Kritik buku Sastra dan Religiositas Y. B

ANALISIS BUKU SASTRA DAN RELIGIOSITAS
KARYA : Y. B MANGUNWIJAYA
Oleh : Fahrul Rozi

1. Poin-Poin Penting
Pengantar
Menurut seorang Y. B Mangunwijaya bahwa sastra yang baik adalah asastra yang
mengandung religiositas. ia mengatakan ““Semua sastra yang baik selalu religius”,
namun ia membahas religiositas ini dalam sudut pandang yang sangat unik, dia menungkan
pemikirannya tentang apa itu religiositas dalam bab-bab yang panjang.

Religoiositas dan Agama
Menurut Mangunwajaya ada perbedaan mendasar antara religius atau religiositas
dengan agama, Mangunwijaya mengatakan bahwa agama hanya sebuah simbol
kelembagaan, sedangkan religius lebih pada tataran isi hati, riak getaran jiwa manusia; sikap
personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena sedikit menapaskan intimitasi
jiwa dalam arti pascal yaitu cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa
manusiawi) kedalaman si Pribadi manusia. Sebagai contoh, sikap A. A Navis dalam
memberikan jalan keluar bagi tokoh ayah yang mendapati anaknya menikah dengan saudara
sedarah karena tidak tahu yang berbeda antara tahun 1956 dan 1967, pada karyanya yang
terbit 1 tahun 56 Navis lebih memilih membiarkan keduanya tetap berada dalam ikatan

pernikahan karena menganggap akan terjadi kekacauan rumah tangga antara anaknya – ia
berpegang pada religiositas—sedangkan pada tahun 67 –dalam novel Kemarau—ia
memilih sikap ayah yang (Sutan Duano) yang memilih memberitahukan keduanya tentang
hubungan darah mereka, supaya keduanya berpisah dari ikatan pernikahan—tidak
memandang apakah akan mengacaukan kehidupan keduanya ataukah tidak yang penting
adalah norma agama. Sikap Navis yang pada tahun 56 itu adalah sikap religiositasnya,
sedangkan pada tahun 67 adalah sikap keagamaan.
Mangunwijaya lebih memilih sikap ayah yang pertama sebab ia lebih
mencerminkan religiositas, tidak terpaku pada “formalisme agama” yang hanya kumpulan
huruf. Dia mengatakan :
“Semua sastra yang baik selalu religius. Namun sekali lagi semogalah religiositas di sini jangan
kontan dihubungkan dengan tetaatan ritual atau yang disebut oleh Paulus dari Tarsus tadi sebagai
Huruf atau Hukum Agama, tetapi pada yang lebih dalam, lebih mendasar dalam pribadi manusia,
Rohnya. Sebab Huruf membunuh tetapi roh menghidupkan” (2Kor 3:6)”
Page 1 of 9

Sebuah karya sastra yang baik tidak melulu harus bermuatan religiositas dalam
artian mementingkan kemanusiaan mereka sebut sebagai perhitungan rasa nurani yang
berasal dari roh manusia yang suci—yang memberi kehidupan.
Dia memandang bahwa religiositas diukur dengan hati nurani seseorang, tapi tidak

semua orang mampu mencapai keadaan yang sejati, keadaan dimana hati nuraninya hidup
untuk menentukan kedewasaannya bersikap mengukur baik atau buruk sesuatu.
Dalam buku ini dengan tajam ia juga mengkritik bahwa agama hanyalah sebagai
sarana untuk memudahkan mendekatkan diri manusia kepada kepada Tuhan, dia tidak
mutlak adanya, tidak wajib bagi seseorang untuk mengerjakan apa yang ada di dalamnya,
lelaku batinlah yang menjadi landasan manusia, kedewasaannya sendiri dalam memandang
baik dan buruk akan sesuatu :
“Agama hanya sarana belaka, agar manusia lebih mudah untuk menemukan jalan ke
Tuhan Agama selaku lembaga yang berunsur manusiawi juga tidak dapat menklaim
ketaatan mutlak dari warga, karena agama tidak pernah identik dengan Allah. Maka
pertanyaan religius yang terungkap dalam sastra seperti cerpen “Sepotong Kayu untuk
Tuhan” di atas memang mengandung tanya : sanggupkah agama (apa pun) mengakui,
bahwa ia bukan Tuhan, tetapi hanya penolong saja, agar manusia sendirilah dengan bakatbakat dan kekurangannya, dengan keyakinan yang eksistensial berusaha bertanggung jawab
sendiri menuju kedewasaannya.sehingga manusia konkret mendapatkan kesempatan yang
cukup lapang untuk mencari sendiri dan menemukan sendiri Rahmat yang khas personal
ditawarkan kepada seseorang yang tergolong serius?” (hal : 60)
Lebih lanjut berselang beberapa halaman (hal 79) Mangunwijaya mengatakan :
“Dan Akhirnya Agama hanya sarana bukan tujuan, dan karena itu hanya Iman yang
langsung intim dan faktual menghadap Allah dalam aspek kualitasnya jauh lebih
menentukan daripada agama.”

Maka tak herana Mangunwijaya mengkritik tajam terjadap sikap A. A Navis dalam
membuat tokoh Sutan Duano yang mendukung ajaran agama secara tekstual, dan memilih
meninggalkannya atas pertimbangan “kedewasaan hati nurani”.

Agama dan Adat
Tentang adat dan agama Mangunwijaya cenderung mempersamakan antara
kedudukan agama dan adat, seperti terliahat dalam tulisannya, di satu kesempatan dia
mengupas tentang novel tengelamnya kapal van der Wick yang mengkritisi budaya Padang
yang tentang pernikahan di sisi lain dia mengutip pendapat Pramudya anantatoer dalam
novel Bukan Pasar Malam. dari pembacaannya itu Manugunwijawa mengemukan satu
Asumsi :

Page 2 of 9

“Sudah adapat dipradugai, menyerang adat biasanya hampir selalu akan bermuara pada penyerangan
melawan agama formal, paling tidak mempertanyakan dan meragukan efisiensi atau makna agama
selaku institusi yang sering menampakkan diri kuno, reaksioner dan Cuma omong tentang akhirat
tanpa sedikitpun mengulurkan tangan untuk memberantas ketidak adilan secara konsekue...selain itu
memang bagaimanapun unsur agama, adat seks dan segala ihwal tentang masyarakat, merupakan
satu perkara yang tidak dapat dipisahkan.”


Mangunwijaya tidak mau ambil pusing dengan sumber, baginya mau bersumber dari
al-Qur’an atau Sunnah Rasul sama artinya dengan aturan adat baduy yang membelenggu,
sama artinya dengan aturan adat suku Aztek, Maya dan lain-lain. Yang pada intinya bisa
didrop manakala bertentangan dengan hati nurani manusia yang luhur. Itulah makna
sebuah religiositas.

Mencapai Jiwa sejati
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa semua religiositas selalu berkisar pada
pertanyaan-pertanyaan dasar yang sama: dari mana datangku, dan dunia semesta ini?, dan
melalui jalan mana dan bagaimana? Mana yang sejati mana yang palsu? yang biasanya
diawali oleh ungkapan pendek “siapakah aku?”.
Dari pertanyaan pendek itu Mangunwijya mulai menjawab dengan mengutip
beberapa pendapat ahli, diantaranya adalah Karl Jaspers. dia mengatakan :
Saya adalah manusia yang konkret di sana-sini-saat ini ... saya memiliki sebuah
kedaulatan dan kemerdekaan...”
Maksud dari unkapan itu manusia memiliki kedaulatan mutlak untuk menentukan
keputusan yang berkaitan dengan dirinya saat situasi apa pun, terlepas dari apakah orang
lain akan berbuat sama dengan apa yang ia lakukan.
Lebih jauh ia mengutip pendapat –hanya pendapat manusia—Heiddeger, dia

mengatakan bahwa ada dua keadaan. “Ada yang tidak sejati, yaitu selaku data terlempar
dalam massa (dalam bahasa Inggris : man , atau seperti orang Indonesia mengatakan, orang
bilang, kata orang begini, negeri orang begitu.)”, ia mengatakan jiwa yang tidak sejati masih
bergantung terhadap kata seseorang di luar diri dalam menentukan sikap, saya kira ini yang
dinilai sebagai jiwa yang belum dewasa yang sering disebut sebut dalam buku ini. “Ada juga
keadaan yang Sejati, keadaan sejati hanya dapat dihayati hanya ketika kita sedang terkena
sesuatu...mengikuti Jaspers, dalam keadaan puncak atau jurang krisis tadi; pada saat kita
sendang terharu, takut, hancur, gembira, bergelora, kersang hati, muak dan sebgainya.”.
Labih jauh ia mengatakan bahwa kesimpulan para ahli tadi telah dilakukan oleh para
pemikir India (tepatnya para praktisi Tantra, Brahma hingga ke penganut Kabbalah Yahudi.
pen) dan kaum sufi ribuan tahun lalu. Yakni keyakinan, bahwa hanya melalui penghampaan
diri (lebih positif: Pengheningan diri) orang dapat menemukan keadaan dirinya yang sejati
Page 3 of 9

dan menemukan Tuhan (lebih tepatnya kesejatian) mahagaib”. Yang pada kenyataannya
dilakukan dalam meditasi-meditasi, seperti yang diadakan oleh Anand Krisna di Indonesia.

Feminisme sebagai bagian dari Religiositas
Romo Mangun mengatakan religiositas yang menyeruak di dunia Islam modern
paling banyak adalah apa yang berkaitan dengan nasib sang wanita. Mangun memiliki

perspektif yang cukup unik, dimana ia memandang bahwa pada masa dahulu kedudukan
wanita sudah dianggap tinggi ia mengatakan bahwa menurut para paleontolog bahwa
pemujaan pertama kali yang dilakukan oleh manusia adalah kepada wanita, oleh karena itu
dalam banyak bahasa bumi, bulan, pohon, rumah, danau, mata air dan sebagainya
bergender perempuan. Bahkan ada istilah bunda Bumi (Bunda Mater), Alma mater (bunda
tersayang) dan lain-lain.
Tema-tema tentang wanita dianggap sebagai bagian dari religiositas karena
menyinggung tentang soal semesta ada, tentang kesejatian ada serta pengadaan,
kelahiran,hidup, mati, kefaanaan, kebakaan dan sebagainya.ia juga mengatakan bahwa
wanita sebelum datangnya Islam di arab sudah sangat dihormati, jika memang wanita
direndahkan bagaimana hubungan seorang Nabi Muhammad dengan Khadijah. Juga
banyak cerita-cerita yang mengagungkan wanita dari Mesir, Ibrani dan lain sebagainya.
Dengan demikian secara otomatis kita dapat berasumsi bahwa Romo ingin
mengatakan, tidak benar adanya jika apa yang disyari’atkan dalam Islam adalah untuk
bertujuan untuk meninggikan derajat wanita, karena wanita sudah tinggi derajatnya sebelum
aturan Islam itu muncul.
Oleh karena itu, dalam kalimat-kalimat selanjutnya Dia banyak mengangkat karyakarya sastra di dunia Islam yang banyak mengkritisi kebudayaan sekitar yang katanya
berakar pada Islam. Ia mengutip cerita Najib Mahfudz yang menggambarkan bagaimana
penentangannya terhadap budaya superior suami terhadap Isteri—dimana seorang istri
harus selalu taat, diam selalu di rumah tidak boleh keluar.

Dalam penulisan buku ini, Mangunwijaya banyak mengutip dalil-dalil dari banyak
agama, baik Ardhi maupun samawi, termasuk Islam. Dalam pengutipannya menurut
pandangan Penulis dia kurang memahami Islam sampai ke dasarnya, dia tak tahu konsep
tabayyun dalam mencari mana yang benar-benar termasuk dalam agama dan mana yang
tidak dia keburu termakan oleh ucapan seorang Harun Nasutian yang mengatakan bahwa
hanya sedikit aturan agama yang bersifat Absolut, karena sisanya berasal dari penafsiran
manusia yang berbeda-beda. Wajar memang karena ia bukan seorang Muslim, ia adalah
seorang Pastur, dan Romo yang sangat terkenal.

2. Analisis Penulis
Page 4 of 9

Agama, ya Agama
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa religi adalah kepercayaan
kepada Tuhan atau kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia; atau
terkadang dipersamakan dengan agama. Religiositas sendiri diartikan sebagai pengabdian
kepada agama. Sedangkan agama adalah ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepad Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg
berhubungan dng pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Singkatnya religi, religiostas sama dengan iman dalam dalam Istilah Islam (esoteris

dalam istilah populer), yang mencakup kepercayaan, ikrar, hingga amal, bedanya religi
adalah bendanya sedangkan religiositas adalah dayanya. Sendangkan agama adalah sebuah
aturan yang mencakup aturan keyakinan (religi) hingga amal yang mengatur cara hubungan
antar manusia.
Menurut penulis, bangunan gagasan yang ia tuangkan dalam buku sastra dan
religiositas ini dibangun di atas dasar agama, karena agama merupakan sebauh tata aturan.
Bedanya aturan yang ia ajarkan berasal dari diri manusia itu sendiri. Maka jika Romo
mengatakan bahwa jika kita taat pada agama berarti agama adalah menjelma jadi tuhan,
maka dapatkan dia menjamin manusia tidak menjadi tuhan untuk dirinya sendiri karena
manusia sendiri bebas menentukan sikapnya tanpa aturan pasti dari Tuhan?. Anda bisa
melihat argumen yang lebih lengkap dalam buku Indonesia tanta Liberal karya Artawijaya.
Hal yang paling menyolok adalah tata cara yang diajarkannya untuk mencapai
derajat jiwa sejati yang dewasa. Dengan cara pengheningan diri yang diperkaya dengan
ungkapan yang berbelit-belit dari Karl jaspers dan Hiedegger. Dengan jelas ia mengatakan
bahwa ini adalah ritual yang sudah dipraktekkan oleh orang-orang India ribuan tahun yang
lalu. Yang ia maksud dengan orang-orang India ini tentu saja siapa lagi kalau bukan para
penganut Agama Brahmana, Hindu, Budha yang mempraktekkan meditasi-meditasi untuk
mencapai derajat Kundalini atau Moksa (Romo Mangun menyebutnya dengan Mokswa).
Jelas meditasi ini adalah agama, karena merupakan sebuah aturan.
Pernyataannya yang mengatakan bahwa hanya Iman yang langsung intim dan

faktual menghadap Allah dalam aspek kualitasnya jauh lebih menentukan daripada agama
menjadi tidak konsisten adanya, sebab ia sendiri mensyaratkan adanya proses pembentukan
jiwa sejati lewat “keheningan”.
Romo Mangun tidak hanya seorang, ia berkeyakinan bersama banyak manusia di
belahan dunia ini, gerakan keagamaaan seperti ini adalah apa yang sekarang populer dikenal
dengan “New age Movement, (NAM), yang berusaha menerapkan anciant Wisdom, yang berakar
pada agama-agama timur ; Hindu, Budha, Taoisme, dan lain sebagainya. Gerakan ini mulai
bergerak secara terorganisir di barat dengan berdirinya banyak gerakan-gerakan yang

Page 5 of 9

berbeda-beda, Menurut Fouz A. Kurdi,1 gerakan yang pertama kali muncul adalah gerakan
Transendentalisme ia mengajarkan empat hal inti, pertama, hubungan antara tuhan,
manusia, dan alam semesta adalah hubungan kesatuan yang satu (wihdatul wujud), kedua,
Pengetahuan intuitif dari dalam diri, yang datang dari luar penalaran, pancainra, dan
kekuatan akal, yang datang dari irfan gnosistik dan ilham langsung, adalah hal yang suci
karena merupakan limpahan dari akal suci, ketiga, manusia memiliki tersembunyi yang tak
terbatas, yang membuat manusia mampu berinteraksi dengan alam metafisik yang gaib dan
tanpa batas, keempat, serta menjadi harmonis dengan alam adalah hal hidup yang terbaik.
Itu sebabnya dalam bab yang mengkaji tentang kedudukan wanita Romo berusaha

menampilkan wajah indah dari agama kuno yang sudah melembaga di timur, termasuk
mesir, Ibrani, dan Arab.
Dengan demikian jika kita mengikuti religiositas yang ditawarkan Romo, berarti kita
sedang menganut agama baru, hasil kompilasi dari agama-agama timur Kuno. Maka jangan
heran jika ia mengatakan bahwa hukum agama yang sudah tidak relevan lagi dengan nilainilai kemanusiaan bisa didrop begitu saja, karena agama kemanusiaan—yang menuhankan
manusia sendiri— telah mengalahkan agama lama yang dianutnya.

Bukan Nurani
Romo mengatakan bahwa keputusan-keputuran itu datang dari dalam nurani
manusia, namun dalam pandangan penulis ia justru berasal dari akal budi bukan nurani.
Sebagai gambaran, apa yang harus dilakukan oleh seorang ayah ketika mendapati anaknya
menikah dengan saudara yang semahram? Apakah memilih memberi tahu keduanya agar
bercerai ataukah membiarkannya? Jika jawaban biarkanlah mereka tetap dalam ikatan
pernikahan, karena jika mereka bercarai mereka akan mendapatkan penderitaan, kakacauan
hidup dan sebagainya. Itu adalah hubungan sebab akibat yang dihasilkan dari pola pikir
manusia, yang dibungkus seolah berasal dari jiwa karena merasa diri telah mencapai
keadaan jiwa sejati.

Haruskah Sastra yang baik Selalu mengandung Unsur Kemanusiaan?
Yang terpenting adalah karya sastra itu mencerminkan ide tertentu dari pengaranya

dalam muatan apapun seperti kata Putu Arya Titawirya :
“...memang sesungguhnya mereka mengabaikan plot itu—sesuai dengan efek-efek yang ingin
dicapainya yaitu memberikan suatu penekanan atau menggarisbawahi ide-ide atau segi
perwatakan dari pelaku cerita. Pengarang bermaksud menyoroti suatu aspek tertentu dari
kehidupan, pada cerita-ide adalah aspek sosiologis yang sering dikemukakan lewat satire novel
“1984”- Orwell atau Kappa-nya. Rynosuke Akutagawa. Begitu juga aspek aspek psikologis dari manusia,
pengarang ingin mengadakan penelanjangan total dari watak-watak seseorang yang biasanyadalam
1

Fouz A. Kurdi, Menguak New Age Movement (trj)(Jakarta, Darul Uswah : 2014) hlm., 25-26

Page 6 of 9

kehidupan sehari-hari manusia lajim memasang topeng-topeng demi etik atau tradisi yang
melingkupinya sejak dari masa kecil. Membaca karya-karya Dostojevski kita bakal menyadari betapa
manusia itu sebenarnya lengkap dengan nuansa-nuansa, tidak nampak seperti dalam pergaulan
keseharian yang cenderung pada pengkotakan warna hitam dan putih semata tanpa nuansa, dalam
arti adanya warna kelabu atau keabuan antara kedua warna tadi.”
Itulah yang ingin dicapai lewat sastra”

Putu Arya Tirtawirya tidak membatasi sifat ide itu dalam satu bentuk ide yang
bermuatan religiositas, tapi mencakup pada hal yang umum yang ingin disampaikan seorang
pengarang. Hal ini banyak terdapat dalam cerita-cerita populer klasik yang bertahan selama
ratusan tahun dibaca oleh banyak orang, diapresiasi dan tak pernah mati. Tapi penuh
dengan muatan keagamaan, bukan religiositas—menurut Mangunwijaya.
Coba bandingkan dengan cerita al-Qur’an tentang Ibu Musa yang diperintahkan
untuk menghanyutkan bayi Musa kecil ke sungai nil, padahal secara kemanusiaan, adalah
sikap yang tidak wajar jika Ibu musa menghanyutkannya ke sungai karena itu sama saja ia
berusaha membunuh anaknya, itu sikap yang tidak berperikemanusiaan, itu bukan sikap
religius (menurut Mangunwijaya). Sikap keagaamaan Ibu musa telah membuat anaknya
selamat dari segala marabahaya, hingga ia dibesarkan di lingkungan kerajaan Fir’aun yang
berusaha membunuhnya. Tapi cerita ini tidak membuatnya menjadi kering malah dianggap
berkualitas dari masa ke masa oleh banyak orang, bahkan difilmkan!.
Dan masih banyak cerita-cerita lainnya yang mencerminkan sikap keagamaan tetapi
sangat berkualitas, seperti kisah Ibrahim, Hajar, dan Ismail.
Arti Feminisme Sebenarnya
Istilah “feminisme“mempunyai definisi beragam, di antaranya sebagai berikut: 2
1) Menurut Elinor Burkett, feminisme adalah suatu aktivitas terorganisir yang
mengatasnamakan kepentingan dan hak perempuan. Keyakinan terhadap kesetaraan dalam
bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik ini membuat paham feminisme Barat
dimanifestasikan di seluruh dunia dan diwakili oleh berbagai institusi yang berkomitmen
untuk aktivitas atas nama hak dan kepentingan perempuan.
2) Madeleine Pelletier melihat feminisme sebagai paham yang beragam, tidak tunggal dan
senantiasa berkembang. Ia mengatakan bahwa setiap feminis memiliki pandangan pribadi
sendiri tentang feminisme. Keberagaman feminisme bisa dilihat dengan adanya perbedaan
internal di kalangan tokoh-tokoh feminis. Pada umumnya feminis kelas menengah menolak
kecenderungan feminis kulit putih yang melibatkan semua wanita ketika mereka
2

http://insistnet.com/gender-dari-wacana-transnasional-kontroversial-menjadi-ruu-seksis/
(diakses pada rabu, 28 Mei 2014, pukul : 12 : 30)

Page 7 of 9

menguraikan tentang feminisme dengan kata-kata “kita”. Bagaimana seorang feminis kulit
putih bisa memberikan bobot yang cukup dari sebuah pengalamannya untuk mengatakan
bahwa wanita memiliki kesamaan, dan tetap menghormati mereka yang telah
mengelompokkan wanita ke dalam kelas dan warna kulit?
3) Cara melihat dunia dari perspektif perempuan. Feminisme memusatkan perhatiannya
kepada konsep patriarki yang dimaknai sebagai sistem kekuasaan laki-laki yang menindas
perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik dan ekonomi.[3]Maka tidak
mengherankan ketika aktivis Prancis, NellyRoussel, mengasumsikan bahwa semua
perempuan memiliki pengalaman yang sama di bawah sistem patriarkis. Pada tahun 1904,
beliau menyerukan bahwa tidak ada lagi kelas istimewa atau penguasa kelas di antara kaum
wanita.
4) Sebagian kalangan feminis mengartikan bahwa feminisme merupakan perjuangan
melawan seksisme sebagai sebuah paradigma penindasan. Sebagian lainnya mengartikan
sebagai komitmen untuk mengakhiri supremasi kulit putih, dominasi laki-laki dan
eksploitasi ekonomi. Sementara itu ada pula yang memaknai bahwa feminisme adalah
penciptaan sikap untuk merangkul kebersamaan, yang meliputi perjuangan melawan apa
yang disebut “trinitas”, yakni seksisme, rasisme dan kelas. Namun ada pengamat yang
mengartikan bahwa feminisme berawal dari pernyataan seorang perempuan tentang
kekuatannya. Di mana pada awalnya ia bukanlah sesuatu teori melainkan tindak personal itu
sendiri.
Dari keberagaman definisi di atas, sejatinya tidak mudah untuk menyimpulkan
feminisme sebagai suatu pemahaman dan teori yang komprehensif (jami’-mani’). Karena
feminisme merupakan paham yang sangat relatif, beragam dan masing-masing perempuan
mempunyai definisi berbeda sesuai dengan pengalaman dan tindak personalnya sendiri.
Namun, makna yang palingmendasar daripaham iniadalah keyakinan bahwa perempuan
benar-benar bagian dari manusia, dan bukan spesies yang terpisah. Definisi ini seringkali
dijadikan slogan dan diabadikan dalam bentuk tulisan di T-shirt: Feminisme adalah
proposisi radikal bahwa perempuan adalah manusia (“Feminism is the radical proposition
that women are human being”).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa feminisme sebenarnya adalah ideologi
yang dilandasi dengan protes dan ketidakpuasan kaum feminis atas eksistensi sosial kaum
perempuan yang belum sepenuhnya diakui dalam struktur masyarakat Barat kala itu.Hal ini
diperparah lagi dengan posisi Gereja di Barat yang menjadi pijakan nilai-nilai dalam
masyarakat, kurang berpihak kepada perempuan. Maka perjuangan feminisme difokuskan
untuk melawan sistem patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas
dua.

Page 8 of 9

Page 9 of 9