Masalah Sudut Pandang dan Dilema Kritik

Kata Pengantar
edisi indonesia


Masalah sudut Pandang
dan dileMa KritiK PostKolonial
Manneke BudiMan

S

ebagaimana telah dikemukakan oleh Keith Foulcher dan Tony
Day dalam pengantar mereka untuk kumpulan tulisan tentang
kritik postkolonial atas sastra Indonesia ini, tampaknya ada
kesepakatan umum tentang pengertian postkolonialisme sendiri di
kalangan para praktisinya. Postkolonialisme secara longgar dipahami
sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan “jejakjejak” kolonialisme dalam konfrontasi “ras-ras, bangsa-bangsa, dan
kebudayaan-kebudayaan” yang terjadi dalam lingkup “hubungan
kekuasaan yang tak setara” sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas
bangsa-bangsa di ‘dunia ketiga’. Foulcher dan Day juga menegaskan
dan ini yang menarik bahwa postkolonialisme adalah “strategi membaca” sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya
dalam teks-teks sastra, serta posisi atau suara pengamat berkaitan

dengan isu-isu tersebut.
Di dalam konteks pengertian inilah buku ini menempatkan pelbagai
esai yang ditulis oleh peneliti sastra yang berasal dari pelbagai negara,
termasuk dua orang peneliti Indonesia dari 12 orang yang tulisannya
dimuat di sini. Penyumbang lainnya berasal dari Australia, Kanada,
Amerika Serikat, dan Belanda. Hal ini perlu diungkapkan bukan
dengan tujuan untuk mempermasalahkan sedikitnya jumlah kritikus
Indonesia yang terlibat dalam penulisan kritik postkolonial atas sastra
Indonesia dalam kumpulan ini dibandingkan dengan jumlah kritikus
‘dunia pertama’. Isu ini diangkat terutama untuk memperlihatkan
adanya asumsi dasar – disadari atau tidak – bahwa, sebagai suatu
kegiatan ilmiah, kajian postkolonial atas kesusasteraan suatu bangsa

ix

xxxx.indd 9

5/8/2008 10:41:21 AM

Manneke Budiman


dapat dilakukan secara objektif tanpa adanya intervensi subjektivitas
para peneliti terkait dengan latar belakang ras, kebangsaan, dan budaya
masing-masing. Oleh karena itu, tidak menjadi soal bahwa dalam
buku ini ada perbedaan persentase yang besar antara kritikus-kritikus
Indonesia dan non-Indonesia. Dengan kata lain, baik kritikus Indonesia
maupun non-Indonesia diasumsikan dapat mengambil’jarak aman’ dari
subjek kajiannya untuk menghindari terjadinya bias-bias yang dapat
melemahkan objektivitas kajian.
Kritik postkolonial lahir dan berkembang, serta memiliki daya
tarik yang besar, karena kesadarannya akan ketimpangan hubungan
kuasa antara penguasa koloni dan subjek kolonial yang diperintahnya.
Demikian pula, sebagaimana telah disebutkan di atas, kritik
postkolonial juga peduli pada bagaimana pola hubungan semacam
itu masih memperlihatkan warisan yang kentara dan berkepanjangan
bahkan setelah koloni memperoleh kemerdekaannya. Sasaran kritik
postkolonial adalah membongkar pola-pola hubungan kuasa tersebut
untuk menguak ketimpangan yang melandasinya. Dengan demikian,
jelas bahwa sejak semula sesungguhnya kritik postkolonial berhadapan
dengan masalah objektivitas dalam cara pandang maupun operasionalnya sebagai alat pembedah teks.

Kritik postkolonial juga berangkat dari asumsi-asumsi, antara lain,
bahwa kritik itu bukanlah sekadar sebuah elitisme akademik baru yang
menjadi kemewahan para kritikus sastra. Seperti halnya kritik-kritik
‘pembebasan’ lain (marxis, feminis, dan sebagainya), kritik postkolonial
perlu diposisikan sebagai bagian dari praksis, yang tak hanya berdimensi
tekstual tetapi juga sosial, serta bercita-cita melakukan transformasi
melalui diseminasi wawasan atau kesadaran kritis. Namun, seperti
halnya juga dengan kritik-kritik sejenis yang dicontohkan di atas, sikap
semacam ini, tidak bisa tidak, akan berbenturan dengan objektivitas, yang
menjadi salah satu tiang utama ilmu pengetahuan. Dapatkah kedua hal
ini didamaikan? Atau, pertanyaan yang sebaiknya dilontarkan terlebih
dahulu adalah, sungguhkah ada tegangan di antara keduanya?
Dalam bentuknya yang ekstrem, seperti banyak dipraktikkan dalam
cultural studies, upaya pencapaian cita-cita ‘pembebasan’ diwujudkan
melalui penelitian atau kajian yang ‘berpihak’ atau, paling tidak, memiliki
‘komitmen sosial’ yang tegas. Tentu saja, ada banyak kontroversi di

x

xxxx.indd 10


5/8/2008 10:41:21 AM

Kata Pengantar

seputar sikap akademik yang bertubrukan dengan objektivitas itu. Ada
tuduhan bahwa peneliti yang bersikap seperti itu sesungguhnya sedang
mempraktikkan “excessive charity” atau simpati yang berlebihan pada
subjeknya, dan dampak perbuatan ini sama buruknya dengan sikap
yang menghakimi subjek secara tidak toleran. Sementara itu, sikap yang
sebaliknya dengan mudah dicap “uncharitable” serta tidak menunjukkan
simpati pada subjeknya. 1Namun, tiadanya posisi peneliti yang dapat
dilihat dengan gamblang dalam kajian-kajian postkolonial, atau disembunyikannya posisi tersebut di balik kenetralan atau objektivitas, juga
dikhawatirkan dapat menumpulkan ketajaman kritik postkolonial
sebagai sebuah alat analisis. Lebih jauh lagi, postkolonialisme pun
jangan-jangan akan menjadi sebuah kemewahan akademik yang tak
membumi, penuh dengan jargon canggih yang maknanya tak pernah
betul-betul jelas, dan melulu berkutat dengan keruwetan konseptual
yang cenderung selalu diakhiri dengan serentetan tanda tanya.
Sneja Gunew secara menarik tetapi serius pernah membincangkan

persoalan ini. Di mata Gunew, pengetahuan semestinya bersifat”
interested” (alih-alih disinterested). Artinya, suatu pengetahuan baru
benar-benar bermakna jika ada kepentingan jelas yang disuarakannya.
Mengutip Donna Haraway, yang menyebut pengetahuan jenis ini dengan
“situated knowledge”, ia berargumen bahwa letak pertanggungjawaban
pengetahuan semacam ini adalah pada jejaring hubungan (berupa
“solidaritas politis”) dan dialog epistemologis yang dimungkinkannya
untuk terjadi.2 Di dalam konteks postkolonialisme, mungkinkah kajian








Istilah-istilah excessive charity, uncharitable, dan unsympathetic dalam konteks ini
digunakan oleh Talal Asad dalam tulisannya, “The concept of cultural translation
in British social anthropology”, ketika mengritisi pemikiran Ernest Gellner ten
tang bagaimana studi antropologis seharusnya dilakukan. Tulisan itu dimuat

dalam J. Cliford dan G. Marcus (peny.), Writing Culture: The poetics and politics of
ethnography, Berkeley: University of California Press, 1986 (hlm. 141-164).
Periksa S. Gunew, Haunted Nations: The colonial dimensions of multiculturalism,
London & New York: Routledge, 2004, khususnya pada Pendahuluan: “Situated
multiculturalism” (hlm. 1-13). Gunew mengajukan gagasan ini sebagai justiikasi
bagi bukunya, yang bertopik multikulturalisme dan bersinggungan dengan
postkolonialisme dan feminisme. Subjektivitas dan keterlibatan pengalaman
pribadinya dalam memaknai multikulturalisme ia terima sebagai “situated
imagination” (meminjam istilah yang ditelurkan 0100 Marcel Stoeltzler dan Nira
Yuval-Davis) yang menjadi prasyarat bagi terbentuknya suatu “situated knowledge”.
Suara dalam pengetahuan jenis ini adalah suara orang pertama tunggal, yang
mencerminkan sifat interestedness pengetahuan yang dinarasikannya.

xi

xxxx.indd 11

5/8/2008 10:41:22 AM

Manneke Budiman


postkolonialisme dipersepsikan sebagai salah satu bentuk “situated knowledge” yang dibayangkan Gunew sehingga objektivitas dalam artiannya
yang konvensional tidak lagi menjadi prasyarat bagi kesahihan, dan peneliti
tidak perlu merasa bersalah dengan sikap atau posisi yang diambilnya
yakni – bagian ini perlu diberi tekanan khusus – ‘keberpihakannya’
kepada yang tertindas (the colonized)? Seandainya pun sikap tersebut
dinilai sebagai suatu fallacy, dapatkah ‘kekeliruan’ ini diterima sebagai
suatu pilihan sadar seorang kritikus postkolonial, mengingat hanya
dengan mengambil posisi ‘keliru’ inilah ia dapat mewujudkan keberpihakannya dan, pada gilirannya, melakukan transformasi atas kesadaran
untuk menjadikannya lebih kritis?
Gayatri Spivak juga pernah mempersoalkan fallacy jenis ini ketika
menggagas suatu posisi bagi kritikus subaltern dalam berbicara dengan
mantan tuan kolonialnya di Barat. la menyebutnya dengan istilah
esensialisme strategis, yaitu sikap esensialis yang bersifat sementara
dan yang memang harus diambil dengan tujuan untuk, pada akhirnya,
menggugat esensialisme itu sendiri. Sikap ini harus diambil agar
seseorang dapat mulai berbicara tentang esensialisme dan kemudian
mengritisinya. Tanpa sikap esensialis sementara yang bertujuan strategis
itu, mustahil bagi suatu kritik untuk dapat menggugat suatu ketimpangan
kuasa yang terjadi pertama-tama karena adanya cara pandang yang

esensialis terhadap hal-hal seperti ras, gender, bangsa, dan sebagainya. Itu
sebabnya mengapa istilah-stilah seperti ‘Barat’, ‘Timur’, ‘dunia ketiga’,
‘perempuan’, ‘penindas’ (colonizer) dan ‘tertindas’ (colonized), dan
sebagainya tetap digunakan dalam pelbagai kajian kritis tentang esensiesensi tersebut, meskipun esensi-esensi itu ditolak sebagai paradigma.
Ini adalah persoalan yang amat penting dalam postkolonialisme,
terlebih ketika hendak dipahami sebagai sebuah “strategi membaca”,
sebagaimana diutarakan oleh Foulcher dan Day. Pengantar untuk
edisi berbahasa Indonesia ini hendak menggunakan problematikaproblematika di atas sebagai titik-tolak untuk secara kritis menyimak
3



Dalam sebuah wawancara dengan Sarah Harasym pada tahun 987. Wawancara
itu dimuat dalam G.c. Spivak, The Post-colonial Critic: Interviews, strategies, dialogues,
peny. Sarah Harasym, New York & London: Routledge, 1990 (hlm. 95-112). Dalam
wawancara itu, Spivak menjawab pertanyaan Harasym tentang asal muasal istilah
esensialisme strategis, serta alasan mengapa posisi tersebut mau tidak mau harus
diambil dalam membicarakan representasi yang lain.

xii


xxxx.indd 12

5/8/2008 10:41:22 AM

Kata Pengantar

pelbagai gagasan yang dikemukakan oleh sejumlah penyumbang
tulisan dalam kaitan dengan pemaknaan mereka atas teks-teks sastra
Indonesia sebagai suatu bentuk kritik postkolonial. Secara umum,
tulisan-tulisan yang terhimpun dalam buku ini memperlihatkan dua
kecenderungan besar. Pertama, sebagian tulisan tampak jelas berupaya
untuk tidak melakukan penghakiman terhadap teks sastra yang dikajinya
dan memperlihatkan empati pada persoalan yang dihadapi teks baik
pada tataran tekstual maupun politis. Di lain pihak, sebagian lainnya
mencoba mempertahankan jarak dari teks yang sedang dibedahnya,
dan tampaknya ada kepercayaan yang cukup besar pada objektivitas di
kalangan penyumbang tulisan yang termasuk dalam kategori ini.
Tulisan Paul Tickell, misalnya, sembari mengungkapkan betapa
terbatasnya ruang gerak yang disediakan oleh wacana kolonial, serta

besarnya risiko yang harus dihadapi bagi pelanggar batas-batas itu, tetap
memperlihatkan upaya kreatif yang tak kunjung padam di kalangan
sastrawan untuk menyiasati kekangan kolonial, yang menyebabkan
kekangan tersebut tak dapat sepenuhnya berfungsi dengan efektif. Ini
ditunjukkan oleh Tickell melalui kajian atas novel Matahariah karya
Marco Kartodikromo, khususnya atas tema hibriditas antara gagasangagasan Barat dan cara berpikir tokoh-tokoh pribumi. Ada ironi dalam
setiap upaya penyiasatan atas kolonialisme karena, pada akhirnya, kuasa
kolonial selalu berada di atas angin, tetapi kreatiitas yang diwujudkan
dalam pelbagai strategi penyiasatan itu juga membuat artikulasi kuasa
kolonial menjadi mustahil untuk dilakukan dengan sepenuhnya. Tickell
tidak terjebak dalam “excessive charity” pada yang tertindas, tetapi
juga berhasil menghindarkan diri dari godaan untuk mengecilkan arti
suatu perlawanan, seberapa pun kecilnya dampak perlawanan itu.
Demikian pula dengan tulisan Thomas Hunter, yang membahas
Salah asoehan karya Abdoel Moeis. Lewat kajiannya, Hunter berusaha
mengungkapkan kesadaran kritis yang terdapat dalam teks tersebut,
4




Penyikapan terhadap pelbagai wacana kolonial di Hindia Belanda dinilai unik
oleh Tickell karena hal itu dilakukan oleh para penulis Indonesia melalui bahasa
Melayu yang tidak baku atau bahasa Melayu ‘liar’, yang penggunaannya tidak
direstui oleh pemerintah kolonial. Dalam novel Matahariah, bahasa Melayu ‘liar’
itu dicampur-baur dengan bahasa Belanda dan Jawa, menyebabkan seolah-olah
kaburnya batas-batas antara yang superior dan inferior, termasuk juga dalam
tataran rasial.

xiii

xxxx.indd 13

5/8/2008 10:41:22 AM

Manneke Budiman

khususnya dalam menyikapi pendidikan Barat (Belanda). Tokoh
Hanai dalam novel adalah seorang tokoh yang gagal karena ia terlalu
mengidolakan nilai-nilai Eropa tanpa pemahaman yang cukup mendalam
atas konteks tempat nilai-nilai tersebut lahir. Akibatnya, ketika nilai-nilai
itu diterjemahkan ke dalam konteks tanah jajahan, terjadilah benturanbenturan, dan tokoh Hanai pun mengalami ‘gegar budaya’. Di negeri
jajahan, semua nilai liberal yang dipujanya ternyata tak lebih dari sekadar
kedok belaka untuk melestarikan keunggulan Barat.
Hunter menunjukkan bahwa, di dalam novel yang ditulis
semasa kekuasaan kolonial masih kuat berakar di Hindia Belanda
dan diterbitkan oleh sebuah lembaga penerbitan pemerintah, sudah
terdapat sebuah gugatan terhadap pendidikan Barat dan nilai-nilai yang
disebarluaskannya. Dengan demikian, sesungguhnya novel ini memiliki
potensi untuk melakukan subversi terhadap kuasa kolonial karena
menyuarakan suatu tanggapan kritis atas salah satu unsur terpenting
pembangun rasa superioritas barat, yakni pendidikan, serta pengetahuan
yang ditawarkannya. Menarik bahwa sebuah novel berpandangan kritis
seperti ini dapat lolos dari sensor pemerintah dan menembus penerbitan
Balai Poestaka. Tampaknya Moeis cukup berhasil untuk bermain dengan aman di antara hasrat pemerintah kolonial untuk melestarikan
segregasi ras (dengan cara menggagalkan hubungan Hanai dan Corrie)
dan agenda pribadinya untuk melancarkan kritik atas nilai-nilai Barat
(lewat transformasi yang dialami Hanai).
Sebaliknya, kajian Henk Maier atas karya-karya Pramoedya
Ananta Toer, yang diberinya judul”Si Tukang Dobrak dan Pintu yang
Keropos. Tulisan Melayu Pramoedya Ananta Toer” mengungkapkan
sikap yang berbeda. Sejak semula, Maier telah bersikap kritis terhadap
postkolonialisme, dengan menganggapnya sebagai suatu “jaringan
kisah yang terus tumbuh membesar, tetapi juga kian kehilangan dayanya
ketika dipertemukan dengan sebuah situasi konkret”. Andaikata pun
ruang lingkupnya bisa dibatasi dalam suatu kasus tertentu saja, tetap ada
kecenderungan untuk “menjadi lebih besar daripada dirinya sendiri”,
dan satu kasus itu bisa jadi “menjelma menjadi sebuah kisah dengan
dampak besar”.
Maier seakan-akan mempertanyakan ‘keilmiahan’ postkolonialisme dari segi objektivitasnya. la melihat postkolonialisme sebagai

xiv

xxxx.indd 14

5/8/2008 10:41:22 AM

Kata Pengantar

“jaringan kisah” yang kental dengan subjektivitas alih-alih suatu
bentuk pengetahuan. Strategi membaca Maier, dengan demikian,
bersifat penuh kehati-hatian terhadap jebakan subjektivitas yang dapat
menyebabkan studi kasusnya atas karya-karya Pram susut menjadi
sebuah ‘kisah’ belaka dalam rangkaian kisah yang dibangun oleh
postkolonialisme. Posisi semacam ini, tentunya, sah saja untuk diambil
oleh seorang peneliti, asalkan dapat bersikap konsisten dengan posisi
yang diambilnya itu. Sulitnya, konsistensi ini tidak selalu terlihat jelas
dalam pembacaan lebih lanjut Maier terhadap sastra Indonesia. Masalah
ini, tampak, khususnya, dalam pilihan kata yang digunakannya untuk
merujuk pada situasi sastra Indonesia masa penjajahan, yang secara
kentara memperlihatkan subjektivitasnya sebagai peneliti.
Kata ‘Melayu’, misalnya, dikatakannya sebagai sebuah kata yang
“membingungkan” karena terbentuk dari pelbagai wacana. Sebagai
bahasa, Melayu cukup populer dan mempunyai daya tarik besar bagi
para penutur bahasa lain di Batavia, tetapi bahasa ini juga dinilainya
lemah karena “tidak memiliki gaya tarik (point of gravity) yang jelas
untuk dapat menjadi sebuah standar atau kanon”. Lebih lanjut, Maier
menyatakan bahwa mereka yang menulis dan menerbitkan dalam
bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, dalam prosesnya, mengalami
5

Maier menyebutkan bahwa tokoh-tokoh dalam karya awal Pramoedya Ananta
Toer berbicara dengan tergagap-gagap dan bahwa mereka “memekik” dan
“menggumam”, serta “menangis” dan “meratap” sebagai cerminan kegamangan
dan kegalauan Pram akan pilihannya untuk mengungkapkan pikiran dalam
bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, yang kini menjadi bahasa “Indonesia”. Di
mata Maier, segalanya serba tidak memadai, tidak jelas, tidak koheren, dan ia
mempertanyakan apakah setiap realitas harus berakhir nasibnya dengan menjadi
kisah-kisah. Selanjutnya, ia juga menafsirkan penggunaan kata “hakikat” oleh Pram
(yang uniknya diterjemahkan ke bahasa Inggris dalam tulisan asli Maier sebagai
“truth”) dalam karyanya, Kabar Seberang (1992) sebagai siratan hasrat penulis
akan “keutuhan dan keseragaman” ketika Pram mengatakan bahwa pengalaman
pribadi adalah pengalaman masyarakat dan, setelah dituliskan, akan kembali
ke masyarakat sebagai suatu realitas yang baru, sehingga “hakikat iksi adalah
juga hakikat sejarah”. Saya tidak melihat adanya hasrat akan “keutuhan” dan
“keseragaman” itu di dalam Pram, dan tafsir semacam ini hanya bisa djustiikasi
oleh penggunaan atau pemaksaan koherensi sebagai ukuran keberhasilan atau
kegagalan Pram. Padahal, bagi Pram sendiri, seperti jelas tampak dalam kutipan,
“hakikat” (atau “truth”) itu terletak pada relasi dan interaksi alih-alih “keutuhan”
dan “keseragaman”. Dan, memang, pada akhir tulisannya Maier tidak menolak
pendapat sejumlah pengamat yang menyimpulkan bahwa karya-karya Pram
adalah suatu kegagalan karena tidak memiliki “totalitas sempurna”, dan
pengarangnya gagal membangun potongan-potongan menjadi sebuah koherensi.

xv

xxxx.indd 15

5/8/2008 10:41:22 AM

Manneke Budiman

“ketidakyakinan” yang bersumber pada tiga persoalan:i) ketidakyakinan
tentang pemahaman pembaca atas bahasa Melayu yang digunakan, ii)
cara menyembunyikan atau mengatasi perasaan tidak yakin itu sendiri,
dan iii) apa yang akan terjadi dengan bahasa ibu mereka sebagai akibat
pemilihan bahasa Melayu sebagai alat ungkap.
Ada beberapa masalah dalam telaah Henk Maier di atas. Pertama,
ia memilih kata “membingungkan” untuk menjelaskan ‘Melayu’.
Membingungkan untuk siapa? Para penulis penutur bahasa Melayu
sebagai “bahasa kedua” atau Maier sebagai pengamat? Hal yang
sama dapat dijumpai pada pilihan kata “ketidakyakinan”. Apakah ini
adalah ketidakyakinan para penulis yang menggunakan bahasa Melayu
sebagai bahasa kedua dalam tulisan dan terbitan mereka atau janganjangan ketidakyakinan Maier sendiri yang diproyeksikan ke para
penulis Melayu itu dan, dengan demikian, lebih mudah baginya untuk
membuat pernyataan serta penilaian tentang mereka? Mungkinkah ini
adalah sebuah kasus subjektivitas pengamat yang diproyeksikan menjadi subjektivitas para penulis yang menjadi target pengamatannya?
Disengaja atau tidak, hasil’salah kaprah’ ini menguntungkan pengamat
karena, dengan begitu, dapat memproduksi pernyataan-pemyataan
‘objektif’ tentang para penulis Melayu itu.
Pola-pola sejenis muncul secara konsisten sepanjang tulisannya
dalam pilihan kata, seperti kalimat-kalimat janggal, tak seimbang, bergerak di antara bahasa percakapan sehari-hari dan bahasa tulis” untuk
menjelaskan corak bahasa Melayu yang muncul dalam karya para
penulis; “kecemasan yang dirasakan oleh mereka yang menulis dalam
bahasa Mela yu.. . “. “... bersifat tidak utuh dan membingungkan” untuk
melukiskan koran dan buku-buku laris yang terbit pada waktu itu; “...
efek yang ganjil...” untuk menunjukkan akibat segala kelemahan di
atas pada khalayak pembaca, dan masih banyak lagi contoh serupa pada

xvi

xxxx.indd 16

5/8/2008 10:41:22 AM

Kata Pengantar

halaman-halaman berikutnya hingga akhir tulisan.
Kedua, bahasa Melayu dinilai lemah oleh Maier dari segi ketidakmampuannya untuk menjadi “standar” atau “kanon”. Siapa yang
berkehendak menjadikan bahasa Melayu sebagai kanon atau standar?
Pemerintah kolonial dan Balai Poestakanya, para penulis yang menggunakan bahasa Melayu sebagai medium, ataukah Henk Maier sendiri? Dalam tulisan Maier, lagi-Iagi terjadi pengaburan intensi ketiga
entitas itu. Maier menjelaskan bahwa ada upaya yang ditempuh pemerintah kolonial untuk menggunakan sastra Melayu klasik sebagai
standar tulisan dan penerbitan dalam bahasa Melayu, tetapi upaya itu
menemui kegagalan karena sifat-sifat yang dimiliki bahasa Melayu
yang digunakan penulis pada akhir abad ke-19 di Hindia Belanda (sebagaimana dicontohkan di atas) tidak kompatibel dengan standar Melayu
klasik ataupun standar Eropa.
Namun demikian, jika yang ada di benak Maier adalah bahasa
Melayu ‘liar’ yang disebut-sebut oleh Hunter, maka persoalannya tidak
begitu “membingungkan”. Beberapa penulis sengaja menggunakan
bahasa Melayu ‘liar’ itu justru untuk menolak kanonisasi kolonial karena
jenis bahasa Melayu tersebut ternyata memiliki kemampuan resistensi
yang cukup besar untuk melawan upaya-upaya standarisasi. Apa yang
di mata Maier tampak sebagai kelemahan, dalam hal ini, bisa juga
dipandang sebagai kekuatan. lni selaras dengan pemikiran Goenawan
Mohammad, yang dalam membahas Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer, memaknai “kebimbangan” hidup di tengah dua dunia seperti dilihat Minke pada sosok Nyai Ontosoroh sebagai “gudang potensi
terpendam” alih-alih “kecemasan” belaka, sebagaimana cenderung
dilihat oleh Henk Maier.
Sudut pandang seperti inilah yang menyebabkan Maier sampai
pada kesimpulan bahwa sebagian besar terbitan dalam bahasa Melayu




Pada salah satu bagian puisinya, Saras berkata tentang para Indonesianis itu, “And
thuss/They talked/And talked/And talked/And yes indeed/They argue with each other/
Admire each other’s eloquence and/Articulateness/Whato do I think? /Who is interested
in - what do I think? /They might not?/ or at least they politely ask how I was doing.”
Sementara, pada bagian lain ia juga menyatakan, “Well/May be/I am/Not/A real
Colleague to/Some/North American Academics/Not because I am not as articulate or/As
brilliant as the rest of them/But I Think/lt is/Because/The so called Asian Economic Crisis/
The economic crisis that also hit Indonesia/Is very real/To me/-/Very disheartening/And’//That I cannot turn my heart away from it.”

xvii

xxxx.indd 17

5/8/2008 10:41:22 AM

Manneke Budiman

pada akhir abad ke-19 terbaca seperti “terputus-putus” Seluruh pilihan
kata ini mengandung muatan pemaknaan negatif terhadap subjek penelitian dan bisa jadi membuat sebagian dari kita bertanya, apakah hal
ini adalah konsekuensi logis sebuah pengamatan objektif ataukah
ini suara subjektif Maier yang memang, sejak awal, mengandung
prasangka terhadap subjek penelitiannya? Barangkali, dalam hal ini,
tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ada pertemuan antara sudut
pandang Maier dengan sudut pandang pemerintah kolonial pada akhir
abad ke-19. Jika hal ini benar, bisa dipahami bahwa penilaian yang
dihasilkannya tidaklah memperlihatkan pemaknaan yang cukup positif
atas subjek yang dinilai.
Tony Day, seperti Maier, juga berbicara ten tang bahasa dalam
tulisannya. la membahas gagasan tentang ”ruang ketiga” yang bersifat
hibrid dan postkolonial”. Ruang ini, menurutnya, berisi “ironi dan
karikatur” yang menawarkan altematif bagi bahasa Indonesia maupun
bahasa lokal yang, menurutnya, tidak betul-betul berhasil melahirkan
suatu “bangsa”. Ruang ini bersifat ironis dan karikaturis karena’ adanya
kesadaran bahwa yang ideal secara realistis tidak bisa diraih, yaitu
melahirkan kebangsaan lewat bahasa daerah atau bahasa Indonesia.
Namun, Day masih mampu melihat bahwa dalam kegagalan dan situasi
yang ironis ini bahkan masih ada ruang yang terbuka, walaupun sekejap,
bagi pengungkapan pengalaman berbangsa. Pada momen singkat tapi
penting inilah sastra Indonesia mampu menjadi medium pengungkap
perasaan atau pengalaman tersebut. Paling tidak, inilah yang dapat ia
simpulkan dari penelitiannya atas kumpulan cerpen Pramoedya Ananta
Toer, Tjerita dari djakarta. Strategi penggunaan ironi dan karikatur
ini, lanjutnya, merupakan “respons stilistik” Pramatas jalan buntu
yang ditemuinya dalam mencari gaya dalam bahasa Indonesia yang
mampu mengungkapkan perasaan bangsanya.
Namun, memang barangkali letak persoalannya adalah pada
bangun istilah postkolonialisme itu sendiri, seperti yang telah
ditengarai oleh beberapa penyumbang tulisan dalam buku ini, termasuk
Foulcher dan Day, Budianta, Clark, dan Keeler. Postkolonialisme
sebagai sebuah strategi membaca, di tangan sejumlah kritikus, bisa
jadi condong ke awalan pasca- dan melampaui yang kolonial, tetapi
bisa juga masih erat terkungkung oleh kata dasar kolonialisme. Ke

xviii

xxxx.indd 18

5/8/2008 10:41:22 AM

Kata Pengantar

mana kecenderungan seorang kritikus di antara kedua’ tarikan itu akan
menentukan pula sudut pandang clan temuan penelitiannya. Peneliti
yang sadar betul akan permasalahan ini akan bersikap awas terhadap
posisi dirinya, khususnya jika pada tataran kesadaran subjektif ia
merasa sebagai bagian dari ‘Barat’ yang sedang memandangi ‘Timur’
(Indonesia). Mereka mungkin akan berusaha keras mencoba untuk
tidak membiarkan diri terseret ke posisi ‘kolonial’, serta berkonsentrasi
pada penggalian aspek-aspek pasca- yang kompleks dan multidimensional. Sebaliknya, bisa juga seorang penulis - entah sengaja atau tidak membiarkan diri berada pada posisi yang memungkinkannya untuk
memandang subjeknya dengan kacamata peninggalan kolonial yang
seolah hendak digugat tetapi sesungguhnya sedang dimanfaatkannya
(atau menungganginya?).
Will Derks dengan tepat mengemukakan dalam tulisannya tentang
sastra pedalaman bahwa kritik postkolonial harus dapat dihindarkan dari
penerapan norma-norma sastra Barat pada subjek kajian. Prasyarat penting
bagi kemampuan untuk menolak godaan ini adalah pengenalan akan
kriteria dan norma yang berlaku di dunia Melayu atau Indonesia. Mungkin
inilah yang dimaksud Sneja Gunew dengan situated knowledge, yang
secara sepintas sempat disinggung pada awal prakata ini. Subjektivitas
yang digunakan untuk menilai dan memaknai teks - sebagai suatu medium
pengungkapan pengalaman sosial- semestinya adalah subjektivitas
lokal. Meskipun ini bukanlah hal yang mudah untuk dipraktikkan baik
oleh peneliti luar maupun oleh peneliti lokal sendiri (karena tidak jarang
peneliti lokal pun sangat dipengaruhi oleh konsep pengetahuan Barat,
termasuk ketika berbicara tentang postkolonialisme), upaya menuju
ke arah tersebut layak dicoba, dan inilah tampaknya yang dituntut dari
sebuah studi postkolonial yang memiliki komitmen sosial.
Persoalan lain yang juga penting dalam postkolonialisme adalah
bagaimana caranya ‘menulis balik’ kepada pusat tanpa justru semakin
mengukuhkan mitos tentang keunggulan pusat tersebut. Ketika Barat
secara intens dan tanpa henti menciptakan rekaan-rekaan tentang Timur
untuk mengukuhkan superioritas dirinya, justru tak lagi bisa tidur
dengan nyenyak karena bayangan Timur yang gelap selalu berada di
balik punggungnya. Monster rekaan bernama ‘Timur’ itu seolah-olah

xix

xxxx.indd 19

5/8/2008 10:41:22 AM

Manneke Budiman

menjelma menjadi realitas yang menakutkan. Namun demikian, ketika
para ilmuwan dan kritikus Timur beramai-ramai meneriakkan kritik
mereka atas hegemoni Barat dalam pelbagai tulisan, pada saat yang
sama mereka juga sedang mendiseminasikan Barat secara masit dan
hasilnya pun kontraproduktif: mitos bahwa Barat adalah sebuah pusat
yang adidaya kian dikukuhkan alih-alih diruntuhkan. Kajian postkolonial
perlu mencari strategi yang tepat agar tidak terjerumus dalam dilema
serupa dengan tak henti-hentinya melakukan releksi kritis atas dirinya
sendiri.
llustrasi yang baik untuk menjelaskan persoalan di atas adalah kritik
Will Derks atas sikap dan perlakuan Jakarta yang dinilainya kolonial
dalam merespons seruan daerah-daerah ‘pinggiran’, yang dalam tulisan
Derks difokuskan pada sastra pedalaman. Ada semacam kekecewaan
bahwa para elite sastra di Jakarta hanya memandang sebelah mata
pada fenomena merebaknya sastra-sastra di luar Jakarta. Menurut
saya, kritik atau kekecewaan ini patut dilontarkan karena sinyalemen
Derks bukannya tanpa dasar yang kuat. Masalah baru timbul ketika
fenomena sastra pedalaman (demikian pula dengan sastra ‘pinggiran’
lain, seperti sastra kepulauan, sastra Tegat sastra buruh, dan sebagainya)
menjadi terlalu diidolakan tanpa disertai oleh pertanyaan-pertanyaan
kritis di seputar fenomena sastra pedalaman itu sendiri. Misalnya,
apa yang membuat fenomena sastra ‘pinggiran’ rata-rata tidak berusia
panjang? Ke manakah perginya para perintis dan pelopornya? Setelah
kemunculan mereka disambut dengan gegapgempita, dan suara mereka
mulai diperhitungkan, semoga saja mereka tidak hijrah ke Jakarta -
pusat yang digugat itu - untuk mengadu nasib melawan para elite di
sana sekaligus menjadi bagian dari mereka.
Derks juga tidak mencoba bertanya secara kritis, mengapa hampir
semua gerakan sastra pedalaman atau sastra ‘pinggiran’ menerapkan
strategi yang nyaris seragam dalam mengatasi keterpinggirannya, yakni
melakukan ofensif terhadap Jakarta. Hasilnya adalah serangan balik yang
mematikan dari para’ dewa’ sastra di Jakarta, seperti Nirwan Dewanto,
yang disinggung dalam tulisan Derks. Mungkin saja penilaian Derks
benar bahwa Dewanto dan para elite sastra Jakarta lain telah bersikap
kolonial dalam merespons suara-suara dari luar Jakarta yang menggugat
hegemoninya, tetapi ilustrasi ini juga memperlihatkan bahwa gerakan-

xx

xxxx.indd 20

5/8/2008 10:41:22 AM

Kata Pengantar

gerakan sastra marginal itu tampaknya hanya mengetahui satu cara
untuk mengumumkan eksistensinya, yaitu dengan menyerang Jakarta.
Pada gilirannya, hal itu malahan kian mengukuhkan mitos kedigdayaan
Jakarta sebagai satu-satunya ‘Pusat’. Ketika hegemoni Jakarta menjadi
kian kukuh dengan berlalunya waktu, suara-suara perlawanan itu justru
menjadi kian pupus - seperti angin kencang yang tiba-tiba menerpa, tetapi
dengan cepat pula berlalu. Jika asumsi ini keliru, seharusnya pada saat ini
kita telah melihat tegaknya ‘pusat-pusat’ baru non-Jakarta yang suaranya
mampu menenggelamkan Jakarta, meskipun hanya sebatas pinggang.
Keberpihakan, komitmen sosial, dan empati pada yang tertindas
di dalam konteks postkolonialisme tidak serta-merta berarti idealisasi
yang tertindas. Will Derks, seperti halnya banyak penyumbang lainnya
dalam buku ini, bukannya tak menyadari bahaya ini, tetapi memang
tidak selalu mudah untuk menolak godaannya. Jadi, sekali lagi, kita
berhadapan dengan dilema antara excessive charity di satu pihak dan
sikap yang uncharitable atau unsympathetic di lain pihak. Meniti jalan
sempit yang licin di antara kedua posisi tersebut dan tiba dengan selamat
di ujungnya adalah suatu ikhtiar yang, dengan caranya masing-masing,
telah diupayakan oleh setiap penyumbang tulisan dalam buku ini.
Ward Keeler, kritikus yang tulisannya muncul terakhir dalam kumpulan ini, mengungkapkan dilema tersebut dengan cara lain tetapi dengan
keprihatinan yang sama. Pada awal tulisannya, pertanyaan penting yang
ia lontarkan dengan segera adalah, bagaimana kita dapat menyatukan
“komitmen pada kesetaraan” dan “komitmen pada kerendah-hatian
pada tataran intelektual” dalam melakukan kajian postkolonial?
Ada kesadaran yang kuat tentang perlunya mewaspadai bias-bias
ideologis kita sendiri, tetapi bahkan dalam tulisannya tentang elitisme
kaum “kelas menengah” Indonesia, Keeler tak urung juga terjebak dalam
penggunaan generalisasi dan kriteria Barat untuk mengukur Indonesia,
yaitu berupa kategori kelas menengah yang apa dan siapanya masih
terus menjadi bahan perdebatan tak kunjung tuntas di Indonesia bahkan
hingga saat ini. Dalam tulisan Keeler, kategori tersebut digunakan
seakan-akan tanpa masalah, sehingga dengan sederhana ia dapat menggolongkan, misalnya, Mangunwijaya dalam kelompok kelas menengah
elite yang memberi diri sendiri hak untuk “berbicara atas nama orang
banyak kepada orang banyak”. Saya khawatir tidak banyak orang

xxi

xxxx.indd 21

5/8/2008 10:41:23 AM

Manneke Budiman

Indonesia yang akan segera setuju dengan kategoriasi semacam ini,
terlebih menyangkut sosok seperti Mangunwijaya yang kompleks,
dinamis, dan sekaligus unik sehingga tidak dengan sederhana dapat
diberi label’kelas menengah’.
Saya tidak tahu apakah dalam praktik kritik postkolonial kita masih
diperkenankan mendengarkan suara ‘lokal’ yang subjektif tentang
dirinya sendiri tanpa menyebabkan timbulnya keraguan atas keabsahan
hasil kajian itu. Dengan kata lain, apakah suara lokal, yang boleh jadi
merupakan imajinasi subjek penelitian mengenai dirinya sendiri, masih
bisa diterima sebagai suatu ‘kenyataan,’ sehingga dari semula tidak
perlu ada pretensi objektivitas dalam kritik postkolonial? Saraswati
Soenindyo, seorang peneliti-penyair Indonesia yang bermukim di
Amerika Serikat, pernah menunjukkan kepada saya sebuah puisi yang
dibacakannya di depan para peserta (semuanya Indonesianis) sebuah
konferensi tentang Indonesia tak lama setelah krisis moneter melanda
Indonesia. Puisi yang berjudul “Born in Indonesia” dan ditulis dalam
bahasa Inggris itu berisi ungkapan frustrasi penulisnya sebagai seorang
Indonesianis berkebangsaan Indonesia (dan perempuan) tapi tinggal
di Amerika yang mencoba untuk sintas di kalangan para Indonesianis
Amerika Utara (sebagian besar laki-laki). la merasa bahwa, sebagai
seorang Indonesia, ia hanya diperhitungkan sebatas “teman” belaka
dan bukan sebagai seorang “kolega”. Di mata Saras, suaranya hanya
dihargai sebagai sebuah suara yang subjektif sehingga tidak cukup
objektif untuk ditanggapi dengan serius.
Dalam puisinya, Saras juga mengungkapkan kesulitan yang
dihadapi para anggota keluarganya di Indonesia sebagai dampak
krisis ekonomi Asia pada akhir tahun 1990-an. Baginya, berbicara
tentang krisis ekonomi di Indonesia bukanlah sekadar sebuah diskusi
akademik, melainkan - lebih daripada itu - krisis yang terjadi juga
merupakan semacam “emotional bail out”. Puisinya yang bernada
protes itu mengeluhkan bahwa pengalaman subjektifnya, sebagai
orang Indonesia yang bermukim di Amerika, dengan krisis ekonomi
yang terjadi di negara asalnya seakan-akan dianggap sebagai imajinasi
lokal semata yang bercampur dengan ‘keamerikaannya’ sehinggga
tidak cukup absah sebagai data. Pada akhir puisinya, ia menyimpulkan,
“and thus/if according to some north american academics/i am not/a

xxii

xxxx.indd 22

5/8/2008 10:41:23 AM

Kata Pengantar

real colleague/it is/ Precisely/ Because/-/indonesia/-/is not/Just/- The
object/of/-/My/Study.” Situasi yang dilukiskan Saras jelas adalah sebuah
masalah postkolonial yang tampaknya masih jauh dari penyelesaian dan
menjadi pekerjaan rumah bagi para kritikus postkolonial di Indonesia
maupun di luar Indonesia.
Kelak, ketika hal ini tak lagi menjadi persoalan, mungkin akan
ada lebih banyak kritikus sastra Indonesia yang dapat memberikan
sumbangan gagasan dalam kumpulan tulisan semacam ini bersamasama dengan mitra asingnya. Atau, sebaliknya, berapa persentase
peneliti Indonesia yang terlibat dalam pembicaraan serius tentang
sastra Indonesia dalam suatu penerbitan (dibandingkan dengan peneliti
non-Indonesia) tak lagi relevan untuk dipertanyakan karena suara
mereka secara serius didengar dan diperhitungkan. Agar kita selangkah
dapat lebih dekat pada cita-cita itu, yang perlu dilakukan sementara
ini adalah releksi kritis yang terus-menerus atas pelbagai pemikiran,
argumentasi, dan proposisi yang kita ajukan dalam kerja ilmiah di
bidang postkolonialisme yang kaya problematika ini.
ab

xxiii

xxxx.indd 23

5/8/2008 10:41:23 AM