ASEP Artikel tentang Tanda Waqaf dan Tan

TANDA WAQAF DAN TANDA TAJWID
DALAM MUSHAF KUNO NUSANTARA *)
Oleh: Asep Saefullah
Peneiti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jl. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta; email: asepfm@yahoo.com

A. Pendahuluan
Kajian mushaf kuno (naskah Al-Qur’an kuno) di Indonesia
mengalami perkembangan yang menggembirakan. Penelitian
tentang bidang ini pernah dilakukan oleh Puslitbang Lektur
Keagamaan (Skr. Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan;
selanjutnya disebut Lektur) antara 2003-2006, yang selanjutnya
diteruskan

oleh

Lajnah

Pentashihan


Mushaf

Al-Qur’an

(selanjutnya disebut Lajnah) sejak 2007 sampai sekarang. Aspekaspek yang menjadi sasaran penelitian mushaf kuno antara lain
aspek teks dan perwajahan. Aspek teks umumnya meliputi rasm,
qira’at, tanda waqaf dan tanda tajwid. Sedangkan aspek
perwajahan di antaranya meliputi iluminasi dan kaligrafi.
Kajian mengenai aspek perwajahan dapat dikatakan cukup
banyak mendapat perhatian, misalnya oleh Annabel Teh Gallop,
Ali Akbar, dan M. Gazali, walapun aspek kaligrafinya belum
banyak tersentuh kecuali oleh Ali Akbar. 1 Sementara itu, aspek
*)*) Tulisan ini merupakan pengembangan dari beberapa artikel penulis
baik yang sudah terbit maupun yang belum dengan beberapa tambahan data
dan elaborasi lebih dalam, baik tentang mushaf kuno secara umum maupun
tentang tanda bacanya, yakni tanda waqaf dan tanda tajwid secara khusus.
Disajikan pada “Seminar Nasional Al-Qur’an”, Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, yang dilaksanakan pada 21 – 24 Mei 2013, di Hotel Le Dian, Serang
Banten.
1 Tentang kaligrafi Nusantara, lihat antara lain tesis Ali Akbar, “Kaligrafi
dalam Mushaf Kuno Nusantara: Telaah Naskah-naskah Koleksi Perpustakaan

Nasional RI”. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, 2005 dan tulisannya yang berjudul “Tracing individual styles Islamic
Calligraphy from Nusantara”, Jurnal Lektur Keagamaan, 5(2), 2007: 244–255.
Adapun tentang seni mushaf, antara lain dua tulisan Annabel Teh Gallop, “Seni
Mushaf di Asia Tenggara” dalam Jurnal Lektur Keagamaan, 2(2), 2004, h. 121-

1

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

teks masih kurang mendapat perhatian, kecuali aspek rasm.
Belakangan, aspek qira’at mulai mendapat perhatian serius
terutama setelah pemekaran Lajnah dari Lektur tahun 2007.
Penerimaan pegawai Lajnah dari unsur huffàî (para penghafal)
Al-Qur’an dan ahli Al-Qur’an memberikan angin segar bagi
pengkajian aspek qira’at dalam mushaf kuno. Beberapa orang
yang pernah membahas aspek qira’ah adalah Fathoni, Mustofa,
dan Zaenal Arifin, dan beberapa bagian dalam hasil-hasil
penelitian mushaf kuno oleh sebagian peneliti


Lajnah tahun

2012 lalu.
Adapun aspek tanda baca, khususnya tanda waqaf dan
tanda tajwid tampaknya belum menjadi perhatian khusus kecuali
disinggung sekilas sebagai bagian dari penelitian mushaf kuno.
Oleh karena itu, kedua aspek ini masih menyisakan berbagai hal
yang perlu diungkap. Misalnya, sebagaimana pada Mushaf
Standar Indonesia (selanjutnya disebut Mushaf Standar) terdapat
enam buah tanda waqaf, yaitu mim (‫ )م‬untuk waqaf lazim, jim (‫)ج‬
untuk waqaf jaiz, qalà (‫ )قلى‬untuk waqaf jaiz pula, tetapi berhenti
lebih baik, êalà (‫ )صلى‬juga untuk waqaf jaiz tetapi terus lebih
baik, lam alif (‫ )ل‬tanda tidak boleh berhenti kecuali pada akhir
ayat, dan mu’anaqah (

...

) tanda berhenti pada salah satu

tanda dan tidak boleh berhenti pada tanda yang lain. 2 Sedangkan

tanda tajwid yang terdapat pada Mushaf Standar adalah tanda
iqlab, yaitu huruf mim (‫ )م‬setelah nun sukun atau tanwin yang
bertemu huruf ba (‫ )ب‬yang diletakkan di atas huruf ba (‫)ب‬,

143 dan “The Art of the Qur’an in Java”, Suhuf, 5(2), 2012, h. 215-229, serta
artikel Asep Saefullah, “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan
Museum Istiqlal, Jakarta”, Jurnal Lektur Keagamaan, 5(1), 2007, h. 39-62.
2 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi pada MushafMushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal Jakarta”, Suhuf, 1(1),
2008, h. 100-101. Penjelasan tentang tanda waqaf dalam Mushaf Standar
Indonesia. Lihat misalnya Mushaf Standar Indonesia yang diterbitkan
Kementerian Agama tahun 2012.

2

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

seperti (‫ )ممنن مببنعمد‬dan tanda idgam dengan syiddah (ّ) sesudah nun
sukun atau tanwin pada huruf sesudahnya, seperti (‫)بمنن ي ّبقلنولل‬.
Sesungguhnya, kedua aspek ini, yakni tanda waqaf dan
tanda tajwid mengalami perkembangan terus menerus hingga

dilakukan

standardisasi

oleh

Kementarian

Agama

RI

(dl.

Departemen Agama) melalui Musyawarah Kerja Ulama Ahli
Tashih Al-Qur’an sebanyak 9 kali, mulai tanggal 5 Pebruari 1974
s.d. 25 Pebruari 1983.

3


Dan, untuk tanda tajwid hampir hilang

dari penulisan mushaf Al-Qur’an saat ini kecuali tanda iqlab
dengan huruf mim (‫)م‬. Di sisi lain, kita menyaksikan kreasi dalam
pencetakan Al-Qur’an yang menggunakan sistem warna untuk
tanda tajwid.4 Perkembangan ini dapat dikatakan memiliki akar
tradisi dalam sejarah penyalinan mushaf Al-Qur’an di masa
lampau, yang memiliki tujuan yang sama, antara lain untuk
mempermudah pengajaran dan pembacaan Al-Qur’an.
Berdasarkan

pemikiran

di

atas,

tulisan

ini


mencoba

mengangkat tema terkait dengan tanda waqaf dan tanda tajwid
pada mushaf kuno Nusantara. Pembahasan tentang tanda tajwid,
secara umum menyangkut bacaan nun sukun dan tanwin,
walaupun sebagian mushaf kuno menggunakan tanda-tanda
tertentu untuk hukum bacaan mad dan mim sukun. Sementara
itu, pembahasan tanda waqaf meliputi tanda-tanda sebagaimana
tanda-tanda waqaf pada Mushaf Standar dan beragam tanda
lainnya pada mushaf-mushaf kuno yang kini tidak dijumpai lagi
3 Pembahasan tentang tanda waqaf dilakukan pada Muker V, tanggal 5
dan 6 Maret 1979 bertepatan dengan tanggal 6 dan 7 Rabi’ulakhir 1399 H.,
bertempat di Jakarta oleh Tim Lanjah yang pada saat itu sebagai Tim Ad Hoc
pada Lembaga Lektur (Skr. Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan).
Maidir Harun, dkk. (Eds.), Profil Puslitbang Lektur Keagamaan: Puslitbang
Lektur Keagamaan dari Masa ke Masa. (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan,
2009), h. 183-186, lebih khusus h. 185.
4 Fahrur Rozi, “Standardisasi Mushaf Al-Qur'an Tajwid Warna di
Indonesia”,

http://lajnah.kemenag.go.id/artikel/44-mushaf-standar/84standardisasi-mushaf-al-quran-tajwid-warna-di-indonesia.html,
di-upload
Kamis, 29 September 2011. Diakses 23 Maret 2013.

3

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

pada

Mushaf

Standar.

Sebagai

bahan

untuk


sekadar

menunjukkan adanya perubahan dan kesinambungan pada
penggunaan tanda waqaf dan tanda tajwid tersebut, penulis
membandingkan beberapa mushaf kuno dengan Mushaf Standar
dan mushaf terbitan Al-Ma’arif Bandung tahun 1957,5 dan Mushaf
Madinah.
B. Perkembangan Penulisan Mushaf di Nusantara
Pada awal milenium ke-3, atau tahun 2000-an, kajian
mengenai mushaf kuno Nusantara dan khususnya di Indonesia
mulai berkembang. Puslitbang Lektur Keagamaan (Skr. Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan) Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama telah melakukan serangkaian pendataan
dan penelitian tentang mushaf kuno di berbagai wilayah di
Indonesia.

Beberapa

hasil


penelitian

tersebut

telah

dipublikasikan oleh Lektur tahun 2005. 6 Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, perkembangan penulisan mushaf Al-Qur’an
di Indoensia digambarkan sebagai berikut:
Penulisan Al-Qur'an di Nusantara diperkirakan telah ada sekurangkurangnya sejak sekitar akhir abad ke-13, ketika Pasai, di ujung laut Pulau
Sumatra, menjadi kerajaan pesisir pertama di Nusantara yang memeluk
Islam secara resmi melalui pengislaman sang raja. Meskipun demikian,
mushaf dari masa ini tidak ditemukan, dan mushaf tertua yang diketahui
sampai saat ini berasal dari akhir abad ke-16, tepatnya Jumadilawal 993 H
(1585), dari koleksi William Marsden.
Dalam penelitiannya mengenai mushaf koleksi berbagai lembaga di
Inggris, Gallop memeriksa naskah-naskah koleksi William Marsden―pernah
bekerja di Bengkulu pada akhir abad ke-18―yang sekarang disimpan di
perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS), University of
London. Di antaranya sebuah mushaf nomor MS 12716 yang berkolofon

bahasa Arab, Jumadilawal 993 (1585). Berdasarkan kertas, bentuk buku dan
kaligrafinya, Gallop berkesimpulan bahwa naskah tersebut dari Indonesia,
mungkin dari Sumatra. Sebuah mushaf tua di Masjid Agung Banten diklaim
ditulis pada 1553 M—seperti yang tertulis pada keterangan naskah—namun
bukti tertulis atau bukti pendukung mengenai kepastian angka tahun
tersebut belum ada.
5 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 101.
6 Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar (Eds.), Mushaf-mushaf Kuno di
Indonesia I. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005).

4

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

Mushaf tertua kedua bertanggal 7 Zulqa’dah 1005 H (1597), ditulis oleh
seorang ulama al-Faqih as-Salih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adni,
di Ternate, Maluku Utara. Naskah mushaf tua lainnya ditemukan di Belanda,
yang diperoleh di Johor pada tahun 1606, dengan kolofon berbahasa Jawa.
Penyalinan Al-Qur’an secara tradisional terus berlangsung sampai akhir
abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota atau
wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Padang,
Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Madura, Lombok,
Banjarmasin, Samarinda, Makassar, dan Ternate. Warisan penting masa
lampau tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum,
pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang cukup banyak. 7

Perlu disampaikan pula, mengapa penyalinan mushaf AlQur’an menjadi penting dan banyak dilakukan pada masa lalu.
Salah satu alasannya adalah untuk kepentingan dakwah dan
pengajaran Al-Qur’an. Alasan lain adalah karena adanya sponsor
dari para tokoh, raja/sultan, atau orang-orang Muslim yang kaya.
Ini merupakan salah satu kesimpulan yang dirangkum dari hasil
penelitian Lektur seperti penjelasan berikut:
Penyalinan mushaf kuno sejak awal didorong oleh semangat dakwah dan
mengajarkan Al-Qur'an. Karena pada masa itu belum ada teknologi untuk
penggandaan naskah dalam jumlah besar, semua naskah mushaf ditulis
tangan. Tetapi, di penghujung abad ke-19 M minat penulisan mushaf alQur’an di Indonesia semakin berkurang. Bahkan, diperkirakan pembuatan
seni mushaf al-Qur’an di Nusantara mulai terhenti pada awal abad ke-20.
Kenyataan ini diperkirakan merupakan akibat dari penjajahan yang
berkepanjangan, sehingga menghambat penyalinan dan penyebaran alQur’an, dan belum ada teknologi percetakan yang dapat memproduksi
mushaf secara cepat dalam jumlah banyak.
Penulisan mushaf al-Qur’an, dalam sejarah, lazimnya disponsori oleh
salah satu dari tiga pihak sebagai berikut: kerajaan, pesantren dan elite
sosial. Pada zaman dahulu banyak mushaf al-Qur’an ditulis oleh para ulama
atau seniman atas perintah raja-raja atau sultan di suatu tempat. Mushafmushaf kuno yang ada di bekas pusat-pusat kerajaan lama membuktikan
hal tersebut. Di samping itu, pesantren, yang merupakan pusat pendidikan
Islam tradisional sejak berabad lalu, juga memegang peranan penting
dalam penulisan al-Qur’an, seperti mushaf yang ada di Pesantren Tegalsari
di Ponorogo, Jawa Timur, Pesantren Buntet di Cirebon, dan lain-lain. Pihak
lain yang merupakan sponsor penulisan mushaf adalah elite sosial, mereka
yang sejahtera secara sosial-ekonomi. Ini terjadi pada zaman dahulu, dan

7 Ibid., h. vii-viii. Dalam buku ini dijelaskan bahwa mushaf yang
ditemukan di Johor telah dikaji oleh Peter G. Riddell dengan judul “Rotterdam
MS 96 D 16: The Oldest Known Surviving Qur’an from The Malay World”,
dimuat dalam Indonesia and the Malay World, 30(86), 2002. Sedangkan
tentang Mushaf Sultan Ternate, khususnya kolofonnya, telah ditelaah ulang
oleh Ali Akbar dengan judul “Mushaf Sultan Ternate Tertua di Nusantara?:
Menelaah Ulang Kolofon” yang dimuat dalam Jurnal Lektur Keagamaan, 8(2),
2010, h. 283-296.

5

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

sekarang, seperti Mushaf Ibnu Sutowo, dan terakhir Mushaf at-Tin atas
perintah HM Soeharto, mantan Presiden RI.8

Dalam perkembangan lebih lanjut terkait penelitian mushaf
kuno, Ali Akbar telah mengumpulkan berbagai data baru dan
mengoleksi foto-foto

mushaf kuno dari berbegai daerah dan

bahkan dari manca negara. Terkait perkembangan penyalinan
mushaf Al-Qur’an di Indonesia, terutama sejak abad ke-19, ia
menjelasakan:
Pada abad ke-19, dengan berkembangnya teknologi percetakan litografi
(cetak batu), penyalinan Al-Qur'an di Nusantara secara tradisional pelanpelan mulai ditinggalkan, dan beralih pada Al-Qur'an cetak. Al-Qur'an cetak
awal (early printed Qur'an) berasal dari India, Singapura dan Palembang,
sejak pertengahan abad ke-19, di samping Turki dan Mesir. Namun, karena
distribusi Al-Qur'an cetak awal pada waktu itu tidak merata di seluruh
wilayah Nusantara, penyalinan Al-Qur'an secara manual diperkirakan masih
berlangsung hingga penghujung abad ke-19, atau tahun-tahun awal abad
ke-20. Sejak saat itu, seiring dengan perkembangan teknologi percetakan
yang sangat pesat, penyalinan Al-Qur'an secara manual ditinggalkan, dan
tradisi seni Mushaf yang telah berlangsung selama berabad-abad di
Nusantara bisa dikatakan telah terhenti.
Setelah hampir satu abad terhenti, sejak akhir abad ke-19, era baru
dalam kreativitas seni mushaf tumbuh kembali sejak pembuatan Mushaf
Istiqlal pada tahun 1991, yang diprakarsai oleh beberapa ahli dari ITB
Bandung, seperti Mahmud Buchari, Prof. AD Pirous, Ir. Ahmad Noe’man, dan
beberapa sarjana serupa lainnya. Pembuatan Mushaf Istiqlal itu
berbarengan dengan penyelenggaraan Festival Istiqlal tahun 1991 dan
1995 di Jakarta. Mulai saat itu, gairah dalam pembuatan mushaf indah
tampak tumbuh kembali, dan sampai saat ini telah ada beberapa mushaf,
dalam bentuk naskah asli dan cetakan, yaitu Mushaf Sundawi (prakarsa
Pemda Jawa Barat, 1997), Mushaf at-Tin (prakarsa keluarga mantan
Presiden Soeharto untuk mengenang Ibu Tien, 2000), Mushaf Jakarta
(prakarsa Pemda DKI Jakarta, 2002), Mushaf Kalimantan Barat (prakarsa
Pemda Kalbar, 2003), dan Mushaf al-Bantani (prakarsa Pemda Banten,
2010). Semangat itu juga melahirkan gagasan untuk merekonstruksi dan
memodifikasi mushaf lama seperti Mushaf Karaton Yogyakarta Hadiningrat
(2011) yang didasarkan pada sebuah mushaf pusaka keraton.
Berbeda dengan seni mushaf pada zaman dahulu yang keseluruhannya
dibuat secara manual, “mushaf-mushaf kontemporer” ini dibuat dengan
memanfaatkan teknologi komputer. Namun, keduanya sama-sama indah,
mencerminkan kekayaan khazanah budaya bangsa Indonesia.9

8 Ibid. (Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar [Eds.], Mushaf-Mushaf
Kuno ...), h. ix-x.
9 Ali Akbar, “Seni Mushaf Nusantara dari Masa ke Masa”, http://qurannusantara. blogspot.com2013/03/seni-mushaf-nusantara.html, Minggu, 17
Maret 2013. Lihat juga Ali Akbar, “Khazanah Mushaf Kuno Nusantara”, dalam
Oman Fathurahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, (Jakarta: Puslitbang
Lektur Keagaman, 2010), h. 181-208.

6

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

Kutipan di atas menjelaskan secara ringkas perkembangan
penulisan mushaf Al-Qur’an sampai dengan lahirnya apa yang
disebut oleh Ali Akbar sebagai “era baru kreativitas seni mushaf”
di Indonesia. Kembali kepada sejarah penulisan mushaf Al-Qur’an
pada masa lalu, sesungguhnya banyak sekali peninggalan AlQur’an kuno yang tersebar di seluruh Nusantara. Bahkan di Pulau
Dewata, Bali, yang nota bene muslimnya minoritas, juga
ditemukan

puluhan

mushaf

kuno.10

Untuk

itu,

sekadar

memberikan ilustrasi mengenai mushaf-mushaf kuno tersebut,
beberapa contoh akan disajikan pada pembahasan berikut.
C. Deskripsi Mushaf Kuno: Beberapa Contoh
Penelitian terhadap mushaf kuno Indonesia semakin banyak
dilakukan sehingga naskah Al-Qur’an kuno pun semakin banyak
ditemukan. Ali Akbar adalah salah seorang yang mendedikasikan
dirinya

untuk

penelusuran

Al-Qur’an

kuno.

Untuk

mempublikasikan beberapa temuannya, ia rela membuka blog
gratisan

tetapi

sangat

bermanfaat,

yaitu

http://quran-

nusantara.blogspot.com. Sebagai contoh, ada baiknya penulis
memberikan beberapa gambaran umum tentang Al-Qur’an kuno,

10 Asep Saefullah dan M. Adib Misbachul Islam, “Beberapa Aspek
Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali: Sebuah Penelusuran Awal”, Jurnal
Lektur Keagamaan, 7(1), 2009, h. 53-90. Lihat pula E. Badri Yunardi,
“Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Keagamaan, 5(1),
2007, h. 1-18.

7

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

setidaknya yang pernah penulis kaji,11 sebagaimana diuraikan di
bawah.
Beberapa mushaf kuno koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum
Istiqlal (BQMI) penulis jadikan contoh agar lebih mudah untuk
memverifikasi dan melihat ulang koleksi tersebut, ditambah
dengan beberapa mushaf kuno dari Pulau Sumbawa NTB dan
Bali. Mushaf kuno BQMI dibatasi pada mushaf-mushaf yang
ditulis di atas kertas Eropa dan ber-watermark12 atau daluang13,
berusia lebih dari 50 tahun serta dalam bentuk manuskrip
(tulisan tangan). Pada tahun 2007, penulis mendata 22 mushaf
kuno dengan kategori demikian yang ada di BQMI, dan sepuluh
mushaf di antaranya masih lengkap (30 juz). Empat buah mushaf
ditulis di atas daluang, dan selebihnya ditulis di atas kertas Eropa
dengan watermark bermacam-macam, seperti Pro Patria, John
Hayes, dan lain-lain.14
11 Beberapa artikel penulis dijadikan sumber deskripsi ini, dengan
beberapa perbaikan, yaitu: “Kesucian dalam Keindahan: Seni Mushaf Al-Qur’an
dari Pulau Sumbawa”, Jurnal Lektur Keagamaan, 3( 2), 2005, h. 234-260;
“Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal
Jakarta”, Jurnal Lektur Keagamaan, 5(1), 2007: 39 – 62; “Mushaf Kuno dari
Pulau Sumbawa NTB: Telaah Aspek Teks dan Perwajahan” Makalah disajikan
dalam Seminar Hasil Diklat Fungsional Peneliti Tingkat Pertama, Pusbindiklat
LIPI, Cibinong, 2007; “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi pada MushafMushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal Jakarta”, Suhuf,1(1),
2007, h. 87-110, dan satu artikel ditulis bersama M. Adib Misbachul Islam,
“Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali: Sebuah
Penelusuran Awal”, Jurnal Lektur Keagamaan, 7(1), 2009, h. 53-90.
12 “Watermar (cap kertas): gambar, tulisan, atau tanda tertentu pada
kertas naskah, yang dibuat sebagai identitas kertas tersebut, dan bisa dilihat
dengan cara menerawangnya di depan cahaya”, lihat Oman Fathurahman,
dkk., Filologi dan Islam Indonesia, h. 100.
13 Daluang adalah “kain atau kertas yang dibuat dari kulit pohon”. Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, 2003, Cet. Ke-3, h. 233. Dalam Kamus Bahasa Sunda, daluang (kw)
adalah “kertas buatan baheula tina kulit kai jsb ‘kertas buatan jaman dahulu
dari kulit kayu, dsb”. Tedi Permadi, “Asal-Usul Pemenfaatan dan Karakteristik
Daluang”, dalam Oman Fathurahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, h.
216.
14 Asep Saefullah “Ragam Hiasan Mushaf Kuno...”, h. 44. Lihat juga
beberapa mushaf lain dalam Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar [Eds.],
Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia, dan beberapa laporan hasil penelitian
Lajnah tahun 2011 dan 2012.

8

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

Dalam penelitian penulis tahun 2007 tersebut diambil enam
naskah Al-Qur’an kuno sebagai sampel deskripsi, yaitu: (1)
Mushaf Lalino, Bima-NTB, (2) Mushaf Sarung Batik, Cirebon, (3)
Mushaf Solo, (4) Mushaf Kauman Timur, Semarang, (5) Mushaf
Pandeglang, dan (6) Mushaf Cipete. Nama-nama mushaf ini
didasarkan

pada

keterangan

dari

BQMI,

kecuali

Mushaf

Pandeglang dan Mushaf Cipete yang merujuk pada tempat
terakhir ketika mushaf-mushaf tersebut ditemukan.15 Berikut
gambaran umum keenam mushaf tersebut dan beberapa mushaf
lain dari NTB dan Bali.16
1. Mushaf Lalino Bima
Mushaf Lalino merupakan wakaf dari keluarga Kesultanan Bima Nusa
Tenggara Barat (NTB) melalui Hj. Siti Maryam Rahmat Salahuddin, puteri
ketujuh Sultan Bima, lengkap 30 juz. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa
dengan tanda air (watermark) JOHN HAYES 1815. Ukuran 35 x 22 cm...
Jumlah halaman mushaf ini adalah 598 halaman. Warna tinta hitam dan
merah. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan
menggunakan sistem pojok. Kata alihan (catchword) terdapat pada akhir
kuras.
2. Mushaf Sarung Batik Cirebon
Mushaf Sarung Batik berasal dari Kesultanan Cirebon Jawa Barat,
lengkap 30 juz dan dijilid ulang. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa yang
memiliki watermark Pro Patria. Ukuran 42 x 27 cm, .... Warna teks adalah
hitam. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan mushaf ini
“mengalir” apa adanya. Pada bagian verso dari setiap folio terdapat kata
alihan (catchword).
3. Mushaf Solo
Mushaf ini diidentifikasi berasal dari Solo. Sampulnya berwarna coklat
dari kulit imitasi polos (tanpa hiasan), lengkap 30 juz. Mushaf ini ditulis di
atas kertas dluang, tetapi tidak ada kolofon. Ukuran 31,5 x 22 cm.... Warna
tinta hitam. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan
mushaf ini masih ditulis apa adanya. Kata alihan (catchword) terdapat pada
setiap akhir kuras. Pada permulaan surah at-Taubah dalam mushaf ini tidak
terdapat basmalah, seperti juga pada mushaf-mushaf lain, tetapi terdapat
ta‘awwuž khsusus untuk surah ini seperti yang terdapat pada Mushaf
Standar Indonesia, yang berbunyi: ( ‫اعوذ بالله من النار ومن شر الكفار ومن غضب الجبار العزة‬
‫)لله ولرسوله وللمؤمنين‬.
15 Asep Saefullah “Ragam Hiasan Mushaf Kuno...”, h. 44 dan 44-46.
16 Deskripsi keenam mushaf kuno koleksi BQMI diambil dari artikel
penulis “Ragam Hiasan Mushaf Kuno...”, h. 44-46. Selebihnya diambil dari
beberapa tulisan penulis, baik yang sudah terbit maupun yang merupakan
laporan hasil penelitian di Lektur, antara 2005 s.d. 2010, dan beberapa data
baru dari hasil-hasil penelitian mushaf kuno yang dilakukan oleh Lajnah
sampai dengan 2012.

9

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

4. Mushaf Kauman Timur
Mushaf ini berasal dari Kauman Timur Kotamadya Semarang, lengkap
30 juz. Sampul mushaf berwarna coklat dari karton tebal dan dilapisi kulit
imitasi polos berwarna coklat. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa
dengan watermark Pro Patria dan coutermark Pannekoek. Ukuran 31,5 x 20
cm..... Jumlah halaman mushaf ini adalah 518 halaman. Warna tinta hitam.
Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan apa adanya. Kata
alihan (cacthword) terdapat pada halaman verso dari setiap folio.
5. Mushaf Pandeglang
Mushaf ini diperoleh dari Kampung Maluku Labuan Pandeglang Banten.
Kondisi mushaf tidak lengkap, tetapi sudah dikonservasi, dan ditulis di atas
kertas Eropa dengan watermark Pro Patria, macan membawa pedang dan
seorang kesatria di dalam pagar. Ukuran 30 x 19,5 cm.... Jumlah halaman
mushaf ini adalah 548 halaman. Warna tinta hitam. Pada mushaf ini
terdapat penjelasan qiraat lain. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Pada
mushaf ini juga terdapat “judul lari” di sebelah kanan atas pada setiap
halaman verso, berupa “awal juz” dan “nama surah” dan di sebelah kiribawah pada halaman yang sama terdapat kata alihan (catchword) juga
dengan tinta hitam dan khat Naskhi.
6. Mushaf Cipete
Mushaf diperoleh dari Cipete Utara Jakarta dan ditulis di atas dluang
dengan sampul dari kulit beriluminasi. Kondisi mushaf ini masih lengkap 30
juz.... Ukuran 20,5 x 18 cm.... Jumlah halaman 600 halaman. Warna tinta
hitam. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan mushaf ini
menggunakan sistem pojok. Kata alihan (catchword) hanya terdapat pada
setiap akhir juz dengan khat Naskhi warna hitam.
Pada mushaf ini ditemukan tanda nun êilah (sambung), yakni huruf /‫ن‬/
kecil yang diletakkan di atas setelah harakat tanwin yang bersambung
dengan hamzah wasal, seperti pada kalimat:
‫نانظر ويذيق بأس بعض‬
Pada awal surah at-Taubah tidak terdapat basmalah sebagaimana
mushaf-mushaf lain dan terdapat ta‘awwuž yang berbunyi: ‫اعوذ بالله من النار ومن‬
‫شر الكفار ومن غضب الجبار العزة لله‬. Pada mushaf ini tidak terdapat terusannya yang
berbunyi: ‫ولرسوله وللمؤمنين‬, seperti pada Mushaf Solo di atas misalnya, atau
pada Mushaf Standar Indonesia.

Demikian
Sementara

itu,

beberapa
dari

contoh

penelusuran

mushaf
penulis

kuno

dari

bersama

BQMI.
Ahmad

Rahman di Pulau Sumbawa NTB tahun 2005, ditemukan 13
mushaf Al-Qur’an kuno, baik dari masyarakat maupun dari ahli
waris kesultanan. Empat buah naskah ditemukan di Bima dan
sembilan naskah lainnya dari Sumbawa. Dari 13 naskah tersebut,
lima di antaranya masih lengkap. Naskah-naskah Al-Qur’an yang
berada di tangan ahli waris Kesultanan Bima dan Kesultanan
Sumbawa relatif terpelihara. Satu buah naskah Al-Qur’an yang

10

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

masih lengkap terdapat di ahli waris Kesultanan Bima. Al-Qur’an
ini dikenal dengan sebutan La Nontogama, yang berarti “jalan
agama”. Empat mushaf lainnya berada di tangan ahli waris
Kesultanan Sumbawa. Satu mushaf milik keluarga Abdul Majid
Daeng Matutu, saudara Sultan Sumbawa terakhir. Satu mushaf
lain berasal dari Lalu Muhammad Resyad atau Dae Bawa, yang
juga saudara Sultan Sumbawa terakhir. Pada tahun 2005, mushaf
ini berada di tangan putranya di Kompleks Istana Tua di
Sumbawa Besar. Dua mushaf lagi, saat itu, berada di tangan Putri
terakhir

Sultan

Muhammad

Kaharuddin,

di

Balla

Kuning,

Sumbawa, yang merupakan rumah kediaman Sultan Sumbawa
terakhir.17
Mushaf-mushaf kuno yang ditemukan di Sumbawa tersebut
antara lain ditulis di Sumbawa tahun 1199 H/1784 M oleh
Muhammad bin Abdullah Al-Buqisi, yang lahir dan dibesarkan di
Sumbawa (Mushaf Sumbawa 02). Mushaf-mushaf lainnya juga
ditulis di Sumbawa, tetapi sebagian tidak diketahui penulis dan
tahun penulisannya. Misalnya, Mushaf Datu Ranga juga ditulis
tahun ha, hari Jum’at, 15 Syawal 1282 H/1865 M, oleh Abu Na’im
bin Al-Hajj Abdul Karim Al-Imam Negeri Sumbawa dan Mushaf
Dea Bawa ditulis pada hari Kamis, 24 Muharam 1254 H/1838 M,
oleh Abdurrahman bin Ayyub bin Abdul Baqi As-Sumbawi, juga
seoarang yang berasal dari Sumbawa. Satu mushaf lagi ditulis di
Mekah tahun 1280 H/1863 M, oleh Abdurrahman bin Musa AsSumbawi, seorang yang berasal dari Sumbawa.18
Berdasarkan angka tahun pada mushaf-mushaf tersebut
diketahui bahwa penyalinannya terjadi antara abad ke-18 dan 19
M. Contoh salah kolofon terdapat pada halaman akhir mushaf
dari Sumbawa (Mushaf Sumbawa 02) sebagai berikut:
17 Asep Saefullah, “Mushaf Kuno dari Pulau Sumbawa NTB...”, h. 5.
18 Ibid., h. 6.

11

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

Gambar 01: Mushaf Sumbawa 02
(Foto milik penulis, 2005)
Kolofon terdapat dalam lingkaran:
Wa kànal-faràg min taëêìli hàžalmuêëafil-karìm nahàral-aëad fì
waqti-ýuëà maýat êamàniyah wa
‘isyrùn
yauman
min
syahr
žilqa‘dati-mubàrakah fì baladissumbàwà fì zamàni maulànà assulíàn Muëammad Hàrùn arRasyìd ibn as-sulíàn Muëammad
Iqàmud-dìn... sanah 1199 H. bi
khaíí
al-faqìr
al-ëaqìr...
Muëammad ibn ‘Abdullàh al-Jàwì
al-Bùqìsì wasy-Syìfi‘ì mažhaban
as-Sumbàwa baladan wa maulidan
wa waíanan...
(Maksudnya
kurang
lebih:
Mushaf ini ditulis di Sumbawa
pada zaman Sultan Muhammad
Harun
ar-Rasyid
bin
Sultan
Muhammad
Iqamuddin
tahun
1199 H/1784 M oleh Muhammad
bin Abdullah al-Jawi al-Buqisi, yang
lahir dan besar di Sumbawa, bermazhab Syafi’i)
(Sumber: Asep Saefullah, “Mushaf Kuno dari Pulau Sumbawa...”, h. 6)

Contoh lain adalah sebuah mushaf dari Bali yang diduga
tergolong mushaf tertua di Nusantara. Mushaf ini ditemukan di
Kampung Jawa, Singaraja. Mushaf ini memiliki kolofon yang
menunjukkan waktu penyalinannya pada 21 Muharram 1035 H
atau sekitar 1625-an M oleh ‘Abd Ëafiyyuddìn. Bunyi teks pada
kolofon tersebut sebagaimana di bawah:
“tammal-qur’àn fì yaumil-khamìs min syahr al-muëarram fì hilàli iëdà wa
‘isyrìna ba‘da alfi sanah khamsin wa šalà£ùna al-hijratun-nabawiyyah “ (AlQur’an ini selesai [ditulis] pada hari Kamis dari bulan Muharram pada

12

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

malam dua puluh satu pada tahun seribu tiga puluh lima [21 Muharram
1035] Hijrah Nabi).19

Gambar 02: Mushaf Kampung Jawa,
Singaraja, Bali
(Foto Milik Penulis, 2008)
Keterangan Fisik Mushaf:
Mushaf ini secara umum masih baik dan
dapat dibaca. Mushaf ini berukuran 24 X
16 cm, dengan jumlah halaman 769
halaman. Sampulnya terbuat dari kulit
berwarna coklat bermotif floral. Teks ayat
ditulis dengan menggunakan khat
naskhi. Jumlah baris setiap halaman 13,
kecuali halaman awal yang terdiri atas 7
baris dan halaman akhir yang terdiri atas
10 baris. Tinta yang digunakan berwarna
hitam. Untuk bagian yang berisi
keterangan awal surah, tinta yang
digunakan berwarna merah.

Mushaf lain dari Bali adalah Mushaf Masjid Agung Jamik,
Singaraja yang tergolong istimewa karena memiliki iluminasi
yang khas, yakni berupa rangkaian dari kalimat Là Ilàha Illallàh
Muëammadur Rasùlullàh yang dihias sedemikian rupa sehingga
membentuk bingkai hiasan yang mengelilingi teks ayat Al-Qur’an
(Gambar 03). Desain hiasan dan motif pewarnaannya memiliki
19 Asep Saefullah dan M. Adib MI, “Beberapa Aspek Kodikologi Naskah
Keagamaan Islam di Bali..., h. 69 dan 90. Foto di atas, lihat h. 90. Lihat pula Ali
Akbar,
“Mushaf
Al-Qur'an
Tertua
di
Indonesia”,
http://qurannusantara.blogspot.com/2012/04/mushaf-al-quran-tertua-diindonesia.html#more, di-upload Senin, 16 April 2012, dan diakses 17 April
2013. Ia menulis demikian:
Sejauh yang diketahui hingga sekarang, mushaf Al-Qur'an tertua yang kini
terdapat di Indonesia adalah sebuah mushaf yang selesai ditulis pada hari Kamis,
21 Muharram 1035 H (23 Oktober 1625 M). Penulisnya, seperti yang tercantum
pada kolofon di akhir mushaf, adalah Abd as-Sufi ad-Din. Ukuran mushaf 25 x 17 x
6,5 cm, jumlah 769 halaman, kertas dluwang (kulit kayu). Mushaf tersebut adalah
milik Bapak Muhammad Zen Usman, Singaraja, Bali. Sebuah mushaf tertua lainnya,
bertahun 1606, berasal dari Johor, Malaysia, kini terdapat di negeri Belanda.

13

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

unsur-unsur daerah lain, yakni Sulawesi dan Aceh. Bahannya
atau kertasnya adalah kertas Eropa dengan cap kertas (water
mark) yang termasuk kelompok Cressent buatan Italia. Kertas
jenis ini umumnya digunakan di Afrika. Asapun di Indonesia,
kertas jenis ini banyak digunakan di Aceh. 20
Gambar 03: Mushaf Masjid
Agung Jamik, Singaraja, Bali
(Foto Milik Penulis, 2008)
Keterangan Fisik Mushaf:
Al-Qur’an ini terdiri atas 682
halaman. Setiap halaman
terdiri atas 14 baris, kecuali
halaman awal yang terdiri atas
7 baris. Ukurannya sekitar 27 X
21 cm, dengan sampul
berukuran 33,5 X 22 cm, yang
terbuat dari kulit berwarna
merah maron dengan motif
floral. Bagian dalam sampul
naskah dilapisi kain saten. Sampul naskah memakai tutup (plup).

Dari

segi

kaligarafinya,

teks

ayat

ditulis

dengan

menggunakan khat Naskhi. Tinta yang digunakan berwarna
hitam. Pada bagian tertentu, seperti untuk menandai bacaan
mad, tinta yang digunakan berwarna merah. Secara umum,
naskah sudah lapuk, beberapa halaman kertas tampak sobek
dan bolong. Meskipun demikian, tulisan masih terbaca dengan
jelas. Pada halaman pelindung terdapat catatan yang tertulis:
“hàžal-waqf muêëaf masjid jàmi‘”. Menurut keterangan pengurus
takmir masjid, Muhlis Sanusi, yang juga Lurah Kampung Islam di
Singaraja tahun 2008, naskah mushaf ini ditulis oleh Gusti
Ngurah Ketut Jelantik Selagi, salah seorang keturunan Raja
Buleleng yang masuk Islam.21

20 Asep Saefullah dan M. Adib MI, “Beberapa Aspek Kodikologi Naskah
Keagamaan Islam di Bali..., h. 73.
21 Ibid., h. 65 dan 73. Foto di atas, lihat h, 86 (Gambar 10)

14

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

D. Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid dalam Mushad Kuno
Nusantara
Sebelum melihat tanda waqaf dan tanda tajwid pada
mushaf-mushaf kuno Nusantara, ada baiknya diuraikan terlebih
dahulu tanda-tanda tersebut, setidaknya dari dua mushaf di
Indonesia, yaitu: 1) Mushaf Standar Indonesia, dan 2) Mushaf
yang tergolong tua, yakni mushaf cetakan Al-Ma’arif Bandung
tahun 1957 (selanjutnya disebut “Mushaf Al-Ma’arif”). Hal ini
diperlukan untuk melihat perkembangan mutakhir penggunaan
tanda waqaf dan tanda tajwid. Di samping itu, sebagai pelengkap
kajian ini, penggunaan “warna” sebagai “penanda” hukum
bacaan tajwid akan disertakan pula dalam tulisan ini.
1. Gambaran Umum Perkembangan Tanda Waqaf dan Tanda
Tajwid
Dalam Mushaf Standar terdapat enam tanda waqaf,
yaitu: 1) Waqaf Lazim (
berhenti lebih baik (

), 2) Waqaf Jaiz ( ), 3) Waqaf Jaiz tetapi

), 4) Waqaf Jaiz tetapi terus lebih baik (

),

5) Tanda tidak boleh berhenti kecuali di akhir ayat ( ), dan 6)
Waqaf pada salah satu tanda/Mu‘ànaqah (

). Berikut uraian

keenam waqaf tersebut sebagaimana terdapat pada bagian akhir
Mushaf Standar (h. 5).

15

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

Tabel 1:
‘Alàmatul-Waqfi (Tanda-Tanda Waqaf)
N
o.
1

Simb
ol

Keterangan
‘alàmatul-waqfil-làzim wa huwallažì yata‘ayyanu fìhil-waqfu wa là
yajùzu-lwaêlu ‘indahu (tanda
waqaf lazim: harus berhenti, tidak
boleh terus)
‘alàmatul-waqfil-jà’iz wa huwallažì yastawì fìhil-waqfu wal-waêlu
(tanda waqaf jaiz: boleh berhenti
atau terus, sama hukumnya)
‘alàmatul-waqfil-jà’iz ma‘a kaunilwaqfi aulà (tanda waqaf jaiz boleh
berhenti atau terus, tetapi lebih
baik berhenti/waqaf)
‘alàmatul-waqfil-jà’iz ma‘a kaunilwaêli aulà (tanda waqaf jaiz boleh
berhenti atau terus, tetapi lebih
baik terus/waêal)
‘alàmatu ‘adami jawàzi-lwaqfi
‘indal-fàêilah fa yustaëabbulwaqfu ‘indal-akšatìn (tanda waqaf
tidak boleh benhenti/waqaf
kecuali pada akhir ayat, maka

2

3

4

5
Gambar 04:
Tanda Waqaf Mushaf Standar Indonesia
(Cetakan 2012)

Dalam Mushaf Al-Ma’arif yang terbit tahun 1957, terdapat
sepuluh rumus tanda waqaf, yaitu: 1) mim ( ) untuk waqaf lazim,
2) ía ( ) untuk waqaf mutlak, 3) jim ( ) untuk waqaf jaiz, 4) zai (
)

untuk

waqaf

mujawwaz,

murakhkhaê, 6) Qif (

5)

êad

(

)

untuk

waqaf

) untuk waqaf lebih baik, 7) Qaf ( ) untuk

waqaf menurut sebagian ulama, 8) êalà (

) untuk boleh waqaf

tetapi terus lebih baik, 9) lam alif ( ) untuk tanda tidak boleh
berhenti, dan 10) Kaf (

) untuk waqaf sebagaimana waqaf yang

sebelumnya. Kesepuluh rumus ini terdapat pada halaman 549
Mushaf Al-Ma’arif tersebut, sebagaimana gambar di bawah.22

22 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, khususnya
h. 99-100, dan 107.

16

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

Gambar 05:
Rumus Simbol Tanda Waqaf
dalam Mushaf Al-Ma’arif,
Bandung, 1957, h. 549.

Keternganan lengkap mengenai tanda-tanda waqaf tersebut
juga dijelaskan pada bagian “mulëaq” (lampiran) Mushaf ini,
setelah pembahasan Kitab Tajwid, yaitu pada halaman 16-18,
dengan empat tambahan, yaitu: 11) saktah (
(

), 13) tanda seperti “sin riq‘ah” (

), 12) Mu‘ànaqah

), dan 14) kepala ‘ain (

).

Di dalam kedua mushaf di atas, hampir tidak ditemukan
simbol untuk menendai hukum bacaan tajwid kecuali hukum
bacaan iqlab dengan simbol huruf mim (‫ )م‬seperti pada kalimat (
‫ب بعند م‬

‫م‬

‫ن‬
‫) م‬. Tanda lainnya adalah tanda mad wajib berupa garis
‫م ن‬

meliuk ( ) seperti pada kalimat (

); dan tanda mad jaiz

berupa berupa garis meliuk juga tetapi dengan ekor kecil ke
bawah di sebelah kiri (

), seperti pada kata ( Mad Wajib
) (Lihat

Gambar 06 di bawah).

Iqlab
Mad Jaiz
Gambar 06: Surah al-Baqarah/2: 158-159 (Mushaf Al-Ma’arif, 1957, h. 23)

Beberapa tahun belakangan ini, sebagian penerbit Al-Qur’an
menggunakan sistem warna sebagai tanda tajwid. Pada tahun
2011,

Lajnah

melakukan

standardisasi

penggunaan

warna

sebagai tanda tajwid dengan diterbitkan dan disahkannya
Pedoman Tajwid Sistem Warna seperti dilaporkan Fahrur Rozi.
Dalam laporannya, ia menjelaskan tiga hal, yaitu: 1) Sistem
Pewarnaan, 2) Warna yang digunakan dan penerapannya dalam

17

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

hukum

tajwid,

dan

3)

Sistem

pewarnaan

pada

tajwid.23

Penjelasan ringkas mengenai ketiga hal tersebut adalah sebagai
berikut:
Hal-hal yang diputuskan dan ditetapkan dalam buku Pedoman Tajwid
Sistem Warna, antara lain meliputi:
A. Sistem pewarnaan dirumuskan menjadi empat kelompok:
1. Kelompok hukum bacaan huruf, meliputi: idgam bilagunnah, idgam
mutamasilain, idgam mutajanisain, idgam mutaqaribain, idgam
bigunnah, idgam mimi, gunnah, iqlab, ikhfa', dan ikhfa' syafawi.
2. Kelompok hukum bacaan panjang, meliputi: madd lazim dan madd
farq, madd wajib muttasil, madd ja’iz munfasil, silah tawilah.
3. Kelompok tanda waqaf, meliputi: waqaf lazim, al-waqfu aula, waqaf
mu‘anaqah, waqaf ja’iz, al-waslu aula, dan la waqfa fih.
4. Huruf yang tidak dilafalkan.
B. Warna yang digunakan adalah enam warna: Merah (C:0, M:100, Y:100,
K:0), Magenta (C:0, M:100, Y:0, K:0), Biru (C:100, M:100, Y:0, K:0),
Cyan (C:100, M:0, Y:0 K:0), Hijau (C:100, M:0, Y:100, K:0), Grey (C:0,
M:0, Y:0, K:30).
Penerapannya dalam hukum-hukum tajwid disesuaikan dengan
pengelompokan pada poin A di atas, yaitu:
1. Kelompok hukum bacaan huruf: a. Warna magenta: idgam
bigunnah, idgam mimi, dan gunnah; b. Warna merah: idgam
bilagunnah, idgam mutamasilain, idgam mutajanisain, idgam
mutaqaribain; c. Warna cyan: iqlab; d. Warna hijau: ikhfa', dan
ikhfa' syafawi; dan e. Warna biru: qalqalah.
2. Kelompok hukum bacaan panjang: a. Warna magenta: madd lazim
dan madd farqi; b. Warna cyan: madd wajib muttasil; dan c. Warna
hijau: madd ja’iz munfasil dan madd silah tawilah.
3. Kelompok tanda waqaf: a. Warna merah: waqaf lazim dan al-waqfu
aula; b. Warna biru: waqaf mu‘anaqah dan waqaf ja’iz; dan c.
Warna hijau: al-waslu aula dan la waqfa fih.
4. Huruf yang tidak dilafalkan diberi warna grey.
C. Sistem pewarnaan pada tajwid warna bisa menggunakan salah satu dari
tiga model:
1. Model Akademik; adalah pola pewarnaan berdasarkan kaidah
tajwid, yaitu pewarnaan pada huruf-huruf dan harakat yang
menimbulkan sebuah hukum bacaan tajwid .
2. Model Fonetik; adalah pola pewarnaan berdasarkan pelafalan, yaitu
pewarnaan pada huruf dan harakat yang dilafalkan karena
mengandung hukum tajwid.
3. Model Praktis; adalah pola pewarnaan berdasarkan pada tanda baca
yang menunjukkan hukum tajwid.24

Perkembangan penyajian Mushaf Al-Qur’an yang dilengkapi
dengan tanda tajwid dengan sistem warna merupakan inovasi
yang patut dihargai. Sebagaimana para ulama zaman dulu,
23 Fahrur Rozi, “Standardisasi Mushaf Al-Qur'an Tajwid Warna di
Indonesia”.
24 Ibid.

18

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

penggunaan tanda tajwid dan juga tanda waqaf adalah untuk
mempermudah para pembaca Al-Qur’an dan agar terhindar dari
bacaan

yang

salah,

yang

mungkin

dapat

mengakibatkan

pemaknaan yang salah pula. Oleh karena itu, dalam melacak
akar sejarah penggunaan tanda waqaf dan tanda tajwid, tulisan
ini mengulas penggunaan tanda-tanda tersebut dalam mushafmushaf kuno.
2. Tanda Waqaf
Dalam mushaf-mushaf kuno koleksi BQMI, banyak ditemukan
tanda waqaf dengan huruf-huruf tertentu, seperti ta (‫ )ت‬untuk
wakaf tàm, kaf (‫ )ك‬untuk waqaf kàfì, jim (‫ )ج‬untuk waqaf jaiz, êad
(‫ )ص‬untuk waqaf murakhkhaê (diberi kelonggaran berhenti), dan
ía (‫ )ط‬untuk wakaf muílaq (lebih baik berhenti). Selain itu,
ditemukan pula tanda-tanda dengan huruf zai (‫ )ز‬untuk waqaf
mujawwaz, lam alif (‫)ل‬

tanda tidak boleh berhenti, êalà (‫)صلى‬

untuk waqaf mustaëab waêluhu (lebih disukai diteruskan), qaf (‫)ق‬
untuk tanda waqaf yang tidak ditetapkan oleh sebagian ulama,
dan qif (‫ )قف‬untuk waqaf mustaëab (boleh berhenti) tapi tidak
salah bila disambung. Penjelasan mengenai makna tanda-tanda
waqaf tersebut dicantumkan di bagian belakang salah satu
mushaf kuno dari Pulau Sumbawa sebagaimana pada gambar di
bawah, dan juga pada Mushaf dari Pandeglang koleksi BQMI.25

25 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 99-100.
Lihat juga artikel penulis yang berjudul “Mushaf Kuno dari Pulau
Sumbawa: ...”, h. 8 (termasuk foto di atas). Bandingkan dengan E. Badri
Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, h. 1. 7.

19

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

Gambar 07:
Contoh penjelasan tanda tajwid
dan tanda waqaf dalam Mushaf
Sumbawa 02
(Foto milik Penulis, 2005)
Bismillàhir-raëmànir-rahim. Alëamdu lillàhi rabbil-‘àlamìn waêêalàtu was-salàmu ‘alà
sayyidil-‘àlamìn wa ‘alà àlihi wa
êaëbihi ajma‘ìn. Wa ba‘du, faqad
ablugu muqàbalatan bi hàžalmuêëafil-karìm taêëìëan wa
ýabían liš-šalàšatil-masyàyikh, alImàm Nàfi‘ min riwàyati Qàlùn,
al-Imàm Abì ‘Amr min riwàyati adDùrì, wa al-Imàm ‘Aêim min
riwàyati Hafê. Fa mà katabtu bilmidàdil-aswad fa huwa li Qàlùn
‘an al-Imàm Nàfi‘, wa mà katabtu
bil-midàdil-aëmar fa huwa li adDùrì ‘an (al-)Imàm Abì ‘Amr, wa
mà katabtu bil-midàdil-akhýar fa
huwa li Hafê ‘an al-Imàm ‘Aêim.
Fa matà ittafaqal-qirà’atàni
ja‘altu ‘alaihi hàkažà 2 tàratan
bil-aëmar wa tàratan bil-akhýar.
Matà aílaqtu ittafaqà au sahhalà
wa asqaíà fa muràdì al-Imàm
Qàlùn wal-Imàm ad-Dùrì, wa
ja‘altu ‘alaihi ‘alàmatal-ižhàr
hàkažà ‫ ظ‬au ikhfà’ hàkažà ‫ خ‬au
idgàm hàkažà ‫ غم‬au idgàm

Artinya kurang lebih:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, salawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan seluruh alam semesta, kepada
keluarganya dan sekalian sahabat-sahabatnya. Adapun kemudian daripada
itu, saya telah melakukan pengujian mushaf yang mulia ini untuk
menverivikasi dan mencocokkannya dengan (bacaan) tiga orang Syaikh,
yakni Imàm Nàfi‘ dari riwayat Qàlùn, Imam Abì ‘Amr dari riwayati ad-Dùrì,
dan Imam ‘Aêim dari riwayati Hafê. Maka, apa yang saya tulis dengan tinta
hitam itu adalah bacaan Qàlun dari Imam Nàfi‘, apa yang saya tulis
dengan tinta merah itu adalah bacaan ad-Dùri dari Imam Abì ‘Amr, dan
apa yang saya tulis dengan tinta hijau itu adalah bacaan Hafê dari Imam
‘Aêim. Jika kedua imam sepakat mengenai suatu bacaan maka saya
memberi tanda begini 2 (angka dua) kadang-kadang dengan warna
merah dan ada kalanya dengan warna hijau. Ketika saya membiarkan
(tidak diberi tanda) untuk suatu bacaan yang disepakati dua imam, baik

20

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

tashìl26 maupun isqàí27, maka maksud saya adalah bacaan Imam Qàlùn
dan Imam ad-Dùrì. Kemudian saya membuat tanda (simbol) izhar begini ‫ظ‬
(îa) atau ikhfa begini ‫( خ‬kha) atau idgam begini ‫( غم‬gin dan mim) atau
idgam bigunnah begini ‫( غنه‬gunnah) atau tanda iqlab begini ‫( ب‬ba) serta
al-imàlatal-kubrà begini ‫( م‬mim) dan aê-sugrà28 begini ‫( ى‬ya tanpa titik).
Sedangkan tanda waqaf tàm (sempurna) begini ‫( ت‬ta), waqaf kàfì (cukup)
‫( ڪ‬kaf), waqaf ëasan (baik) ‫( ح‬ha), waqaf làzim ‫( لزم‬làzim), dan waqaf
nabawì ‫( نبوي‬nabawì). Semoga salawat dan salam tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya.

Pada bagian awal penjelasan di atas terdapat keterangan
tentang berbagai macam bacaan (qira’at)29 yang digunakan
dalam mushaf Sumbawa tersebut, yang merujuk pada tiga imam,
yaitu Imam Nàfi‘ dari riwayat Qàlùn, Imam Abì ‘Amr dari riwayati
ad-Dùrì,

dan

Imam

‘Aêim

dari

riwayat

Hafê.

Keterangan

26 “Tashìl” maksudnya bunyi bacaan antara hamzah dan alif, seperti
kaliman (‫)ءاعجمي وعربي‬. Lihat Lajnah Muraja‘ah Muêëafi-lmadìnatil-munawwarati,
Ta‘rìf bi hàžal-Muêëafisy-Syarìf, (Madinah: Mujamma‘ul-Malik Fahd liíabà‘atilmuêëafisy-syarìf, 1420), h. ‫ز‬. (Mushaf terbitan Madinah selanjutnya disebut
Mushaf Madinah. Lihat E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi
Bali”, h. 8-9.
27 “Isqàí” maksudnya membuang atau mengugurkan. Istilah ini biasanya
digunakan pada bab Hamzah, baik Hamzah itu terdiri dari dalam dua kalimat
maupun dalam satu kalimat. Misalnya: ‫ أوجاء أحد‬dibaca ‫أو جا أحد‬. Lihat Omar bin
Mokti, (Hàfiî Al-Qur’an dan Ahli Qiraat di Ma’had Tahfiz Al-Qur’an Negeri Johor,
Malaysia),
“Asas
Manhaj
Imam-Imam
Al-Qiraat”,
http://omartahfiz.
blogspot.com/2010/05/ringkasan-ilmu-qiraat.html, di-upload 20 Mei 2010, dan
diakses 20 April 2013.
28 Imàlah ada dua macam, yaitu Imalah Kubra, atau terkadang disebut
imàlah, yaitu bunyi fathah yang hampir sama dengan bunyi kasrah,
contohnya: ‫( مجر ــها‬majréhà) , dan Imàlah Sugrà, biasa disebut juga taqlìl, yaitu
bunyi di antara Fathah dan Imàlah. Lihat Omar bin Mokti, “Asas Manhaj ImamImam Al-Qiraat”.
29 Dalam qira’at dikenal antara lain qira’at tujuh (al-qira’atus-sab‘ah).
Adapun Imam-Imam Qira’at Tujuh dan Perawi-Perawinya: 1) Imam Nàfi’,
Perawinya: Qàlùn dan Warasy; 2) Imam Ibn Kaêìr, Perawinya: Al-Bazì dan
Qunbul; 3) Imam Abu ‘Amr, Perawinya: Ad-Dùrì dan As-Sùsì; 4) Imam Ibn Amir,
Perawinya: Hisyàm dan Ibn Zakwàn; 5) Imam ‘Àêim, Perawinya: Syu‘bah dan
Hafê; 6) Imam Hamzah, Perawinya: Khalaf dan Kallàd; dan 7) Imam Al-Kisà’i,
Perawinya: Abu al-Hariê dan Ad-Dùrì. Lihat Ibid.
Di Indonesia dapat dikatakan bahwa ilmu qira’at kurang popular dan
masih terbatas pada kalangan spesialis sehingga buku-buku dan bahan
bacaan dalam bidan ini masih terbatas dan belum ada pengajarannya secara
luas. Peter Riddell mengatakan:
So how do Indonesian Muslims learn about the qira’at in the present
era? In fact, the study of the qira’at has come to be viewed very clearly as
an area for specialists, with the result that little information on this object is
available in popular publications. This fact becomes clear when we consider
where information on the qira’at can be found.
Lihat Peter Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission
and Respons, (Singapura: Horizon Books, 2003) cet. ke-2, h. 282.

21

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

berikutnya adalah tentang tanda tajwid dan tanda waqaf,
sebagaimana diuraikan di atas.
Tanda-tanda

waqaf yang terdapat dalam mushaf dari

Sumbawa tidak dijelaskan secara lebih terinci. Akan tetapi,
tanda-tanda yang sama dapat dijumpai pada Mushaf Al-Ma’arif
disertai penjelasan dan contoh-contohnya. Ada 14 tanda waqaf
yang terdapat dalam Mushaf Al-Ma’arif ini, yaitu:30
1. Mim ( ) untuk waqaf lazim: harus berhenti (waqaf) pada kata (kalimat)
yang terdapat tanda itu di atasnya;
2. Ía ( ) untuk waqaf mutlak: lebih baik berhenti pada kata (kalimat) yang
terdapat tanda itu di atasnya daripada disambung (wasal) dengan kata
(kalimat) berikutnya;
3. Jim ( ) untuk waqaf jaiz: boleh berhenti pada kata (kalimat) yang terdapat
tanda itu dan boleh juga disambung (wasal) dengan kata (kalimat)
berikutnya;
4. Zai ( ) untuk waqaf mujawwaz: boleh berhenti pada kata (kalimat) yang
terdapat tanda itu, akan tetapi jika disambung (wasal) dengan kata
(kalimat) berikutnya lebih baik;
5. Ëad (
) untuk waqaf murakhkhaê: diberi kelonggaran berhenti pada kata
(kalimat) yang terdapat tanda itu karena ýarùrah (darurat/terpaksa) yang
disebabkan oleh panjangnya ayat atau kehabisan nafas;
6. Qaf ( ): tanda berhenti (waqaf) yang tidak ditetapkan oleh sebagian besar
ulama; 31
7. Qif (
): tanda waqaf mustaëab (baik berhenti) tapi tidak salah bila
disambung (wasal) dengan suku kata yang berikutnya;
8. Lam alif ( ): tanda tidak boleh waqaf, kecuali kalau di bawahnya terdapat
tanda awal ayat yang membolehkan waqaf secara mutlak, maka boleh
berhenti tanpa diulangi lagi bagi yang membolehkan waqaf;
9. Ëalà ( ): tanda waqaf mustaëab waêluhu (baik disambung, wasal);
10.
Kaf ( ): suatu tanda untuk menerangkan hukum waqafnya seperti
waqaf yang sesudahnya;
11.
Saktah (
bernafas);32

): tanda berhenti sejenak tanpa mengeluarkan nafas (tidak

30 Bandingkan tanda-tanda tersebut dengan “The Key for the Signs Used
in the Qur'an” (Singkatan untuk Tanda-Tanda yang Digunakan dalam AlQur’an),
dalam
http://tajweedstudy.com/
index.php?
option=com_content&view=article&id=116&Itemid=138, di-upload 10 May
2008, dan diakses 19 April 2013 (lihat Lampiran). Bandingkan pula dengan
Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, 98-101 dan E. Badri
Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, h. 7.
31 Huruf qaf ( ) adalah singkatan dari qìla ‘alaihil-waqfu (lihat
Lampiran).
32 Tanda saktah sesungguhnya juga terdapat dalam Mushaf Standar,
tetapi dalam penjelasan mengenai “alamàtul-waqfi” tidak terdapat tanda ini
(lihat Gambar 04).

22

Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid - Asep Saefullah

12.
Mu‘ànaqah (
): tanda waqaf mu‘ànaqah boleh berhenti pada salah
satu kata (kalimat) yang ada tanda itu di atasnya;33
13.
Sin riq’ah” (
): tanda waqaf samà’i, yaitu tempat waqaf Nabi, waqaf
gufràn, dan waqaf munzal (waqaf Jibril);
14.
Kepala ‘ain ( ): tanda rukuk, tanda pembagian setiap hari untuk orang
yang ingin menghafal Al-Qur’an dalam jangka dua tahun.34

Gambar 08: Mushaf Al-Ma’arif, 1957
(Foto milik Penulis, 2013)

Tanda waqaf dari ketiga macam mushaf kuno tersebut, yakni
dari

koleksi

Sumbawa,

Bayt
dan

al-Qur’an
Mushaf

dan

Museum

Al-Ma’arif

Istiqlal,

banyak

Mushaf

menunjukkan

kesamaan. Tanda waqaf yang sama adalah kaf (‫ )ك‬untuk waqaf
kàfì, ta (‫ )ت‬untuk wakaf tàm, êad (‫ )ص‬untuk waqaf murakhkhaê,
33 Tanda waqaf no. 1 ( ), 3 ( ), 8 ( ), 9 ( ), dan 12 (
), saat ini
masih digunakan dalam Mush