Peningkatan Aktivitas Badai akibat penga
The impacts of a warmer ocean are far-reaching and will persist for several
centuries. For example, increased seawater temperatures are likely to affect temperaturesensitive organisms such as corals. As discussed in Chapter 15, warmer sea surface
temperatures have been implicated in widespread coral bleaching events (see Box 15.1).In
addition,increased seawater temperatures are likely to affect the distribution of sea ice, the
ocean s deep-water circulation pattern,El Niño/La Niña events,and the development of
hurricanes.
Dampak dari lautan hangat yang berpengaruh dan akan bertahan selama beberapa
abad. Misalnya, peningkatan suhu air laut cenderung mempengaruhi organisme bersuhusensitif seperti terumbu karang. Seperti yang dibahas dalam Bab 15, suhu permukaan laut
yang lebih hangat telah mengakibatkan peristiwa pemutihan karang tersebar luas (lihat Kotak
15.1) .Selain itu, peningkatan suhu air laut cenderung mempengaruhi distribusi es laut, pola
sirkulasi air dalam, peristiwa El Niño / La Niña, dan peningkatan badai.
INCREASING HURRICANE ACTIVITY
PENINGKATAN AKTIVITAS BADAI
Many scientists have suggested that warmer oceans would most certainly cause an
increase in the general level of storminess because additional heat accelerates evaporation,
which fuels hurricanes. In fact, the frequency and severity of recent hurricanes especially
those in the Atlantic Ocean (see Box 6.2) have kindled a debate on the effect that global
warming may have on the formation of hurricanes. Although the recent landfall of several
large Atlantic hurricanes leads to a general impression that hurricanes have increased,there
have been conflicting reports on the topic in the scientific literature.Some articles have
attributed increases in hurricane intensity, numbers, and wind speeds to warmer sea surface
temperatures, while others have claimed that changes in data-gathering methods and
instrumentation are responsible for the trends. Other studies suggest that the apparent
increase in hurricanes can be considered within the statistical limits of normal.
Banyak ilmuwan telah mengemukakan bahwa lautan hangat pasti akan menyebabkan
peningkatan tingkat umum terjadinya badai karena panas dapat mempercepat penguapan,
yang merupakan bahan bakar terjadinya badai. Bahkan, frekuensi dan tingkat baru
keberadaan badai terutama di Samudra Atlantik (lihat Kotak 6.2) telah menyalakan
perdebatan bahwa efek pemanasan global mungkin dapat menyebabkan pembentukan badai.
Meskipun penelitian baru-baru ini pada beberapa badai besar di Atlantik mengarah pada
kepernyataan umum bahwa badai telah meningkat, ada laporan pada topik bertentangan
dalam literature keilmuan.Beberapa artikel ilmiah menambahkan peningkatan intensitas
badai, nomor, dan kecepatan angin ke suhu permukaan laut lebih hangat, sementara yang lain
telah mengklaim bahwa perubahan saat metode pengumpulan data dan instrumentasi
bertanggung jawab atas kejadian terebut. Studi lain menunjukkan bahwa peningkatan dalam
badai jelas dapat dianggap dalam batas-batas statistik normal.
Although the number of tropical storms has not increased worldwide,the scientific
consensus is that global warming has led to more intense hurricanes.In the most
comprehensive study of recent hurricane activity to date, researchers demonstrate that there
have been significant increases in tropical storm intensity and duration around the world
since 1970 and that these trends are strongly related to rising sea surface temperatures.
Another study of historical Atlantic hurricanes over the past 1500 years suggests that times
of peak hurricane activity are related to increased sea surface temperatures and the
reinforcing effects of La Niña like climate conditions. Other research explicitly shows that the
most energetic storm levels those with Category 4 and 5 designations have increased
significantly,particularly in the North Atlantic and northern Indian Oceans.And, experts
warn that as climate continues to warm as expected, there will likely be additional increases
in peak hurricane wind speed and rainfall.
Meskipun jumlah badai tropis tidak meningkat di seluruh dunia, persetujuan ilmiah
bahwa pemanasan global telah menyebabkan badai lebih intens. Padastudi paling
komprehensif terkait aktivitas badai baru-baru ini, para peneliti menunjukkan bahwa telah
terjadi peningkatan yang signifikan dalam intensitas durasi badai tropis di seluruh dunia
sejak tahun 1970 dan bahwa tren ini sangat terkait dengan meningkatnya suhu permukaan
laut. Studi lain dari sejarah badai Atlantik selama 1500 tahun terakhir menunjukkan bahwa
saat aktivitas badai puncak terkait dengan peningkatan suhu permukaan laut dan efek
memperkuat terjadi La Niña seperti kondisi iklim. Penelitian lain secara eksplisit
menunjukkan bahwa tingkat badai paling energik dengan Kategori 4 dan 5 telah meningkat
secara signifikan, terutama di Atlantik Utara dan Laut utara India, para ahli memperingatkan
bahwa iklim terus hangat seperti yang diharapkan, ada kemungkinan akan ada tambahan
kenaikan dalam kecepatan saat puncak badai dan curah hujan.
CHANGES IN DEEP-WATER CIRCULATION
PERUBAHAN SIRKULASI LAUTAN DALAM
Evidence from deep-sea sediments and computer models indicates that changes in the
global deep-water circulation pattern can dramatically and abruptly affect climate.
Circulation in the North Atlantic Ocean, which provides an important source of deep water
(Figure 16.14), is particularly sensitive to these changes. What drives deep-water circulation
is the sinking of cold,dense surface waters at high latitudes,particularly in the North
Atlantic.If surface waters stopped sinking because they are too warm and thus low in
density,then the oceans would absorb and redistribute heat from solar radiation much less
efficiently.This would likely cause even warmer surface water temperatures and much higher
land temperatures than are experienced now.
Bukti dari sedimen laut dalam dan model komputer menunjukkan bahwa perubahan
pada pola sirkulasi air global yang dramatis dan tiba-tiba dapat mempengaruhi kondisi iklim.
Sirkulasi di Atlantik Utara Samudra,menyediakan sumber penting dari air dalam (Gambar
16,14), sangat sensitif perubahan ini. Apa yang mendorong sirkulasi air dalam adalah
tenggelamnya dingin, air permukaan padat di lintang tinggi, khususnya di perairan
permukaan Utara Atlantic.Apabila air permukan berhenti tenggelam karena mereka terlalu
hangat dan demikian rendah kepadatan, maka lautan akan menyerap dan menyalurkan panas
dari radiasi matahari jauh lebih efesien.Ini akan memungkinan menyebabkan suhu air
permukaan akan lebih hangat dan suhu tanah jauh lebih tinggi dari yang dialami sekarang.
FIGURE 16.14 North Atlantic Ocean circulation. Perspective view of circulation in the North
Atlantic Ocean, showing that the Gulf Stream carries a tremendous amount of heat
northward that warms the North Atlantic region. As this water cools,it generates a huge
volume of cold,salty,dense water called North Atlantic Deep Water that sinks into the deepocean basin and flows southward.Disruption of this circulation pattern could have severe
effects on global climate.
GAMBAR 16,14 Sirkulasi Utara Samudera Atlantik. Perspektif sirkulasi di Samudra
Atlantik Utara, menunjukkan bahwa Gulf Stream membawa sejumlah besar panas utara yang
menghangatkan wilayah Atlantik Utara. Seperti air ini mendingin, ia menghasilkan volume
besar dingin, asin, air padat disebut Atlantik Utara Deep Water yang tenggelam ke dalam
baskom deep-laut dan arus southward.Disruption dari pola sirkulasi ini bisa memiliki efek
yang parah pada iklim global.
Many scientific studies suggest that the buildup of greenhouse gases in the
atmosphere will change ocean circulation.One way in which this could happen is that
warmer air temperatures will increase the rate at which glaciers in Greenland melt, forming
a pool of fresh, low-density surface water in the North Atlantic Ocean. This freshwater could
inhibit the downwelling that generates North Atlantic Deep Water, reorganizing global
circulation patterns and causing a corresponding change in climate. Many climate experts
warn that a large outflow of freshwater from Greenland could take the North Atlantic system
of currents to a tipping point, causing rapid reorganization of deep-water currents and
related changes in climate. Indeed, evidence suggests that an outburst from a North
American ice-dammed lake flooded the North Atlantic with freshwater about 8000 years
ago,causing rapid global climate change.This event may be the type of scenario that the
North Atlantic could experience again because of increased precipitation and melting of ice.
Banyak penelitian ilmiah menunjukkan bahwa penumpukan gas rumah kaca di
atmosfer akan mengubah cara sirkulasi laut.Satu cara di mana ini bisa terjadi adalah suhu
udara yang lebih hangat akan meningkatkan tingkat di mana gletser di Greenland mencair,
membentuk genangan segar, low-density air permukaan di Samudera Atlantik Utara. air tawar
ini bisa menghambat downwelling yang menghasilkan Atlantik Utara Deep Water,
reorganisasi pola sirkulasi global dan menyebabkan perubahan yang sesuai dengan iklim.
Banyak ahli iklim memperingatkan bahwa arus besar air tawar keluar dari Greenland bisa
mengambil sistem Atlantik Utara dari arus ke titik kritis, menyebabkan reorganisasi arus
dalam air dan perubahan cepat terkait iklim. Memang, bukti menunjukkan bahwa ledakan
dari sebuah danau es dibendungan Amerika Utara membanjiri Atlantik Utara dengan air tawar
sekitar 8000 tahun yang lalu, menyebabkan perubahan iklim global yang terjadi dengan
cepat.Mungkin jenis skenario ini pada Atlantik Utara bisa terjadi lagi karena meningkatnya
curah hujan dan pencairan es.
MELTING OF POLAR ICE
MENCAIRNYA ES KUTUB
Computer models have predicted that global warming will affect Earth s polar
regions in a very dramatic way. One fundamental difference between the two polar regions is
that in the Northern Hemisphere, the polar region is dominated by the Arctic Ocean and its
cover of drifting sea ice (an ocean surrounded by land),whereas the South Pole is dominated
by the continent of Antarctica and its thick ice cap,including shelf ice that extends into the
ocean (land surrounded by an ocean).
Model komputer memperkirakan bahwa pemanasan global akan mempengaruhi
daerah kutub bumi dengan cara yang sangat dramatis. Salah satu perbedaan mendasar antara
kedua daerah kutub adalah bahwa di belahan bumi utara, daerah kutub didominasi oleh
Samudra Arktik dan ditutupi drifting es laut (samudra dikelilingi oleh tanah), sedangkan
Kutub Selatan didominasi oleh benua Antartika dan topi es tebal, termasuk rak es yang
membentang ke laut (tanah dikelilingi oleh laut).
FIGURE 16.15 Arctic sea ice decline. Perspective view of satellite data,showing the extent of
Arctic sea ice in September 2007 compared with the average extent of sea ice from 1979
2000 (red line).Note the opening of an ice-free Northwest Passage.The substantial decrease
in amount and thickness of Arctic Ocean sea ice is due to human-induced warming of the
Arctic.
GAMBAR 16,15 Penurunan es dilaut Arktik. Perspektif tampilan data satelit,
menunjukkan besarnya es laut Kutub Utara pada bulan September 2007 dibandingkan dengan
tingkat rata-rata es laut dari tahun 1979 2000 (garis merah) .Perhatikan pembukaan
Northwest Passage.Penurunan substansial bebas es dalam jumlah dan ketebalan es laut Kutub
Utara Samudra adalah akibat pemanasan disebabkan oleh manusia dari Kutub Utara.
The Arctic is one of the locations where the effects of global warming are being most
keenly felt (see Figure 16.13) and likely will experience quite dramatic changes in the future;
this phenomenon is called Arctic amplification. Since 1978, satellite analysis of the extent of
Arctic Ocean sea ice indicates that it is dramatically shrinking and thinning at an
accelerating rate (Figure 16.15). In the past decade alone, there has been a loss of over 2
million square kilometers (800,000 square miles) of Arctic sea ice. In fact,measurements of
the ice cap in 2007 revealed that it had shrunk to its smallest size since researchers began
keeping records; its extent fell below the previous record low in 2005 by an area roughly the
size of Texas and California combined. In addition, the interior ice is now unusually thin and
spread out,which has resulted in wide patches of ice-free ocean during the summer even at
the North Pole.
Kutub Utara adalah salah satu lokasi di mana efek dari pemanasan global paling
dirasakan (lihat Gambar 16.13) dan kemungkinan akan mengalami perubahan yang cukup
dramatis di masa depan; Fenomena ini disebut amplifikasi Arktik. Sejak tahun 1978, analisis
satelit dari luasnya lautan es di Laut Arktik menunjukkan bahwa secara dramatis menyusut
dan menipis pada tingkat percepatan (Gambar 16.15). Dalam dekade terakhir saja, telah
terjadi kerugian lebih dari 2 juta kilometer persegi (800.000 mil persegi) dari es laut Kutub
Utara. Bahkan, pengukuran tutup es pada tahun 2007 mengungkapkan bahwa telah menyusut
ukurannya terkecil sejak peneliti memulai menyimpan catatan; turun di bawah rekor
terendah sebelumnya pada tahun 2005 kira-kira seukuran daerah Texas dan California
digabungkan. Selain itu, es interior sekarang biasa tipis dan menyebar, yang telah
menghasilkan patch macam laut bebas es selama musim panas bahkan di Kutub Utara.
Climate models are in general agreement that one of the strongest signals of
greenhouse warming will be a loss of Arctic sea ice. Indeed, during the past 15 years, the
decline in Arctic sea ice has occurred much faster than models had predicted.Cycles of
natural variability are known to play a role in Arctic sea ice extent, but the sharp decline
observed in the past two decades cannot be explained by natural variability alone.The
accelerated Arctic sea ice melting appears to be linked to shifts in Northern Hemisphere
atmospheric circulation patterns that have caused the region to experience unusually rapid
warming. As a result, ocean temperatures in the Arctic Ocean have also increased,causing
sea ice to melt from below.Disappearance of sea ice is likely to enhance future warming in
the region because lower amounts of sea ice will reflect less of the Sun s radiation back into
space, creating a positive-feedback loop and exacerbating the problem as heat is absorbed
by the newly uncovered ocean. Researchers fear that the Arctic may be on the verge of a
fundamental transition or tipping point that will lead to the Arctic having only seasonal ice
cover. Some models, for example, suggest that the Arctic could experience the complete
disappearance of summer sea ice as early as 2030.
Model iklim pada kesepakatan umum bahwa salah satu sinyal terkuat dari pemanasan
rumah kaca akan kehilangan es laut Kutub Utara. Memang, selama 15 tahun terakhir,
penurunan es laut Kutub Utara telah terjadi jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan.
Siklus variabilitas alam diketahui berperan dalam es laut Arktik, tapi penurunan tajam
diamati dalam dua dekade terakhir tidak dapat dijelaskan oleh variabilitas perbandingan
alam.Dipercepat es laut Arktik tampaknya mencair terkait dengan pergeseran belahan
atmosfer bumi utara pola sirkulasi yang menyebabkan wilayah ini mengalami pemanasan
yang luar biasa cepat. Akibatnya, suhu laut di Samudra Arktik juga meningkat, menyebabkan
es laut mencair dari bagian bawah. .Menghilangnya Es laut mungkin untuk meningkatkan
pemanasan masa depan di wilayah ini karena jumlah yang lebih rendah dari es laut akan
mencerminkan kurang dari radiasi Matahari s kembali ke angkasa, menciptakan lingkaran
umpan balik positif dan memperburuk masalah sebagai panas yang diserap oleh yang baru
ditemukan lautan. Para peneliti takut bahwa Arktik mungkin di ambang transisi fundamental
atau titik kritis yang akan mengarah ke Kutub Utara memiliki lapisan es hanya musiman.
Beberapa model, misalnya, menunjukkan bahwa Arktik bisa mengalami kehilangnya es laut
musim panas sedini 2030.
FIGURE 16.16 Habitat destruction threatens polar bears. Polar bears (Ursus maritimus) are
reliant on floating sea ice as a feeding platform and for building dens.As a result of habitat
destruction caused by shrinking Arctic sea ice,polar bears were designated a Threatened
Species in 2008.
GAMBAR 16,16 Kehancuran habitat mengancam beruang kutub. beruang kutub (Ursus
maritimus) bergantung terhadap mengambang es laut sebagai platform makan dan untuk
membangun liang.Akibat dari kerusakan habitat yang disebabkan oleh menyusut es laut
Kutub Utara, spesies beruang kutub yang ditunjuk terancam pada tahun 2008.
The decrease of sea ice in the Arctic has already had profound effects on Arctic
ecosystems. Polar bears (Ursus maritimus; Figure 16.16), for example, are excellent
swimmers but do not hunt in the water.Instead,they require a platform of floating sea ice to
capture their prey items, which are mainly seals. As the Arctic Ocean becomes more ice-free
and the ice habitat shrinks, polar bears will have more difficulty finding adequate food and
making dens. As a result, polar bear breeding and survival rates may decline below the point
needed to maintain the population.Their habitat destruction has been so severe that polar
bears were listed as Threatened Species in 2008, according to the U.S. Endangered Species
Act.Studies reveal that polar bears are likely to lose nearly half of their summer sea ice
habitat by mid-century,which would in turn reduce the world s polar bear population
currently estimated at 25,000 by two-thirds.
Penurunan es laut di Arktik memiliki efek mendalam pada ekosistem Arktik. beruang
kutub (Ursus maritimus; Gambar 16,16), misalnya, adalah perenang yang sangat baik tetapi
tidak berburu di water.Instead, mereka membutuhkan sebuah platform mengambang es laut
untuk menangkap mangsa mereka, yang terutama segel. Sebagai Samudra Arktik menjadi
lebih bebas es dan habitat es menyusut, beruang kutub akan memiliki lebih banyak kesulitan
menemukan makanan yang cukup dan membuat sarang. Akibatnya, beruang kutub
berkembang biak dan tingkat kelangsungan hidup dapat menurun di bawah titik yang
diperlukan untuk menjaga kerusakan habitat population.Keberadaan telah begitu parah
sehingga beruang kutub terdaftar sebagai Terancam Punah di tahun 2008, menurut
Act.Studies US Endangered Species mengungkapkan bahwa beruang kutub akan cenderung
kehilangan hampir setengah dari musim panas habitat es laut mereka dengan pertengahan
abad, yang pada gilirannya akan mengurangi populasi beruang kutub dunia saat ini
diperkirakan 25.000 oleh dua pertiga.
In addition, human inhabitants of the Arctic are also being affected by the lack of sea
ice, as some of their food sources become scarcer because marine species have migrated
further from shore to be near the ice edge.Arctic residents have complained that their
weather is changing,and a recent study supports their claim.The study determined that the
years with the least amount of Arctic sea ice had significantly stronger Arctic storms. One
new opportunity that now exists, however, involves the creation of a new Northwest Passage
shipping lane linking the North Pacific and North Atlantic Oceans through the largely icefree portions of the Arctic Ocean (Figure 16.15).
Selain itu, manusia penghuni Kutub Utara juga sedang dipengaruhi oleh kurangnya es
laut, seperti beberapa sumber makanan mereka menjadi langka karena spesies laut bermigrasi
jauh dari pantai di dekat es edge.Arctic warga mengeluh bahwa cuaca mereka berubah, dan
sebuah studi baru-baru ini mendukung studi iklim.Mereka menetapkan bahwa dengan
sedikitnya jumlah es laut Arktik memiliki badai Arctic signifikan lebih kuat. Salah satu
peluang baru yang sekarang ada, bagaimanapun, melibatkan penciptaan Northwest
pengiriman Ayat jalur baru yang menghubungkan Pasifik Utara dan Samudra Atlantik Utara
melalui bagian sebagian besar bebas es dari Samudra Arktik (Gambar 16.15).
While all these changes are taking place in the Arctic, different but equally dramatic
ones are taking place in Antarctica, particularly in the western part of Antarctica that
includes the Antarctic Peninsula. As discussed in Chapter 6, Antarctica produces many
icebergs from glaciers on land. The rate at which Antarctica is producing icebergs especially
large icebergs has increased in recent years.For example,the Antarctic Peninsula s Larsen
Ice Shelf has decreased by more than 40% over the past decade, including a huge release of
3250 square kilometers (1250 square miles) of ice during two months in 2002 (see Figure
6.24d).In 2006, Antarctica lost nearly 200 billion metric tons (220 short tons) of ice; during
10 days in 2008, the Wilkins Ice Shelf lost over 400 square kilometers (160 square miles) of
ice.The rate of thinning of the Pine Island Glacier the largest stream of fast-moving ice on
the West Antarctic Ice Sheet quadrupled from 1995 to 2006.And,in the past 30 years, there
have been 10 major Antarctic ice shelf collapses including the disappearance of the ice
shelves knows as Jones, Larsen A, Muller, and Wordie after some 400 years of relative
stability. Scientists attribute this catastrophic retreat to warming in Antarctica; the Antarctic
Peninsula has experienced some of the greatest amount of warming worldwide (see Figure
16.13). In fact,Antarctica has warmed at a rate of about 0.12°C (0.22°F) per decade since
1957, for a total average temperature rise of 0.5°C (1°F) (Figure 16.17).
Sementara semua perubahan ini terjadi di Kutub Utara, yang berbeda tetapi samasama dramatis berlangsung di Antartika, terutama di bagian barat Antartika yang mencakup
Semenanjung Antartika. Sebagaimana dibahas dalam Bab 6, Antartika menghasilkan banyak
gunung es dari gletser di darat. Tingkat di mana Antartika memproduksi gunung es gunung es
sangat besar telah meningkat dalam contoh tahun.Untuk terakhir, Semenanjung Antartika s
Larsen Ice Shelf telah menurun lebih dari 40% selama dekade terakhir, termasuk pelepasan
besar 3250 kilometer persegi (1.250 persegi mil) dari es selama dua bulan pada tahun 2002
(lihat Gambar 6.24d) .Dalam 2006, Antartika kehilangan hampir 200 miliar ton metrik (220
ton singkat) es; selama 10 hari pada tahun 2008, Wilkins Ice Shelf kehilangan lebih dari 400
kilometer persegi (160 mil persegi) dari tingkat ice.The dari penipisan Pine Island Glacier
aliran terbesar dari bergerak cepat es di Antartika Barat Ice Sheet empat kali lipat dari tahun
1995 ke 2006. Dan, Dalam 30 tahun terakhir, telah ada 10 besar rak es Antartika runtuh
termasuk hilangnya lapisan es tahu sebagai Jones, Larsen A, Muller, dan Wordie setelah
sekitar 400 tahun yang relatif stabil. Para ilmuwan atribut retret ini bencana untuk pemanasan
di Antartika; Semenanjung Antartika telah mengalami beberapa jumlah terbesar dari
pemanasan dunia (lihat Gambar 16.13). Bahkan, Antartika telah menghangat pada laju sekitar
0,12 ° C (0.22 ° F) per dekade sejak tahun 1957, dengan total kenaikan suhu rata-rata 0,5 ° C
(1 ° F) (Gambar 16.17).
RECENT INCREASE IN OCEAN ACIDITY
PENINGKATAN KEASAMAN SAMUDRA TERKINI
The human-induced increase in the amount of carbon dioxide in the atmosphere has
some severe implications for ocean chemistry and for marine life. Recent studies show that a
little less than half of the carbon dioxide released by the burning of fossil fuels stays in the
atmosphere and about a third currently ends up in the oceans, dissolving into seawater at the
ocean surface
Kenaikan disebabkan manusia dengan jumlah karbon dioksida di atmosfer memiliki
beberapa implikasi yang parah terhadap kimia laut dan kehidupan laut. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa sedikit kurang dari setengah dari karbon dioksida yang dikeluarkan oleh
pembakaran bahan bakar fosil tetap di atmosfer dan sekitar sepertiga saat ini berakhir di
lautan, larut ke dalam air laut di permukaan laut
centuries. For example, increased seawater temperatures are likely to affect temperaturesensitive organisms such as corals. As discussed in Chapter 15, warmer sea surface
temperatures have been implicated in widespread coral bleaching events (see Box 15.1).In
addition,increased seawater temperatures are likely to affect the distribution of sea ice, the
ocean s deep-water circulation pattern,El Niño/La Niña events,and the development of
hurricanes.
Dampak dari lautan hangat yang berpengaruh dan akan bertahan selama beberapa
abad. Misalnya, peningkatan suhu air laut cenderung mempengaruhi organisme bersuhusensitif seperti terumbu karang. Seperti yang dibahas dalam Bab 15, suhu permukaan laut
yang lebih hangat telah mengakibatkan peristiwa pemutihan karang tersebar luas (lihat Kotak
15.1) .Selain itu, peningkatan suhu air laut cenderung mempengaruhi distribusi es laut, pola
sirkulasi air dalam, peristiwa El Niño / La Niña, dan peningkatan badai.
INCREASING HURRICANE ACTIVITY
PENINGKATAN AKTIVITAS BADAI
Many scientists have suggested that warmer oceans would most certainly cause an
increase in the general level of storminess because additional heat accelerates evaporation,
which fuels hurricanes. In fact, the frequency and severity of recent hurricanes especially
those in the Atlantic Ocean (see Box 6.2) have kindled a debate on the effect that global
warming may have on the formation of hurricanes. Although the recent landfall of several
large Atlantic hurricanes leads to a general impression that hurricanes have increased,there
have been conflicting reports on the topic in the scientific literature.Some articles have
attributed increases in hurricane intensity, numbers, and wind speeds to warmer sea surface
temperatures, while others have claimed that changes in data-gathering methods and
instrumentation are responsible for the trends. Other studies suggest that the apparent
increase in hurricanes can be considered within the statistical limits of normal.
Banyak ilmuwan telah mengemukakan bahwa lautan hangat pasti akan menyebabkan
peningkatan tingkat umum terjadinya badai karena panas dapat mempercepat penguapan,
yang merupakan bahan bakar terjadinya badai. Bahkan, frekuensi dan tingkat baru
keberadaan badai terutama di Samudra Atlantik (lihat Kotak 6.2) telah menyalakan
perdebatan bahwa efek pemanasan global mungkin dapat menyebabkan pembentukan badai.
Meskipun penelitian baru-baru ini pada beberapa badai besar di Atlantik mengarah pada
kepernyataan umum bahwa badai telah meningkat, ada laporan pada topik bertentangan
dalam literature keilmuan.Beberapa artikel ilmiah menambahkan peningkatan intensitas
badai, nomor, dan kecepatan angin ke suhu permukaan laut lebih hangat, sementara yang lain
telah mengklaim bahwa perubahan saat metode pengumpulan data dan instrumentasi
bertanggung jawab atas kejadian terebut. Studi lain menunjukkan bahwa peningkatan dalam
badai jelas dapat dianggap dalam batas-batas statistik normal.
Although the number of tropical storms has not increased worldwide,the scientific
consensus is that global warming has led to more intense hurricanes.In the most
comprehensive study of recent hurricane activity to date, researchers demonstrate that there
have been significant increases in tropical storm intensity and duration around the world
since 1970 and that these trends are strongly related to rising sea surface temperatures.
Another study of historical Atlantic hurricanes over the past 1500 years suggests that times
of peak hurricane activity are related to increased sea surface temperatures and the
reinforcing effects of La Niña like climate conditions. Other research explicitly shows that the
most energetic storm levels those with Category 4 and 5 designations have increased
significantly,particularly in the North Atlantic and northern Indian Oceans.And, experts
warn that as climate continues to warm as expected, there will likely be additional increases
in peak hurricane wind speed and rainfall.
Meskipun jumlah badai tropis tidak meningkat di seluruh dunia, persetujuan ilmiah
bahwa pemanasan global telah menyebabkan badai lebih intens. Padastudi paling
komprehensif terkait aktivitas badai baru-baru ini, para peneliti menunjukkan bahwa telah
terjadi peningkatan yang signifikan dalam intensitas durasi badai tropis di seluruh dunia
sejak tahun 1970 dan bahwa tren ini sangat terkait dengan meningkatnya suhu permukaan
laut. Studi lain dari sejarah badai Atlantik selama 1500 tahun terakhir menunjukkan bahwa
saat aktivitas badai puncak terkait dengan peningkatan suhu permukaan laut dan efek
memperkuat terjadi La Niña seperti kondisi iklim. Penelitian lain secara eksplisit
menunjukkan bahwa tingkat badai paling energik dengan Kategori 4 dan 5 telah meningkat
secara signifikan, terutama di Atlantik Utara dan Laut utara India, para ahli memperingatkan
bahwa iklim terus hangat seperti yang diharapkan, ada kemungkinan akan ada tambahan
kenaikan dalam kecepatan saat puncak badai dan curah hujan.
CHANGES IN DEEP-WATER CIRCULATION
PERUBAHAN SIRKULASI LAUTAN DALAM
Evidence from deep-sea sediments and computer models indicates that changes in the
global deep-water circulation pattern can dramatically and abruptly affect climate.
Circulation in the North Atlantic Ocean, which provides an important source of deep water
(Figure 16.14), is particularly sensitive to these changes. What drives deep-water circulation
is the sinking of cold,dense surface waters at high latitudes,particularly in the North
Atlantic.If surface waters stopped sinking because they are too warm and thus low in
density,then the oceans would absorb and redistribute heat from solar radiation much less
efficiently.This would likely cause even warmer surface water temperatures and much higher
land temperatures than are experienced now.
Bukti dari sedimen laut dalam dan model komputer menunjukkan bahwa perubahan
pada pola sirkulasi air global yang dramatis dan tiba-tiba dapat mempengaruhi kondisi iklim.
Sirkulasi di Atlantik Utara Samudra,menyediakan sumber penting dari air dalam (Gambar
16,14), sangat sensitif perubahan ini. Apa yang mendorong sirkulasi air dalam adalah
tenggelamnya dingin, air permukaan padat di lintang tinggi, khususnya di perairan
permukaan Utara Atlantic.Apabila air permukan berhenti tenggelam karena mereka terlalu
hangat dan demikian rendah kepadatan, maka lautan akan menyerap dan menyalurkan panas
dari radiasi matahari jauh lebih efesien.Ini akan memungkinan menyebabkan suhu air
permukaan akan lebih hangat dan suhu tanah jauh lebih tinggi dari yang dialami sekarang.
FIGURE 16.14 North Atlantic Ocean circulation. Perspective view of circulation in the North
Atlantic Ocean, showing that the Gulf Stream carries a tremendous amount of heat
northward that warms the North Atlantic region. As this water cools,it generates a huge
volume of cold,salty,dense water called North Atlantic Deep Water that sinks into the deepocean basin and flows southward.Disruption of this circulation pattern could have severe
effects on global climate.
GAMBAR 16,14 Sirkulasi Utara Samudera Atlantik. Perspektif sirkulasi di Samudra
Atlantik Utara, menunjukkan bahwa Gulf Stream membawa sejumlah besar panas utara yang
menghangatkan wilayah Atlantik Utara. Seperti air ini mendingin, ia menghasilkan volume
besar dingin, asin, air padat disebut Atlantik Utara Deep Water yang tenggelam ke dalam
baskom deep-laut dan arus southward.Disruption dari pola sirkulasi ini bisa memiliki efek
yang parah pada iklim global.
Many scientific studies suggest that the buildup of greenhouse gases in the
atmosphere will change ocean circulation.One way in which this could happen is that
warmer air temperatures will increase the rate at which glaciers in Greenland melt, forming
a pool of fresh, low-density surface water in the North Atlantic Ocean. This freshwater could
inhibit the downwelling that generates North Atlantic Deep Water, reorganizing global
circulation patterns and causing a corresponding change in climate. Many climate experts
warn that a large outflow of freshwater from Greenland could take the North Atlantic system
of currents to a tipping point, causing rapid reorganization of deep-water currents and
related changes in climate. Indeed, evidence suggests that an outburst from a North
American ice-dammed lake flooded the North Atlantic with freshwater about 8000 years
ago,causing rapid global climate change.This event may be the type of scenario that the
North Atlantic could experience again because of increased precipitation and melting of ice.
Banyak penelitian ilmiah menunjukkan bahwa penumpukan gas rumah kaca di
atmosfer akan mengubah cara sirkulasi laut.Satu cara di mana ini bisa terjadi adalah suhu
udara yang lebih hangat akan meningkatkan tingkat di mana gletser di Greenland mencair,
membentuk genangan segar, low-density air permukaan di Samudera Atlantik Utara. air tawar
ini bisa menghambat downwelling yang menghasilkan Atlantik Utara Deep Water,
reorganisasi pola sirkulasi global dan menyebabkan perubahan yang sesuai dengan iklim.
Banyak ahli iklim memperingatkan bahwa arus besar air tawar keluar dari Greenland bisa
mengambil sistem Atlantik Utara dari arus ke titik kritis, menyebabkan reorganisasi arus
dalam air dan perubahan cepat terkait iklim. Memang, bukti menunjukkan bahwa ledakan
dari sebuah danau es dibendungan Amerika Utara membanjiri Atlantik Utara dengan air tawar
sekitar 8000 tahun yang lalu, menyebabkan perubahan iklim global yang terjadi dengan
cepat.Mungkin jenis skenario ini pada Atlantik Utara bisa terjadi lagi karena meningkatnya
curah hujan dan pencairan es.
MELTING OF POLAR ICE
MENCAIRNYA ES KUTUB
Computer models have predicted that global warming will affect Earth s polar
regions in a very dramatic way. One fundamental difference between the two polar regions is
that in the Northern Hemisphere, the polar region is dominated by the Arctic Ocean and its
cover of drifting sea ice (an ocean surrounded by land),whereas the South Pole is dominated
by the continent of Antarctica and its thick ice cap,including shelf ice that extends into the
ocean (land surrounded by an ocean).
Model komputer memperkirakan bahwa pemanasan global akan mempengaruhi
daerah kutub bumi dengan cara yang sangat dramatis. Salah satu perbedaan mendasar antara
kedua daerah kutub adalah bahwa di belahan bumi utara, daerah kutub didominasi oleh
Samudra Arktik dan ditutupi drifting es laut (samudra dikelilingi oleh tanah), sedangkan
Kutub Selatan didominasi oleh benua Antartika dan topi es tebal, termasuk rak es yang
membentang ke laut (tanah dikelilingi oleh laut).
FIGURE 16.15 Arctic sea ice decline. Perspective view of satellite data,showing the extent of
Arctic sea ice in September 2007 compared with the average extent of sea ice from 1979
2000 (red line).Note the opening of an ice-free Northwest Passage.The substantial decrease
in amount and thickness of Arctic Ocean sea ice is due to human-induced warming of the
Arctic.
GAMBAR 16,15 Penurunan es dilaut Arktik. Perspektif tampilan data satelit,
menunjukkan besarnya es laut Kutub Utara pada bulan September 2007 dibandingkan dengan
tingkat rata-rata es laut dari tahun 1979 2000 (garis merah) .Perhatikan pembukaan
Northwest Passage.Penurunan substansial bebas es dalam jumlah dan ketebalan es laut Kutub
Utara Samudra adalah akibat pemanasan disebabkan oleh manusia dari Kutub Utara.
The Arctic is one of the locations where the effects of global warming are being most
keenly felt (see Figure 16.13) and likely will experience quite dramatic changes in the future;
this phenomenon is called Arctic amplification. Since 1978, satellite analysis of the extent of
Arctic Ocean sea ice indicates that it is dramatically shrinking and thinning at an
accelerating rate (Figure 16.15). In the past decade alone, there has been a loss of over 2
million square kilometers (800,000 square miles) of Arctic sea ice. In fact,measurements of
the ice cap in 2007 revealed that it had shrunk to its smallest size since researchers began
keeping records; its extent fell below the previous record low in 2005 by an area roughly the
size of Texas and California combined. In addition, the interior ice is now unusually thin and
spread out,which has resulted in wide patches of ice-free ocean during the summer even at
the North Pole.
Kutub Utara adalah salah satu lokasi di mana efek dari pemanasan global paling
dirasakan (lihat Gambar 16.13) dan kemungkinan akan mengalami perubahan yang cukup
dramatis di masa depan; Fenomena ini disebut amplifikasi Arktik. Sejak tahun 1978, analisis
satelit dari luasnya lautan es di Laut Arktik menunjukkan bahwa secara dramatis menyusut
dan menipis pada tingkat percepatan (Gambar 16.15). Dalam dekade terakhir saja, telah
terjadi kerugian lebih dari 2 juta kilometer persegi (800.000 mil persegi) dari es laut Kutub
Utara. Bahkan, pengukuran tutup es pada tahun 2007 mengungkapkan bahwa telah menyusut
ukurannya terkecil sejak peneliti memulai menyimpan catatan; turun di bawah rekor
terendah sebelumnya pada tahun 2005 kira-kira seukuran daerah Texas dan California
digabungkan. Selain itu, es interior sekarang biasa tipis dan menyebar, yang telah
menghasilkan patch macam laut bebas es selama musim panas bahkan di Kutub Utara.
Climate models are in general agreement that one of the strongest signals of
greenhouse warming will be a loss of Arctic sea ice. Indeed, during the past 15 years, the
decline in Arctic sea ice has occurred much faster than models had predicted.Cycles of
natural variability are known to play a role in Arctic sea ice extent, but the sharp decline
observed in the past two decades cannot be explained by natural variability alone.The
accelerated Arctic sea ice melting appears to be linked to shifts in Northern Hemisphere
atmospheric circulation patterns that have caused the region to experience unusually rapid
warming. As a result, ocean temperatures in the Arctic Ocean have also increased,causing
sea ice to melt from below.Disappearance of sea ice is likely to enhance future warming in
the region because lower amounts of sea ice will reflect less of the Sun s radiation back into
space, creating a positive-feedback loop and exacerbating the problem as heat is absorbed
by the newly uncovered ocean. Researchers fear that the Arctic may be on the verge of a
fundamental transition or tipping point that will lead to the Arctic having only seasonal ice
cover. Some models, for example, suggest that the Arctic could experience the complete
disappearance of summer sea ice as early as 2030.
Model iklim pada kesepakatan umum bahwa salah satu sinyal terkuat dari pemanasan
rumah kaca akan kehilangan es laut Kutub Utara. Memang, selama 15 tahun terakhir,
penurunan es laut Kutub Utara telah terjadi jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan.
Siklus variabilitas alam diketahui berperan dalam es laut Arktik, tapi penurunan tajam
diamati dalam dua dekade terakhir tidak dapat dijelaskan oleh variabilitas perbandingan
alam.Dipercepat es laut Arktik tampaknya mencair terkait dengan pergeseran belahan
atmosfer bumi utara pola sirkulasi yang menyebabkan wilayah ini mengalami pemanasan
yang luar biasa cepat. Akibatnya, suhu laut di Samudra Arktik juga meningkat, menyebabkan
es laut mencair dari bagian bawah. .Menghilangnya Es laut mungkin untuk meningkatkan
pemanasan masa depan di wilayah ini karena jumlah yang lebih rendah dari es laut akan
mencerminkan kurang dari radiasi Matahari s kembali ke angkasa, menciptakan lingkaran
umpan balik positif dan memperburuk masalah sebagai panas yang diserap oleh yang baru
ditemukan lautan. Para peneliti takut bahwa Arktik mungkin di ambang transisi fundamental
atau titik kritis yang akan mengarah ke Kutub Utara memiliki lapisan es hanya musiman.
Beberapa model, misalnya, menunjukkan bahwa Arktik bisa mengalami kehilangnya es laut
musim panas sedini 2030.
FIGURE 16.16 Habitat destruction threatens polar bears. Polar bears (Ursus maritimus) are
reliant on floating sea ice as a feeding platform and for building dens.As a result of habitat
destruction caused by shrinking Arctic sea ice,polar bears were designated a Threatened
Species in 2008.
GAMBAR 16,16 Kehancuran habitat mengancam beruang kutub. beruang kutub (Ursus
maritimus) bergantung terhadap mengambang es laut sebagai platform makan dan untuk
membangun liang.Akibat dari kerusakan habitat yang disebabkan oleh menyusut es laut
Kutub Utara, spesies beruang kutub yang ditunjuk terancam pada tahun 2008.
The decrease of sea ice in the Arctic has already had profound effects on Arctic
ecosystems. Polar bears (Ursus maritimus; Figure 16.16), for example, are excellent
swimmers but do not hunt in the water.Instead,they require a platform of floating sea ice to
capture their prey items, which are mainly seals. As the Arctic Ocean becomes more ice-free
and the ice habitat shrinks, polar bears will have more difficulty finding adequate food and
making dens. As a result, polar bear breeding and survival rates may decline below the point
needed to maintain the population.Their habitat destruction has been so severe that polar
bears were listed as Threatened Species in 2008, according to the U.S. Endangered Species
Act.Studies reveal that polar bears are likely to lose nearly half of their summer sea ice
habitat by mid-century,which would in turn reduce the world s polar bear population
currently estimated at 25,000 by two-thirds.
Penurunan es laut di Arktik memiliki efek mendalam pada ekosistem Arktik. beruang
kutub (Ursus maritimus; Gambar 16,16), misalnya, adalah perenang yang sangat baik tetapi
tidak berburu di water.Instead, mereka membutuhkan sebuah platform mengambang es laut
untuk menangkap mangsa mereka, yang terutama segel. Sebagai Samudra Arktik menjadi
lebih bebas es dan habitat es menyusut, beruang kutub akan memiliki lebih banyak kesulitan
menemukan makanan yang cukup dan membuat sarang. Akibatnya, beruang kutub
berkembang biak dan tingkat kelangsungan hidup dapat menurun di bawah titik yang
diperlukan untuk menjaga kerusakan habitat population.Keberadaan telah begitu parah
sehingga beruang kutub terdaftar sebagai Terancam Punah di tahun 2008, menurut
Act.Studies US Endangered Species mengungkapkan bahwa beruang kutub akan cenderung
kehilangan hampir setengah dari musim panas habitat es laut mereka dengan pertengahan
abad, yang pada gilirannya akan mengurangi populasi beruang kutub dunia saat ini
diperkirakan 25.000 oleh dua pertiga.
In addition, human inhabitants of the Arctic are also being affected by the lack of sea
ice, as some of their food sources become scarcer because marine species have migrated
further from shore to be near the ice edge.Arctic residents have complained that their
weather is changing,and a recent study supports their claim.The study determined that the
years with the least amount of Arctic sea ice had significantly stronger Arctic storms. One
new opportunity that now exists, however, involves the creation of a new Northwest Passage
shipping lane linking the North Pacific and North Atlantic Oceans through the largely icefree portions of the Arctic Ocean (Figure 16.15).
Selain itu, manusia penghuni Kutub Utara juga sedang dipengaruhi oleh kurangnya es
laut, seperti beberapa sumber makanan mereka menjadi langka karena spesies laut bermigrasi
jauh dari pantai di dekat es edge.Arctic warga mengeluh bahwa cuaca mereka berubah, dan
sebuah studi baru-baru ini mendukung studi iklim.Mereka menetapkan bahwa dengan
sedikitnya jumlah es laut Arktik memiliki badai Arctic signifikan lebih kuat. Salah satu
peluang baru yang sekarang ada, bagaimanapun, melibatkan penciptaan Northwest
pengiriman Ayat jalur baru yang menghubungkan Pasifik Utara dan Samudra Atlantik Utara
melalui bagian sebagian besar bebas es dari Samudra Arktik (Gambar 16.15).
While all these changes are taking place in the Arctic, different but equally dramatic
ones are taking place in Antarctica, particularly in the western part of Antarctica that
includes the Antarctic Peninsula. As discussed in Chapter 6, Antarctica produces many
icebergs from glaciers on land. The rate at which Antarctica is producing icebergs especially
large icebergs has increased in recent years.For example,the Antarctic Peninsula s Larsen
Ice Shelf has decreased by more than 40% over the past decade, including a huge release of
3250 square kilometers (1250 square miles) of ice during two months in 2002 (see Figure
6.24d).In 2006, Antarctica lost nearly 200 billion metric tons (220 short tons) of ice; during
10 days in 2008, the Wilkins Ice Shelf lost over 400 square kilometers (160 square miles) of
ice.The rate of thinning of the Pine Island Glacier the largest stream of fast-moving ice on
the West Antarctic Ice Sheet quadrupled from 1995 to 2006.And,in the past 30 years, there
have been 10 major Antarctic ice shelf collapses including the disappearance of the ice
shelves knows as Jones, Larsen A, Muller, and Wordie after some 400 years of relative
stability. Scientists attribute this catastrophic retreat to warming in Antarctica; the Antarctic
Peninsula has experienced some of the greatest amount of warming worldwide (see Figure
16.13). In fact,Antarctica has warmed at a rate of about 0.12°C (0.22°F) per decade since
1957, for a total average temperature rise of 0.5°C (1°F) (Figure 16.17).
Sementara semua perubahan ini terjadi di Kutub Utara, yang berbeda tetapi samasama dramatis berlangsung di Antartika, terutama di bagian barat Antartika yang mencakup
Semenanjung Antartika. Sebagaimana dibahas dalam Bab 6, Antartika menghasilkan banyak
gunung es dari gletser di darat. Tingkat di mana Antartika memproduksi gunung es gunung es
sangat besar telah meningkat dalam contoh tahun.Untuk terakhir, Semenanjung Antartika s
Larsen Ice Shelf telah menurun lebih dari 40% selama dekade terakhir, termasuk pelepasan
besar 3250 kilometer persegi (1.250 persegi mil) dari es selama dua bulan pada tahun 2002
(lihat Gambar 6.24d) .Dalam 2006, Antartika kehilangan hampir 200 miliar ton metrik (220
ton singkat) es; selama 10 hari pada tahun 2008, Wilkins Ice Shelf kehilangan lebih dari 400
kilometer persegi (160 mil persegi) dari tingkat ice.The dari penipisan Pine Island Glacier
aliran terbesar dari bergerak cepat es di Antartika Barat Ice Sheet empat kali lipat dari tahun
1995 ke 2006. Dan, Dalam 30 tahun terakhir, telah ada 10 besar rak es Antartika runtuh
termasuk hilangnya lapisan es tahu sebagai Jones, Larsen A, Muller, dan Wordie setelah
sekitar 400 tahun yang relatif stabil. Para ilmuwan atribut retret ini bencana untuk pemanasan
di Antartika; Semenanjung Antartika telah mengalami beberapa jumlah terbesar dari
pemanasan dunia (lihat Gambar 16.13). Bahkan, Antartika telah menghangat pada laju sekitar
0,12 ° C (0.22 ° F) per dekade sejak tahun 1957, dengan total kenaikan suhu rata-rata 0,5 ° C
(1 ° F) (Gambar 16.17).
RECENT INCREASE IN OCEAN ACIDITY
PENINGKATAN KEASAMAN SAMUDRA TERKINI
The human-induced increase in the amount of carbon dioxide in the atmosphere has
some severe implications for ocean chemistry and for marine life. Recent studies show that a
little less than half of the carbon dioxide released by the burning of fossil fuels stays in the
atmosphere and about a third currently ends up in the oceans, dissolving into seawater at the
ocean surface
Kenaikan disebabkan manusia dengan jumlah karbon dioksida di atmosfer memiliki
beberapa implikasi yang parah terhadap kimia laut dan kehidupan laut. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa sedikit kurang dari setengah dari karbon dioksida yang dikeluarkan oleh
pembakaran bahan bakar fosil tetap di atmosfer dan sekitar sepertiga saat ini berakhir di
lautan, larut ke dalam air laut di permukaan laut