PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA WANITA

“PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA WANITA PADA
UD. WIRA’S SILVER ”
BAB I
PENDAHULUAN
pada masa sekarang ini, wanita ikut berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan
keluarga dengan cara bekerja merupakan hal biasa. Eksistensi kaum wanita di
abad ke-20 ini tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi juga dapat
bekerja membantu suami meningkatkan penghasilan karena tuntutan kebutuhan
ekonomi keluarga. Wanita memiliki beberapa potensi yang juga tidak kalah
dibanding dengan kaum pria, baik dari segi intelektual, kemampuan, maupun
keterampilan. Pekerja wanita atau buruh wanita yang bekerja di perusahaan saat
sekarang ini mengalami situasi dramatis. Situasi dilematis secara progresif
cenderung memiliki dampak "marginalisasi" dan "privatisasi" pekerjaan wanita,
serta mengkonsentrasikan di dalam bentuk pekerjaan pelayanan yang tidak
produktif. Kenyataan ini menimbulkan fenomena menurunnya posisi kaum wanita
dalam bidang pekerjaan.1
Banyak diberitakan di media massa atau elektronik tentang pekerja wanita
yang kurang diperhatikan oleh perusahaan dalam hal kesejahteraan atau
diperlakukan di bawah pekerja laki-laki. Buruh wanita banyak di PHK PHK
secara semena-mena perusahaan. Keadaan tersebut membuat pekerja wanita
melakukan aksi demontrasi yang menuntut kebijaksanaan perusahaan untuk lebih

memperhatikan kesejahteraan dan memberikan perlindungan kepada pekerja
wanita.
Faktor penyebab lain yang membuat tenaga kerja (wanita) kurang mendapat
perlindungan karena adanya outsourcing.Outsourcing adalah pendelegasian
operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar
(perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui pendelegasian, maka pengelolaan
tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan
jasa outsourcing.2
Masalah perlindungan tenaga kerja dalam pelaksanaannya masih jauh dari
harapan. Kenyataan tersebut terjadi karena berbagai pemikiran inovatif yang
muncul, baik dalam bentuk spesialisasi produk, efisiensi dan lain-lain.
Permasalahan pekerja wanita menarik perhatian banyak pihak, terutama oleh ahli
hukum. Seperti pendapat yang diutarakan oleh Mulyana W. Kusuma,8 yang
menyatakan bahwa perspektif perlindungan hak-hak asasi buruh atau tenaga kerja
1 Iwan Prayitno, 2003, Wanita Islam Perubah Bangsa. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, hal.
185.
2 Gunarto Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing, Atma
Jaya, Yogyakarta, 2006, hal. 5.

1


2

Indonesia perlu dibuatkan undang-undang yang tegas memberikan perlindungan
bagi hak-hak tenaga kerja yang sejalan dengan Konvensi Internasional tahun
1990, di mana Undang-undang itu nantinya menempatkan buruh sebagai subjek.
Hak-hak tenaga kerja yang harus dilindungi dalam undang-undang nantinya dapat
menjamin adanya hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dipenuhi
hak memperoleh informasi, dan jaminan keselamatan kerja.
Hak-hak pekerja wanita yang perlu mendapat perlindungan sesuai dengan UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain: pesangon yang diatur
dalam Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UMPK
(Pasal 156 ayat (3)), uang pengganti perumahan dan pengobatan (Pasal 156 ayat
(4)) dan uang pengganti cuti tahunan atau hamil yang bersangkutan saat
penghentian hubungan kerja, serta uang gaji yang dihitung sejak diberhentikan,
merupakan hak yang jarang diterima pekerja wanita.10
Banyak perusahaan memberikan gaji pada buruh berupa gaji pokok dan uang
makan yang besarnya minim. Para pekerja wanita tidak memperoleh tunjangan
kesejahteraan, dan kesehatan. Selain itu, para pekerja juga terancam PHK secara
sepihak dari perusahaan. Dengan demikian, buruh harus menerima perlakuan

tersebut, karena begitu sulitnya untuk mencari pekerjaan.11
Keadaan pekerja wanita yang demikian, penting diperhatikan untuk mendapat
perlindungan hukum. Perlindungan hukum untuk pekerja wanita dapat dilakukan
oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakkan-kebijakkan yang mengatur
perlindungan hukum bagi buruh, sehingga perusahaan akan lebih memperhatikan
kesejahteraan buruh.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis ingin mengkaji lebih dalam
mengenai permasalahan tentang perlindungan pekerja wanita sebagai penelitian
dengan judul: “PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA WANITA PADA
UD. WIRA’S SILVER”

1.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan tenaga kerja wanita yang bekerja di UD. Wira’s
Silver Perhiasan Perak ?
2. Bagaimana dasar pemberian tenaga kerja wanita hamil yang bekerja di
UD. Wira’s Silver Perhiasan Perak ?
1.3 Tujuan
Tujuan umum dari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
secara umum tentang aspek Hukum Ketenagakerjaan dalam Hukum Bisnis dan
Mengetahui perkembangan ilmu hukum dan pengembangan diri pribadi

mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan khusus dari penelitian ini

3

Untuk lebih mengetahui dan memahami dasar hukum dan tolak ukur yang
digunakan dalam perlindungan tenaga kerja wanita mengenai kesadaran akan
pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di UD. Wira’s Silver.
1.4 Metode Penelitian
Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
a. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
empiris. Penulisan hukum empiris adalah wujud atau penuangan hasil penelitian
mengenai hukum yang berlaku di masyarakat.3 Penelitian hukum empirik
(empirikal law research) adalah penelitian hukum positif mengenai perilaku
(behaviour) anggota masyarakat dalam anggota masyarakat. Fokus utama
penelitian empirik adalah bagaimana bekerjaya hukum dalam masyarakat, bukan
pada teori dan rumusan norma.
b. Jenis Pendekatan
Penelitian Hukum umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni4:

a) Pendekatan Kasus (The Case Approach)
b) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)
c) Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
d) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual
Approach)
e) Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)
f) Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
g) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundangundangan (the statute approach) dan pendekatan kasus (the case approach).
Pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan dengan cara
menelaah segala undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum
yang sedang dihadapi. Hasil dari penelaahan tersebut merupakan argumen untuk
memecahkan isu yang dihadapi. Melalui pendekatan perundang-undangan ini
akan dilihat fakta-fakta yang ada di lapangan berdasarkan permasalahan yang
akan dikaji kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pendekatan kasus (the case approach) dilakukan dengan cara menelaah kasuskasus yang berkaitan dengan isu atau permasalahan hukum dalam masyarakat
3 Asri Wijayanti dan Prof. Lilik Sofyan Achmad, MA, 2011, Strategi Penulisan Hukum, CV
Lubuk Agung, Bandung, h.97.
4 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, h.80.

4

yang dikaji. Umumnya bersumber dari putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap mengenai isu terkait, sehingga mempermudah untuk
melihat fakta-fakta yang terjadi di lapangan mengenai permasalahan yang
diangkat.
c. Sumber Bahan Hukum
Penelitian Hukum Empiris menggunakan data sekunder dan data primer. Data
sekunder dalam penelitian hukum Empiris merupakan bahan hukum. Data
sekunder tersebut digunakan sebagai data awal dan kemudian secara terusmenerus digunakan dengan data primer. Setelah data primer diperoleh dari hasil
penelitian di lapangan, kedua data tersebut digabung, ditelaah dan dianalisis.5
a. Sumber Data Primer
Data Primer bersumber dari penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh
langsung dari sumber pertama di lapangan baik dari responden maupun informan.6
1) Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat
pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban atas masalah. Lokasi
yang dipilih sebagai penelitian adalah Wira’s Silver Perhiasan Perak.

2) Populasi dan Sampel
a) Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama.
Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasuskasus, waktu, atau tempat, dengan ciri dan sifat yang sama. Maka dalam
penelitian ini populasi yang dimaksud adalah karyawan Wira’s Silver Perhiasan
Perak yang berjumlah 5 orang.
b) Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi. Dalam suatu
penelitian, pada umumnya observasi dilakukan tidak terhadap populasi, akan
tetapi dilaksanakan pada sampel. Namun dikarenakan jumlah populasi sedikit,
maka penulis akan menggunakan seluruh populasi sebagai sampel.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan. 7 Data sekunder terdiri
dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier.
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas terdiri dari:
5 Ibid.
6 Ibid, h.81.
7 Ibid.


5

a)
b)
c)
d)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial;
2) Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan
data hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur,
hasil karya sarjana untuk memperluas wawasan penulis mengenai bidang
penulisan.
a) Buku-buku tentang hukum perdata
b) Buku-buku tentang hukum perikatan dan perjanjian
c) Buku-buku tentang penelitian hukum
d) Penelitian-penelitian (e-journal) yang membahas mengenai

Keselamatan dan Kesehatan Tenaga Kerja
3) Bahan Hukum Tersier, adalah bahan hukum yang berfungsi sebagai
pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya yang terdiri dari:
a) Kamus Hukum
b) Kamus Bahasa Indonesia
c) Kamus Inggris-Indonesia
d. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian empiris terdiri dari studi dokumen,
wawancara, observasi, dan penyebaran kuisioner/angket8. Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini yaitu dengan studio dokumen,
wawancara dan observasi.
a) Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap
penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun dalam
penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun
keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak atas premis
normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan
dengan permasalahan penelitian.9
b) Teknik Wawancara (interview)
Wawancara adalah cara memperoleh data dengan jalan mengadakan tanya

jawab secara langsung, antara penyusun dengan pihak. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan interview yang bebas terpimpin, dalam interview bebas
terpimpin unsur kebebasan masih dipertahankan, sehingga kewajaran dapat

8 Ibid.
9 Ibid, h.82.

6

dicapai secara maksimal, sehingga memudahkan diperolehnya data secara
mendalam.
c) Teknik Observasi/Pengamatan
Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
observasi langsung yaitu teknik pengumpulan data di mana peneliti
mengadakan pengamatan langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala
subjek yang diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi yang
sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi buatan yang khusus diadakan.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini berupa pengamatan tak terlibat
(non participant observation) yaitu pengamat tidak menjadi anggota dari
kelompok yang diamati.10

d) Teknik Analisis
Langkah-langkah yang berkaitan dengan pengolahan terhadap bahanbahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah
dirumuskan dalam rumusan masalah. Pengolahan tersebut dapat menggunakan
metode induksi. Sedangkan analisis terhadap bahan hukum digunakan
deskriptif analisis.
Data yang dikumpulkam adalah data naturalistik yang terdiri atas narasi, sukar
diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga
tidak dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi, hubungan antar variabel tidak
jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan
pedoman wawancara dan observasi.11 Metode ini pada dasarnya berarti
penyorotan terhadap masalah serta usaha pencegahannya, yang dilakukan dengan
upaya-upaya yang banyak didasarkan pada pengukuran yang memecahkan obyek
penelitian kedalam unsur-unsur tertentu, untuk kemudian ditarik suatu generalisasi
yang seluas mungkin ruang lingkupnya. Metode kualitatif digunakan oleh peneliti
terutama bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang ditelitinya.
Dalam penelitian dengan analisis deskriptif kualitatif, keseluruhan data yang
terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis
dengan cara menyusun data dengan sistimatis, digolongkan dalam pola dan tema,
diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan
interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan
penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

10 Fakultas Hukum Universitas Udayana, loc.cit.
11 Ibid, h.88.

7

Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara
deskriptif kualitatif dan sistimatis.12
BAB II
PEMBAHASAN
a) Pengertian Perjanjian
Mengenai pengertian dari perjanjian itu sendiri terdapat beberapa pengertian
dari pendapat yang berbeda-beda dari beberapa sarjana, diantaranya sebagai
berikut13 :
a) Menurut Prof. Subekti S.H., perjanjian adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal
b) Menurut R. Setiawan S.H persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di
maa satu orang atau lebih mengikatkan dirina atau saling mengikatkan dirinya
atau saling mengikatkan dirina terhadap satu orang atau lebih.
Adapun menurut Pasal 1313 KUHPer adalah :
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhapad satu orang lain atau lebih.”
Rumusan ketentuan pasal ini sebenarnya tidak jelas. Ketidakjelasan itu dapat
dikaji dari beberapa unsur dalam rumusan Pasal 1313 KUHper, sebagaimana
diuraikan berikut ini14
Lingkup perjanjian terlalu luas, mencakup juga perjanjian perkawinan yang
diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal, yang dimaksud adalah hubungan
antara debitor dan kreditor yang bersifat kebendaan. Perjanjian yang diatur dalam
Buku III KUHpdt sebenarnya hanya melingkupi perjanjain bersifat kebendaan,
tidak melingkupi perjanjian bersifat keorangan (personal). Perbuatan dapat
dengan persetujuan dan dapat juga tanpa persetujuan. Dalam hal ni tanpa
persetujuan, yang disimpulkan dari unsur definisi “perbuatan” yang meliputi juga
perbuatan perwakilan sukarela (zaakwaarneming), perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) yang terjadinya tanpa persetujuan. Seharusnya unsur
tersebut dirumuskan: perjanjian adalah “persetujuan”.
12 Ibid.
13 Simanjuntak P.N.H, 2014, Hukum Perdata Indonesia, Penamedia Group, Jakarta, hlm
285.
14 Abdulkadir M, 2014, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm
289

8

Dari rumusan perjanjian pasal 1313 KUHPER tersebut dapat disimpulkan, bahwa
unsur-unsur perjanjian itu adalah15:
a. Ada para pihak
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut
c. Ada tujuan yang akan dicapai.
d. Ada prestasi ang akan dilaksanakan.
e. Ada bentuk tertentu, baik lisan maupun tulisan.
f. Ada syarat-syarat tertentu.
b) Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian, terdapat beberapa asas penting yang perlu diketahui,
yaitu16:
a) Sistem terbuka (open system)
Asas ini mempunyai arti bahwa mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas
dalam menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas
kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatna (Pasal 1338 ayat 1
KUHPer). Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.

b) Bersifat pelengkap (optional)
Hukum perjanjian bersifat pelengkap artinya, pasal-pasal dalam hukum
perjanjian boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian
menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari
pasal-pasal undang-undang. Tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat
tidak ditentukan, maka berlakulah ketentuan undang-undang.
c) Berasaskan konsesnsualisme
Asas ini mempunyai arti, bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya
kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan syarat sahnya suatu
perjanjian (Pasal 1320 KUHper). Pengecualian asas ini adalah :
15 Ibid, hlm 286
16 Abdulkadir M, Opcit, hlm 286

9

1) Dalam perjanjian formil
Disamping kata sepakat, masih perlu formalitas tertentu. Contohnya
perjanjian perdamaian (Pasal 1851 KUH Per).
2) Dalam perjanjian riil
Disamping kata sepakat, harus ada tindakan nyata. Contohnya perjanjian
penitipan barang (Pasal 1694 KUH Per) dan perjanjian hak gadai (Pasal 1152
KUH Per)
d) Berasaskan kepribadian
Asas ini mempunyai arti, bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak
yang membuatnya. Menurut Pasal 1315 KUHPer, pada umumnya tak seorang pun
dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji,
melainkan untuk dirinya sendiri. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1340
KUHPer, suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya
dan tidak membawa kerugian bagi pihak ketiga. Pengecualiannya mengenai hal
ini diatur dalam Pasal 1317 KUHPer, yaitu mengenai janji untuk pihak ketiga.
e) Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Apabila dalam suatu perjanjian telah memenuhi suatu syarat-syarat tertentu
maka suatu perjanjian tersebut dapat dikatakan mengikat antara keduabelah pihak
dan dapat dikatakan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Adapun untuk mengetahui mengenai syarat sahnya perjanjian hal ini sudah
ditetapkan dan diatur pada Pasal 1320 KUHPer,
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat yakni
sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu
perikatan; suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal”
Syarat pertama dan kedua yang disebutkan diatas dinamakan syarat subjektif,
karena menyangkut soal orang-orang yang mengadakan perjanjian, sedangkan
syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek dari
peristiwa yang dijanjikan itu.17
Adapun mengenai pembagian perjanjian untuk melakukan pekerjaan,
menurut Pasal 1601 KUH Perdata adalah18 :
1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu
17 I Ketut Oka Setiawan, 2016, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 61
18 Ibid, hlm 48

10

Yaitu suatu perjanjian di mana satu pihak menghendaki dari pihak lainna agar
dilakukan suatu perjanjian guna mencapai suatu tujuan, untuk itu salah satu pihak
bersedia membayar honorarium atau upah.
2. Perjanjian Kerja
Yaitu perjanjian antara seorang buruh dan seorang majikan yang ditandai
dengan ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya
suatu hubungan diperatas, dimana pihak majikan berhak memberikan perintahperintah yang harus ditaati oleh pihak lain.
3. Perjanjian Pemborongan Kerja
Yaitu suatu perjanjian antara pihak yang satu dan pihak yang lain, di mana
pihak yang satu (yang memborongkan pekerjaan) menghendaki sesuatu hasil
pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lain, atas pembayaran suatu uang tertentu
sebagai harga pemborongan.
Syarat-Sahnya Perjanjian Kerja
Untuk sahnya sebuah perjanjian kerja, maka pembuatannya harus memenuhi
syarat materiil dan syarat formil. Adapun untuk syarat materiilnya berdasarkan
ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan diantaranya:
a. Kesepakatan kedua belah pihak
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya untuk syarat formiilnya terdapat dalam ketentuan Pasal 54 dan 57
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengelompokan
perjanjian kerja berdasarkan pelaksanaan pekerjaan dibagi menjadi dua macam
yaitu:
1) Dilakukan sendiri oleh perusahaan
Yaitu untuk jenis-jenis kegiatan atau pekerjaan utama (vital) ang tidak
diserahkan pelaksanaan pekerjannya kepada perusahaan lain.
2) Diserahkan kepada perusahaan lain (outsourcing)

11

a) Perjanjian pemborongan pekerjaan; dan
b) Penyediaan jasa pekerja/buruh/.
c) Berakhirnya Perjanjan Kerja
Pengertian Perlindungan Hukum
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum
merupakan suatu cara agar tidak terjadi perbuatan sewenang-wenang oleh
penguasa berkaitan dengan rakyat memiliki hak dan kewajiban yang harus
dilindungi guna terciptanya ketertiban.
Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa,”Tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja
Wanita adalah Tenaga Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan
perjanjian kerja dengan menerima upah. Aturan hukum untuk pekerja perempuan
ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki, seperti cuti melahirkan, pelecehan
seksual di tempat kerja, jam perlindungan dan lain-lain.

1.

Pedoman Hukum Bagi Pekerja Wanita

Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal
76, 81, 82, 83, 84, Pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan
Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang meliputi:
a.

Perlindungan Jam Kerja

Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00
sampai pukul 07.00). Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13

12

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya
yaitu pengusaha yang mempekerjakan wanita pada jam tersebut wajib:
1)

Memberikan makanan dan minuman bergizi

2)

Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

3)
Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan
pulang bekerja antara pukul 23.00 – 05.00.
Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang
berum7ur di bawah 18 (delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang
berdasarkan keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya apabila bekerja antara pukul 23.00 – 07.00.
Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan
makanan dan minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya
tidak boleh diganti dengan uang.
b.

Perlindungan dalam masa haid

Padal Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan diatur masalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan
terhadap pekerja wanita yang dalam masa haid tidak wajib bekerja pada hari
pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah penuh. Dalam pelaksanaanya
lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan tidak mendapatkan
premi hadir.
c.

Perlindungan Selama Cuti Hamil

Sedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil bersalin
selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan
dengan upah penuh. Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang
tidak membayar upah secara penuh.
d.

Pemberian Lokasi Menyusui

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatur masalah ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada
pekerja wanita yang anaknya masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya
efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan.

13

2.

Peranan Penting Dinas tenaga Kerja

Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap pekerja wanit yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP &
PKB Perusahaan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di
bidang ketenagakerjaan dan melakukan pengawasan ke Perusahaan.
3.

Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja Wanita

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan
hukum terhadap pekerja wanita adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan
pengusaha yang kadang menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya
sanksi dari peraturan perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor
pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya dengan alasan ekonomi.
Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan
mengusahakan untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan
undang-undang negara dan menegakkannya dengan cara mengajukan para
pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, preempuan sendiri
masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi dan bahwa hal
tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat
prematur untuk mengadakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan
secara universal.
CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak
melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan
bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda
berdasarkan gender yang:
a.

Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;

b.
Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak
perempuan baik di dalam maupun di luar negeri; atau
c.
Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar yang dimilikinya.
Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi
reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa
hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha
perlindungan terhadap fungsi reproduksi.
Selain itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat
dan nama majikan sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga

14

kerja yang tidak berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini
juga sering terjadi pada pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka
untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat (3) mengatur yaitu negara-negara peserta
bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen yang mempunyai kekuatan
hukum, yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum para wanita, wajib
dianggap batal dan tidak berlaku.

DAFTAR PUSTAKA
Iwan Prayitno, 2003, Wanita Islam Perubah Bangsa, Pustaka Tarbiatuna, Jakarta
Gunarto Suhardi, 2006, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak
Outsourcing, Yogyakarta.
Asri Wijayanti dan Prof. Lilik Sofyan Achmad, MA, 2011, Strategi
Penulisan Hukum, CV Lubuk Agung, Bandung.
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan

15

K. Rampersad. Hubert, 2006. PERLINDUNGAN WANITA, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta