Timor Leste Memori Memorial dan Wacana I (1)

http://indoprogress.com/timor-leste-memori-memorial-dan-wacana-integrasi/?fb_source=pubv1

1 FEBRUARI 2013

Timor Leste: Memori, Memorial dan
Wacana ‘Integrasi’
Aboeprijadi Santoso, wartawan yang semasa bekerja
untuk Radio Nederland (Ranesi) banyak meliput masalah
Timor Timur sepanjang 1990an
TIMOR LESTE memasuki era baru. Dengan penarikan mundur
tentara PBB sejak 1 Januari 2013, negeri ini kini berada di
tengah suasana optimis menghadapi tantangan untuk berdiri
sendiri sepenuhnya untuk pertama kali sejak ratusan tahun
silam. Setiap bangsa memerlukan historiografi –
penggagasan dan penulisan sejarahnya sendiri. Karena itu,
pengalaman masa silam mereka, betapa pun pahit dan
manisnya, merupakan suatu warisan yang penting sebagai
bekal bangsa.

Timor Leste memiliki masa silam yang sebagian besar kelam.
Ini tercermin dengan jelas dari relik-relik, bangunan dan

memorial serta memori atau kenangan masyarakat. Menurut
peneliti Australia Michael Leach, monumen-monumen
historis, gedung-gedung dan tugu peringatan (memorial)
dapat menciptakan ‘memori yang pelik’ bagi Timor Leste
untuk mengonsepsikan pembentukan bangsa (nation
building). Kecuali rumah moyang yang keramat, uma lulik,

semua bangunan di Timor Leste memiliki asal-muasal yang
bercampur.[1] Oleh karena itu, gedung dan memorial itu
perlu ditafsir kembali dalam kerangka tiga lapisan warisan
budaya: kolonialisme Portugis 1512-1975, kolonialisme
Indonesia 1975-1999, dan periode pasca transisi 1999 dan
kemerdekaan.
Kedua kolonialisme tersebut akan menimbulkan persepsi
yang berbeda-beda berkenaan dengan keterkaitannya
dengan ketegangan-ketegangan antar generasi dan dimensi
politik dan dimensi linguistiknya. Maka, Timor Leste,
demikian Leach, memerlukan ‘suatu komunitas politik
nasional yang kohesif,’ yang terbentuk berdasarkan ‘identitas
nasional yang mempersatukan mereka.’

Sebuah tipe memorial yang paling bermakna simbolis-politik,
menurut hemat saya, adalah Tugu atau
Memorial Liurai (ksatria Timor). Patung setinggi kira-kira 2,5
meter di atas tugu setinggi sekitar 2 hingga 3 meter itu
dibangun oleh penguasa Indonesia di masa pendudukan di
tiga kota terpenting di Timor Leste: Dili, Baucau dan Maliana.
[2] Kini, ketiganya dipugar dan dirawat menjadi simbol
patriotisme Timor Leste.
Dipandang dari perspektif Indonesia, jenis memorial ini pada
asal-muasalnya dimaksud untuk memuji-muji ‘integrasi.’
Namun bentuk dan semangat ‘pembebasan’ yang
terekspresikan di situ – ironis, namun bukan kebetulan –
sangat mirip dengan jiwa dan semangat yang tampak pada
banyak monumen di Jakarta, khususnya yang dibangun untuk
merayakan perjuangan Indonesia dalam merebut Irian Barat
(kini Papua) dari Belanda pada awal 1960an. Lihat, misalnya,
patung pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng,
Jakarta.
Bahkan, secara fisik, memorial tersebut menunjukkan
semangat dari tokoh lokal yang keramat (sacral), seorang

jago pencak-silat, lengkap dengan jiwa dan semangat
masokhisme dan jingoisme tradisional (jagoisme).
Didalam kerangka nilai-nilai nasional dan lokal itulah,
memorialliurai tersebut sekaligus menampilkan tujuan

strategis Indonesia bagi bekas jajahan Portugis, yaitu
mempropagandakan ‘integrasi’ masyarakat Timor Timur ke
dalam wilayah Republik Indonesia. Semangat dan nilai-nilai
tersebut menjiwai para politisi Indonesia sejak Revolusi
Mawar di Portugal, April 1974. Kampanye aneksasi terhadap
Timor-Portugis kala itu, tidak hanya menggunakan retorika
Perang Dingin melawan ‘bahaya komunisme di pekarangan
Indonesia,’ tetapi juga memperlihatkan campuran semangat
patriotisme dan jingoisme, yang sekaligus memanfaatkan
semangat anti neo-kolonialisme dan imperialisme, yang telah
tertanam sejak perjuangan kemerdekaan hingga masa
pemerintahan Presiden Soekarno pada 1960an.
Oleh karena itu, tema dan semangat anti kolonialisme-Barat
didayagunakan oleh para prajurit Soeharto di Timor Timur
hingga menjadi tema-sinambung (leitmotif), bahkan menjadi

dalih, untuk merekrut sekutu-sekutu lokal, yaitu para tuantanah yang dihimpun di Partai Apodeti, milisi-milisi dan
satuan-satuan hansip. Menurut sejumlah saksi a.l. Jose
Martins III (wawancara awal 1990an) yang pernah bersekutu
dengan Mayjen Ali Moertopo, mereka diajak bersekutu
dengan dikompori semangat ‘persaudaraan anti-kolonialisme
(Barat).’[3]
Dengan demikian, strategi memanipulasi anti-kolonialisme
tersebut pun menunjang pembenaran atas aneksasi terhadap
wilayah Timor-Portugis.
Ihwal tersebut juga menandai ambisi dan semangat yang
terkesan ‘megalomania’ dari konsepsi ‘Wawasan
Nusantara’ yang berkembang di kalangan elit militer.
[4] Sekitar satu dasawarsa sebelumnya, pada 1960an, ketika
Indonesia berupaya merebut Irian Barat dari tangan Belanda,
Ali Moertopo yang ambil bagian dalam Operasi Mandala
sempat mengemukakan gagasan untuk sekaligus
memperluas operasi militer dengan menaklukkan TimorPortugis. Wilayah yang terapit di tengah Nusantara namun
masih merupakan jajahan Portugal itu, dalam kata-kata Ali
Moertopo, ibarat ‘gatal-gatal di ketiak.’[5] Dengan kata lain,
hal itu perlu ‘dikoreksi’.


Mayjen Ali Moertopo kemudian memimpin Opsus (Operasi
Khusus) dalam tim Aspri (asisten pribadi presiden) selaku
pembantu terdekat Presiden Soeharto pada 1970-1980an.
Salah satu sekutunya, Jusuf Wanandi, dalam memoarnya
yang baru terbit,Shades of Grey (2012), mengklaim bahwa
rencana menggabungkan Timor Timur ke dalam wilayah R.I.
‘pada mulanya’ (initially) hendak dilaksanakan dengan cara
plebisit (Pepera) di Irian Barat.[6] Gagasan Moertopo untuk
sekaligus merebut Timor-Portugis pada 1960an tsb ditolak
oleh Mayjen Soeharto yang memimpin Operasi Mandala,
sementara gagasan ‘plebisit’ model Irian Barat (Pepera)
untuk Timor Timur, satu dasawarsa kemudian, tak pernah
terealisasi.
Namun demikian, tidak berarti gagasan-gagasan tersebut
sia-sia. Sebab sepanjang 1974-1975, operasi intelejen Opsus
yang dipimpin orang-orangnya Moertopo, a.l. Brigjen Benny
Moerdani dan Kol. Dading Kalbuadi, sesungguhnya telah
berhasil – seperti juga di Irian Barat dalam Pepera 1969 —
menggalang sejumlah tokoh setempat dan kelompokkelompok yang loyal pada tentara Indonesia. Dalihnya: untuk

membantu ribuan pengungsi yang diburu Fretilin menyusul
pecahnya perang saudara di Dili pada pertengahan Agustus
1975. Situasi yang kemudian sekaligus mengguncang situasi
politik.
Dengan demikian, apa yang dimimpikan Moertopo dkk. pada
awal 1960an tadi, pada dasarnya, telah ikut menciptakan
suatu pra-kondisi politik dan ideologis menuju perang dan
pengambil-alihan Timor-Portugis.
Akan tetapi, tak lama kemudian, pada akhir Nopember 1975,
para jenderal Indonesia tersebut terkejut, merasa
kecolongan, ketika Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan,
yang membuat kampanye Opsus tersebut buyar. Pada 3
Desember, atas tekanan kuat Brigjen Benny Moerdani,
Presiden Soeharto akhirnya membiarkan saja ketika mereka
secara rahasia menyiapkan dan melancarkan invasi pada 7
Desember 1975.[7] Hanya saja, beberapa jam sebelum
invasi, hal itu disampaikan Soeharto kepada tamunya,
Presiden AS Gerard Ford dan Menlu Henry Kissinger. Invasi ini

mau tak mau mengubah total bentuk aksi militer, yaitu dari

operasi intelejen untuk melakukan adu-domba lokal yang
oleh Dading disebut ‘metode Lawrence of
Arabia,’[8] menjadi perang imperialis demi pendudukan.
Petualangan Ali Moertopo tersebut mencerminkan ambisi
‘Indonesia nan Raya.’[9] Boleh jadi, ini tidak mewakili suatu
nafsu ekspansif elite politik Indonesia untk memperluas
wilayah lebih dari bekas Hindia-Belanda, namun demikian,
sekali peluangnya muncul, maka ada potensi dan
kecenderungan jagoisme yang dapat memanfaatkannya.
Gagasan inilah yang pada dasarnya melekat, mentautkan
Papua dan Timor Timur, pada Memorial Liurai yang ada di
Timor Leste dewasa ini.
Satu dasawarsa kemudian, pada awal 1980an, Kapten
Prabowo Subianto – yang kelak mendirikan partai politik
dengan nama yang mirip gagasan Moertopo, yaitu Gerindra
(Gerakan Indonesia Raya) – memanfaatkan gagasan
‘kebesaran’ dan ‘persaudaraan Nusantara’ tersebut ketika ia
merekrut warga lokal menjadi anggota ABRI untuk
mengonsolidasi perang Indonesia di Timor-Portugis, menjadi
apa yang disebut ‘Timorisasi perang.’

Kini, warga Timor Leste masih mengenang masa lalunya
yang pahit, namun demikian, rasa benci tidaklah meluas di
mana-mana. Agaknya, kebencian yang ada secara khusus
ditujukan kepada ABRI, bukan kepada orang-orang Indonesia.
Hal ini sedikit banyak tercermin pula pada memorial yang
ada. Kebanyakan monumen buatan Indonesia dirawat atau
dipugar kembali. Hanya beberapa monumen dirusak,
agaknya sebagai konsekuensi dari pengalaman warga yang
traumatik karena kekejaman yang mereka alami. Misalnya,
monumen Pancasila yang dibangun ABRI di Kabupaten
Viqueque.[10] Kejadian semacam ini barangkali dapat
dipahami karena Viqueque, seperti juga Baucau, merupakan
semacam ‘Surabaya’-nya Timor Leste, yaitu kota yang heroik
karena gigih melawan serbuan tentara asing.

Di Kabupaten Viqueque pula, pada April 2012, saya
mendapati penduduk setempat di desa Bibileu yang masih
ingat benar tentang Pembantaian Craras pada pertengahan
1983. Dengan raut wajah yang menahan emosi, mereka
menceritakan tentang dua pemimpin Hansip (asal lokal),

yang merupakan orang-orang kepercayaan Prabowo
Subianto, memimpin pembantaian terhadap semua pria
sebagai aksi balasan terhadap desa tersebut, yang kemudian
menjadikannya ‘desa janda.’ Di sana, kini terdapat sejumlah
kuburan yang dipugar menjadi monumen memorial khusus
untuk memperingati banjir darah Craras.[11] Peristiwa
Craras termasuk salah sebuah peristiwa kejam terbesar yang
pernah dilakukan ABRI di Timor Leste.
Monumen, besar maupun kecil, merupakan sarana penting
untuk menjaga agar memori khalayak tetap hidup dan segar.
Sebuah memorial di tepi kota Manatuto, misalnya,
mengingatkan para pengunjungnya seperti ini: ‘(Di sini)
Herman ditembak ABRI.’[12]
Monumen-monumen peninggalan peristiwa kejam kini juga
ada di sejumlah Gereja yang dipugar, seperti di Liquisa dan
Suai, di rumah tempat lima wartawan asing dibantai di
Balibo,[13] di bekas Penjara Comarca di Dili, di Pekuburan St.
Cruz, dan di banyak tempat lain.
Dalam perjalanan waktu, situs, bangunan dan interaksi
personal di tengah derita dan perjuangan, tapi juga media

massa (meski pada 1970an masih beredar terbatas) – semua
ini menjadi amat bermakna bagi para warga. Hal-hal tersebut
menjadi ikatan yang mempersatukan mereka. Museummuseum tentang perjuangan bangsa dan kasus-kasus aniaya
yang terjadi di bekas Penjara Comarca, kini menyediakan
panorama historis paling lengkap tentang perjalanan tragis
bangsa ini.[14]
Dengan kekecualian Makam Pahlawan Mateneiro, dekat Dili,
agaknya tak ada suatu bangunan atau memorial khusus
untuk memperingati rangkaian perjuangan gerilya Falintil,
perburuan terhadap rakyat yang mengungsi ke gunung
menyertai Falintil, serta pengungsian massal, perang, dan

bencana kelaparan yang terjadi menyusul operasi militer
Indonesia di kawasan Matebian dan Ramelau sepanjang akhir
1970an.[15] Rangkaian peristiwa sejak invasi inilah yang
menyebabkan kematian sebagian terbesar dari sekitar 180
ribuan korban tewas dan derita, yang memacu
perkembangan kesadaran berbangsa Timor Leste.
Musibah kemanusiaan berskala luas ini membuat Timor Leste
menjadi negeri bertabur kubur. Kini kita dapat melihat

sejumlah kuburan tersebar di banyak tempat sepanjang jalan
utama antar kota, dimana banyak korban perang dan
pendudukan dikubur dibawah petak-petak sejumlah nisan
yang warna warni. Hal ini mengindikasikan bahwa korbankorban tersebut besar kemungkinan dibunuh, atau
ditemukan tewas, pada saat hampir bersamaan lalu dikubur
bersama.[16] Sering pula nisan penandanya hanyalah batu
yang menunjukkan lokasi pembunuhan, dan situs itu menjadi
tempat keluarga korban dan rakyat setempat datang secara
teratur untuk menyalakan llin dan berdoa. Pemerintah Timor
Leste berencana membantu keluarga-keluarga penyintas
(survivors) dengan mensubsidi pembangunan memorialmemorial.
Persepsi pada tingkat akar rumput yang lahir dari
pengalaman historis para warga lapisan akar rumput ini,
bermakna penting. Bagaimana mereka merangkai dan
mengonsepsikan memori mereka, akan terartikulasi dalam
percaturan publik, yang pada gilirannya dapat berkembang
memperkuat nation-building.
Sementara itu, ajakan dan percaturan publik untuk
mengembangkan historiografi Timor Leste juga memerlukan
bahan-bahan dari sumber-sumber resmi Indonesia. Sebab,
tak ada kontradiksi yang lebih mendalam di masyarakat
Timor Leste daripada ini: bahwa rakyatnya tidak pernah
menjadi bagian dari proses kelahiran bangsa (nationbuilding) Indonesia, namun pada saat
bersamaan toh dipaksakan menjadi bagian dari proses
pembangunan Negara (state building) melalui programprogram ‘integrasi’ yang mahal. Oleh karena itu, Indonesia
dapat menyumbang bahan-bahan berharga bagi

pengembangan historiografi dari bekas jajahannya tsb
apabila arsip-arsip resmi Indonesia yang berkenaan dengan
Timor Timur tersedia dan terbuka.
Akan tetapi, sejauh ini pemerintah Indonesia bahkan menolak
menyediakan sisa jasad dari pahlawan nasional, Nikolau do
Reis Lobato, ‘Soekarno’-nya Timor Leste, yang menjadi
simbol bagi bangsa baru ini, sekali pun pemerintah Timor
Leste secara diplomatik telah berulangkali memintanya.[17]
Lagi pula, kebanyakan publik Indonesia tampaknya
mengabaikan Timor Leste – ini untuk sebagian karena Orde
Baru merahasiakan perang pendudukannya di Timor Timur,
tapi sebagian juga, seperti sering terjadi pada bekas
penguasa kolonial dari Eropa – karena publik Indonesia
menganggap ‘Tim-Tim’ sebagai suatu ‘kekalahan politik,’
bahkan juga sebagai ‘wilayah (anak) yang hilang’ – meski
pun, kenyataannya, masyarakat internasional (kecuali
Australia dan negara-negara Asean) tidak pernah mengakui
Timor Timur sebagai bagian absah dari R.I. Maka, tidaklah
mengherankan, misalnya, peristiwa historis Pembantaian St.
Cruz pada tgl 12 Nopember 1991 yang membuka mata dunia
itu, ‘cuma sebuah tanggal biasa belaka dalam sejarah
Republik Indonesia.’[18]
Kenyataannya, ihwal ‘Tim-Tim’, bekas Propinsi ke-27 itu, bagi
Jakarta, sudah menjadi bab yang telah final dan ditutup.
Memang, beberapa jenderal secara pribadi telah menulis
buku tentang pengalaman mereka di Timor Timur, namun
kepustakaan ini umumnya ditulis berdasarkan patriotisme
dan kecenderungan untuk membanggakan-diri. Banyak juga
kalangan yang menyalahkan Amerika Serikat karena
dianggap mendorong Indonesia mengambil-alih TimorPortugis lalu membiarkan Indonesia menanggung
konsekuensinya, atau menyalahkan dunia karena dianggap
mendukung kelompok pro-kemerdekaan di Timor Timur.[19]
Timor Leste pasca-kemerdekaan dapat dipandang sebagai
semacam ‘korban’ – dalam arti ‘didikte’ oleh – kondisi
geopolitik karena bertetangga langsung dengan negara

besar, mirip kondisi Finlandia ketika bertetangga dengan
raksasa Uni Soviet di masa Perang Dingin.
Sebagai konsekuensi niscaya dari kondisi tsb, dan sekaligus
paling menyakitkan banyak kalangan, adalah persetujuan
Komisi-bersama Indonesia-Timor Leste untuk Kebenaran dan
Persahabatan (KKP, Truth and Friendship Commission, CTF,
2008). Kesepakatan kedua negara ini pada efeknya
membiarkan situasi impunitas berlangsung terus, sekalipun
persetujuan resmi tsb secara eksplisit mengakui dan
menyalahkan militer Indonesia sebagai pelaku dari
kebanyakan pelanggaran HAM berat (kejahatan atas
kemanusiaan) sepanjang perang dan pendudukan.[20]
Dengan demikian, asas dan masalah seputar keadilan dan
peluang Tribunal Internasional, telah diabaikan dan
diserahkan sepenuhnya pada organisasi-organisasi politik
dan kemasyarakatan (non-state, LSM) tanpa peluang
dukungan internasional yang kredibel.
Di lain pihak, harus dicatat bahwa Timor Leste memiliki arsip
data amat berharga berupa ribuan kesaksian para warga
tentang pelanggaran HAM, yang dihimpun oleh lembaga
internasional CAVR (Commission for Truth, Reconciliation and
Reception/Komisi Kebenaran, Rekonsiliasi dan Penerimaan
Kembali, atau Chega!), yang dilindungi konsititusi negara.
[21]
Dengan CAVR itu, maka Timor Leste paling kurang telah
memiliki ‘kebenaran’ yang diperlukan untuk rekonsiliasi
dalam negeri, memberantas stigma-stigma warisan masa
lalu, dan untuk memberi kompensasi kepada para (keluarga)
korban. Arsip CAVR itu sendiri merupakan monumen bernilai,
sekaligus juga berharga sebagai sumber utama yang
menyediakan bahan luar biasa untuk historiografi
kebangsaan dan historiografi genosida di Timor Leste.
Ihwal inilah yang memungkinkan Timor Leste
menyembuhkan luka-luka masa silam dengan
mendayagunakan bahan-bahan tsb, sedangkan bagi
Indonesia, hal itu berfaedah jika menjadi pelajaran berharga.

Merawat, memugar dan menyimpan memorial dan memori
masyarakat adalah sebuah sarana dan wacana penting untuk
menjaga dan melanjutkan perjalanan bangsa. Kini, dengan
meningkatnya perekonomian dan stabilitas politik di Timor
Leste, maka perawatan memori bangsa itu menandai
perjalanan baru negeri ini untuk bergerak maju melampaui
kepedihan masa silam – tanpa harus melupakan masa yang
kelam tersebut.
Artikel ini disusun berdasarkan riset penulis di Timor Leste
pada April 2012.

[1] Michael Leach, Longitudinal change in East Timorese
tertiary student attitudes to national identity and nation
building, 2002-2010, Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Vol. 168, no. 2-3 (2012), pp. 219252, http://www.kitlvjournals.nl/index.php/btlv/article/viewArticle/8528
[2] Memorial Liurai “ada di tiga kota tsb”, Michael Leach at
KITLV Seminar in Leiden 25 Nov. 2012.
[3] Aboeprijadi Santoso, Timor Timur: Tragedi &
Pengkhianatan, Stichting Inham: Yogyakarta, 1995
[4] ‘Wawasan Nusantara’ awalnya adalah gagasan maritim
untuk mengabsahkan perairan yang diklaim R.I., belakangan
menjadi rujukan untuk wilayah republic.
[5] Komunikasi dengan wartawan Lodewijk Pattiradjawane,
1995.
[6] Jusuf Wanandi, Shades of Grey, A Political Memoir of
Modern Indonesia 1965-1998, Equinox: Singapore, 2012, hal.
193.
[7] Pengantar Letjen. Pur. Sayidiman Suryohadiprojo dalam
Kiki Syanakri, Timor Timur. The Untold Story, 2012, hal. xxivxxv ; Jusuf Wanandi, Shades of Grey, Ibid., hal. 211-213.
[8] Wawancara 1995. Aboeprijadi Santoso, Timor Timur, Ibid.;
Dokumenter-radio 20 Tahun Timor Timur, Radio Nederland,
1995.

[9] Tentang gagasan Indonesia Raya, Aboeprijadi
Santoso, Gerindra and ‘Greater Indonesia’, Inside
Indonesia,http://www.insideindonesia.org/weeklyarticles/gerindra-and-greater-indonesia
[10] Liputan foto,
Viqueque,https://www.facebook.com/media/set/?
set=a.10150712007513884.410369.631783883&type=3
[11] Liputan foto
Craras/Bibileu,https://www.facebook.com/media/set/?
set=a.10150708150708884.409791.631783883&type=3
[12] Komunikasi Selma Hayati, Des. 2012
[13] Aboeprijadi Santoso, Remembering the 1975 Balibo
incident,The Jakarta Post, 8 Des.
2009http://www.thejakartapost.com/news/2009/12/08/remem
bering-1975-balibo-incident-an-opportunity-correct-pastwrongs.html
[14] Liputan foto, Eks Penjara
Comarca,https://www.facebook.com/media/set/?
set=a.10150720549768884.411314.631783883&type=3
[15] Aboeprijadi Santoso, Timor Timur, Ibid.
[16] Liputan foto Memorial & Nisan
Craras/Bibileu,https://www.facebook.com/media/set/?
set=a.10150708150708884.409791.631783883&type=3
[17] Aboeprijadi Santoso, Nicolau Lobato, another Timor
Leste specter, The Jakarta Post 8 Sept. 2009,
http://www.thejakartapost.com/news/2009/09/08/nicolaulobato-another-timor-leste-specter.html
[18] The Jakarta Post 13 Nov. 2012, Comment: Santa Cruz 21
years
on,http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/19/commen
t-santa-cruz-21-years.html
[19] Kiki Syanakri, Timor Timur, Ibid
[20] Aboeprijadi Santoso, CTF report: Burying some
inconvenient truth, The Jakarta Post, 22 Juli 2008.
http://www.thejakartapost.com/news/2008/07/22/ctf-reportburying-some-inconvenient-truth.html
[21] Chega!/The CAVR Report, http://www.cavrtimorleste.org/en/chegaReport.htm