Pentingnya Tempat Rehabilitasi Orang den

PENTINGNYA EKSKLUSIFITAS UPT REHABILITASI NAPZA DI JATIM

A. Pendahuluan
Globalisasi menjadi salah satu penyebab penyalahgunaan NAPZA (NARKOBA) di Indonesia
sulit diberantas. Kemajuan teknologi informasi dan transportasi merupakan salah satu
pemicu menyebarnya NAPZA secara mudah, ditambah Indonesia merupakan negara
berkembang dan kepulauan, belum dapat memenuhi kebutuhan armada supply reduction
(pengurangan pasokan NAPZA) di lautan. Di samping itu, transaksi dan peredaran narkoba
yang dilakukan oleh pelaku kejahatan terorganisir (Organized Crime).
Indonesia berada pada posisi keempat negara dengan jumlah narkoba terbesar di dunia.
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional, Indonesia kini masuk dalam kategori darurat
penyalahgunaan narkoba, dengan jumlah pecandu narkoba di atas angka 4,9 juta jiwa pada
tahun 2013, dan prediksi tahun 2015 (Merdeka.com, 2014) menjadi 5,8 juta jiwa. 75 %
pecandu adalah pelajar atau usia produktif (Antara News, 2014). Maka lost generation
mengancam, belum lagi berdasarkan data yang dihimpun oleh BNN, dari tingkat

pembiayaan urusan yang berkaitan dengan narkoba, negara mengeluarkan anggaran
sekitar 45 triliun, dengan perincian untuk membiayai rehabilitasi, pengobatan
maupun proses hukum. Angka ini sangat fantastis untuk ukuran Indonesia yang
masih dalam tataran berkembang. Maka bukan saja terjadi lost generation, tapi juga
lost economy.

Jadinya, tidak heran jika korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA di Indonesia semakin
meningkat. Sangat disayangkan pula bahwa sejak tahun 2010 (menurut BNN), Provinsi Jawa
Timur tidak pernah lepas dari urutan 3 dalam penyalahgunaan NAPZA se Indonesia. Rata-rata
pecandu berada di kota-kota besar, termasuk Surabaya. Jumlah pecandu di Surabaya
menduduki peringkat pertama, disusul Malang, Nanyuwangi, Blitar, Madiun dan seterusnya.
B. Mengapa NAPZA Menjadi Masalah ?
Jika menyalahgunakan tanpa hak (bukan kepentingan medis dan penelitian), maka norma
pertama yang dilanggar adalah norma hukum. NAPZA diatur dalam undang-undang
disebabkan implikasi negatif terhadap kehidupan pribadi, masyarakat dan negara sangatlah
tinggi. Demikian juga dengan korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA. Pengaruh negatif
bukan hanya secara fisik dan ekonomi saja, namun juga merusak mental, kehidupan sosial
serta vokasional seseorang.
1. Pengaruf fisik
Seorang pecandu NAPZA hari per hari yang dikonsumsi adalah NAPZA, bukan pecel lele
atau soto daging. Tubuh manusia setiap hari memerlukan asupan karbohidrat-proteinlemak-sayur dan buah-vitamin dan susu. Seorang pecandu NAPZA tubuhnya hanya
dimasuki NAPZA saja. Maka tidak heran jika pada tahap awal yang bersangkutan akan
memiliki penyakit lambung, seperti mag, kemudian thyphus berujung ke liver. Karena
daya tahan tubuh rendah, maka kemudian semua penyakit yang masuk tidak bisa
ditangkal. TBC/paru-paru, HIV/AIDS karena pemakaian jarum suntik bergantian atau seks
bebas disebabkan semua norma dalam dirinya sudah hancur serta penyakit lainnya,

sampai pada taraf kematian. Belum lagi penyakit-penyakit tersebut dapat menular ke
masyarakat umum. Penyalahguna narkoba menduduki ranking 20 dunia sebagai

penyebab angka kematian dan ranking ke 10 di negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia.
2. Pengaruh mental (intelektual, psikologi, spiritual, estetika)
Karena kecanduan, pikiran pertama yang muncul setiap bangun tidur adalah bagaimana
caranya mendapatkan uang untuk membeli NAPZA. Bukan pelajaran sekolah yang
dipikirkan, namun bagaimana caranya memutar otak untuk memanipulasi situasi atau
orang sehingga mendapatkan NAPZA. Kalaupun masuk sekolah atau kuliah, hanya
sebagai modus untuk mencuri uang temannya. Sehari-hari demikian terus pemikirannya
sehingga mengganggu kesehatan jiwa yang bersangkutan. Mudah tersinggung, tidak
kooperatif, manipulatif, ingin mendapatkan sesuatu serba mudah/instan dan sifat negatif
lainnya. Tuhan mereka hanyalah NAPZA, bukan Tuhan Allah, Yesus, Ida Sang Hyang Widhi
Wase atau Dewa. Bahkan, seorang kiai-pun bisa lupa ajaran agamanya jika sudah
mencandu NAPZA. Otak kiri mereka sudah tidak diasah bahkan banyak dendrit yang
putus, demikian juga dengan otak kanan mereka sebagai pusat seni dan rasa. Mereka
sudah tidak punya rasa, otak yang dipunyai oleh pecandu hanyalah “Main Otak”. Otak
dimainkan mereka dengan selalu berpikir “bagaimana cara mencuri uang orang tua,
barang apalagi yang bisa dijual di rumah yang bisa mengahasilkan uang, bagaimana

mengelabui seseorang sehingga jatuh hati dan tertipu”, dan ... berbagai asah otak
manipulatif lainnya.
3. Kehidupan sosial
Dimulai dengan mengisolasi diri, tertutup, teman positif ditinggalkan-berganti teman
negatif, tidak mengikuti acara keluarga, sering berbuat onar dan mengancam, pergi
malam-pulang pagi, kumal, selalu memakai topi untuk menutupi mata telernya,
demikian juga dengan selalu mekakai baju atau jaket lengan panjang untuk menutupi
bekas suntikan, banyak hutang, putus sekolah, bukan lagi pegawai yang berkualitas di
tempat kerjanya, memoroti orang tua, putus dengan pacar, keadaan rumah tangga
menjadi tidak harmonis, menjauhi dan dijauhi masyarakat serta berbagai identifikasi
negatif lainnnya
4. Kehidupan vocational
Jika ada seseorang yang kuat berhari-hari “ngelembur” tidak tidur karena mengerjakan
suatu kegiatan, jika seseorang dapat membuat konsep yang bagus dan tajam tanpa tidur
berhari-hari, jika seseorang merasa memiliki rasa percaya diri untuk bergaul dan memiliki
ketenangan dalam hidupnya karena bantuan NAPZA, berarti bukan keadaan dan prestasi
yang sebenarnya, namun disebabkan doping. Doping memiliki keterbatasan waktu dan
syarat tertentu, penggunaan akan semakin lama semakin meningkat. Seorang yang
terampil dan merupakan karyawan teladanpun akhirnya akan turun kinerjanya dan
dipecat karena kebiasaan negatift tersebut. Akhirnya menganggur, akan menimbulkan

masalah baru yang beragam.
Jika dilihat sekilas uraian di atas, maka pengaruh negatifnya hanya menimpa individu. Namun
sebenarnya, jika ada seorang pecandu di sebuah keluarga atau masyarakat, maka yang akan
dipengaruhi oleh kecanduannya, bukan hanya individu itu sendiri, juga ayah-ibu-adik-kakakkakek-nenek-paman-bibi, tetangga, masyarakat, dan negara. Maka dalam penyalahgunaan
NAPZA ada istilah co-dependent, co-co dependent, co-co-co dependent dan seterusnya.
Ibarat, jika adiknya pecandu NAPZA, kakaknya jadi susah karena disuruh mencari adiknya
yang tidak pulang-pulang, kakaknya terganggu sekolah/kerjanya karena waktu tersita, orang
tua membiayai pencarian atau mengganti barang tetangga yang dicuri anak untuk membeli
narkoba, kondite keluarga jelek sehingga mempengaruhi promosi jabatan. Demikian juga

dengan keluarga besar terkena imbasnya, karena orang tua meminta bantuan kepada
keluarga besar. Tetangga tidak merasa nyaman ketakutan barangnya hilang dicuri, dan
ketidaknyamanan lanjutan. Bagaikan melempar kerikil di danau, riaknya bergelombang ke
sekitarnya, tidak ada hentinya.
Dari gambaran itulah maka penyalahgunaan NAPZA perlu diberantas. Salah satu upaya
adalah dengan rehabilitasi korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA di UPT Rehsos
ANKN, jl. Balongsari Dalam I no. 1 Surabaya.
C. Upaya Apa Saja yang Dilakukan untuk Mengurangi (Memberantas?) Penyalahgunaan
NAPZA?
Secara garis besar upaya P4GN (Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran

Gelap Narkoba) di Indonesia pengikuti alur supply reduction (pengurangan pasokan) yang
menjadi tugas jajaran Kepolisian, Bea Cukai, dll. Kemudian demand reduction (pengurangan
permintaan) dengan rehabilitasi menjadi tugas Kemensos-Dinsos-UPT Rehsos ANKN
Surabaya, dan harm reduction (pengurangan dampak buruk dari perilaku yang beresiko).
Beberapa institusi bergerak dalam bidang harm reduction (HR) seperti Kemenkes-DinkesDinsos-LSM dll. Upaya mereka diantaranya penjangkauan pecandu yang telah mengidap
HIV/AIDS, pembagian jarum suntik steril, pengobatan HIV/AIDS, dll.
Bahasan untuk sub ini dibatasi pada upaya rehabilitasi. Rehabilitasi disini dalam arti luas,
yaitu rehabilitasi primer (ditujukan bagi yang belum pernah terkena NAPZA agar tidak pernah
mencoba), rehabilitasi sekunder (ditujukan bagi seseorang yang memakai sekali-kali, reguler
memakai dan pecandu) serta rehabilitasi tertier (ditujukan bagi seseorang yang telah
direhabilitasi, diberikan program relapse prevention agar mereka tidak kembali jatuh
memakai NAPZA).
UPT Rehsos ANKN Surabaya melakukan semua rentang rehabilitasi tersebut dan kegiatan lain
yang menunjang para korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA agar dapat hidup lebih
“normal”. Rincian kegiatan yang dilakukan di jl. Balongsari Dalam I no. 1 adalah :
1. Rehabilitasi primer, cakupannya :
a. Pencegahan, dengan melakukan penyuluhan, sosialisasi program, deteksi dini,
konsultasi, dll
b. Melakukan rehabilitasi sistem reguler kepada laki-laki usia 18-30 tahun, belum
berkeluarga, sehat jasmani dan rohani, rentan memakai NAPZA karena di

lingkungannya relatif banyak pemakai, tidak sekolah/bekerja, memiliki keinginan
untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, dll.
2. Rehabilitasi sekunder
Melakukan rehabilitasi kepada laki-laki, usia 14 s.d. tidak terbatas, sehat jasmani dan
rohani kecuali dual diagnosis karena NAPZA
3. Kegiatan rehabilitasi tertier
Ditujukan bagi para recovering addict/RA (orang yang berada dalam masa pemulihan
dari kecanduan/mantan pecandu). Melalui program relapse prevention dengan cara
family support group (FSG), peer support group (PSG), pelatihan keterampilan,
magang/PBK, pemberian bantuan stimulan usaha berupa peralatan bengkel, pemberian
bantuan pengembangan usaha berupa pelatihan kewirausahaan dan bantuan alat,
pengusulan Usaha Ekonomis Produktif (UEP) dan Bantuan Pengembangan Usaha

4.

5.

6.

7.

8.

Ekonomis Produktif (BPUEP) sebesar @ Rp. 10.000.000,- bagi mantan klien yang telah
membuka usaha sendiri ke Kementerian Sosial setiap tahun.
Advokasi dan perlindungan sosial
Melakukan pembelaan agar hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat sesuai
dengan porsinya masing-masing, sehingga korban penyalahgunaan dan pecandu serta
keluarganya dapat terpenuhi. Misalnya melakukan pembelaan kasus di pengadilan bagi
korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA agar sebisanya direhabilitasi.
Pendampingan dan penjangkauan
Mendampingi korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA beserta keluarganya agar
anak/kerabat mau dimasukkan ke tempat rehabilitasi
Lembaga IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor)
Sejak tahun 2013 juga tahun 2014, UPT Rehsos ANKN Surabaya ditunjuk oleh
Kementerian Sosial c.q. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA
(Direktorat RSKPN) sebagai salah satu lembaga wajib lapor bagi korban penyalahgunaan
dan pecandu NAPZA agar mau direhabilitasi daripada ditangkap polisi dan menyebarkan
penyakit di dalam masyarakat
Ditunjuk BNN sebagai salah satu lembaga pilot project bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) yang memakai NAPZA

Pada triwulan III tahun 2015, setelah pada triwulan I dan II dilakukan rehabilitasi
beberapa bangunan, UPT Rehsos ANKN Surabaya akan menerima korban
penyalahgunaan dan pecandu NAPZA berjenis kelamin perempuan (kelengkapan sanpras
telah dituangkan dalam DPA tahun 2015 dan bebarapa proposal telah kami luncurkan ke
beberapa instansi). Hal ini sebagai jawaban dari kebutuhan masyarakat yang kesulitan
memasukkan anak/kerabatnya berjenis kelamin perempuan ke dalam lembaga
rehabilitasi tidak berbayar. Sebetulnya tuntutan rehabilitasi bagi klien berjenis kelamin
perempuan telah mengemuka sejak lama, namun disebabkan sanpras yang tidak
memadai, dan kesempatan perbaikan sanpras didapat tahun 2015, maka lembaga
rehabilitasi lintas jender ini baru mulai akan dibangun.

D. Mengapa Korban Penyalahgunaan dan Pecandu NAPZA Harus Direhabilitasi?
Telah dikemukakan sebelumnya mengenai efek negatif NAPZA secara fisik/ekonomi, mental,
sosial maupun keterampilan bagi individu maupun lingkungan terdekat, masyarakat lebih
luas dan negara.
Sayangnya, belum semua pihak secara konsisten dan simultan menyadari akan pentingnya
rehabilitasi bagi para korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA ini. Buktinya, masih
banyak dari mereka yang diberi hukuman pidana kurungan badan saat mereka berhadapan
dengan hukum. Pada hal sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa ketika seorang korban
penyalahgunaan dan pecandu dipenjara, maka bukannya “kapok” namun jenis kejahatan dan

modus operandi menyalahgunakan NAPZA baik di dalam maupun di luar penjara semakin
meningkat, bahwa ada yang stabilitas kejiwaannya lebih terganggu. Hal ini juga dialami oleh
beberapa klien dampingan penulis.
Demikian juga dengan kapasitas tampung Lapas yang rata-rata overload lebih dari 100 %.
Overload-nya Lapas ini menimbulkan implikasi negatif, bukan saja rasio ruangan dengan
penghuni yang tidak seimbang, pendanaan yang harus dicukup-cukupkan, SDM pegawai
tidak seimbang dengan banyaknya penghuni lapas mengakibatkan kurangnya pembinaan dan
pengawasan. Maka, kerusuhan di lapas bukan lagi suatu keanehan. Apalagi 40 % dari
penghuni Lapas adalah kasus NAPZA.

Ironisnya, daya tampung lembaga rehabilitasi belum mencukupi kebutuhan. Jika pada tahun
2013 saja jumlah pecandu di Indonesia diprediksi 4,9 juta maka, yang dapat tertampung di
lembaga rehabilitasi hanya sejumlah 18.000 ribu orang (Merdeka.Com, 2014), sangat sedikit
sekali, sisanya berkeliaran. Maka, sudah dapat dibayangkan bahwa merehabilitasi mereka
bukanlah upaya yang mudah, Belum lagi penelitian yang dilakukan peneliti asal Australia
yang sampai pada kesimpulan bahwa dari 1.000 orang pecandu yang direhabilitasi di seluruh
dunia, sampai seumur hidupnya tidak memakai NAPZA kembali hanya 1 orang atau 0,1 %
saja. Apakah dengan demikian, rehabilitasi merupakan hal yang sia-sia ? Jawabannya tidak
dapat dikatakan seperti itu. Hidden population merupakan mayoritas pecandu yang tidak
muncul ke permukaan. Populasi ini merupakan bahaya laten yang siap meledak sewaktuwaktu tanpa upaya konkrit.

Untuk memproteksi masyarakat, menstimulasi lembaga eksekutif dan legislatif mengeluarkan
aturan-aturan sebagai berikut :
1. Undang-undang RI nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika;
2. UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak/SPPA (Lembaran Negara
RI Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5332);
3. Perber Ketua MA, Menkumham, Menkes, Mensos, Jagung, Kapolri, Kepala BNN nomor:
01/PB/MA/III/2014, 03 tahun 2014, 11 tahun 2014, 03 tahun 2014, Per005/A/JA/03/2014, 1 tahun 2014, Perber/01/III/2014/BNN tanggal 11 Maret 2014
tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi (Berita Negara RI nomor 465 Tahun 2014).
4. Peraturan Menteri Sosial RI nomor 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya;
5. Permensos RI nomor 03/2012 tentang Standard Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan NAPZA;
6. SEMA nomor 04 tahun 2010 dan 03 tahun 2011 tentang penempatan Pecandu NAPZA di
Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial;
7. Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
Pecandu Narkotika (Tambahan Lembaran Negara RI nomor 5211);
8. Permendagri nomor 21 tahun 2013 tanggal 21 Pebruari tahun 2013 tentang Fasilitasi
Pencegahan Narkotika (Berita Negara RI Tahun 2013 Nomor 352);
9. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan,

Penertiban Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol;
10. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun
2014 Nomor 4 Tahun 2004 Seri E);
11. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 74 tahun 2012 tanggal 5 Desember 2012 tentang
Rencana Aksi Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Daerah Bidang P4GN Provinsi Jatim
Tahun 2011-2015 (Diundangkan dalam Berita Daerah Provinsi Jawa Timur tgl. 5-12-2012
No 74 Th 2012/D).
12. Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/159/KPTS/013/2005 tentang Komite
Penanggulangan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Provinsi Jawa Timur
(Diundangkan dalam Berita Daerah Provinsi Jawa Timur tgl 9-6-2005 No. 159 Th
2005/E2).

Menilik perundang-undangan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa upaya pemberantasan
NAPZA merupakan tanggung jawab bersama, pemerintah maupun swasta baik secara
individu maupun kelompok. Terlebih lagi peran pemerintah sangat diharapkan mengingat
sebagai pengayom masyarakat, memiliki pendanaan yang lebih stabil dibandingkan pihak
swasta, dalam hal ini LSM. Terjadi di Jawa Timur beberapa LSM NAPZA bubar atau
mengurangi pelayanannya dikarenakan penyandang dana mayoritasnya berasal dari Eropa
dan Amerika Serikat yang saat ini sedang mengalami krisis.
E. Pentingnya Peran UPT Rehsos ANKN Surabaya dalam Merehabilitasi Individu Rentan, Cobacoba, Reguler Pakai, Mantan Korban Penyalahgunaan dan Pecandu NAPZA, serta Pecandu
NAPZA
1. Berdiri sejak tahun 1979, saat itu korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA masih
disebut “Morphinis”;
2. Saat ini UPT Rehsos ANKN Surabaya adalah merupakan UPT yang melakukan rehabilitasi
NAPZA satu-satunya milik Pemprov Jatim
3. Setiap tahun, sampai tahun 2011 melakukan rehabilitasi terhadap kurang lebih 100
orang korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA yang datang dari berbagai pelosok
Jawa Timur, bahkan tidak jarang dari luar Provinsi Jawa Timur;
4. Pada tahun 2012 s.d tahun 2013, rentang waktu rehabilitasi dirubah menjadi per
semester (1 tahun 2 angkatan) bagi individu yang rentan, coba-coba, reguler pakai dan
mantan pecandu. Masing-masing angkatan berjumlah 55 orang. Sedang untuk pecandu
NAPZA masa rehabilitasi tetap setahun dengan jumlah klien maksimal 10 orang. Sehingga
total sasaran dalam 1 tahun meningkat menjadi 130 orang;
5. Karena DPA dari tahun ke tahun tidak mengalami kenaikan, bahkan cenderung
mengalami inflasi dibarengi dengan kualitas sanpras yang semakin lama semakin
menyusut, maka kapasitas tampung (output) pada tahun 2014 dikurangi menjadi 110
orang;
6. Pada tahun 2015, terjadi peningkatan kuantitas DPA. Namun, dengan harapan terjadi
peningkatan sanpras dan perluasan jangkauan pelayanan terhadap korban
penyalahgunaan dan pecandu NAPZA perempuan, maka output tetap 110 orang;
7. Pada tahun 2006 s.d. 2009, UPT Rehsos ANKN Surabaya dijadikan pilot projek penerapan
metode rehabilitasi Therapeutic Community (TC) bagi pecandu NAPZA;
8. Dalam menjalankan pelayanan dan rehabilitasinya, UPT Rehsos ANKN Surabaya
menjalankan prinsip-prinsip ilmu pekerjaan sosial sebagai ilmu utama yang diterapkan
serta ilmu tentang sifat dasar pecandu;
9. Maka, ada tahapan pelayanan dalam menangani mereka. Mulai dari pendekatan awal,
kemudian asesmen (pemahaman dan pendalaman masalah, rencana intervensi,
intervensi, evaluasi-terminasi-rujukan dan pembinaan lanjut
10. Dari proses yang dilakukan pada nomor 9, rata-rata kondisi klien seperti yang
dicantumkan pada tabel berikut :

F. PERSENTASE RATA-RATA KEADAAN KLIEN UPT REHSOS ANKN SURABAYA DARI TAHUN 2010 S.D. TAHUN 2014
% ASESMEN MASALAH

PERSENTASE PEMBINAAN

PERSENTASE OUTCOME

PERSENTASE OUTPUT

Ringan

Sedang

Berat

Fisik

Mental

Sosial

Vocational

Fisik

Mental

Sosial

Vocational

Diterima
bekerja

50

30

20

10

30

40

20

70

80

80

80

40

Keterangan :

Buka usaha
sendiri

Kembali
ke sekolah

Kembali
ke OT

10

10

40

persentase rata-rata keadaan klien UPT Rehsos ANKN Surabaya ini berdasarkan data mulai tahun 2010 s.d.tahun 2014

1. % ASESMEN MASALAH
a. Ringan
:
rentan menggunakan dan coba-coba memakai NAPZA (50 %)
b. Sedang
:
Reguler menggunakan dan mantan pecandu NAPZA (30 %)
c. Berat
:
Jika tidak memakai NAPZA 1 hari mengalami ketergantungan secara fisik/withdrawal (20 %)
2. PERSENTASE PEMBINAAN
Inti dari pelayanan dan rehabilitasi di UPT Rehsos ANKN Surabaya adalah bimbingan mental dan sosial, dengan persentase sebagai berikut :
a. Bimbingan fisik (permakanan, kesehatan, kebersihan, kerapian dan ketertiban diri serta lingkungan) (10 %)
b. Bimbingan mental/intelektual, psikologi, spiritual, estetika (30 %)
c. Bimbingan sosial (cara berteman, cara berkomunikasi dan menjalin relasi, cara berorganisasi, cara hidup dalam masyarakat, norma dan nilai, kegiatan rekreatif dan
keolahragaan)
d. Bimbingan vocational (teori dan praktek keterampilan, magang/PBK, kewirausahaan, testimoni mantan klien yang berhasil, pemberian bantuan stimulan, pemberian
bantuan pengembangan, BPUEP)
3. PERSENTASE OUTCOME
Menunjukkan kualitas tampilan, sikap dan perilaku yang ditampilkan setelah keluar dari UPT Rehsos ANKN Surabaya
a. Tampilan fisik. Jika klien diterima sebagai karyawan di sebuah bengkel, maka saat di bengkel dan beberapa bulan kemudian kelihatan kumal serta berat badannya
menurun. Artinya, bekerja di bengkel harus usaha keras. Lain lagi klien yang diterima di showroom sepeda motor atau mobil akan lebih terlihat bersih dan rapi. Jadi
kebersihan, kerapian klien tergantung dari kedudukan klien saat ini. Pegawai bengkel lebih kurus dan kumal dibanding jenis output yang lain. Maka skor outcome fisik
(70 %)
b. Kualitas Mental. Ini yang patut dibangggakan, mereka lebih mandiri dan pola pikirnya lebih terbuka dibandingkan saat masih di UPT, pengetahuan mereka lebih luas,
tingkat amalan agamanya sendiri lebih intens, demikian juga dengan tingkat sensifitasnya terhadap perasaan sendiri dan orang lain lebih terasah (80 %). Namun, bagi
pecandu berat, beberapa bulan setelah keluar dari UPT, mayoritas kembali lagi ke kejatuhan semula jika proram aftercare (seperti FSG dan PSG-nya kurang intens).
c. Keterampilan sosial. Setelah kembali ke masyarakat mau tidak mau mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, bukan lingkungan yang mengikuti
mereka, sehingga keterampilan bersosialisasi mereka lebih dipercepat, lebih banyak menahan diri dan toleransi, cara bicara lebih dijaga, tidak seperti di UPT merasa
mereka tidak akan mendapatkan sanksi yang terlalu berat, lain dengan sanksi yang diberikan masyarakat (80 %)

d. Kemampuan vocational. Yang paling menonjol adalah orientasi bekerja sebelum masuk dan sesudah masuk UPT. Diakui oleh seluruh orang tua klien bahwa orientasi
untuk bekerja sebelum dan sesudah dari UPT sangat berbeda jauh. Saat sebelum menjalani rehabilitasi di UPT, mereka rata-rata adalah orang pemalas, banyak tidur,
keluyuran, cangkruk di warung kopi sambil merokok. Namun setelah selesai menjalani rehabilitasi di UPT, orientasi mereka untuk bekerja atau membuka usaha sendiri
atau melanjutkan sekolah jauh lebih tinggi (80 %)
e. PERSENTASE OUTPUT
a. Rata-rata setiap angkatan, 40 % diterima bekerja di bengkel tempat magang. Namun, tidak selalu pekerjaan tersebut diterima oleh klien, disebabkan ingin bekerja di
daerah asal atau merasa antara gaji yang diterima tidak mencukupi untuk hidup di Surabaya (40 %)
b. Membuka usaha sendiri. Setiap tahun selalu ada klien yang membuka usaha sendiri, baik sesuai dengan asal keterampilannya maupun keluar dari jalur keterampilan
yang diperoleh saat di UPT (10 %)
c. Kembali ke sekolah. Rata-rata kegiatan tersebut dilakukan oleh pecandu dengan katagori berat. Setelah program re-entry ( stay in, work out), rata-rata RA yang
masih berusia muda ingin melanjutkan sekolah atau kuliah atau kursus. Namun bukan berarti tidak ada klien katagori ringan dan sedang yang melanjutkan
sekolah/kuliah/kursus (10 %)
d. Kembali ke orang tua. Bagi klien yang diterima kerja namun tidak diambil, tidak diterima bekerja di tempat magang, tidak membuka usaha sendiri bisanya
membantu orang tua di rumah, termasuk membantu usaha orang tua.

G. Kegiatan-kegiatan Lain yang Telah dan Akan Dilakukan UPT Rehsos ANKN Surabaya Selain
Melakukan Rehabilitasi
1. Pembelaan kasus
Sejak tahun 2010, beberapa karyawan UPT Rehsos ANKN merupakan pendamping
pembelaan kasus di pengadilan, bisa sebagai saksi yang meringankan, bisa juga sebagai
saksi ahli. Dari kasus-kasus yang ditangani, proporsi vonis rehabilitasi dan vonis kurungan
badan berbanding 50 : 50. Untuk vonis kurungan badan, tidak ada yang lebih dari 4
tahun.
2. Beberapa karyawan juga di-SK-kan Kemensos sebagai pendamping penerima BPUEP
sejak tahun 2012 sampai dengan sekarang
3. Seringkali diundang menyuluh dalam seminar dan pelatihan. Baik sebagai moderator,
pembicara, maupun sebagai peserta
4. Triwulan I dan II tahun 2015, dalam proses rehab gedung
5. Triwulan III dan IV tahun 2015, akan menerima korban penyalahgunaan NAPZA jenis
kelamin perempuan
6. Triwulan II tahun 2015, akan merekrut 1 orang konselor adiksi perempuan
7. Telah mengajukan permohonan bantuan 2 orang shakti peksos NAPZA untuk tahun 2015
(1 orang laki-laki, 1 orang perempuan)
8. Sedang dalam proses pengajuan rehabilitasi rumah dinas pinggir jalan di Manukan.
Rencananya akan digunakan sebagai sheltered workshop, dengan maksud untuk ajang
pamer kemampuan binaan UPT, juga dapat dimanfaatkan para alumni yang ingin bekerja
di Surabaya, juga berfungsi sebagai rumah singgah bagi alumni yang beberapa hari
berkunjung di Surabaya.
H. Hal-hal Eksklusif yang Dimiliki UPT Rehsos ANKN, jl. Balongsari Dalam I no. 1 Surabaya dan
Tidak Dimiliki UPT Lain
1. Melibatkan beragam stakeholder (pemangku kepentingan), seperti BNN, Kemensos,
Kemendagri, Kemenkes, KPAI (Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia), Kepolisian,
Kejaksaan, Kehakiman, Kemenkumham, LSM dan lain-lain
2. Beragam profesi dilibatkan, yang berbeda adalah adanya konselor adiksi (yang tidak
dimiliki oleh UPT lain) serta pekerja sosial spesialisasi NAPZA
3. UPT harus bersifat relatif tertutup karena rentan penyalahgunaan NAPZA kembali, baik
karena faktor intern maupun ekstern, termasuk pemisahan asrama RA perempuan dan
RA laki-laki, disebabkan mereka sangat licin dan licik (sneakey)
4. Akibat yang ditimbulkan karena pemakaian NAPZA bersifat koprehensif, baik kerusakan
fisik/ekonomi-mental-sosial dan keterampilan. Pengaruhnya merembet/menular kepada
yang lain
5. Sifat-sifat yang ditimbulkan oleh pemakaian NAPZA pada seseorang sangat khas, maka
diperlukan pelatihan living in bagi staf yang akan terlibat dalam penanganan agar tidak
menjadi “korban” para klien. Penguasaan teori saja tidak cukup, karena penjabaran teori
masih belum menggambarkan ranah prakteknya
6. Ada kegiatan detoksifikasi, termasuk detiksifikasi cold turkey. Masing-masing
pelaksanaan detofsifikasi membutuhkan kondisi-kondisi tertentu
7. UPT Rehsos ANKN Surabaya adalah UPT Rehabilitasi satu-satunya yang dimiliki oleh
Pemprov Jatim, namun dengan permasalahan yang cukup kompleks dan memerlukan
sanpras dan SDM yang berkualitas
8. Jelasnya perundang-undangan akan pentingnya keterlibatan pemprov dalam
penanggulangan penyalahgunaan NAPZA
9. Telah ditunjuk sebagai lembaga IPWL oleh Kemensos sejak tahun 2013 dan 2014
10. Sebagai salah satu pilot projek BNN dalam program Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP)

11. Sulitnya membuat sobber (sembuh) para korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA,
mayoritas hanya recover (pulih) saja, sehingga para stakeholder penanggulangan
penyalahgunaan NAPZA harus memahami hal ini
12. Telah jatuhnya level ekonomi keluarga para korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA
untuk mengobatkan anak/kerabat agar pulih, dari tadinya level ekonomi atas, jatuh
menjadi level ekonomi menengah, dari level ekonomi menengah menjadi level ekonomi
bawah. Sehingga mayoritas dari mereka sudah tidak mampu lagi untuk membiayai
proses rehabilitasi. Akhirnya, campur tangan pemerintah diperlukan, pemerintah daerah
dengan akses mudah
13. Dengan mulai diterimanya UU nomor 35 tahun 2009, SEMA nomor 4 tahun 2010 dan
SEMA nomor 3 tahun 2011 dan Perber 7 lembaga/kementerian tahun 2014, maka
semakin banyak korban penyalahgunaan dan pecandu NAPZA yang direhabilitasi,
sehingga kecenderungan UPT akan overload (telah dialami UPT Rehsos ANKN), di tengah
terbatasnya panti rehabilitasi dibandingkan jumlah pemakai NAPZA
I.

Penutup
Maka dari berbagai spesifikasi tersebut, sepertinya tidak ada UPT lain yang relatif identik
dengan UPT Rehsos ANKN Surabaya, terutama permasalahan KN, sehingga pemisahan lokasi
layanan dengan permasalahan sosial lainnya perlu dilakukan, agar tidak menimbulkan efek
berganda dan fokus.