Guru Antara Jati Diri dan Rupiah Pendidi
GURU: ANTARA JATI DIRI DAN RUPIAH PENDIDIKAN
Oleh: Umi Zakiyah
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan saat ini mengalami
pergeseran yang cukup fantastis di setiap sudutnya, pendidikan benarbenar berada pada limit gonjang-ganjing yang tak kunjung usai.
Perubahan secara gradual ini, menimbulkan efek yang dimensial. disatu
pihak, berkembang secara pesat dan dipihak yang lain terjadi peredupan
sosial-budaya dan nilai-nilai dasar pendidikan itu sendiri. Salah satu
peredupan nilai pendidikan berasal dari aktor yang selama ini disebutsebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Ya, seorang guru yang
seharusnya menjadi sosok yang paling sentral dalam rangka
pembangunan karakter dan revolusioner bagi kelangsungan kehidupan
bangsa, saat ini berada pada titik kebimbangan. Pada dasarnya, guru
adalah mereka yang menjalankan tugasnya dengan penuh keikhlasan dan
semangat revolusioner mendidik anak bangsa, bukan mereka yang
berorientasi pada “rupiah” belaka, mengajak tanpa mendidik, menjadi
presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi siswa disekolah. Benar,
bahwa semua makhluk hidup membutuhkan kesejahteraan, begitupun
juga seorang guru, tapi jangan jadikan hal itu sebagai tujuannya.
Mengapa? Karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih
banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih
jauh dari harapan.
Di era yang sudah didominasi dengan hedonisme ini mau tidak mau
menuntut guru untuk bersifat pragmatis. Mendorong sebuah keinginan diri
untuk lebih sejahtera dengan profesinya. Hal ini sah saja didapatkan
apabila diiringi dengan niat dan kerja keras penuh keikhlasan untuk
membangun generasi-generasi emas di jalur pendidikan. Akan tetapi pada
kenyataannya, banyak guru yang keliru meyusun kerangka-kerangka niat
dan tujuannya seiring dengan berkembangnya tawaran-tawaran
menggiurkan dari pemerintah “yang katanya” sebagai bentuk apresiasi
kepada besarnya jasa seorang guru. Dengan adanya sertifikasi, gaji PNS
yang lumayan untuk kelangsungan hidup seorang guru menjadi sebuah
boomerang bagi niat tulus tanpa pamrih dalam membangun peradaban
negeri ini. Ketika dihadapkan dengan hal tersebut, seorang guru
mempertaruhkan visi misi dan prinsip-prinsip yang seharusnya sudah
tertanam sejak ia akan menginjakkan kaki pada ruang pengabdian besar
untuk pendidikan. Lain lagi ceritanya apabila seorang yang menjadi guru
sudah membubuhkan niat awal memang untuk pangkuan hidup dan
harapan untuk kesejahteraan hidupnya. Sungguh sebuah perubahan
paradigma yang akan memporak-porandakan kelangsungan pendidikan di
era mendatang.
Miris ketika saya melihat sebuah liputan aksi demonstrasi komunitas
guru yang menuntut kenaikan gaji kepada pemerintah. Kamanakah
perginya suri teladan yang selama ini didengung-dengungkan?? Seorang
guru yang biasanya mengajarkan kesabaran, rasa legowo dengan putaran
kehidupan yang dihadapi, ternyata sebaliknya, malah mempertontonkan
sikap yang kurang pantas dilakukan oleh seorang pembangun perdaban
bagi tanah air ini selanjutnya. Menaggapi kejadian diatas, haruslah ada
rasa saling pengertian antara guru sebagai pendidik dan pemerintah
sebagai birokrat. Akan tetapi, ketika dihadapkan dengan sebuah kesulitan,
bukankah sewajarnya seorang pendidik yang selama ini mempunyai citra
sebagai “kelompok suci” yang harusnya lebih mengerti dari pada
pelaksana birokrasi yang selama ini kita tahu banyak ditemukan
kebusukan lalu lalang dalam ruangannya?. Pernah saya mengikuti sebuah
pelatihan guru, jam istirahat saya bergabung dengan sekerumunan guru
yang serius membahas sesuatu yang sepertinya sangat menarik untuk
kemajuan pendidikan. Dugaan awal, saya akan bertukar informasi
membahas inovasi-inovasi pengajaran yang akan saya kembangkan
dengan sedikit mengimitasi ide-ide mereka, ternyata prasangka saya
salah besar, mereka memang membahas problema pendidikan, tetapi
bukan hal yang mengarah kepada opini-opini kreatif guna membangun
keberlangsungan pendidikan, melainkan sebuah diskusi dan obrolan
mengenai berapa rupiah yang akan mereka dapatkan setelah mengikuti
pelatihan. Sungguh meggelikan. betapapun seorang guru adalah
sandaran dan harapan bangsa ini untuk menemukan sebuah titik revolusi
yang akan mengubah wajah negeri yang begitu kusam menjadi cerah
tanpa celah.
Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi
akademik dan kriteria “Plus-plus”. Artinya selama ini banyak guru yang
pandai secara akademik, namun tidak mampu menjadi pendidik yang
dapat memberi motifasi dan semangat bagi siswanya. Disisi lain, seorang
guru juga harus mempunyai rasa empati dan sosialisasi tinggi untuk
merangkul semua elemen masyarakat serta sektor dan lini kehidupan
yang beragam, sehingga akan tercipta sebuah pendidikan holistic,
pendidikan tanpa batas. Inilah yang disebut dengan kemampuan “plusplus”.
Menarik ketika saya mendengar pernyataan dari menteri pendidikan
dasar dan menengah kabinet kerja, Anis Baswedan. Bahwa ada sebuah
tradisi yang perlu untuk diluruskan dalam pendidikan kita. Yaitu tentang
guru yang menayakan kepada murid-muridnya mengenai masa depan
mereka. Seringkali kita dengar, atau bahkan kita sendiri yang
melakukannya, dengan menanyakan kepada generasi bangsa ini dengan
pertanyaan “ kelak, kalian mau jadi apa?” ketika direnungkan pertanyaan
bersifat praktis, teoritis dan pasif. Menurut beliau, seharusnya kita
menanyakan kepada mereka dengan pertanyaan aplikatif, aktif dan
persuasif seperti “kelak, kalian akan berbuat apa untuk kemajuan bangsa
ini?” hal ini seperti sepele, tapi akan menjadi sebuah doktrin untuk
penanaman mental-mental tangguh calon pemimpin bangsa ini
selanjutnya.
Akhirnya, saya sendiri menyimpulkan, bahwa seorang guru haruslah
mempunyai niat dan kerja keras penuh keikhlasan dalam mendidik
bangsa ini. Jangan pernah terbersit dengan apa yang akan kita dapatkan,
bukankah ALLAH akan menjamin kesejahteraan orang-orang ikhlas yamg
berjuang di jalanNya? Adapun gaji yang selama ini kita terima, berapapun
jumlahnya, hanyalah sebuah panjar yang tidak bernilai apa-apa
dibandingkan dengan kenikmatan dan kebahagiaan yang akan kita terima
di akhirat nanti. Wallahu A’lam.
Kerang, 20 November 2014
Oleh: Umi Zakiyah
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan saat ini mengalami
pergeseran yang cukup fantastis di setiap sudutnya, pendidikan benarbenar berada pada limit gonjang-ganjing yang tak kunjung usai.
Perubahan secara gradual ini, menimbulkan efek yang dimensial. disatu
pihak, berkembang secara pesat dan dipihak yang lain terjadi peredupan
sosial-budaya dan nilai-nilai dasar pendidikan itu sendiri. Salah satu
peredupan nilai pendidikan berasal dari aktor yang selama ini disebutsebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Ya, seorang guru yang
seharusnya menjadi sosok yang paling sentral dalam rangka
pembangunan karakter dan revolusioner bagi kelangsungan kehidupan
bangsa, saat ini berada pada titik kebimbangan. Pada dasarnya, guru
adalah mereka yang menjalankan tugasnya dengan penuh keikhlasan dan
semangat revolusioner mendidik anak bangsa, bukan mereka yang
berorientasi pada “rupiah” belaka, mengajak tanpa mendidik, menjadi
presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi siswa disekolah. Benar,
bahwa semua makhluk hidup membutuhkan kesejahteraan, begitupun
juga seorang guru, tapi jangan jadikan hal itu sebagai tujuannya.
Mengapa? Karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih
banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih
jauh dari harapan.
Di era yang sudah didominasi dengan hedonisme ini mau tidak mau
menuntut guru untuk bersifat pragmatis. Mendorong sebuah keinginan diri
untuk lebih sejahtera dengan profesinya. Hal ini sah saja didapatkan
apabila diiringi dengan niat dan kerja keras penuh keikhlasan untuk
membangun generasi-generasi emas di jalur pendidikan. Akan tetapi pada
kenyataannya, banyak guru yang keliru meyusun kerangka-kerangka niat
dan tujuannya seiring dengan berkembangnya tawaran-tawaran
menggiurkan dari pemerintah “yang katanya” sebagai bentuk apresiasi
kepada besarnya jasa seorang guru. Dengan adanya sertifikasi, gaji PNS
yang lumayan untuk kelangsungan hidup seorang guru menjadi sebuah
boomerang bagi niat tulus tanpa pamrih dalam membangun peradaban
negeri ini. Ketika dihadapkan dengan hal tersebut, seorang guru
mempertaruhkan visi misi dan prinsip-prinsip yang seharusnya sudah
tertanam sejak ia akan menginjakkan kaki pada ruang pengabdian besar
untuk pendidikan. Lain lagi ceritanya apabila seorang yang menjadi guru
sudah membubuhkan niat awal memang untuk pangkuan hidup dan
harapan untuk kesejahteraan hidupnya. Sungguh sebuah perubahan
paradigma yang akan memporak-porandakan kelangsungan pendidikan di
era mendatang.
Miris ketika saya melihat sebuah liputan aksi demonstrasi komunitas
guru yang menuntut kenaikan gaji kepada pemerintah. Kamanakah
perginya suri teladan yang selama ini didengung-dengungkan?? Seorang
guru yang biasanya mengajarkan kesabaran, rasa legowo dengan putaran
kehidupan yang dihadapi, ternyata sebaliknya, malah mempertontonkan
sikap yang kurang pantas dilakukan oleh seorang pembangun perdaban
bagi tanah air ini selanjutnya. Menaggapi kejadian diatas, haruslah ada
rasa saling pengertian antara guru sebagai pendidik dan pemerintah
sebagai birokrat. Akan tetapi, ketika dihadapkan dengan sebuah kesulitan,
bukankah sewajarnya seorang pendidik yang selama ini mempunyai citra
sebagai “kelompok suci” yang harusnya lebih mengerti dari pada
pelaksana birokrasi yang selama ini kita tahu banyak ditemukan
kebusukan lalu lalang dalam ruangannya?. Pernah saya mengikuti sebuah
pelatihan guru, jam istirahat saya bergabung dengan sekerumunan guru
yang serius membahas sesuatu yang sepertinya sangat menarik untuk
kemajuan pendidikan. Dugaan awal, saya akan bertukar informasi
membahas inovasi-inovasi pengajaran yang akan saya kembangkan
dengan sedikit mengimitasi ide-ide mereka, ternyata prasangka saya
salah besar, mereka memang membahas problema pendidikan, tetapi
bukan hal yang mengarah kepada opini-opini kreatif guna membangun
keberlangsungan pendidikan, melainkan sebuah diskusi dan obrolan
mengenai berapa rupiah yang akan mereka dapatkan setelah mengikuti
pelatihan. Sungguh meggelikan. betapapun seorang guru adalah
sandaran dan harapan bangsa ini untuk menemukan sebuah titik revolusi
yang akan mengubah wajah negeri yang begitu kusam menjadi cerah
tanpa celah.
Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi
akademik dan kriteria “Plus-plus”. Artinya selama ini banyak guru yang
pandai secara akademik, namun tidak mampu menjadi pendidik yang
dapat memberi motifasi dan semangat bagi siswanya. Disisi lain, seorang
guru juga harus mempunyai rasa empati dan sosialisasi tinggi untuk
merangkul semua elemen masyarakat serta sektor dan lini kehidupan
yang beragam, sehingga akan tercipta sebuah pendidikan holistic,
pendidikan tanpa batas. Inilah yang disebut dengan kemampuan “plusplus”.
Menarik ketika saya mendengar pernyataan dari menteri pendidikan
dasar dan menengah kabinet kerja, Anis Baswedan. Bahwa ada sebuah
tradisi yang perlu untuk diluruskan dalam pendidikan kita. Yaitu tentang
guru yang menayakan kepada murid-muridnya mengenai masa depan
mereka. Seringkali kita dengar, atau bahkan kita sendiri yang
melakukannya, dengan menanyakan kepada generasi bangsa ini dengan
pertanyaan “ kelak, kalian mau jadi apa?” ketika direnungkan pertanyaan
bersifat praktis, teoritis dan pasif. Menurut beliau, seharusnya kita
menanyakan kepada mereka dengan pertanyaan aplikatif, aktif dan
persuasif seperti “kelak, kalian akan berbuat apa untuk kemajuan bangsa
ini?” hal ini seperti sepele, tapi akan menjadi sebuah doktrin untuk
penanaman mental-mental tangguh calon pemimpin bangsa ini
selanjutnya.
Akhirnya, saya sendiri menyimpulkan, bahwa seorang guru haruslah
mempunyai niat dan kerja keras penuh keikhlasan dalam mendidik
bangsa ini. Jangan pernah terbersit dengan apa yang akan kita dapatkan,
bukankah ALLAH akan menjamin kesejahteraan orang-orang ikhlas yamg
berjuang di jalanNya? Adapun gaji yang selama ini kita terima, berapapun
jumlahnya, hanyalah sebuah panjar yang tidak bernilai apa-apa
dibandingkan dengan kenikmatan dan kebahagiaan yang akan kita terima
di akhirat nanti. Wallahu A’lam.
Kerang, 20 November 2014