KERJA SAMA INDONESIA KORPORASI ASING DAL
KERJA SAMA INDONESIA-KORPORASI ASING DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
ALAM
Oleh:
Deka Nurjaman
120170102007
Dalam rangka meningkatkan perekonomian untuk kesejahteraan dalam negeri, pemerintah berusaha
keras untuk meningkatkan kerja sama antar negara, korporasi misalnya guna mempercepat pertumbuhan
ekonomi, namuan kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah sering kali kandas dan merugikan Indonesia,
Freeport, Calte, Teaco dan McMoran misalnya. Hubungan kerja sama yang awalnya dinilai ideal ini justru
dalam prakteknya malah lebih banyak merugikan pihak Indonesia.
Investasi, khususnya dengan pihak asing memang penting untuk menggerakkan dan mendorong
pertumbuhan ekonomi yang lesu.1 Namun, investasi-invetasi yang dilakukan dengan negara-negara asing
sering kali hanya menguntungkan satu pihak saja.
Dalam teori realisme disebutkan bahwa pada dasarnya manusia ataupun negara adalah anarkis dimana
keegoisan ini menimbulkan peperangan karena adanya kompetisi dan konflik yang tidak sehat. Paham
realisme memandang bahwa kebaikan dari seseorang itu selalu disusupi oleh maksud tertentu, inti dari
gagasan realisme bertumpu pada political groupism, egoism, international anarchy, serta power politics.2
Menurut realisme, suatu negara hanya meningkatkan kekuatan mereka sendiri3 dan membunuh negara-negara
lain, dalam berkerja sama tidak ada yang namanya teman sejati, tidak ada musuh sejati yang ada hanyalah
kepentingan-kepentingan belaka. Sistem internasional pada dasarnya anarki dan manusia adalah egois dan
haus akan kekuasaan. Aktor dalam perspektif realisme adalah negara, sebagai satu individual yang tidak akan
bekerja sama dengan aktor lain tanpa ada maksud tertentu (self-interests) dan akan selalu berusaha untuk
memperkuat dirinya sendiri. Menurut Hans J. Morgenthau lewat bukunya Politics Among Nations mencatat
bahwa politics is governed by objective laws that have their roots in human nature. Sifat dasar manusia pada
dasarnya cacat, oleh karena itu konflik terjadi sebagai hasil alamiah dari pencarian kekuasaan dan
kekuatan. Morgenthau berpendapat bahwa politik diatur oleh objektivitas dari sifat manusia.4
Melihat dari teori realisme bahwa memang jelas adanya maksud dan tujuan dari sebuah negara
melakukan kerja sama yakni tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menguasai sumber daya dari negara
lain, dalam hal ini kerja sama Indoensia-Amerika dan negara-negara lain yang terlibat di Freeport misalnya.
Kerja sama yang dilakukan Indoensia-Amerika (penanam modal) dalam Freeport tidaklah
menguntungkan Indonesia, pasalanya kerja sama tersebut hanya memperkaya Amerika dan sekutunya saja.
Pembagian hasil yang tidak sebanding, dimana hasil dari eksploitasi potensi tambang mineral hanya sebagian
kecil yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh PT. Freeport Indonesi. 5
Selain itu, pihak PT. Freeport mengaku hanya menambang tembaga dan emas saja, ini adalah kebohongan
belaka. Kenyataanya banyak kandungan mineral yang ditutup-tutupi dan dibawa langsung untuk diproduksi di
negaranya, sehingga tidak ada transfer teknologi. Jelas-jelas ini merugikan negara dan masyarakat. Meskipun
sudah diketahui oleh pemerintah, namun kenyataanya selama puluhan tahun negara tetap bungkam, para
pejabat pemerintah telah dibius oleh keserakahan. Pemerintah menutup mata dan telinga, hal ini dapat dilihat
dari tidak adanya pengawasan yang serius dari pemerintah Indonesia. Bahkan Departemen Keuangan melelui
Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa produksi PT. Freeport Indonesia berikut
penerimaannya.6
1 Firdaus, “Dominasi Korporasi Asing di Sektor Pertambangan Studi Tentang Operasi PT Freeport Indonesia di Papua,” ( Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2017), hal. 12.
2 Goodin, Robert E, The Oxford Handbook of International Relations (Oxford: Oxford University Press, 2010), hal. 132.
3 Walter Pinem, “Teori Realisme dalam Hubungan Internasional,” https://www.seniberpikir.com, diakses pada tanggal 11 Desember
2017.
4 Hans Morgenthau, Politics Among Nations (New York: Knopf, 1948), Chapters 1 and 2.
5 Paharizal dan Yuwono, Ismantoro Dwi, Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan (Yogyakarta: NARASI, 2014), hal. 235.
6 Paharizal dan Yuwono, Ismantoro Dwi, Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan, hal 234.
1
Tidak hanya dari segi penerimaan negara saja yang merugikan Indonesia, aktivitas pertambangan
mineral oleh PT. Freeport juga merusak lingkungan karena limbah hasil pengolahan batuan tambang atau yang
biasa disebut tailing bahkan wilayah pemukiman suku asli Papua Amungme yang berada di wilayah
pertambangan Grasberg juga ikut tergusur. 7 Selain menimbulkan kerusakan lingkungan secara massif, juga
menimbulkan konflik sosial yang berujung pada pelanggaran HAM di Papua. Timika bahkan menjadi tempat
berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berada di
Provinsi Papua.8 Keberadaan PT. Freeport Indonesia menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait
dengan tindakan kekerasan aparat keamanan Indonesia. Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran
HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM di
Papua yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah Indonesia bahkan terkesan diabaikan.
Papua yang memiliki sumber daya alam yang sangat berlimpah, namun mayoritas masyarakatnya
hidup di bawah garis kemiskinan. Persoalan yang berujung pada kesenjangan sosial dan konflik horizontal
yang telah memkan banyak korban akibat aktivitas eksploitasi PT. Freeport Indonesia tersebut telah banyak
menuai kecaman bahkan tuntutan dari berbagai kalangan dan elemen masyarakat terutama dari rakyat Papua,
aktivis lingkungan hidup, aktivis HAM dan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Beberapa kecaman
dan tuntutan dari elemen masyarakat tersebut adalah penyelesaian dan pengusutan secara tuntas pelanggaran
HAM yang terlah terjadi di Papua serta keberanian pemerintah Indonesia untuk menasionalisasikan PT.
Freeport Indonesia menjadi perusahaan tambang nasional yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah. Namun
bagai “Jauh Panggang dari Api” pemerintah Indonesia dinilai tidak menggubris dan merespon secara cepat
dan serius terhadap kecaman dan tuntutan elemen masyarakat terkait permasalahan pengelolaan pertambangan
mineral di Papua oleh PT Freeport Indonesia. Pemerintah Indonesia dinilai tidak berani mengambil langkah
besar untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi dan mengambil alih pengelolaan
pertambangan mineral di Papua. Justru pemerintah saat ini lebih memilih untuk melakukan renegoisasi dan
memperpanjang kontrak dengan PT Freeport Indonesia dibanding mengambil alih dan mengelola secara
mandiri tambang mineral tersebut.
Upaya untuk mengamankan kelangsungan operasinya di Papua, PT Freeport Indonesia selaku
korporasi asing melakukan strategi dengan menjalin aliansi dengan berbagai aktor domestik, pemerintah
selaku pembuat kebijakan misalnya. agar memperoleh proteksi untuk terus melakukan operasinya di Papua.
Selain itu, PT Freeport Indonesia juga menjalin hubungan dengan kapitalis domestik untuk menghilangkan
stigma negatif dari masyarakat akan imperialisme asing di Indonesia.
Disahkannya undang-undang yang berkaitan dengan penanaman modal asing selama ini justru
membuat Indonesia semakin tidak mandiri dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki dan kehadiran
perusahaan-perusahaan multinasional selama ini tidak memberikan dukungan kepada pemerintah Indonesia
untuk meningkatkan pembangunan inklusif di Indonesia terutama di daerah yang menjadi wilayah operasi
perusahaan multinasional milik investor asing tersebut.
Keberadaan PT. Freeport Indonesia yang semakin kuat selama ini merupakan hasil dari
persekongkolan dengan elit pemerintah, kapitalis domestik, dan aparat TNI/POLRI yang merugikan
kepentingan bangsa Indonesia itu sendiri khususnya dalam kemandirian mengelola sumber daya mineral di
Papua serta konflik horizontal yang berujung pada pelanggaran HAM di Papua akibat dari persekongkolan
yang jalankan PT. Freeport Indonesia untuk mempertahankan dan melancarkan keberadaannya dalam
menguasai tambang mineral di Papua.
Keberaaan PT Freeport Indoesia selam ini tidak memberikan manfaat yang signifikan kepada
Indonesia dan Papua khususnya. Hal tersebut terbukti dari royalti yang hanya 1% diterima oleh Indonesia
selama puluhan tahun dan pajak yang tidak sebanding dengan besarnya keuntungan yang didapat oleh PT.
Freeport Indonesia. Selain itu, kondisi masyarakat Papua yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan
keterbelakangan sosial ekonomi serta kerusakan lingkungan di tanah Papua semakin membuktikan lebih
7 Paharizal dan Yuwono, Ismantoro Dwi, Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan, hal 109.
8 Paharizal dan Yuwono, Ismantoro Dwi, Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan, hal 236.
2
banyak keburukan dan kerugian yang dialami oleh Indonesia dan Papua dengan keberadaan PT. Freeport
Indonesia selama ini.
Pemerintah Indonesia harus segera merivisi undang-undang penanaman modal asing yang berpihak
kepada kepentingan nasional. Pemerintah Indonesia mulai dari sekarang harus menyiapkan dan memperkuat
BUMN yang dimiliki khususnya yang bergerak di sektor eksraktif agar dapat mengelola sumber daya alam
yang dimiliki oleh Indonesia secara mandiri dan berkeadilan demi kemajuan dan kemakmuran Bangsa
Indonesia. Pemerintah Indonesia harus bersungguh-sungguh menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi
di Papua selama ini akibat dari keberadaan PT. Freeport Indonesia serta bersungguh-sungguh dalam
melakukan pengelolaan sumber daya alam di Papua khususnya dan di seluruh Indonesia umumnya secara
bertanggungjawab dan berkeadilan serta menghapuskan semua praktek KKN yang selama ini menghambat
pengelolaan sektor ekstraktif (sumber daya alam) dan pembangunan inklusif di Indonesia. Karena apabila hal
ini terus terabaikan maka tidak menutup kemungkinan akan timbul aksi-aksi anarkis dari masyarakat pada
pemerintah yang menuntut keadilan yang kemudian membuat kegaduhan, hal ini sangat rawan sekali karna
bisa dimanfaatkan oleh oknum negara-negara terntu untuk memecah belah NKRI, dengan membuat rakyat
melakukan insurjensi mislanya.
Melihat permasalahan ini maka hal yang perlu dilakukan adalah negara harus lebih teliti dan jeli jika
hendak melakukan kerja sama dengan pihak asing. Kontrak-kontrak asing yang telah disetujui jangan hanya
sebatas MoU tetapi harus dimonitoring terus-menerus dalam jangka panjang. Selain itu juga, memberikan
sayarat kepada pihak asing untuk melakukan pengolahan produksi dalam negeri hal ini akan memaksa mereka
untuk melakukan transfer teknologinya. Mengambil sebanyak mungkin kemampuan menejemennya dan terus
mengasah sumber daya manusia Indonesia, dengan memanfaatkan kehlian tenaga-tenaga asing tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus. “Dominasi Korporasi Asing di Sektor Pertambangan Studi Tentang Operasi PT Freeport Indonesia di
Papua,” (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2017), hal. 12.
Morgenthau, Hans. Politics Among Nations. New York: Knopf, 1948.
Paharizal, dan Yuwono, Ismantoro Dwi. Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan. Yogyakarta: NARASI,
2014.
Pinem, Walter. “Teori Realisme dalam Hubungan Internasional,” https://www.seniberpikir.com, diakses pada
tanggal 11 Desember 2017.
Robert E, Goodin. The Oxford Handbook of International Relations. Oxford: Oxford University Press, 2010.
3
ALAM
Oleh:
Deka Nurjaman
120170102007
Dalam rangka meningkatkan perekonomian untuk kesejahteraan dalam negeri, pemerintah berusaha
keras untuk meningkatkan kerja sama antar negara, korporasi misalnya guna mempercepat pertumbuhan
ekonomi, namuan kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah sering kali kandas dan merugikan Indonesia,
Freeport, Calte, Teaco dan McMoran misalnya. Hubungan kerja sama yang awalnya dinilai ideal ini justru
dalam prakteknya malah lebih banyak merugikan pihak Indonesia.
Investasi, khususnya dengan pihak asing memang penting untuk menggerakkan dan mendorong
pertumbuhan ekonomi yang lesu.1 Namun, investasi-invetasi yang dilakukan dengan negara-negara asing
sering kali hanya menguntungkan satu pihak saja.
Dalam teori realisme disebutkan bahwa pada dasarnya manusia ataupun negara adalah anarkis dimana
keegoisan ini menimbulkan peperangan karena adanya kompetisi dan konflik yang tidak sehat. Paham
realisme memandang bahwa kebaikan dari seseorang itu selalu disusupi oleh maksud tertentu, inti dari
gagasan realisme bertumpu pada political groupism, egoism, international anarchy, serta power politics.2
Menurut realisme, suatu negara hanya meningkatkan kekuatan mereka sendiri3 dan membunuh negara-negara
lain, dalam berkerja sama tidak ada yang namanya teman sejati, tidak ada musuh sejati yang ada hanyalah
kepentingan-kepentingan belaka. Sistem internasional pada dasarnya anarki dan manusia adalah egois dan
haus akan kekuasaan. Aktor dalam perspektif realisme adalah negara, sebagai satu individual yang tidak akan
bekerja sama dengan aktor lain tanpa ada maksud tertentu (self-interests) dan akan selalu berusaha untuk
memperkuat dirinya sendiri. Menurut Hans J. Morgenthau lewat bukunya Politics Among Nations mencatat
bahwa politics is governed by objective laws that have their roots in human nature. Sifat dasar manusia pada
dasarnya cacat, oleh karena itu konflik terjadi sebagai hasil alamiah dari pencarian kekuasaan dan
kekuatan. Morgenthau berpendapat bahwa politik diatur oleh objektivitas dari sifat manusia.4
Melihat dari teori realisme bahwa memang jelas adanya maksud dan tujuan dari sebuah negara
melakukan kerja sama yakni tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menguasai sumber daya dari negara
lain, dalam hal ini kerja sama Indoensia-Amerika dan negara-negara lain yang terlibat di Freeport misalnya.
Kerja sama yang dilakukan Indoensia-Amerika (penanam modal) dalam Freeport tidaklah
menguntungkan Indonesia, pasalanya kerja sama tersebut hanya memperkaya Amerika dan sekutunya saja.
Pembagian hasil yang tidak sebanding, dimana hasil dari eksploitasi potensi tambang mineral hanya sebagian
kecil yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh PT. Freeport Indonesi. 5
Selain itu, pihak PT. Freeport mengaku hanya menambang tembaga dan emas saja, ini adalah kebohongan
belaka. Kenyataanya banyak kandungan mineral yang ditutup-tutupi dan dibawa langsung untuk diproduksi di
negaranya, sehingga tidak ada transfer teknologi. Jelas-jelas ini merugikan negara dan masyarakat. Meskipun
sudah diketahui oleh pemerintah, namun kenyataanya selama puluhan tahun negara tetap bungkam, para
pejabat pemerintah telah dibius oleh keserakahan. Pemerintah menutup mata dan telinga, hal ini dapat dilihat
dari tidak adanya pengawasan yang serius dari pemerintah Indonesia. Bahkan Departemen Keuangan melelui
Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa produksi PT. Freeport Indonesia berikut
penerimaannya.6
1 Firdaus, “Dominasi Korporasi Asing di Sektor Pertambangan Studi Tentang Operasi PT Freeport Indonesia di Papua,” ( Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2017), hal. 12.
2 Goodin, Robert E, The Oxford Handbook of International Relations (Oxford: Oxford University Press, 2010), hal. 132.
3 Walter Pinem, “Teori Realisme dalam Hubungan Internasional,” https://www.seniberpikir.com, diakses pada tanggal 11 Desember
2017.
4 Hans Morgenthau, Politics Among Nations (New York: Knopf, 1948), Chapters 1 and 2.
5 Paharizal dan Yuwono, Ismantoro Dwi, Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan (Yogyakarta: NARASI, 2014), hal. 235.
6 Paharizal dan Yuwono, Ismantoro Dwi, Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan, hal 234.
1
Tidak hanya dari segi penerimaan negara saja yang merugikan Indonesia, aktivitas pertambangan
mineral oleh PT. Freeport juga merusak lingkungan karena limbah hasil pengolahan batuan tambang atau yang
biasa disebut tailing bahkan wilayah pemukiman suku asli Papua Amungme yang berada di wilayah
pertambangan Grasberg juga ikut tergusur. 7 Selain menimbulkan kerusakan lingkungan secara massif, juga
menimbulkan konflik sosial yang berujung pada pelanggaran HAM di Papua. Timika bahkan menjadi tempat
berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berada di
Provinsi Papua.8 Keberadaan PT. Freeport Indonesia menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait
dengan tindakan kekerasan aparat keamanan Indonesia. Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran
HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM di
Papua yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah Indonesia bahkan terkesan diabaikan.
Papua yang memiliki sumber daya alam yang sangat berlimpah, namun mayoritas masyarakatnya
hidup di bawah garis kemiskinan. Persoalan yang berujung pada kesenjangan sosial dan konflik horizontal
yang telah memkan banyak korban akibat aktivitas eksploitasi PT. Freeport Indonesia tersebut telah banyak
menuai kecaman bahkan tuntutan dari berbagai kalangan dan elemen masyarakat terutama dari rakyat Papua,
aktivis lingkungan hidup, aktivis HAM dan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Beberapa kecaman
dan tuntutan dari elemen masyarakat tersebut adalah penyelesaian dan pengusutan secara tuntas pelanggaran
HAM yang terlah terjadi di Papua serta keberanian pemerintah Indonesia untuk menasionalisasikan PT.
Freeport Indonesia menjadi perusahaan tambang nasional yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah. Namun
bagai “Jauh Panggang dari Api” pemerintah Indonesia dinilai tidak menggubris dan merespon secara cepat
dan serius terhadap kecaman dan tuntutan elemen masyarakat terkait permasalahan pengelolaan pertambangan
mineral di Papua oleh PT Freeport Indonesia. Pemerintah Indonesia dinilai tidak berani mengambil langkah
besar untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi dan mengambil alih pengelolaan
pertambangan mineral di Papua. Justru pemerintah saat ini lebih memilih untuk melakukan renegoisasi dan
memperpanjang kontrak dengan PT Freeport Indonesia dibanding mengambil alih dan mengelola secara
mandiri tambang mineral tersebut.
Upaya untuk mengamankan kelangsungan operasinya di Papua, PT Freeport Indonesia selaku
korporasi asing melakukan strategi dengan menjalin aliansi dengan berbagai aktor domestik, pemerintah
selaku pembuat kebijakan misalnya. agar memperoleh proteksi untuk terus melakukan operasinya di Papua.
Selain itu, PT Freeport Indonesia juga menjalin hubungan dengan kapitalis domestik untuk menghilangkan
stigma negatif dari masyarakat akan imperialisme asing di Indonesia.
Disahkannya undang-undang yang berkaitan dengan penanaman modal asing selama ini justru
membuat Indonesia semakin tidak mandiri dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki dan kehadiran
perusahaan-perusahaan multinasional selama ini tidak memberikan dukungan kepada pemerintah Indonesia
untuk meningkatkan pembangunan inklusif di Indonesia terutama di daerah yang menjadi wilayah operasi
perusahaan multinasional milik investor asing tersebut.
Keberadaan PT. Freeport Indonesia yang semakin kuat selama ini merupakan hasil dari
persekongkolan dengan elit pemerintah, kapitalis domestik, dan aparat TNI/POLRI yang merugikan
kepentingan bangsa Indonesia itu sendiri khususnya dalam kemandirian mengelola sumber daya mineral di
Papua serta konflik horizontal yang berujung pada pelanggaran HAM di Papua akibat dari persekongkolan
yang jalankan PT. Freeport Indonesia untuk mempertahankan dan melancarkan keberadaannya dalam
menguasai tambang mineral di Papua.
Keberaaan PT Freeport Indoesia selam ini tidak memberikan manfaat yang signifikan kepada
Indonesia dan Papua khususnya. Hal tersebut terbukti dari royalti yang hanya 1% diterima oleh Indonesia
selama puluhan tahun dan pajak yang tidak sebanding dengan besarnya keuntungan yang didapat oleh PT.
Freeport Indonesia. Selain itu, kondisi masyarakat Papua yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan
keterbelakangan sosial ekonomi serta kerusakan lingkungan di tanah Papua semakin membuktikan lebih
7 Paharizal dan Yuwono, Ismantoro Dwi, Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan, hal 109.
8 Paharizal dan Yuwono, Ismantoro Dwi, Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan, hal 236.
2
banyak keburukan dan kerugian yang dialami oleh Indonesia dan Papua dengan keberadaan PT. Freeport
Indonesia selama ini.
Pemerintah Indonesia harus segera merivisi undang-undang penanaman modal asing yang berpihak
kepada kepentingan nasional. Pemerintah Indonesia mulai dari sekarang harus menyiapkan dan memperkuat
BUMN yang dimiliki khususnya yang bergerak di sektor eksraktif agar dapat mengelola sumber daya alam
yang dimiliki oleh Indonesia secara mandiri dan berkeadilan demi kemajuan dan kemakmuran Bangsa
Indonesia. Pemerintah Indonesia harus bersungguh-sungguh menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi
di Papua selama ini akibat dari keberadaan PT. Freeport Indonesia serta bersungguh-sungguh dalam
melakukan pengelolaan sumber daya alam di Papua khususnya dan di seluruh Indonesia umumnya secara
bertanggungjawab dan berkeadilan serta menghapuskan semua praktek KKN yang selama ini menghambat
pengelolaan sektor ekstraktif (sumber daya alam) dan pembangunan inklusif di Indonesia. Karena apabila hal
ini terus terabaikan maka tidak menutup kemungkinan akan timbul aksi-aksi anarkis dari masyarakat pada
pemerintah yang menuntut keadilan yang kemudian membuat kegaduhan, hal ini sangat rawan sekali karna
bisa dimanfaatkan oleh oknum negara-negara terntu untuk memecah belah NKRI, dengan membuat rakyat
melakukan insurjensi mislanya.
Melihat permasalahan ini maka hal yang perlu dilakukan adalah negara harus lebih teliti dan jeli jika
hendak melakukan kerja sama dengan pihak asing. Kontrak-kontrak asing yang telah disetujui jangan hanya
sebatas MoU tetapi harus dimonitoring terus-menerus dalam jangka panjang. Selain itu juga, memberikan
sayarat kepada pihak asing untuk melakukan pengolahan produksi dalam negeri hal ini akan memaksa mereka
untuk melakukan transfer teknologinya. Mengambil sebanyak mungkin kemampuan menejemennya dan terus
mengasah sumber daya manusia Indonesia, dengan memanfaatkan kehlian tenaga-tenaga asing tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus. “Dominasi Korporasi Asing di Sektor Pertambangan Studi Tentang Operasi PT Freeport Indonesia di
Papua,” (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2017), hal. 12.
Morgenthau, Hans. Politics Among Nations. New York: Knopf, 1948.
Paharizal, dan Yuwono, Ismantoro Dwi. Freeport: Fakta-Fakta yang Disembunyikan. Yogyakarta: NARASI,
2014.
Pinem, Walter. “Teori Realisme dalam Hubungan Internasional,” https://www.seniberpikir.com, diakses pada
tanggal 11 Desember 2017.
Robert E, Goodin. The Oxford Handbook of International Relations. Oxford: Oxford University Press, 2010.
3