Kapitalisme Menawarkan Ekonomi dan Bertumbuh

Kapitalisme Menawarkan Ekonomi Bertumbuh
Islam Menawarkan Ekonomi Bertumbuh, Merata, dan Berkelanjutan
Tanggal: 19 Oct 2014

Oleh: Nurhabieb Adi Putra, Ir, MT, IPP

Masa jabatan SBY sebagai presiden segera berakhir. Pemerintah tengah giat mengingatkan masyarakat akan
jasa-jasanya selama 10 tahun menjalankan kekuasaan. Dalam berbagai forum dan media pemerintah dengan
bangga menyampaikan pencapaiannya.
Dalam Pidato Kenegaraan 2014 pertengahan Agustus lalu, Presiden SBY menyebutkan
"Indonesia mampu mencetak pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, 2009-2013 rata-rata 5,9%. Ini jauh
lebih tinggi dari Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang pada kurun waktu yang sama,".
Namun, SBY menyadari bahwa kini ekonomi Indonesia tengah melambat. Pada semester I-2014, ekonomi
Indonesia tumbuh sekitar 5,2%.
"Sungguh demikian, di antara negara-negara G20 kita menempati urutan tertinggi setelah Tiongkok," sebut
SBY.(detikFinance, 14/10/2014).
Diklaim bahwa pada 2011 lalu, SBY mampu membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5%. Ini
merupakan pertumbuhan tertinggi selepas Indonesia diterpa krisis ekonomi 1997-1998. Dalam perjalanannya,
pasca krisis keuangan global di 2008, ekonomi Indonesia justru berhasil tumbuh 6%.
(detikFinance,10/10/2014)
Tapi diluar puja-puji tersebut, masyarakat belum puas. Ini tercermin dari pemilu 2014 yang lalu. Partai

representasi penguasa incumbent perolehan suaranya jatuh. Sebaliknya perolehan suara partai-partai
dengan slogan restorasi dan perubahan meningkat tajam. Pada pilpres, terlihat bahwa kandidat presiden
yang berhasil maju menjadi finalis adalah sosok yang menjanjikan perubahan. Kalau Jokowi mengangkat isu
“revolusi mental”, prabowo menjagokan isu “anti penjajahan”. Ternyata dua isu ini sama-sama laku. Jokowi
hanya menang tipis dari Prabowo. Kesimpulannya mayoritas masyarakat suka dengan gagasan perubahan
besar dan tidak sepakat dengan pemerintah saat ini yang mengklaim Indonesia “is on progress” , “Indonesia
is on the right track”, ataupun yang senada dengan itu.
Ini juga menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang
dibanggakan itu. Mudah dicermati bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mencerminkan kesejahteraan ekonomi
rakyat pada umumnya. Ketua DPD RI Irman Gusman, dalam orasinya di hadapan Forum Rektor Indonesia
(FRI) (11/5/2013), di kampus UNS berujar “Fenomena meningkatnya jumlah orang kaya dengan cepat dan
lambannya penurunan jumlah penduduk miskin menunjukkan rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi
negara kita sehingga disparitas ekonomi semakin besar,”
kata Irman Menjelaskan, besarnya kesenjangan ini diindikasikan dengan peningkatan Gini Rasio dari 0,31
menjadi 0,41 dalam satu dasa warsa belakangan. “Disparitas demikian dapat memperparah rasa
ketidakadilan dengan berbagai dampaknya, karena itu harus segera dicarikan solusinya,” jelasnya.
(uns.ac.id, 11 May 2013).
Disamping itu angka-angka ini sama sekali tidak mencerminkan tingginya kebahagiaan masyarakat (sesuatu
yang jauh lebih bernilai daripada kesejahteraan ekonomi semata). Angka-angka statistik pembunuhan, konflik,
penyimpangan dan kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba, perceraian semakin naik dari waktu ke

waktu.Jika peningkatan ekonomi (yang diukur dengan naiknya pertumbuhan ekonomi) menjadi parameter
keberhasilan semestinya harus berbanding lurus dengan kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat. Tapi
yang terjadi tidak demikian. Mengapa?
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana kekayaan sebuah negara meningkat seiring dengan waktu
(Encyclopedia Britannica). Jadi pertumbuhan ekonomi terkait erat dengan kekayaan negara, yaitu Produk
Domestik Bruto (PDB). PDB bisa diterjemahkan secara sederhana sebagai total nilai produksi barang dan
jasa suatu negara, atau dalam pendekatan lain, total pendapatan yang diperoleh oleh unit produksi (manusia
maupun lembaga) suatu negara dalam kurun waktu tertentu.
Menurut para ahli ekonomi kapitalis, pertumbuhan ekonomi adalah solusi terhadap masalah dasar ekonomi.
Adam Smith, pendiri kapitalisme modern, berteori jika masyarakat fokus pada memaksimalkan produksi,
maka ini akan diikuti oleh peningkatan kekayaan untuk semua lapisan masyarakat. Tapi berkaca dari

fenomena kesenjangan ekonomi di negara-negara kapitalis, mudah dipahami bahwa konsep pasar bebas
yang diajarkan oleh Adam Smith berhasil meningkatkan produksi tapi gagal dalam menyalurkan dengan baik
produksi tersebut ke semua lapisan masyarakat.

Realita Ekonomi Indonesia
Realita ekonomi Indonesia tidak semanis angka-angka pertumbuhan ekonomi. Jika dilihat dari kurva yang
tersaji, pertumbuhan ekonomi indonesia dari tahun ke tahun memang berkorelasi dengan berkurangnya
prosentase penduduk miskin. Tapi satu hal yang harus diperhatikan adalah prosentase penduduk miskin

cenderung stagnan. Dalam periode 5 tahun (2009-2014) pemerintah hanya berhasil menurunkan prosentase
masyarakat miskin sebesar 2.9%.

Selain itu, jika mengacu pada standar garis kemiskinan yang dipergunakan (lihat tabel), maka kemungkinan
besar angka kemiskinan yang riil di tengah masyarakat lebih besar. Sebagai contoh pada periode Maret
2013- Maret 2014, standar pengeluaran orang terkategori miskin dibatasi pada kisaran Rp. 270,000 hingga
Rp 302,000 /orang/bulan.

Sumber: Twenty years of expenditure inequality in Indonesia, 1993-2013. 13
Center for Economics and Development Studies,
Department of Economics, Padjadjaran University

Artinya orang yang pengeluaran bulanannya di atas angka tersebut tergolong “tidak miskin”. Jika rata-rata
dalam sebuah keluarga berjumlah 5 orang, maka seorang kepala keluarga yang “tidak miskin” di tahun 2013
setidaknya memiliki pendapatan Rp. 1,35 Juta/bulan. Angka yang rasanya sulit disebut sebagai layak,
mengingat mahalnya biaya bahan pokok, pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Selain itu sebagai
perbandingan, upah UMR rata-rata nasional pada tahun 2013 sebesar Rp1,332,400/ bulan,- (BPS dan

Kemenakertrans). Angka ini banyak digugat oleh kaum buruh karena dianggap tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar.

Demikian pula dengan angka gini ratio yang semakin meningkat di kisaran yang mengkhawatirkan. Tahun
2013 gini ratio berada di atas angka 0.4 (maksimal=1.0 yang secara sederhana menggambarkan bahwa
100% total income suatu negara diterima oleh hanya 1 orang dan orang lain tidak menerima apapun). Gini
ratio yang tinggi menunjukkan bahwa di dalam masyarakat terdapat kesenjangan pendapatan yang besar
antara kelompok yang satu dengan yang lain. Hal ini dapat dirasakan ketika membandingkan gaji seorang
pekerja pabrik dengan standar UMP (Rp 2-3 jt / bulan) dengan gaji seorang pekerja di industri hulu migas (Rp
30–70 jt / bulan).

Ekonomi Islam: bertumbuh, merata, dan berlanjut
Jika kapitalisme mengajarkan para penganutnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi tingginya,
maka Islam jauh mengungguli man-made ideology tersebut. Dalam Islam produksi tidak hanya tumbuh, tapi
dia harus terdistribusi ke seluruh masyarakat dan berkelanjutan.
Tumbuh dalam artian volume produksi harus mengimbangi pertambahan jumlah penduduk negara dan
mengimbangi kewajiban belanja negara dalam melaksanakan kebijakan politik dalam dan luar negerinya,
utamanya dakwah dan jihad. Hal ini terkait pula dengan pemerataan, sebab suatu hal yang wajib bagi negara
untuk mendistribusikan kebutuhan primer secara merata ke setiap warga negara. Kewajiban ini akan
senantiasa terbebankan kepada negara sehingga negara harus mengusahakan kemakmuran ekonomi
berjalan secara terus menerus tanpa mentolerir krisis periodik. Karena jika tidak tertunaikan barang sebentar
saja, khalifah dan segenap perangkatnya dianggap lalai dan berdosa.
Adapun metode Islam dalam menjalankan hal tersebut adalah sebagai berikut:

a) Islam memotivasi manusia untuk bekerja

Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan

“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari jerih
payah tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
b) Aktivitas ekonomi Islam berfokus pada aktivitas produksi riil.
Dari segi produksi, Islam memotivasi semua orang untuk menghasilkan kekayaan riil secara optimal dari
bumi dan langit.

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan)
langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Al Baqarah 29).

Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al Jatsiyah 13)

Islam mendorong untuk menciptakan nilai tambah dalam produksi


Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam
peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah) (Al Anbiya 80)
c) Sistem Islam menekan ekonomi non-riil yang menjadi biang krisis ekonomi periodik
Aktivitas ekonomi non-riil menjadi motor penggerak ekonomi kapitalisme saat ini. Pasar saham dan
obligasi, pasar uang, future trading, transaksi investasi derivatif dan yang sejenisnya adalah contoh
aktivitas ekonomi non-riil, karena transaksi yang terjadi di sektor ini tidak berkaitan dengan produksi
barang dan jasa atau membuka lapangan pekerjaan baru. Ekonomi non-riil menyebabkan pertumbuhan
uang lebih cepat daripada pertumbuhan barang dan jasa itu sendiri. Akibatnya, nilai dari uang tersebut
untuk membeli barang atau jasa menjadi berkurang.
Aktivitas ekonomi non-riil yang meniadakan ijab qabul (sebagaimana halnya jual pasar saham)dinyatakan
batil dan diharamkan dalam Islam.
d) Islam menghapuskan pajak, mewajibkan zakat, mengharamkan riba, judi, dan menimbun harta.
Penghapusan pajak (yang diimbangi dengan optimalisasi pengelolaan sumber daya alam) akan
meringankan kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah. Dalam sistem saat ini pajak telah
membebani hampir semua sendi kehidupan masyarakat. Naik angkutan umum, naik sepeda motor,
hingga beli barang kebutuhan pokok semua dikenai pajak. Gaji yang tidak seberapa pun tak luput dari
pajak.
Oleh karena itu jika pajak dihilangkan maka akan menjadikan ongkos produksi lebih rendah, harga-harga
lebih murah, pengeluaran lebih sedikit, pendapatan dan tabungan lebih banyak. Di sisi lain kewajiban
zakat pada harta-harta yang tertabung serta keharaman riba dan judi akan mendorong masyarakat untuk

memanfaatkan tabungan untuk beraktivitas ekonomi secara riil dengan cara berwirausaha, berinvestasi
dalam syirkah mudharabah, dlsb.
e) Dalam mengembangkan entrepreneurship, Islam menawarkan syirkah, bukan dalam bentuk pinjaman
riba maupun pasar saham. Perusahaan dengan sistem syirkah akan lebih kuat dan stabil sebab orangorang yang terlibat di dalamnya berijab qabul, saling mengenal, dan tahu tanggung jawab masing-masing.
Tidak seperti perseroan di sistem kapitalisme yang membebaskan para pemodal keluar atau masuk
perusahaan seiring dengan keluar masuk modalnya tanpa harus tahu sama lain dan belum tentu memiliki

ownership terhadap perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahaan besar di barat sangat takut harga
sahamnya terjun bebas dan ditinggal oleh para pemegang sahamnya.
f)

Islam mewajibkan negara menerapkan sistem mata uang berbasis dinar dan dirham. Uang yang
dikeluarkan negara harus dijamin dengan emas atau perak. Demikian pula dengan transaksi luar negeri
harus menggunakan uang yang merepresentasikan emas/perak. Hal ini menjaga jumlah peredaran uang
selalu sebanding dengan produksi sehingga ekonomi negara terjaga dari inflasi.

g) Dalam sistem pengupahan, upah pekerja dimungkinkan untuk mengalami penurunan di saat perusahaan
mengalami kesulitan keuangan. Perusahaan tidak akan takut terjadi gejolak, seperti mogok dan
demonstrasi sebab inflasi sangat rendah, serta kaum muslim hidup dalam sikap qonaah dan percaya
akan rizqi.

Berbeda dengan sistem saat ini dimana upah seakan wajib untuk naik (karena inflasi yang tinggi) tanpa
mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan. Akibatnya perusahaan memilih PHK massal. Dalam
skala yang luas, PHK meningkatkan angka pengangguran, membawa dampak makro, yaitu penurunan
permintaan terhadap barang dan jasa. Akibatnya ekonomi menjadi lesu.
h) Sitem pertanahan dalam Islam tidak membiarkan sebagian kecil orang kaya memiliki tanah yang luas
namun tidak termanfaatkan. Islam mengatur, jika lebih dari 3 tahun tidak dimanfaatkan, maka negara
berhak menyita tanah tersebut dan menyerahkannya secara cuma-cuma ke orang lain yang siap
mengelola.Hal ini sejalan dengan point a) dimana orang akan mudah bekerja karena tersedia modal
berupa tanah yang bisa digunakan untuk bertani, beternak dlsb.
Hasil dari penerapan sistem ekonomi Islam telah terbukti memakmurkan ummat Islam di masa lalu. Pada
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab (13–23 H) kaum muslim hidup sejahtera hingga wilayah
Yaman tak berhak menerima zakat. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya Al-Amwal hal. 596, bahwa Muadz
pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah,
karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar
mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali
menolaknya dan berkata,"Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk
memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan
mereka juga." Muadz menjawab,"Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan
mengirimkan apa pun kepadamu."
Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar

mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga
dikembalikan Umar. Muadz berkata,"Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat
yang saya pungut." (Al-Qaradhawi, 1995)
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam masa kekhilafahannya selama 3 tahun (99-102 H), berhasil
menyejahterakan rakyat.Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya Sirah Umar bin Abdul Aziz hal. 59 meriwayatkan,
Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata,"Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk
memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang
miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada
waktu itu berkecukupan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya." (AlQaradhawi, 1995).
Daftar Pustaka:
1. An Nabhany, Taqiyuddin, Sistem Ekonomi Islam, HTI Press
2. http://www.khilafah.eu/kmag/article/obsession-growth-capitalism-islamic-viewpoint
3. http://www.globalmuslim.web.id/2010/09/kejayaan-ekonomi-pada-masa-khilafah.html
4. http://www.khilafah.com/index.php/the-khilafah/economy/6410-islam-and-economic-growth
5. http://www.bps.go.id
6. http://hizbut-tahrir.or.id/2011/05/04/mengubur-ekonomi-ribawi/