Etika dan Hukum id. doc

ETIKA DAN HUKUM
MAKALAH

OLEH

DANIEL
147020006

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR
BIDANG KEKHUSUSAN PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI ARSITEK
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Nicolaus Simamora,
MSA, IAI selaku dosen mata kuliah Etika Profesi yang memberikan kesempatan
dalam rangka pembuatan makalah ini.

Judul yang akan dibahas adalah “Etika dan Hukum” sesuai dengan arahan
yang diberikan guna memahami lebih lanjut mengenai arti dan esensi etika serta
hukum dan perbandingan kedua hal tersebut.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu
penulis selalu mengharapkan setiap kritik serta saran yang bersifat membangun untuk
penyempurnaan makalah ini. Terima kasih.

Medan, 25 September 2014
Penulis,

Daniel (NIM: 147020006)

ii

DAFTAR ISI

HAL
Halaman Judul
HALAMAN KATA PENGANTAR ...............................................


ii

Halaman DAFTAR ISI ..................................................................

iii

BAB

I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG .........................................

1

1.2 TUJUAN .............................................................

1


1.3 METODE PENULISAN .....................................

1

BAB II

ETIKA

2.1 META-ETIKA.....................................................

2

2.2 ETIKA NORMATIF............................................

6

2.3 ETIKA TERAPAN...............................................

9


BAB III HUKUM..............................................................

11

BAB IV KESIMPULAN....................................................

17

DAFTAR PUSTAKA

iii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Etika dan hukum adalah dua hal yang cukup berbeda, etika mencakup hal yang
bersifat moral, kebiasaan, dan dijadikan patokan untuk melakukan sebuah
kegiatan yang baik adanya. Di sisi lain, hukum merupakan kumpulan peraturan peraturan yang mengikat dan memiliki sanksi bila terjadi pelanggaran terhadap
peraturan - peraturan tersebut. Etika dan hukum merupakan satu subjek atau

pembelajaran yang sangat diperlukan dalam dunia profesional, sehingga para
pelaku profesional tersebut mengerti dan memahami kode etik yang ada dalam
profesi tertentu tersebut dan mampu menjalankan profesi tersebut tanpa
melanggar hukum yang memiliki kuasa terhadap profesi tersebut.
Merujuk kepada bagaimana pentingnya pemahaman akan etika dan hukum di
dalam dunia profesi, maka dari itu perlu dipahami lebih lanjut dan lebih
terperinci mengenai etika dan hukum. Pemahaman akan lebih dalam melalui
penyertaan contoh kasus yang akan disediakan dalam penulisan makalah ini.
1.2 TUJUAN
Tujuan pembelajaran etika dan hukum adalah untuk memahami maksud dan
fungsi etika serta hukum secara umum; mengerti posisi etika dan hukum dalam
dunia profesional.
1.3 METODE PENULISAN
Penulisan makalah ini dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan.

1

BAB II
ETIKA
Etika sering kali dilibatkan atau dihubungkan dengan perngertian yang mengandung

unsur kata "sifat manusia yang ideal, baik, dan moral" (Lobaton, 2003). Etika juga
sering kali merupakan kumpulan konsep atau prinsip yang membimbing atau
menuntun manusia dalam berperilaku dan memberi pengertian mengenai perbuatan
apa yang baik maupun buruk (Paul dan Elder, 2006). Etika sendiri berasal dari bahasa
Yunani, yaitu "ethos" yang berarti kebiasaan, budaya, dan lebih luas dapat diartikan
sebagai karakter sebuah kepercayaan atau idealisme yang digunakan sebagai ciri-ciri
sebuah komunitas, negara, atau ideologi.
Etika disebut sebagai bagian dari filosofi, dan sering disebut sebagai filosofi moral
yang mana, kembali lagi, berbicara tentang perilaku atau berbuatan yang benar
maupun yang salah. Kini, filsuf membagi teori etika menjadi tiga bagian
pembelajaran, yaitu meta-etika, etika normatif, dan etika terapan.
2.1 META-ETIKA
Meta-etika adalah teori etika yang mempertanyakan asal usul dari prinsip etika
yang ada, dan makna dari asal prinsip tersebut. Sering kali meta-etika
mengandung pertanyaan yang mempertanyakan apakah etika hanyalah sebuah
temuan dalam lingkup sosial, atau bahkan mempertanyakan apakah etika
melibatkan lebih dari ekspresi emosi individu.
Bila dilihat dari etimologi kata, meta berarti sesuatu yang bersifat hal yang
mempunyai hubungan ke depan, ataupun hal yang mempunyai cakupan lebih
besar/luas. Meta-etik bisa pula diartikan sebagai sudut pandang mata burung dari

etika itu sendiri. Bila dibandingkan dengan dua teori etika yang lain, maka metaetika adalah teori etika yang paling sedikit membahas tentang filosofi moral,

2

3

namun, sebagaimana telah disebutkan, lebih membahas mengenai asal usul etika
itu sendiri. Dalam pembahasan meta-etika, ada dua isu yang kerap kali menjadi
pembahasan, yaitu isu metafisik dan isu psikologis.
2.1.1 Isu Metafisik
Metafisik

adalah

pembelajaran

mengenai

objek


atau

benda

yang

ada/nyata/memiliki eksistensi di alam semesta. Eksistensi itu sendiri tidak
dibatasi oleh bentuk, apakah itu yang memiliki bentuk dan massa (physical)
seperti batu, tanah, atau sesuatu yang tidak memiliki bentuk dan massa (nonphysical) seperti pemikiran dan roh. Isu metafisik yang merujuk pada meta-etika
adalah pembahasan mengenai apakah etika atau nilai moral adalah sesuatu yang
bersifat kekal, mempunyai eksistensi yang tidak berbentuk/bermassa (nonphysical) atau hanya sebatas persetujuan yang dilakukan oleh sekelompok
manusia.
Pandangan yang mengatakan bahwa etika atau nilai moral adalah sesuatu yang
objektif, kekal, pasti dan tidak dibatasi oleh waktu pertama diungkapkan oleh
Plato (terjemahan Cooper, 1997), yang mengambil contoh matematis, yaitu
ketika disebutkan 1+1=2 adalah pasti dan tidak akan berubah - yang berlaku
dimanapun. Hal ini berarti bahwa karakter matematika ini merupakan sesuatu
yang objektif, kekal, dan bahkan memiliki eksistensi sendiri - yang mana
disebutkan oleh Plato bahwa nilai moral pula adalah sama, yaitu sebuah
objektivitas, yang memiliki eksistensi tersendiri.

Filsuf pada abad pertengahan juga menetapkan bahwa nilai moral adalah sesuatu
yang absolut atau pasti dan menganggapnya sebagai hukum yang kekal. Lebih
jauh lagi, pendapat mengenai keberadaan nilai moral (etika) ini adalah bahwa
nilai ini terjadi di dalam hidup manusia secara sukarela, yang sebagai contoh

4

adalah ketika manusia tahu bahwa membunuh adalah sebuah perbuatan yang
salah (melanggar nilai moral).
Pandangan lain, menjelaskan bahwa nilai moral adalah sebuah persetujuan yang
dibentuk oleh sekelompok manusia dan bersifat subjektif. Hal ini pertama kali
disampaikan oleh filsuf Yunani bernama Sextus Empiricus (terjemahan Annas
dan Barnes, 1994), dan ia pula menentang adanya objektivitas nilai moral.
Orang-orang yang berpandangan demikian tidak menolak adanya nilai moral itu
sendiri, namun menentang adanya eksistensi yang melekat pada setiap manusia
sehingga nilai moral tersebut bersifat pasti dan objektif. Mereka beranggapan
bahwa nilai moral semata-mata adalah persetujuan yang dibuat oleh manusia yang disebut sebagai moral relatif.
Dari sifat relatif tersebut, Sumner (1906) menambahkan dua pembagian sifat
relatif tersebut, yaitu moral relatif yang bersifat individual dan moral relatif yang
bersifat kultural. Kedua pembagian relativitas ini sudah cukup menjelaskan, yang

mana yang bersifat individual adalah nilai moral yang dibentuk berdasarkan
persetujuan satu individu dengan yang lain, dan moral relatif yang bersifat
kultural merujuk pada nilai yang disetujui bersama tanpa memperhitungkan
kepentingan satu atau dua individu semata-mata. Hal ini cukup terbukti dengan
adanya suku yang masih menerapkan kanibalisme, yang mana pada saat ini
dianggap sangat amoral dan bertentangan dengan nilai yang dianut masyarakat
luas.
2.1.2 Isu Psikologis
Sisi lain meta-etika adalah yang melibatkan psikologi manusia yang mendasari
penilaian dan perbuatan moral, terutama untuk memahami alasan mengapa
seorang manusia harus bermoral (memiliki etika). Pemahaman isu psikologis ini
dapat dielaborasi dengan pertanyaan yang mudah seperti alasan mengapa

5

manusia harus bermoral - dan sering kali pertanyaan tersebut dijawab dengan
alasan agar seseorang menghindari cibiran atau bahkan hukuman, memperoleh
kepuasan diri dan pujian, atau agar dapat berbaur dengan sebuah komunitas.
Psikologi manusia yang berhubungan dengan moral sering kali dikaitkan dengan
sifat egois manusia. Hobbes (1994) dengan tegas berpendapat bahwa hampir

setiap perilaku atau sikap yang kita ambil adalah berdasarkan keinginan diri
(egois), bahkan ketika seseorang hendak melakukan sebuah tindakan yang
tampak tidak egois, seperti memberi sedekah, seseorang tersebut memiliki alasan
egois akan hal itu - yaitu untuk merasakan memiliki kekayaan lebih atas orang
lain. Pandangan ini disebut sebagai ego psikologis yang mana beranggapan
bahwa semua perilaku manusia didasarkan oleh keinginan yang perpusat pada
diri sendiri. Mirip dengan pandangan ini adalah hedonisme, yaitu pandangan
yang beranggapan bahwa kesenangan pribadilah yang mendorong manusia untuk
melakukan sesuatu.
Pandangan lain mengenai isu psikologi yang mempengaruhi moral adalah
pandangan yang menghubungkan perasaan dan alasan (rasio) seseorang dalam
berperilaku. Sebagai contoh, sebuah anggapan bahwa seks bebas adalah salah bisa jadi merupakan pemikiran yang rasional atau hanya ungkapan perasaan.
Berhubungan dengan hal ini, dapat pula terjadi perbedaan psikologi dalam alasan
menganut nilai - nilai moral dan pembeda tersebut adalah jenis kelamin, pria,
maupun wanita. Hal ini menimbulkan pandangan bahwa kebanyakan nilai moral
yang tradisional adalah berdasarkan persepsi pria (berpusat pada keputusan pria)
dan bisa jadi, bila melihat perspektif wanita, akan ditemukan pandangan yang
unik dan mungkin bisa dijadikan nilai moral. Sebagai contoh disebutkan bahwa
pada umunya peran sebagai pengusaha, pemimpin, pemerintah sering kali hanya
disediakan bagi pria, dan wanita pada umumnya memiliki peran untuk

6

memelihara keluarga dan berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga.
Pandangan ini sering kali dihubungkan dengan gerakan feminis.
2.2 ETIKA NORMATIF
Etika normatif adalah standar moral yang mengarahkan perilaku yang benar atau
salah. Etika normatif bertujuan untuk mengadakan sikap manusia yang baik
adanya. Aturan emas yang klasik yang merupakan contoh penerapan dari etika
normatif adalah "Lakukanlah apa yang ingin diperlakukan kepada anda oleh
orang lain." Contohnya adalah, karena seseorag berharap agar benda berharganya
tidak dicuri/diambil oleh orang lain, maka seseorang tersebut tidak mencuri
benda berharga milik orang lain. Dari aturan emas tersebut, teori normatif ini
terbentuk, yang mana mempengaruhi semua perbuatan yang hendak seseorang
lakukan. Asumsi utama dalam etika normatif adalah bahwa hanya ada satu
kriteria utama dalam berperilaku, apakah itu aturan atau prinsip tertentu. Terdapat
tiga pandangan atau tori yang mempengaruhi kriteria utama itu, antara lain teori
kebaikan, teori tanggung jawab, dan teori konsekuensialis.
2.2.1 Teori Kebaikan
Banyak filsuf mengakui bahwa moral terdiri dari aturan - aturan perilaku yang
tepat guna, seperti jangan membunuh, jangan mencuri - yang harus dipelajari dan
menjadi acuan hidup. Pandangan etika kebaikan, menempatkan proses
pembelajaran dan menjadikan aturan - aturan acuan menjadi sesuatu yang tidak
begitu penting, dan malah menekankan pada pengembangan sikap kebaikan
dalam diri seseorang. Pandangan ini juga menyatakan bahwa untuk memiliki
moralitas atau etika yang baik, makan seseorang harus menjauhi perilaku buruk
yang menghasilkan karakter yang buruk pula. Pembelajaran dan pengenalan akan
etika atau moral seharusnya diadakan sejak dini karena karakter yang baik
terbentuk pada masa muda seseorang yang menjadi tanggung jawab orang tua
terhadap anaknya.

7

2.2.2 Teori Tanggung Jawab
Seseorang sering kali merasa bahwa ada satu tanggung jawab sebagai manusia,
contohnya untuk berbuat baik, untuk menghindari perbuatan yang jahat. Teori
tanggung jawab ini mendasari perbuatan moral dengan prinsip - prinsip utama
yang berhubungan, tentunya, dengan tanggung jawab seseorang terhadap orang
lain. Ada empat teori yang menyetujui pendasaran moral atas tanggung jawab,
yang pertama dikemukakan oleh Pufendorf (1691), yang mengklasifikasikan
bahwa manusia bertanggung jawab terhadap 3 pribadi: kepada Tuhan, sesama,
dan orang lain.
Pendekatan terhadap teori tanggung jawab yang kedua adalah teori hak. Pada
umumnya, hak adalah sesuatu yang patut diperoleh seseorang dari sikap atau
perilaku orang lain. Hak dan tanggung jawab atau sering kali dihubungkan
dengan kewajiban sangat berhubungan satu dengan yang lain sehingga hak
seseorang mempengaruhi tanggung jawab orang lain, sebagai contoh bila A
memiliki hak atas satu benda dari B, maka B bertanggung jawab atau
berkewajiban untuk memberikan benda tersebut kepada A. Locke (1963),
merupakan perintis HAM, yang tentunya sangat mempengaruhi teori tanggung
jawab ini, memaparkan bahwa kita tidak memiliki hak untuk merusak hidup,
kesehatan, kebebasan, dan milik sesorang, yand pastinya menjadi kewajiban
moral bagi kita untuk berlaku agar hak orang tersebut tidak terrenggut dari
mereka.
Pendekatan ketiga adalah oleh Kant (1985) yang menekankan satu penerapan
prinsip tanggung jawab - yaitu perlakukanlah seseorang sebagai satu tujuan
akhir, bukan sebagai "alat" untuk mencapai tujuan akhir. Contoh dari pendekatan
ini yang secara moral benar (beretika baik) adalah memberi donasi/sumbangan yaitu ketika orang yang menerima sumbangan tersebut adalah tujuan akhir, yaitu

8

untuk memberikan kebahagiaan bagi penerima sumbangan tersebut. Contoh yang
salah adalah mencuri, yaitu ketika seseorang mengambil benda orang lain untuk
mencapai kebahagiaan orang yang mencuri. Pendekatan ini diyakini oleh Kant
dapat menjadi prinsip dalam bermoral dan berperilaku.
Pendekatan keempat adalah oleh Ross (1930) yang menekankan tanggung jawab
prima facie yang terdiri dari tujuh buah tanggung jawab terhadap sesama yaitu
tanggung jawab untuk menepati janji (fidelity), tanggung jawab untuk memberi
kompensasi ketika kita menyakiti seseorang (reparation), tanggung jawab untuk
berterima kasih (gratitude), tanggung jawab untuk mengenali kebaikan (justice),
tanggung jawab untuk memberi pengaruh baik kepada orang lain (beneficience),
tanggung jawab untuk meningkatkan kebaikan dan kepintaran diri sendiri (selfimprovement), serta tanggung jawab untuk tidak menyakiti orang lain (nonmaleficience). Dikatakan bahwa akan ada saat ketika seseorang dihadapkan
dengan kondisi yang mungkin menjadikan beberapa poin dari tujuh tanggung
jawab tersebut saling bertentangan, seperti misalnya bila A meminjam senjata
tajam dari B, maka menjadi tanggung jawab bagi A untuk mengembalikannya
kepada B (fidelity), namun ketika B hendak mengambil senjata tersebut untuk
menyakiti orang lain, A kemudian diperhadapkan dengan tanggung jawab untuk
tidak menyakiti orang lain (non-maleficience). Maka A seharusnya mengetaui
manakah tanggung jawab utama (prima facie) yang harus dikerjakan yang mana
dalam kasus ini adalah untuk tidak mengembalikan senjata tajam agar tidak ada
yg disakiti.

2.2.3 Teori Konsekuensialis
Pada umumnya, tanggung jawab moral yang dilakukan didasarkan oleh
konsekuensi dari tindakan yang diperbuat. Pandangan inilah yang beranggapan
bahwa perbuatan moral yang benar didasarkan hanya oleh analisis konsekuensi

9

dari sebuah tindakan yang mana bila sebuah tindakan menimbulkan lebih banyak
konsekuensi yang bisa diterima/baik adanya, maka sebuah perbuatan tersebut
benar. Terdapat tiga pembagian konsekuensialis, yaitu ethical egoism adalah
ketika sebuah tindakan secara moral benar bila konsekuensi tindakan tersebut
memiliki nilai positif lebih hanya bagi pelaku tindakan; ethical altruism adalah
tindakan yang secara moral benar bila konsekuensi memiliki nilai positif lebih
terhadap semua orang kecuali pelaku; utilitarianism adalah tindakan yang
bermoral baik bila konsekuensi memiliki nilai positif lebih bagi semua orang.
2.3 ETIKA TERAPAN
Etika terapan, berbeda dengan etika normatif yang membedakan yang benar dan
salah, serta meta-etika yang mempertanyakan asal usul moral tersebut. Etika
terapan merupakan pengujian filosofis terhadap satu isu atau kejadian tertentu
dalam kehidupan pribadi maupun sosial yang berhubungan dengan penilaian
secara moral. Maka dari itu, etika terapan mengarah atau mengacu pada
bagaimana manusia menentukan tindakan yang benar dalam berbagai bidang
dalam hidup manusia. Porter (2006) menyatakan tujuh bidang atau tipologi
terapan yang dapat membantu adanya peningkatan moral dalam lingkup
organisasi maupun sosial dalam taraf nasional maupun global yaitu etika
pengambilan keputusan, etika profesi, etika klinis, etika bisnis, etika organisasi,
etika sosial, dan etika seksual.
Hampir keseluruhan etika terapan tersebut menggunakan pendekatan berupa teori
seperti ulititarianism yang mencari keuntungan atau kebahagiaan terbaik bagi
semua belah pihak, deontological ethics yang berhubungan dengan hak dan
kewajiban manusia yang mempengaruhi tindakan yang diambil, serta virtue
ethics yang mana setiap tindakan adalah berdasarkan pada kebaikan sematamata.

10

Etika profesi, sebagaimana yang menjadi sorotan dalam pembahasan ini, adalah
etika yang mencakup standar perilaku secara perorangan, organisasi, dan
korporat, yang mana diharapkan dapat ditemui dalam setiap profesional (RIBA,
2005). Pendekatan etika profesi yang sering ditemui menyangkut unsur berikut,
yakni: kejujuran, integritas, transparansi, akuntabilitas, konfidensialitas (mampu
menjaga rahasia perusahaan), objektivitas, rasa hormat, patuh hukum, loyalitas.
Dari unsur - unsur pendekatan etika profesi, dapat terlihat salah satunya adalah
patuh hukum. Hal ini menekankan adanya hubungan yang cukup erat antara
penerapan etika profesi dengan hukum yang mengikat - tanpa menjalankan
hukum, seseorang tidak mampu memenuhi etika profesi tersebut.

BAB III
HUKUM
Hukum, pada umumnya merupakan sebuah sistem yang teridir dari peraturan peraturan yang diadakan secara paksa (enforced) melalui institusi sosial untuk
mengatur tingkah laku (Robertson, 2007).

Hukum dibuat oleh badan legislatif

melalui legislasi, hukum juga bisa dibuat oleh badan eksekutif melalui dekrit (decree)
dan regulasi, bisa juga dibuat oleh hakim melalui pengukuhan putusan pengadilan
(precedent). Hukum juga dapat dibentuk dalam kontrak yang legal oleh pihak
perorangan.
Terdapat dua sistem hukum yang berlaku, antara lain yurisdiksi hukum publik dan
sistem hukum umum. Selain kedua sistem hukum tersebut, Syariat Islam juga
merupakan jenis hukum yang menjadi hukum utama dalam beberapa negara,
khususnya negara Islam. Bentuk hukum sendiri dapat pula dibagi menjadi dua yaitu
hukum pidana dan hukum perdata.
Sejarah hukum sangat berhubungan dengan perkembangan peradaban manusia.
Hukum Mesir kuno, diketahui keberadaannya sejak 3000 SM yang terdiri dari aturan
- aturan publik yang kemudian dibagi dalam dua belas (12) jumlah buku. VerSteeg
(2002) menyebutkan bahwa aturan - aturan tersebut didasarkan pada konsep Ma'at,
konsep keadilan dan penegakan keadilan di negara Mesir Kuno. Dalam
perkembangannya, sampai pada masa kejayaan kota Athena kuno sekitar abad 8 SM,
hukum masih belum tersebut secara khusus, namun menggunakan tiga unsur
pembeda aturan, yaitu aturan yang berasal dari dewa (thémis), dekrit manusia
(nomos), serta budaya (díkē). Namun dalam perkembangan hukum Yunani kuno,
terdapat banyak inovasi konstitusi dalam perkembangan demokrasi (Ober, 1996).

11

12

Hukum Romawi sangat dipengaruhi oleh filosofi hukum Yunani, namun
pengembangan aturan-aturan yang mendetail dibuat oleh juri profesional yang
hasilnya bisa dikatakan sangat mutakhir (Stein, 1999). Pada abad pertengahan, aturan
- aturan tidak begitu signifikan terlihat dan sering kali digantikan dengan keberadaan
adat istiadat dan hukum kasus, sampai pada saat ketika para cendikiawan kembali
meneliti aturan - aturan Romawi. Perkembangan hukum terus berlanjut pada abad
pertengahan sampai terbentuknya hukum umum. Hukum juga pada akhirnya
terbentuk oleh para pedagang Eropa agar dalam praktek dagang terdapat standar yang
bisa dipatuhi untuk mencegah terjadinya penipuan. Pada abad 18 dan 19 M, cikal
bakal hukum Negara Perserikatan Eropa terbentuk, melalui aturan - aturan
Napoleonik dan Jerman - yang kemudian terus berkembang dalam prakteknya oleh
Dewan Hukum Eropa (Mattei, 1997).
Hukum di Indonesia, mengambil sistem hukum sipil yang berasal dari Eropa,
berdasarkan pada bentuk hukum atau aturan dari kerajaan Romawi. Bentuk - bentuk
hukum yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Hukum Publik
Hukum publik mengatur hubungan antara warga negara dengan negara yang
menyangkut kepentingan umum.
 Hukum Tata Negara
Serangkaian peraturan hukum yang mengatur bentuk negara, susunan dan
tugas-tugas serta hubungan antara alat-alat perlengkapan negara. Hukum Tata
Negara hanya khusus menyoroti negara tertentu yang mempelajari bentuk
negara, bentuk pemerintahan, hak-hak asasi warga negara, dan sebagainya.
Yang menitikberatkan hal-hal yang bersifat mendasar (fundamental) dari
negara.
 Hukum Administrasi Negara
Seperangkat peraturan yang mengatur cara berkerja alat-alat perlengkapan
negara, termasuk cara melakukan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki

13

oleh setiap negara dalam melakukan tugasnya. Hukum Administrasi Negara
menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat teknis yang dibuat berdasarkan
wewenang yang diberikan oleh Hukum Tata Negara.
 Hukum Pidana
Berisi hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatankejahatan terhadap kepentingan umum dan perbuatan mana diancam dengan
sangsi pidana tertentu.Bentuk atau jenis pelanggaran dan kejahatan dimuat
didalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
 Hukum Acara/hukum formal
Merupakan seperangkat aturan yang berisi tata cara untuk menyelesaikan,
melaksanakan, atau mempertahankan Hukum Material. Hukum Acara
dibedakan antara Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Dalam
Hukum Acara Pidana, diatur tata cara penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan, dan penuntutan. Dalam Hukum Acara juga diatur pihak yang
berhak melakukan penyitaan, penyidikan, pengadilan mana yang berwenang
mengadili dan sebagainya. Semua itu diatur dalam Kitab Undang - Undang
Hukum Acara Pidana (KUHP), yaitu UU No.8 Tahun 1981.
2. Hukum Perdata (privat)
Perdata sama artinya dengan warga negara, pribadi, sipil, atau privat. Sumber
pokok hukum perdata adalah Burgerlijk Wetboek (BW) yang dalam arti luas juga
mencakup Hukum Dagang dan Hukum Adat. Jadi Hukum Perdata adalah hukum
yang mengatur tentang kepentingan - kepentingan perorangan (privat). Dalam
ilmu pengetahuan hukum, Hukum Perdata dapat dibagi sebagai berikut:


Hukum Perorangan (pribadi)
Berupa himpunan peraturan yang mengatur tentang manusia sebagai subjek
hukum dan tentang kecakapannya memiliki hak - hak serta bertindak sendiri



dalam melaksanakan hak-haknya itu.
Hukum Keluarga

14

Hukum yang memuat rangkaian peraturan yang timbul dari pergaulan hidup
dalam keluarga. Hubungan keluarga terjadi karena adanya perkawinan antara


seorang laki - laki dan perempuan yang kemudian melahirkan anak.
Hukum Kekayaan
Peraturan - peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban manusia
yang bernilai uang. Hukum Kekayaan mengatur benda dan hak - hak yang
dapat dimiliki atas benda. Benda dalam hal ini adalah segala barang dan hak



yang dapat menjadi milik orang atau sebagai objek hak milik.
Hukum Waris
Hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah
orang tersebut meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada
orang lain/ahli waris kelaurga tersebut. Dalam Hukum Waris diatur
pembagian harta peninggalan, ahli waris, urutan penerimaan waris, hibah serta



wasiat.
Hukum Dagang
Hukum ini mengatur permasalahan perdagangan/perniagaan yang timbul



karena tingkah laku manusia (person) dalam perdagangan atau perniagaan.
Hukum Adat
Hukum Adat tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tertentu, serta
hanya dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat yang bersangkuta. Hukum adat
biasanya merupakan perbuatan yang diulang-ulang terhadap hal yang sama,
yang kemudian diterima dan diakui oleh masyarakat. Contoh hukum adat: tata
cara pernikahan daerah Jawa, pembagian warisan di Minangkabau dengan



system matrilineal atau patrilineal di Batak, dan sebagainya.
Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari ajaran Islam.
a) Sebagai sistem hukum, yang berarti Hukum Islam tidak hanya hasil
pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia disuatu tempat pada
suatu masa, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang
terdapat dalam Al-Quran.
b) Ruang lingkup yang diaturnya, dalam hal ruang lingkup yang diatur oleh
Hukum Islam tidak hanya mengenai hubungan manusia dengan manusia dan

15

benda serta penguasanya dalam masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah Tuhan yang Maha Esa.
Sebagaimana telah dipaparkan, terlihat jelas bahwa hukum merupakan aturan - aturan
yang harus dipatuhi dan mengatur bagaimana seharusnya sebuah kelompok
masyarakat atau bahkan sebuah negara bertindak dan berperilaku. Hukum, berbeda
dengan nilai moral atau etika, disetujui dan diakui, serta memiliki status legalitas
sehingga orang - orang yang terikat dengan institusi yang menyatakan legalitas
hukum tersebut harus dan wajib mematuhi. Hukum juga pada dasarnya akan memiliki
sanksi bagi pelanggar hukum, sehingga mau tidak mau (enforced), masyarakat yang
terikat dengan hukum tersebut wajib mematuhi.
Dalam praktek, tentunya pembuatan hukum harus memiliki batasan, dan dari nilai
moral yang melekat pada manusia, batasan tersebut muncul, sehingga hukum yang
dipaksakan tersebut masuk akal dan tidak mendatangkan kekecewaan atau bahkan
kerugian bagi pelaku hukum yang ada (utilitarianism). Kant (1985) juga
menyebutkan bahwa hukum yang dibentuk harus melindungi kebebasan pribadi dan
hak asasi manusia. Dan seperti teori normatif moral, hukum yang baik adalah hukum
yang mampu memberi lingkungan yang baik bagi manusia untuk mengembangkan
kebaikan (virtue) manusia tersebut.
Sebuah studi kasus yang melibatkan pelanggaran hukum dan etika profesi adalah
kasus Philippe Leblanc, berumur 60 tahun (RFI, 2014). Philippe merupakan seorang
arsitek yang tidak tergabung dalam asosiasi arsitek manapun, namun dengan
menggunakan stempel asosiasi dari saudara iparnya, dia mampu mengesahkan
dokumen untuk konstruksi bangunan yang dirancang dan hal ini telah dilakukan
selama 30 tahun - merancang dan membangun tanpa lisensi. Tentu saja parktek
arsitektur demikian melanggar hukum yang ada di Paris, yang mengharuskan
bangunan yang dibangun, dirancang oleh arsitek yang meiliki lisensi.

16

Selain melanggar hukum, Philippe juga tidak mengindahkan etika profesi yang dia
miliki, yang mana, seorang arsitek harus memiliki lisensi. Ternyata Philippe belum
menyelesaikan diploma yang dia ambil dulu - dan hampir menyelesaikannya saat ini.
Hukum yang dilanggar oleh Philippe tentunya membawa konsekuensi atau sanksi
hukum, yaitu 2 tahun tidak diberi izin praktek. Pada awalnya sanksi hukum berupa
denda juga diberikan, namun dalam pembelaan oleh pengacara Philippe, ternyata
bangunan yang telah dihuni yang dirancang oleh Philippe tidak pernah bermasalah,
dan bahkan baik menurut pendapat pengguna. Kasus ini muncul dan dilaporkan
setelah beberapa pengguna jasa arsitek ini menanyakan pertanyaan - pertanyaan
seputar hal lisensi tersebut.

BAB IV
KESIMPULAN
Etika merupakan nilai - nilai yang dianut, memberi pemahaman mengenai yang benar
dan yang salah (normative), serta mengarahkan tingkah laku, perbuatan, dan
pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari - hari maupun profesional yang
mencakup berbagai bidang (applied). Etika menetapkan nilai moral yang membantu
manusia menjadi lebih baik dalam berperilaku dan menjadikan manusia dianggap
baik di mata seseorang dalam berperilaku. Etika bisa bersifat perorangan, komunal,
kultural, dan profesional - sehingga terdapat unsur pluralisme, yaitu kemungkinan
adanya perbedaan nilai moral atau etika yang dianut antara sekelompok orang dengan
orang lain.
Berbeda dengan etika, hukum mengatur tingkah laku, sehingga dapat mencegah
terjadinya kewenang-wenangan karena merupakan aturan yang dipaksakan (enforced)
serta memiliki sanksi bagi pelanggar hukum. Meskipun terdapat perbedaan yang
cukup signifikan dari etika, hukum tidak terlepas dari etika sendiri, karena pembuatan
atau pembentukan hukum didasari oleh kaidah etika normatif, yang mana hukum
yang dibuat, tidak boleh merugikan orang lain (utilitarianism), menjaga kebebasan
hak asasi manusia (deontology), serta mendorong manusia untuk berbuat baik
(virtue).

17

DAFTAR PUSTAKA
Hobbes, Thomas. 1994. LEVIATHAN. ed., E. Curley. Chicago: Hackett Publishing
Company.
Kant, Immanuel. 1985. GROUNDING FOR THE METAPHYSICS OF MORALS.
terjemahan James W. Ellington. Indianapolis: Hackett Publishing Company.
Kidder, Lobaton. 2003. HOW GOOD PEOPLE MAKE TOUGH CHOICES REV ED:
RESOLVING THE DILEMMAS OF ETHICAL LIVING. New York: Harper
Collins.
Locke, John. 1963. TWO TREATISES. ed., Peter Laslett. Cambridge: Cambridge
University Press.
Mattei, Ugo. 1997. THE DISTINCTION BETWEEN COMMON LAW AND CIVIL
LAW. Michigan: University of Michigan Press.
Ober, Josiah. 1996. THE NATURE OF ATHENIAN DEMOCRACY. Princeton:
Princeton University Press.
Paul,

Richard;

Elder,

Linda.

2006.

THE

MINIATURE

GUIDE

TO

UNDERSTANDING THE FOUNDATIONS OF ETHICAL REASONING.
Tomales: Foundation for Critical Thinking Free Press.
Plato. 1997. REPUBLIC. terjemahan Cooper, John M.. Indianapolis: Hackett
Publishing Company.
Porter, R. 2006. THE HEALTH ETHICS TYPOLOGY: SIX DOMAINS TO IMPROVE
CARE. Hampton: Socratic Publishing.
RFI. 2014. FAKE ARCHITECT BUILT SCHOOLS AND CRÈCHES AROUND PARIS
OVER 30 YEARS. France: RFI.
RIBA. 2005. CODE OF PROFESSIONAL CONDUCT. London: Royal Institute of
British Architects.
Robertson, Geoffrey. 2007. CRIMES AGAINST HUMANITY: THE STRUGGLE FOR
GLOBAL JUSTICE (Rev). New York: New Press.

Ross, W. D. 1930. THE RIGHT AND THE GOOD. Oxford: Oxford University Press.
Samuel Pufendorf. 1691. THE WHOLE DUTY OF MAN ACCORDING TO THE
LAW OF NATURE. London.
Sextus Empiricus. 1994. OUTLINES OF PYRRHONISM. terjemahan J. Annas dan J.
Barnes. Cambridge: Cambridge University Press.
Stein, Peter. 1999. ROMAN LAW IN EUROPEAN HISTORY. Cambridge: Cambridge
University Press.
Sumner, William Graham. 1906. FOLKWAYS. Boston: Guinn.
VerSteeg, Russ. 2002. LAW IN ANCIENT EGYPT. Durham: Carolina Academic
Press.