, h. 156
20 Fredy B.L Tobing, h. 89

Perlu diketahui bahwa utang luar negeri Indonesia yang berasal dari swasta pada tahun 1997
mendominasi hutang luar negeri dengan presentase 58 persen dari keseluruhan utang
Indonesia sedangkan hutang pemerintah hanya sekitar 40 persen saja, 21 sehingga perusahaan
swasta kesulitan dalam membayar hutang yang naik seiring jatuhnya rupiah. Anggapan para
pelaku usaha bahwa pemerintah akan membantu mereka dalam kesusahan terbantahkan
dengan pemerintah yang memilih menjaga devisa negara daripada menyelamatkan pengusaha
yang tidak antisipatif dengan perubahan nilai kurs yang tiba-tiba itu. Imbasnya adalah
kepanikan massal masyarakat yang khawatir nilai rupiah yang mereka punyai semakin
merosot nilainya sehingga naiknya permintaan dollar menyebabkan nilainya meledak tak
terkendali.22
D. Masuknya International Monetary Fund (IMF)
Keterlibatan IMF di Indonesia sejatinya sudah terjadi sejak awal terbentuknya Orde Baru.
Dengan masuknya ekonomi Indonesia sebagai negara dengan orientasi bantuan luar negeri
(Aid Oriented Policies) , peran IMF dan Bank Dunia sebagai lembaga donor Internasional
telah ikut berkontribusi dalam memenuhi pundi-pundi pinjaman luar negeri Indonesia.
Sayangnya pinjaman luar negeri yang dimaksudkan sebagai pendamping pembiayaan
pembangunan di samping devisa tersebut ternyata lambat laut menjadi sumber penerimaan
utama Indonesia, sehingga Indonesia tidak kunjung mampu melepaskan diri dari hutang luar
negeri. Kenyataan tersebut terlihat dari keputusan pemerintah yang segera menggandeng IMF
ketika krisis semakin memburuk.
Lembaga IMF diibaratkan sebagai dokter bedah dengan seperangkat alat untuk membedah
lokasi penyakit sedangkan Indonesia ibarat orang sakit yang sudah berulang kali berobat
kesana kemari namun tak kunjung sembuh dan akhirnya memilih melakukan operasi.
Hadirnya IMF sebagai solusi pendanaan pemerintah Orde Baru ketika itu karena memang
Indonesia telah menjadi anggota IMF sejak tahun 1967 yang dengannya dapat dimanfaatkan
untuk mengembalikan kepercayaan dunia internasional, terlebih lagi IMF mempunyai
anggota sebanyak 183 negara, jumlah yang signifikan untuk menarik kembali para investor.
Indonesia yang tengah sakit keras memang membutuhkan dokter dengan obat yang mujarab.
Kurs rupiah yang makin jatuh telah membuat Presiden Soeharto akhirnya mengutus menteri
keuangan Mar’ie Muhammad untuk berunding dengan pihak IMF. Surat kesediaan
21 Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, h. 22-23
22 Boediono, Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah, Mizan, Bandung, 2016, h. 186

pemerintah Indonesia kemudian ditandatangani oleh Mar’ie Muhammad disertai dengan
Gubernur BI Soedrajad Djiwandono pada 30 Oktober 1997. Perjanjian itu kemudian
diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998. Setelah resmi menjadi pasien IMF,
Indonesia dipastikan harus menelan pil pahit resep dari IMF demi dana besar yang digadanggadang akan menyehatkan kembali kondisi perekonomian Indonesia tersebut.23
Ada dua kemungkinan fasilitas pinjaman yang diajukan pemerintah Indonesia kepada IMF
ketika itu yaitu, precautionary arrangement ataukah stand-by arrangement (SBA). Dewan
Moneter kemudian lebih cenderung kepada fasilitas precautionary arrangement (pengaturan
pencegahan) karena dana tersebut hanya akan ditarik apabila sudah sangat dibutuhkan yang
berarti IMF tak dapat campur tangan selama dana belum dibutuhkan dengan begitu
pemerintah dapat dengan cepat mengembalikan kepercayaan pasar dan publik dengan adanya
dukungan dana IMF. Sedangkan SBA mensyaratkan adanya suatu perencanaan program
penyesuaian oleh pemerintah dengan beberapa kewajiban kondisional yang harus dipenuhi
oleh negara peminjam, dengan begitu barulah IMF mengucurkan dana pinjamannya.
Ketatnya syarat-syarat SBA diyakini tidak akan mampu di penuhi oleh pemerintah sehingga
keputusan mengambil paket precautionary arrangement lebih disukai oleh Dewan Moneter
dan pihak Bank Indonesia.
Meskipun begitu, belakangan Presiden Soeharto sendiri yang memilih mengajukan SBA
kepada IMF dan melakukan negosiasi serta penandatanganan kesepakatan kedua pada tanggal
15 Januari 1998. Tindakan Presiden ini menurut Djuwandono tidak melibatkan Dewan
Moneter atau pihak BI namun pernyataan ini dibantah oleh Rizal Ramli dan P. Nuryadi yang
menduka kuat bahwa tindakan Presiden tersebut berdasarkan saran dari Widjojo dan Ali
Wardhana selaku penasehat pemerintah dari kelompok teknokrat ekonom. Hal yang pasti
kemudian adalah Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad menulis surat atas nama pemerintah
Indonesia dengan maksud meminta bantuan fasilitas stand-by arrangement (SBA) dan bukan
precautionary arrangement.24
Paket pemulihan yang dicanangkan oleh IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November
1997 bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dollar AS. Praktik yang nyata
dilakukan pemerintah berdasarkan paket pemulihan ekonomi ala IMF adalah dengan
mencabut izin usaha 16 bank umum yang mengakibatkan bank-bank tersebut harus
23 E. Harianto Santoso, “Keterlibatan IMF di Indonesia”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis:
1997-2002, h. 13
24 B.L Tobing, h. 83

dilikuidasi pada 1 November 1997 dan mengeluarkan paket deregulasi pada 3 November
1997 yang mencakup penghapusan tata niaga dan fasilitas ekspor, penyederhanaan perizinan
dan prosedur impor, dan perbaikan iklim usaha bagi investasi asing.25
Meski begitu nilai rupiah tidak kunjung membaik bahkan sempat mencapai Rp. 15.000 per
dollar. Kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri terus merosot sehingga pemerintah
perlu membuat nota kesepakatan (letter of intent) yang ditandatangani oleh Presiden pada
Januari 1998. Nota kesepakatan tersebut terdiri atas 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan
mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan dan
reformasi struktural. Ternyata perbaikan-perbaikan yang disyaratkan oleh IMF tersebut tidak
ditunaikan secara serius oleh pemerintah sehingga angsuran kedua senilai 3 Milyar dollar
yang seharusnya dicairkan pada Maret 1998 terpaksa diundur, padahal Indonesia harus tetap
bekerjasama dengan IMF untuk segera kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat
internasional. Selain itu Indonesia juga sangat membutuhkan dollar AS untuk membayar
hutang luar negeri jangka pendek yang pada pertengahan tahun 1998 akan jatuh tempo
sebesar 20 Milyar dollar, membayar bunga pinjaman sebesar 0.9 Milyar Dollar, dan sisanya
sebanyak 1.5 Milyar untuk kegiatan ekonomi dalam negeri.26
E. Dampak Pada Sektor Riil
Ketika inflasi melanda Indonesia hingga tahun 1998, kurs rupiah sudah menyentuh angka Rp.
8.025 sekitar tujuh kali lipat dari tahun sebelumnya, harga barang-barang langsung meroket.
Secara umum kenaikan harga terjadi pada kelompok bahan makanan, perumahan, sandang,
kesehatan, pendidikan, komunikasi dan transportasi, namun yang paling terdampak adalah
industri makanan. Menurut data BPS, sebuah badan yang mencatat laju inflasi bulanan
berdasarkan harga sekitar 200 komoditas, harga daging sapi sebelum rupiah jatuh perkilo
adalah Rp. 12.000, tahun berikutnya naik 1.5 persen, harga telur ayam yang tadinya sekilo
2.600 naik seratus persen. Begitu pula dengan harga susu kaleng yang semula 6.821 menjadi
15.523, naik 127.5 persen.27
Dalam bidang industri pengolahan, harga bahan baku dalam dollar menjadi terlampau mahal
sehingga mau tidak mau perusahaan mengurangi produksi yang berimbas pada terjadinya
PHK. Berdasarkan laporan Departemen Tenaga Kerja tahun 1997, terdapat 93 perusahaan
25 Zaim Saidi, h. 22
26 Tulus Tambunan, h. 211
27 B.E. Julianery, “Inflasi, Harga Melangit”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002,
h, 37

yang secara resmi melaksanakan PHK. Hasilnya hampir 4.1 juta orang menganggur seiring
dengan bertambahnya perusahaan yang merumahkan karyawannya. Jumlah ini bertambah
pada tahun 1998, total sekitar 5.1 juta orang atau sekitar 5.46 persen dari angkatan kerja saat
itu. Sektor yang paling banyak merumahkan karyawan adalah sektor industri pengolahan
namun tidak sedikit juga yang berasal dari perusahaan konstruksi. Bahkan industri perbankan
tak luput dari imbas krisis moneter dengan merumahkan sebagian besar pegawainya karena
banyak bank yang ditutup pemerintah.28
Ekspor-impor komoditi non-migas pun ikut kena imbas, sebelum terjadinya krisis (19901996) nilai impor non-migas selalu lebih tinggi daripada ekspornya, di awal krisis nilai impor
non-migas mencapai 41.5 milyar dollar AS, tapi di tahun 1998 turun hingga 41.5 persen.
Ketika krisis, perolehan ekspor non-migas dari tahun 1998 hingga 2001 justru selalu lebih
besar daripada impornya. Namun surplus neraca perdagangan tidak bisa dikatakan karena
membaiknya kinerja ekspor non-migas. Kegiatan ekspor non-migas justru turun setelah naik
17.24 persen pada tahun 1997, selama dua tahun menurun sebesar 3.65 persen (1998) dan
4.57 persen (1999) dan baru meningkat sebesar 22.82 persen pada tahun 2000.
Kesimpulannya pemerintah tak bisa mengandalkan penghasilan dari sektor non-migas selama
krisis karena kegiatan perdagangan justru melambat.29
Hal ini berbanding terbalik dengan sektor pertanian dimana bahan bakunya tidak bergantung
pada ekspor kecuali pupuk dan pakan ternak, sementara produk hasil pertanian di luar beras
dan tanaman pangan lainnya umumnya diekspor sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia
dari sektor pertanian mencapai hasil yang positif serta relative tidak terpengaruh dengan
gejolak kurs yang terjadi. Produk sub-sektor perkebunan seperti kelapa sawit, coklat, dan
cengkeh menjadi primadona ekspor begitu pula dengan sub-sektor perikanan khususnya
udang dan tuna. Depresiasi rupiah telah meningkatkan penghasilan petani maupun pengusaha
agribisnis lainnya. Kebutuhan tenaga kerja di bidang pertanian juga semakin meningkat.
Meski begitu pengaruh gangguan alam seperti kemarau panjang, kebakaran, serangan hama
atau banjir telah menurunkan penghasilan dari sektor ini.30

28 B.E. Julianery, “Pekerja Indonesia: Menganggur atau Menerima Upah Rendah?”, Salomo Simanungkalit
(ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, h, 39
29 B.E. Julianery, “Tak Bisa Mengandalkan Ekspor pada Nonmigas”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia
Dalam Krisis: 1997-2002, h, 49
30 Noor Yudianto & M. Setiawan Santoso, “Dampak Krisis Moneter Terhadap Sektor Riil”, Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, September 1998

Sektor keuangan yang justru mengalami peningkatan adalah pegadaian. Kesulitas likuiditas
yang dialami oleh rakyat memberi kesempatan kepada Perum Pegadaian untuk
mengembangkan usaha yang terbukti dengan pertumbuhan omzet dari pinjaman kepada
nasabah yang melejit. Di balik keberhasilan ini memang dapat digambarkan bagaimana
kesulitan rakyat pada masa krisis. Pegadaian menjadi salah satu solusi penyelamat para
pengusaha karena dapat menyalurkan kredit lebih fleksibel dengan bunga lebih rendah
daripada bank serta kemudahan yang bisa di dapatkan dengan menggadaikan barang ke
pegadaian. Faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan rakyat kepada pegadaian
diantaranya adalah meningkatnya jumlah petani yang gagal panen antara tahun 1997-1998
dan banyaknya korban PHK yang membutuhkan dana untuk membuka usaha baru. Petani
menjadi nasabah tetap pegadaian karena kebijakan ekonomi yang tidak sepenuhnya berpihak
kepada mereka misalnya ketika harga gabah anjlok, para petani penggadaikan alat-alat
pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.31
F. Kesimpulan
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia bukan baru saja terjadi pada akhir masa kekuasaan
Orde Baru, namun dapat dilihat sejak masa akhir pemerintahan Orde Lama yang ditandai
oleh Stagflasi yakni berhentinya sektor-sektor produksi secara total yang disertai dengan
hyper inflasi yang antara lain disebabkan oleh konfrontasi pemerintah terhadap bantuan luar
negeri, operasi militer Irian Barat, nasionalisasi perusahaan Belanda tahun 1957-1958, serta
instabilitas politik pada masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno. Sedangkan pada krisis
moneter 1997-1998, Indonesia sedang diperintah oleh rezim yang sangat sentralistik yang
menerapkan otokrasi birokratik (bureaucratic authoritarian) yakni memperalat birokrasi
untuk memerintah secara sewenang-wenang, selain itu rezim Orde baru juga menjadikan
Indonesia sebuah negara yang sangat bergantung kepada utang luar negeri. Pemusatan
kebijakan ekonomi dan politik pada Presiden menyebabkan lahirnya Crony Capitalism
dimana kelompok-kelompok terdekat Presiden memegang posisi penting di bidang sosial,
ekonomi dan politik. Hal itu pula yang menyebabkan eratnya hubungan antara pengusaha dan
pejabat sehingga menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan mereka. Maka, praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pun tak bisa dihindarkan lagi yang menyebabkan krisis
moneter berskala kecil kemudian berubah menjadi besar dan mempunyai dampak yang
panjang bagi perekonomian Indonesia.
31 Gianie, “Potret Kesulitan Ekonomi Rakyat”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis: 19972002, h, 103

Karena adanya praktik KKN yang marak terjadi, usaha-usaha pemerintah untuk mengatasi
krisis mengalami kegagalan. Ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin besar
yang semakin memperburuk keadaan. Rupiah pun semakin terdepresiasi akibat permintaan
dollar yang semakin besar. Karena tak sanggup lagi untuk menahan laju krisis yang semakin
memburuk maka pemerintah pada akhir tahun 1997 mengundang IMF untuk ikut serta
“mendikte” ekonomi Indonesia sebagai syarat agar mendapatkan dana segar demi
menyehatkan kembali perekonomian nasional. Namun begitu ekonomi Indonesia tidak
kunjung membaik setelah saran-saran dari IMF ditepat, di sisi lain Indonesia harus terus
bergantung kepada IMF untuk memulihkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap
Indonesia.
Kemudian akibat nilai rupiah yang terus merosot, ekonomi dalam negeri pun perlahan runtuh.
Imbasnya yang terbanyak pada sektor produksi yang mlakukan PHK pada sebagian besar
pegawainya. Sektor lain juga ikut terkena utamanya sektor makanan, sandang, transportasi,
komunikasi dan lain-lain. Dalam sektor pertanian, nilai komoditas ekspor mengalami
pertumbuhan yang signifikan karena jatuhnya rupiah khususnya beberapa komoditas seperti
kelapa sawit, coklat, cengkeh dll, meski begitu menurunnya produksi gabah menjadikan
Indonesia tak sanggup lagi menjadi negara yang berswasembada pangan. Kesejahteraan
petani pada masa krisis tidak bisa dicarikan solusi sehingga para petani harus menggadaikan
alat-alat pertanian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kondisi masyarakat Indonesia
pada masa krisis boleh dikatakan berada dalam keadaan serba sulit.
G. Daftar Pustaka
B.L Tobing, Fredy, Praktik Relasi Kekuasaan: Soeharto dan Krisis Ekonomi 1997-1998,
Kompas, Jakarta, 2013
Boediono, Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah, Mizan, Bandung, 2016
Bourchier, David & Hadiz, Vedi R. (ed), Indonesia Politics and Society: A Reader,
Routledgecurzon, London, 2003
D. Sharma, Shalendra “The Indonesian Financial Crisis: From Banking Crisis to Financial
Sector Reforms (1997-200)”, Indonesia, No. 71, April 2001, Southeast Asia Program
Publication at Cornell University
Djafar, Zainuddin, Soeharto: Mengapa Kekuasaannya Dapat Bertahan Selama 32 Tahun?,
FISIP UI Press, Depok, 2005

Saidi, Zaim, Soeharto Menjaring Matahari: Tarik Ulur Reformasi Ekonomi Orde Baru pasca
1980, Mizan, Bandung, 1998
Simanungkalit, Salomo (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, Kompas, Jakarta, 2002
Tambunan, Tulus, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1998
Yudianto, Noor & Santoso, M. Setiawan, “Dampak Krisis Moneter Terhadap Sektor Riil”,
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998