Sisi Gelap dan Cacatnya Demokrasi yang A

SISI GELAP DAN CACATNYA DEMOKRASI YANG ‘AGUNG’
Lutfi Makrifatul Jannah
Democracy and Civil Society A
201310360311238
A. Indonesia dan Ironi Demokrasi
Setelah lebih dari 17 tahun melewati masa Reformasi, Indonesia dapat dibilang telah
menjadi negara yang lebih demokratis dari pada sebelumnya. Demokrasi secara langsung
memberikan pencerahan dan angin segar pada kebebasan bagi masyarakat Indonesia, meski
ternyata di satu sisi demokrasi juga menciptakan sisi gelap yang selama ini kita rasakan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai bentuk atau sistem
pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya,
gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta
perlakuan yang sama bagi semua warga negara (Depdikbud, 1990: 914). Berbicara mengenai
pengertian demokrasi, pada dasarnya tidak ada definisi khusus mengenai kata tersebut, hal ini
dikarenakan setiap negara yang menganutnya memiliki cara tersendiri dalam penerapannya.
Hanya saja terdapat indikator-indikator tertentu dalam menentukan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi yang selama ini dibangga-banggakan dan diagung-agungkan oleh
kebanyakan negara di dunia yang salah satunya adalah Indonesia ternyata memiliki sisi gelap
yang sangat memprihatinkan. Di tengah arus liberalisasi dan demokrasi yang begitu kencang,
Ustadz Mustaqim, Lc alumni pesantren NU Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang, Jawa
Timur ini, menanggapi beberapa kasus yang hangat seputar akhlak aktivis dakwah yang

terjerembab dalam demokrasi dewasa ini. Ustadz muda yang aktif berdakwah di jalur pantura
ini juga menyampaikan, sejak lahirnya demokrasi sudah cacat, maka siapa pun yang
mengikutinya juga cacat (VOAIslam, 18 Mei 2013). Pada dasarnya banyak seklai terjadi
penyimpangan-penyimpangan demokrasi yang membuat demokrasi itu sendiri tidak dapat
berjalan dengan baik. Kita sebagai masyarakat yang sangat amat peduli terhadap nasib
bangsa dan negara seharusnya berupaya untuk mengajukan sebuah protes dan kritikan
terhadap sistem demokrasi yang hasilnya hanya membuat sistem di Indonesia dikendalikan
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kepentingan rakyat.
Tepat di sinilah yang menjadi sisi gelap serta cacat dari demokrasi. Demokrasi yang erat
kaitannya dengan globalisasi dan AS sebagai pencetusnya menawarkan janji-janji yang tidak
terbukti dan hanya merugikan Indonesia. Banyak orang yang sudah begitu tergila-gila dengan
demokrasi ala Barat, bukan benci bahkan memusuhi apapun yang datang dari Barat, namun

jika melihat kenyataannya tidak semua yang datang dari Barat itu baik, bahkan seringkali
banyak yang tidak cocok pada budaya kita, timur. Salah satunya adalah demokrasi yang
begitu kebablasan bebasnya.
Tidak sedikit orang yang menggunakan alasan demokrasi untuk sesuatu yang salah,
anggapannya bila demokrasi berarti bebas berbuat semau-maunya dan seenaknya tanpa
memikirkan hak orang lain, untuk itu mari kita lihat lima sisi gelap atau bobrok dari
demokrasi:

1. Kelemahan paling fatal dari demokrasi yang diusung Barat adalah pemenangnya

terletak pada suara terbanyak. Jadi, siapapun dia, apa dan bagaimanapun partainya
serta bagaimana cara dia mendapatkan suara dalam suatu pemilu tidak begitu
digubris bahkan diacuhkan. Dalam pilkada atau pilpres maka bila sebuah partai
atau koalisi partai melebih suara yang 50%, maka partai atau kolaisi partai tadi
sudah dipastikan menang. Dengan meraih suara terbanyak maka partai apapun
namanya akan dianggap sebagai pemenang, nah repotnya kemenangan sebuah
partai atau koalisi partai bila sudah dinyatakan oleh lembaga yang mengurus
pemilihan tadi. Tidak jarang banyak yang tidak terima karena ada kecurangan,
yang biasanya di tuduhkan oleh pihak yang kalah kepada pihak yang
menang. Lagi pula siapa yang dapat menjamin bahwa yang terpilih menang adalah
ia yang terbaik untuk membawa masa depan bangsa? Pertanyaan ini setidaknya
menjadi PR untuk masyarakat agar berfikir kritis terhadap ketidakpastian tersebut.
2. Membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk mendapat suara dalam pemilu agar

sesuai dengan target yang diinginkan, puluhan partai bertarung satu sama lain
ketika pemilihan umum. Secara logika, jika pemilu diikuti oleh sekian banyak
partai untuk mendapatkan lebih dari 50% suara tidak mungkin dilakukan sekali
putaran. Nah, sekarang coba kita bayangkan, jika pemilu seperti itu dilakukan di

Indonesia yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke apakah
tidak mustahil untuk mengetahu pemenangnya dalam waktu singkat jika dihitung
manual? Hingga pada akhirnya dipakailah ‘Quick Count’ yang membuat partaipartai “kebakaran jenggot” ketika mengetahui kekalahan mereka yang belum
resmi. Bagaimana tidak stres, galau dan gila partai-partai tersebut? Ironisnya
mereka harus membayar hutang dana kampanye yang telah dipinjam.
3. Money Politic tidak dapat terelakkan, jadi pada akhirnya siapa yang banyak uang

dia yang menang! Padahal kita tahu yang menang belum tentu orang baik dan
benar, bisa saja kan pembohong? Selama kampanye pemenang bisa saja dengan

begitu pandai dan cerdiknya mengemas tentang dirinya dan partainya, pada
awalnya kelihatan "bersih dan suci" namun sebagaimana bangkai, dikubur
sedalam laut pun tetap akan tercium baunya. Dan hal ini terbukti dikemudian
harinya, perlahan namun pasti keburukan partai pemenang terbongkar satu demi
satu, mulai dari kasus korupsi hingga skandal video porno anggota legislatif.
4. Campur tangan pengusaha. Dapat dilihat secara langsung atau tidak, keberadaan

para pengusaha ikut andil dalam permainan politik ketika pemilihan umum. Tanpa
sepengetahuan badan pengawas pemilu banyak pihak penyelenggara kampanye
mendapatkan dana yang entah darimana asalnya dan diduga dari para pengusaha

yang ada kepentingannya. Dengan liciknya mereka bekerja sama yang jika
menang usahanya akan untung dan mendapatkan sesuatu dari pemenang.
5. Rakyat jadi korban. Ketika pemilu sedang berlangsung rakyat "laku dijual" oleh
partai-partai yang berlomba-lomba mengatasnamakan rakyat dan itu sangat
tampak jelas sekali, kita bisa melihatnya saat terjadi bencana alam dan bertepatan
dengan pilkada atau pilpres, saat itu bantuan banyak bermunculan dan bendera
partai bertebaran di mana-mana, namun bila terjadi benca alam pada saat bukan
pemilu atau pilkada, tak ada satupun bendera partai berkibar! Ya benar-benar
keterlaluan, sampai korban bencana alampun dimanfaatkan untuk kepentingan
partai, bukan semata-mata ikhlas membantu, tapi ada maunya. Rakyat
diatasnamakan, "demi rakyat, untuk rakyat" kata para jurkam saat pemilu atau
pilkada, tapi setelah pilkada selesai atau pilpres selesai, maka selasai pula
mengatasnamakan rakyat, rakyat kembali ke asalnya, rakyat kembali ke
habitatnya, rakyat kembali kedalam kubang kesusahannya, sembako antri, BBM
naik, rakyat terjepit dan tercekik dengan melambungnya harga-harga. Rakyat
kembali susah mencari pekerjaan, yang sudah kerjapun banyak yang di PHK kan,
rakyat kembali menjadi korban tanpa bisa berbuat apa-apa.
Itulah lima dari sekian banyak sisi buruk adanya demokrasi yang Barat kembangkan, lalu
bagaimana solusi memperbaiki demokrasi yang bobrok tersebut? Hal ini kemudian yang
menjadi sukar dan susah karena demokrasi merupakan ciptaan dan bentukan manusia. Sudah

dapat dipastikan sesuatu yang dibuat manusia terdapat kelebihan dan kekurangan, sisi positif
dan negatif, dampak baik dan buruknya. Lima sisi gelap dan cacatnya demokrasi menuntut
pemerintah bersama masyarakatnya untuk diperbaiki. Bagaimana caranya? Memang tidak
gampang untuk memperbaiki suatu sistem yang telah bobrok, karena jika dilakukan oleh
salah satu pihak tanpa diikuti oleh pihak yang bersangkutan lain hal tersebut akan sia-sia saja.

Tanpa adanya kerjasama dari semua golongan seperti rakyat, partai dan anggotanya,
pemenang terpilih dan bahkan pihak oposisi demokrasi Indonesia tidak akan membawa
keuntungan bagi siapapun.
Sisi gelap lain dari demokrasi yang kerap terjadi di Indonesia adalah mundulnya
kelompok-kelompok garis keras yang mendakwahkan kebencian. ‘Kepemimpinan yang tidak
tegas, termasuk dalam memilih menteri yang cakap, serta buruknya sistem penegakan hukum
meningkatkan kekerasan vigilantisme atau main hakim sendiri. Demikian pemaparan Sidney
Jones dalam diskusi buku Sisi Gelap Demokrasi Demokrasi: Kekerasan Masyarakat
Indonesia, Kamis siang (26/02/2015) di Jakarta. Menurutnya, vigilantisme ini makin
mendorong kelompok intoleran untuk tumbuh dan menggunakan aksi kekerasan (Mellisa:
2015). Gerakan-gerakan keras yang muncul di Indonesia sebagai aksi bentuk perlawanan
terhadap pemerintah karena merasa terabaikan. Kecemburuan-kecemburuan sosial kemudian
yang menjadi pemicu konflik seperti di Aceh dengan gerakan GAM (Gerakan Aceh
Merdeka)-nya, gerakan Sulawesi merdeka, dan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Oemar

(2001: 10-11) berpendapat bahwa gejala disintegrasi makin menganga di hadapan bangsa
Indonesia, bila tak ada tangan-tangan dingin yang mampu berbicara dengan bahasa
kemanusiaan.
Diperlukan orang-orang atau lembaga yang bersih, jujur dan berani bertindak bila ada
pelanggaran, benar-benar ditindak, bukan tebang pilih. Dan banyak lagi usaha lain untuk
menjadikan demokrasi yang benar, dalam arti yang menang adalah memang partai-partai
yang bersih, yang benar dan yang jujur, bukan yang asal menang, bukan asal suaranya
terbanyak. Kalau asal menang dan asal suaranya terbanyak atau yang menang adalah partai
pembohong, buat apa ada demokrasi, buat apa ada pemilu? Mungkin itu sebabnya banyak
yang golput, banyak orang yang sudah tak percaya dengan adanya pemilu atau pilkada.
Perkembangan politik negara-negara penganut demokrasi yang dibawa oleh Barat secara
tidak langsung telah mampu mempengaruhi arah perubahan politiknya, negara-negara
tersebut hanya memainkan peran tradisionalnya sebagai pemasok bahan mentah dan
konsumen barang jadi buatan Barat. Menurut Nurcholis, konon di luar negeri dia sering
ditanya bagaimana kabar Indonesia disini sudah menjadi suatu rahasia umum orang-orang
asing yang mengenal Indonesia ternyata terbiasa meremehkan bahwa Indonesia adalah negara
miskin dengan pemerintahan yang amburadul. Bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala suka
menyandarkan penyelesaian masalah kepada pemerintah karena cukup lama negara ini berada
di dalam sistem pemerintahan yang terlalu tersentralisasi dan top down (Nugraha, 2001: 129).


B. Demokrasi Barat Bukan Harga Mati Indonesia

Sekarang saat kita mulai untuk menganalisa keadaan Indonesia dengan sistem politik
yang menganut demokrasi ala Barat ini, setidaknya kita dapat mengetahui bahwa demokrasi
bukanlah pilihan terbaik satu-satunya. Lalu apakah demokrasi dapat disalahkan? Alfan (2001:
185) berpendapat kalau memang demokrasi telah menjadi suatu pilihan dan telah merealistas
tidaklah bijaksana jika disalahkan. Karena bagaimanapun demokrasi masih menyisakan suatu
harapan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lantas harapan seperti apa yang dijanjikan
demokrasi untuk Indonesia? Negara dengan ribuan pulau dan ratusan juta penduduk dapatkah
menikmati keuntungan dan kenyamanan dengan sistem pemerintahan ini. Ketidakpastian
masa depan dengan kondisi bangsa yang suka bergantung terhadap pemerintah sedangkan
pemerintahnya saja kurang mengayomi rakyat bagaimana mungkin bisa Indonesia bisa
terbentuk menjadi suatu negara yang maju. Demokrasi yang tidak segera menghasilkan halhal konkret hanya akan menambah panjang suasana tidak keruh politik Indonesia.
Impor sistem pemerintahan demokrasi dari Barat mau tidak ma menjadikan
Indonesia memasuki era penjajahan modern, banyak yang beranggapan dan mengira bahwa
perkembangan demokrasi yang saat ini semakin pesat dan maju telah membawa
kemaslahatan dan manfaat tetapi pada dasarnya kita telah menutup mata. Kemajuan dan
kemodernan yang dibawa demokrasi merupakan awal sebuah kehancuran, nilai-nilai
demokrasi yang dibawa barat tidak dapat sepenuhnya diadopsi oleh kita bangsa Indonesia.
Kita dapat melihat faktanya dari hal sederhana seperti pemilihan kepala daerah banyak dari

hasil pemilihan tersebut hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin yang korup dan hanya
mementingkan diri sendiri. Praktik politik uang dari tingkat desa sampai nasional hanya
meninggalkan kesia-siaan dan konstentasi kotor. Rakyat telah diombang-ambingkan oleh
kepentingan para elite yang besar egonya. Lalu bagaimana negeri ini akan makmur dan adil?
Berbeda jika negeri tercinta kita ini dipimpin oleh seseorang yang kuat nilai ketaatan
dalam agamanya. Mengutip pemikiran M. Natsir dalam pandangannnya mengenai demokrasi,
Natsir berpendapat bahwa dalam membahas mengenai demokrasi sebenarnya prinsip-prinsip
islam lebih dekat dan sesuai dengan demokrasi yang sedang maju ini. Dengan meletakkan
nilai-nilai dan etika beragama sebagai panduan dalam pemerintahan maka akan melahirkan
bangsa yang makmur dan kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan. ‘Dengan demikian
Mohammad Natsir berusaha untuk mempertemukan teori kedaulatan rakyat dan teori

kedaulatan Tuhan. Karena itu, Mohammad Natsir mengatakan bahwa Islam itu menganut
faham "Theistic Democrasy", yaitu demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.
Keputusan mayoritas rakyat berpedoman kepada ketuhanan. Dan bahwa keputusan mayoritas
yang berpedoman kepada nilai-nilai ketuhanan itu dapat dianggap sebagai ijma kaum
muslimin yang mengikat untuk tempat dan zaman tertentu’ (Sidik, 2006: 258). Isu mengenai
agama dan negara memang menjadi pasang surut yang terus diperdebatkan dikalangan
akademik maupun politikus. Akan tetapi bagi Natsir, agama (Islam) tidak dapat dipisahkan
dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian

integral risalah islam. Natsir mengakui, bahwa sistem demokrasi merupakan sistem
pemerintahan yang baik, tetapi dalam islam sistem kenegaraan tidak mengandalkan semua
urusannya kepada instrumen demokrasi karena demokrasi mengandung berbagai macam
bahaya di dalamnya. Jika diliat dari biografi M. Natsir yang merupakan orrang asli Indonesia,
tentunya kita dapat memahami bahwa pernyataan dan argumennya tentang penyatuan agama
dan negara telah ia pertimbangkan dengan matang dari berbagai aspek. Sehingga sangatlah
cocok jika pendapat Natsir diberlakukan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV.
Jakarta: Balai Pustaka.
Nugraha, Pepih. 2001. Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi. Cet. I. Jakarta: Jakarta: Tim
Penerbit Kompas PT Kompas Media Nusantara.
Oemar, Nadjmuddin. 2001. Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi. Cet. I. Jakarta: Jakarta: Tim
Penerbit Kompas PT Kompas Media Nusantara.
Haynes, Jeff. 2000. Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. Edisi Pertama.
Diterjemahkan oleh: P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
M Alfian, Alfan M. 2001. Mahalnya Harga Demokrasi: Catatan atas Dinamika Transisi
Politik Indonesia Pasca Orde Baru, Naik dan Jatuhnya Abdurrahman Wahid. Cet. Pertama.
Jakarta: Intrans.

Lepen, Kyai Samping. 18 Mei 2013. Demokrasi Cacat Sejak Lahir, Ustadz Pengikut
Demokrasi Ustadz Cacat. VOAIslam online http://www.voaislam.com/read/liberalism/2013/05/18/24641/demokrasi-cacat-sejak-lahir-ustadzpengikut/#sthash.TGl61n2p.dpbs diakses pada 25 Oktober 2015
Mellisa, Ayu. 27 Februari 2015. Sisi Gelap Demokrasi Kita. Pusat Studi Agama dan
Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina (PUSAD) online http://www.paramadinapusad.or.id/publikasi/laporan-kegiatan/sisi-gelap-demokrasi-kita.html diakses pada 25
Oktober 2015