Apa hubungan Etika dan Kepribadian

Apa hubungan Etika dan Kepribadian??/
Etika adalah norma2 sosial yg berlaku secara umum. Misal: etika dlm berpakaian di tempat
kerja. Etika dalam menyampaikan pendapat.
Sedangkan kepribadian, menyangkut karakter, sikap, yang ada dlm diri seseorang. Bisa bawaan
sejak lahir (gen ortu) atau didikan keluarga, yang mempengaruhi karakter, sifat, sikap, tingkah
laku org tersebut.


100% 1 Suara
Bukan jawaban yang benar? Coba Yahoo! Search
Cari di Yahoo! untuk




o
o


etika dan kepribadian


Cari

1bintang - tandai ini sebagaiPertanyaan Menarik!
Email
Beri Komentar (0)
Simpan

Jawaban Lain (3)

ariemail
Etika adalah bentuk dari tata cara seseorang dalam bertingkah laku di keluarga, masyarakat, maupun
lingkungan.
Sedangkan Kepribadian merupakan sifat dan karakteristik yang berasal dalam diri seseorang sejak dini.
Etika sendiri dapat dibuat-buat oleh seseorang untuk berkamuflase atau menyamar, layaknya seorang
copet yang berpakaian seorang karyawan agar dirinya tidak tampak mencurigakan..
Sedangkan Kepribadian sifatnya sangatlah tampak dan jelas walaupun terkadang seseorang berusaha
untuk menutupinya... Seperti teman satu sekolah yang pendiam dan suka menyendiri tetapi sesekali ia
berusaha membaur dengan teman-temannya agar ia tidak dikucilkan....
makasiih.. :)
materi referensi:

just share.. ;)
Diedit 8 bulan yang lalu
Lapor Penyalahgunaan

o
o

0% 0 Suara



soeharso...

Pembentukan kepribadian dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
a. Kepribadian matang
b. Memahami Etika

c. Melaksanakan Etiket.
Contoh kepribadian dalam kehidupan bermasyarakat agar dapat memahami diri sendiri dan lingkungan:
TATA KRAMA BERKENALAN

1. Cara memperkenalkan diri
2. Cara meyapa orang lain
3. Cara berjabat tangan.
B. SIKAP SANTUN
1. Cara berdiri
2. Cara duduk
3. Cara berjalan
4. Cara berbicara
Untuk mengetahui apakah kita dianggap berkepribadian matang atau tidak bergantung dari beberapa hal
seperti:
ü Ada tidaknya perluasan diri
ü Apakah penyesuaian sosial ditandai atau diikuti oleh kehangatan hubungan dengan orang lain atau
tidak.
ü Menerima diri apa adanya.
ü Memilih persepsi yang realistis mengenai tugas dan kemampuan
ü Mampu menilai diri secara objektif.
ü Memiliki falsafah hidup yang dapat mengarahkan sikap dan tindakannya.
Untuk itu agar seseorang bisa diterima disuatu lingkungan maka orang tersebut harus mengenal dan
memahami perilaku sudah tentu tidak lepas dari masalah etika
8 bulan lalu

Lapor Penyalahgunaan

o
o

0% 0 Suara



mulyati

Etika
adalah penalaran yang timbul dari kebiasaan hidup manusia yang dinilai secara umum yang mengacu
juga pada filsafat moral seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab jadi etika melihat dari sudut
baik dan buruk terhadap perbuatan manusia demikian etika sama juga dengan refleksi dari apa yang

disebut dengan self control

adalah penalaran yang timbul dari kebiasaan hidup manusia yang dinilai secara umum yang mengacu
juga pada filsafat moral seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab jadi etika melihat dari sudut

baik dan buruk terhadap perbuatan manusia demikian etika sama juga dengan refleksi dari apa yang
disebut dengan self control

Kepribadian
Kepribadian adalah sering diartikan dengan ciri-ciri yang menonjol pada diri individu, dan sekaligus
proses yang dapat berubah dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, caranyapun unik
dan khas sehingga dapat dibedakan antara kepribadian yang satu dengan yang lainnya. seperti kepada
orang yang pemalu dikenakan atribut “berkepribadian pemalu”. Kepada orang supel diberikan atribut
“berkepribadian supel” dan kepada orang yang plin-plan, pengecut, dan semacamnya diberikan atribut
“tidak punya kepribadian”.
Untuk itu agar seseorang bisa diterima disuatu lingkungan maka orang tersebut harus mengenal dan
memahami perilaku sudah tentu tidak lepas dari masalah etika bergaul di lingkungan masyarakat yang di
masukinya, seperti ramah, saling bertenggang rasa, rendah hati, sopan santun, tidak mudah tersinggung,
tidak berbicara kasar, pandai membawa diri dsb
o
o

8 bulan lalu
Lapor Penyalahgunaan


Makalah Etika dan Kepribadian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Etika dan Kepribadian
a. Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan
bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti
ta etha yaitu adat kebiasaan.

Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai
arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti
kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata
secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens
terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus
Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953
– mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan
sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai
sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.

2. Kumpulan asas atau nilai moral.

Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. Ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang
dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa
disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya
dengan filsafat moral.
St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical
philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita.
Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang
berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa

yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika
memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika
merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi
berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang
normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi
penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
Etika terbagi atas 2 jenis, yaitu :
1. Etika Filosofis
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya
milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing.
Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di
dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika
secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisipresuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika
teologis. Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari
presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari
dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika teologis disebut juga oleh
Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika teologis Kristen memiliki objek yang

sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak
dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik
atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi
sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat
memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.
2. Etika Teologis
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang
sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai
pertanyaan di atas, yaitu :
• Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas
untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
• Sintesis

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan
etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas
masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang
bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
• Diaparalelisme

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan
etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel
kereta api yang sejajar.
Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus,
dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis.
Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya
etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat.
Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah
dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan
hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua
horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu
tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.
Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis:
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang
sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai
pertanyaan di atas, yaitu:
• Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas
untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.

• Sintesis
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan
etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas
masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang
bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
• Diaparalelisme
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan
etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel
kereta api yang sejajar.
Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus,
dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis.
Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya
etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat.
Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah
dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan
hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua
horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu
tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

b. Kepribadian

Kepribadian adalah keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan
individu lain
Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh
seseorang.
• Kepribadian menurut pengertian sehari-hari
Disamping itu kepribadian sering diartikan dengan ciri-ciri yang menonjol pada diri individu, seperti
kepada orang yang pemalu dikenakan atribut “berkepribadian pemalu”. Kepada orang supel diberikan
atribut “berkepribadian supel” dan kepada orang yang plin-plan, pengecut, dan semacamnya diberikan
atribut “tidak punya kepribadian”.
• Kepribadian menurut psikologi
Berdasarkan penjelasan Gordon Allport tersebut kita dapat melihat bahwa kepribadian sebagai suatu
organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses. Jadi,
kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara eksplisit Allport menyebutkan,
kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan.
Teori kepribadian psikodinamika :
Teori psikodinamika berfokus pada pergerakan energi psikologis di dalam manusia, dalam bentuk
kelekatan, konflik, dan motivasi.
Teori Freud
Sigmund Freud berpendapat bahwa kepribadian terdiri dari tiga sistem utama: id, ego, dan superego.
Setiap tindakan kita merupakan hasil interaksi dan keseimbangan antara ketiga sistem tersebut.
Teori Jung
Carl Jung pada awalnya adalah salah satu sahabat terdekat Freud dan anggota lingkaran koleganya,
tetapi pertemanan mereka berakhir dalam pertengkaran tentang ketidaksadaran. Menurut Jung, di
samping ketidaksadaran individual, manusia memiliki ketidaksadaran kolektif yang mencakup ingatan
universal, simbol-simbol, gambaran tertentu, dan tema-tema yang disebutya sebagai arketipe.

Faktor-faktor penentu kepribadian
• Faktor Keturunan
Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender,
temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang
pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial, dipengaruhi oleh siapa orang
tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu.
Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen
bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang. Dasar
pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen anak-anak. Dasar kedua
berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir. Dasar ketiga meneliti konsistensi
kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi
Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor
keturunan. Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat
dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan. Temuan ini mengemukakan bahwa beberapa sifat
kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti
tinggi badan dan warna rambut.
Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100 pasangan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir
dan dibesarkan secara terpisah. Ternyata peneliti menemukan kesamaan untuk hampir setiap ciri

perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di antara anak-anak kembar ternyata
terkait dengan faktor genetis. Penelitian ini juga memberi kesan bahwa lingkungan pengasuhan tidak
begitu memengaruhi perkembangan kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang
kembar identik yang dibesarkan di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan
kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan saudara-saudara kandungnya
yang dibesarkan bersama-sama.
• Faktor Lingkungan
Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di
mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan
pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami. Faktor lingkungan ini memiliki peran
dalam membentuk kepribadian seseorang. Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan
nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring
berjalannya waktu sehingga ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya
memiliki sedikit pengaruh pada kultur yang lain. Misalnya, orang-orang Amerika Utara memiliki
semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan yang terus
tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah, keluarga, dan teman, sehingga orang-orang
tersebut cenderung ambisius dan agresif bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam
budaya yang menekankan hidup bersama individu lain, kerja sama, serta memprioritaskan keluarga
daripada pekerjaan dan karier.
Sifat-Sifat Kepribadian
Berbagai penelitian awal mengenai struktur kepribadian berkisar di seputar upaya untuk
mengidentifikasikan dan menamai karakteristik permanen yang menjelaskan perilaku individu
seseorang. Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seorang individu adalah malu, agresif,
patuh, malas, ambisius, setia, dan takut. Karakteristik-karakteristik tersebut jika ditunjukkan dalam
berbagai situasi, disebut sifat-sifat kepribadian. Sifat kepribadian menjadi suatu hal yang mendapat
perhatian cukup besar karena para peneliti telah lama meyakini bahwa sifat-sifat kepribadian dapat
membantu proses seleksi karyawan, menyesuaikan bidang pekerjaan dengan individu, dan memandu
keputusan pengembangan karier.

BAB II
CONTOH-CONTOH MATERI

PENYIMPANGAN INDIVIDU
KORUPSI

Korupsi adalah perilaku menyimpang yang di lakukan secara individu, namun dapat juga di
lakukan secara berkelompok atau terorganisir, akan tetapi pada umummnya korupsi dilakukan secara
individual, karena factor iming-iming materi yang akan didapatkannya sehingga peyimpangan ini di
lakukan secara individual.

Untuk memberantas sang koruptor perlu adanya sanksi yang cukup keras, untuk sang koruptor, dan
memang harus ada kesadaran dari dalam.

HUBUNGAN SEKS DI LUAR NIKAH

Hubungan seks di luar nikah pada zaman sekarang ini rata-rata dilakukan pada usia dibawah
umur atau masih menginjak bangku sekolah.
Pengawasan orang tua merupakan factor yang paling mempengaruhi penyimpangan tersebut, karena
dengan adanya pengawasan dari orng tua terhadap perilaku keseharian anak-anaknya maka hal-hal
tersebut bisa terhindari.
Perlu juga adanya sosialisasi atau pemahaman yang lebih mendalam, tetang hubungan sex, sehingga
para pelajar mengetahui dampak negative dan positif dari perbuatan tersebut, Dan hal” tersebut
dapat terhindari.

PENYIMPANGAN KELOMPOK
TAWURAN

Tawuran pelajar sudah marak di lakukan para remaja untuk menyelesaikan sebuah masalah,
mungkin ini merupakan factor-faktor media social (TV) yang selalu menampilkan tayangan-tayangan
tawuran para mahasiswa atau antar warga, sehingga para remaja tersebut mengukuti hal-hal tersebut
untuk mnyelesaikan masalahnya pula.
Ini sudah jelas-jelas merupakan penyimpanghan social selain karena factor lingkungan juga karena
factor pengawasan guru-guru sekolah.
Untuk menyadarkan kembali para remaja yang terlibat tawuran tersebut. Perlu dilakukan sosialisasi di
sekolah. Dan perlu juga ada sanksi tegas dari pihak sekolah, sebagai peringatn kepada mereka.

ARAK-ARAKAN PELAJAR

Sudah menjadi tradisi di kalangan para pelajar, setelah lulus sekolah mereka melakukan arak-arakan di
jalan sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas, mengapa hal ini di kategorikan juga sebagai
penyimpangan ? karena adanya tindakan yang teroganisir yang dapat menimbulkan masalah dalam
masyarakat.

BAB III
KESIMPULAN
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan
bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti
ta etha yaitu adat kebiasaan.

Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai
arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti
kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata
secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens
terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus
Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953
– mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000),
Kepribadian adalah keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan
individu lain
Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh
seseorang.