PAGELARAN WAYANG CENK BLONK SEBAGAI MEDI
PAGELARAN WAYANG CENK BLONK SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN SEKS BAGI MASYARAKAT HINDU DI BALI OLEH: NI PUTU EKA UMARISTA APRILIANI 9874
IDA BAGUS ANANDA BRAMANA PUTRA 9941 HENDRA SETIAWAN
PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 SEMARAPURA TAHUN AJARAN 2011/2012
PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI 1 SEMARAPURA
Jalan Flamboyan No. 63, Semarapura, Klungkung, Bali Telp. (0366) 21508
SURAT KETERANGAN 421.7/289/SMAN 1 SMR/Dikpora
Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala SMA Negeri 1 Semarapura, menerangkan bahwa : NI PUTU EKA UMARISTA APRILIANI
9874 IDA BAGUS ANANDA BRAMANA PUTRA 9941 HENDRA SETIAWAN
97 Memang benar siswa SMA Negeri 1 Semarapura yang telah menyusun
karya tulis dengan karya ilmiah sendiri dan belum pernah dilombakan dalam perlombaan karya tulis ilmiah lainnya, dengan judul :
“PAGELARAN WAYANG CENK BLONK SEBAGAI MEDIA
PENDIDIKAN SEKS BAGI MASYARAKAT HINDU DI BALI ”. Karya tulis tersebut dapat diikutsertakan dalam rangka mengikuti LKIR
(Lomba Karya Ilmiah Remaja) Tingkat SMA Se-Bali dalam rangka memperingati Dies Natalis XI Poltekkes (Politeknik Kesehatan) Denpasar. Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarapura, April 2012 Kepala SMA Negeri 1 Semarapura
(Drs. I Nyoman Mudjarta, M.Pd) NIP. 19551231 197903 1 137
HALAMAN PENGESAHAN
Judul
: “Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali ”.
Penulis :
Ni Putu Eka Umarista Apriliani 9874 Ida Bagus Ananda Bramana Putra
9941 Hendra Setiawan
Semarapura, 5 April 2012 Guru Pembimbing,
Ni Wayan Rina Lestari, S.Pd. NIP. 1986 0524 2009 022002
Mengesahkan, Kepala SMA Negeri 1 Semarapura
Drs. I Nyoman Mudjarta, M.Pd NIP. 19551231 197903 1 137
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali” Tingkat SMA Se-Bali dalam rangka memperingati Dies Natalis XI Poltekkes (Politeknik Kesehatan) Denpasar.
Karya ilmiah ini tidak mungkin dapat terselesaikan tepat pada waktunya tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Drs. I Nyoman Mudjarta, selaku Kepala SMA Negeri 1 Semarapura atas bantuan moral dan material yang diberikan.
2. Ni Wayan Rina Lestari S.Pd., selaku pembimbing ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMA Negeri 1 Semarapura atas bimbingan dalam penyusunan karya tulis ini.
3. Kedua orang tua kami yang telah memberikan motivasi dan dorongan.
4. Pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan karya tulis
ilmiah ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah yang sederhana ini berguna bagi kita semua.
Semarapura, April 2012
Penulis
“Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks
bagi Masyarakat Hindu di Bali ”
ABSTRAKSI Ni Putu Eka Umarista Apriliani, Ida Bagus Ananda Bramana Putra dan Hendra Setiawan, 2012, 53 halaman
Pulau Bali sebagai wilayah tujuan wisata dunia terkemuka, amat rentan bagi penyebaran berbagai penyakit termasuk sindrom AIDS. Remaja Bali, tentunya sangat rentan terjangkit penyakit tersebut. Mengingat faktanya remaja adalah generasi penerus bangsa, sudah barang tentu hal ini perlu ditanggulangi sedini mungkin. Langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks (sex education). Di Bali sendiri telah ada potensi- potensi dari kearifan lokal sebagai bagian dari pendidikan seks remaja Hindu di Bali, salah satunya adalah melalui adanya seni-seni pertunjukkan. Salah satu jenis seni pertunjukkan populer yang berhasil mengemban fungsi tersebut ialah wayang kulit, yaitu Wayang Cenk Blonk. Pendidikan seks ber basis “Wayang Cenk Blonk” dapat menjadi pilihan alternatif dalam upaya menanamkan pendidikan dasar seks bagi masyarakat khususnya kaum remaja. Selanjutnya pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” tersebut akan dikemas dalam bentuk Konsep Satsangga, Kemah Sadhana dan Pasraman. Hal ini bertujuan untuk mempermudah cara pengimplementasiannya.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarapura, Kabupaten Klungkung, Bali. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari yaitu tanggal 29 Maret sampai 31 Maret 2012. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian deskriptif. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode kuisioner. Kuisioner yang dibuat merupakan kuisioner tertutup yang melibatkan sebanyak 100 responden. Data-data yang terkumpul diolah secara deskriptif kualitatif yang diawali dengan proses editing, mengkode data dan diakhiri dengan penarikan simpulan yang bersifat umum.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa pagelaran Wayang Cenk Blonk berpotensi sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali. Implementasi Wayang Cenk Blonk dapat dilakukan di lingkungan keluarga (informal) yakni melalui Konsep Satsangga, lingkungan sekolah (formal) melalui Kemah Sadhana, dan lingkungan masyarakat (nonformal) yaitu melalui Pasraman. Namun, dalam usaha mengembangkan Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks (sex education) tidak luput dari kendala-kendala. Adapun kendala-kendala tersebut yakni, kurangnnya tenaga ahli yang berkompeten dalam bidang seni pewayangan serta permasalahan dana pengembang.
Kata Kunci : Wayang Cenk Blonk, Pendidikan Seks, Konsep Satsangga, Kemah Sadhana dan Pasraman.
DAFTAR TABEL
4.2.1 Potensi Pasraman dan Kemah Sadhana dalam Pengembangan Kearifan Lokal Bali melalui Pagelaran Wayang Cenk Blonk ..
4.2.2.1 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Lingkungan Keluarga Melalui Konsep Satsangga dan Wayang Cenk Blonk .. ………
4.2.2.2 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Kemah Sadhana Melalui Media Wayang Cenk Bonk …………………..………
4.2.2.3 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Pasraman Melalui Media Wayang Cenk Blonk …………………………...………
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia terlambat mengenali epidemi HIV dan AIDS, dengan dilaporkannya kasus pertama kali April 1987. Padahal, sindrom tersebut telah menyapu seluruh benua tanpa ampun sampai sekarang. Enam belas tahun silam, pada bulan Januari 1995, 6,3 juta orang tewas di Sub-Sahara, Afrika oleh HIV dan AIDS dan 65 persen dari para korban itu adalah wanita dan anak-anak.
Sementara itu, untuk merespon korban-korban HIV dan AIDS di Amerika Serikat tahun 1981, para pakar medis mulai melakukan riset-riset yang akhirnya membuahkan hasil. Dr. Luc Montagnier dari Perancis menemukan virus yang dinamakan Lympha Diniphati Associated (LAV). Menyusul kemudian Dr. Robert Gallo dari AS menemukan virus yang disebutnya Human T. Cell Lymphatropic Virus tipe III (HLTV III). WHO memberikan nama baru untuk kedua penemuan tersebut yakni Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sampai kini dipakai secara resmi.
Sejak itu, HIV dikenal sebagai virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sel-sel darah putih yaitu limfosit T-4 yang berperan bagi sistem kekebalan tubuh manusia. Kapasitas limfosit T-4 akan melemah sampai lebih dari 80 persen tatkala seseorang
mengidap HIV. Dari lain pihak AIDS merupakan “penyakit peradaban” mengidap HIV. Dari lain pihak AIDS merupakan “penyakit peradaban”
Pulau Bali sebagai wilayah tujuan wisata dunia terkemuka, amat rentan bagi penyebaran berbagai penyakit termasuk sindrom AIDS itu tadi. Oleh sebab itu, kekhawatiran dan keresahan tentunya akan terus menghantui masyarakat, terutama yang berada di Bali. Ironisnya, kekhawatiran dan keresahan yang terus menghantui masyarakat memang benar adanya. Di Bali sendiri, penyebaran epidemi HIV/AIDS ini begitu cepat.
Berdasarkan data secara komulatif hingga akhir Maret 2011, sebanyak
29 warga negara asing yang berasal dari 12 negara yang diketahui sebagai penderita HIV/AIDS kini berada di Pulau Dewata, sehingga kehadiran mereka perlu diwaspadai, jangan sampai menularkan virus mematikan tersebut. Warga negara asing penderita HIV/AIDS itu terbanyak berasal dari Belanda (6 orang), menyusul Amerika Serikat (5 orang), Timor Leste (4 orang) dan Perancis (3 orang) serta Italia, Kanada dan Swiss masing-masing 2 orang. Selain itu juga tercatat dari Australia, Eropa, Spanyol, Jepang dan Irlandia masing-masing seorang.
Warga negara asing penderita AIDS yang terdata di Bali sebanyak 15 orang itu terdiri atas laki-laki (12 orang) dan perempuan (3 orang). Sementara penderita HIV tercatat 14 orang terdiri atas laki-laki (11 orang) dan dan perempuan (3 orang). Ke-29 warga negara asing itu merupakan bagian dari keseluruhan penderita HIV/AIDS di Bali 4.314 kasus yang terdiri atas AIDS 2.148 penderita (laki-laki 1.692 orang dan perempuan 456 orang). Sedangkan Warga negara asing penderita AIDS yang terdata di Bali sebanyak 15 orang itu terdiri atas laki-laki (12 orang) dan perempuan (3 orang). Sementara penderita HIV tercatat 14 orang terdiri atas laki-laki (11 orang) dan dan perempuan (3 orang). Ke-29 warga negara asing itu merupakan bagian dari keseluruhan penderita HIV/AIDS di Bali 4.314 kasus yang terdiri atas AIDS 2.148 penderita (laki-laki 1.692 orang dan perempuan 456 orang). Sedangkan
Bali dari segi jumlah penderita menempati urutan kelima tingkat nasional setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Papua dan DKI Jakarta. Namun dari segi revalensi penderita HIV/AIDS di Bali menempati peringkat kedua tingkat nasional setelah Provinsi Papua. Revalensi adalah perbandingan kasus yang terjadi dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut.
Remaja Bali, tentunya sangat rentan terjangkit penyakit tersebut. Mengingat faktanya remaja adalah generasi penerus bangsa, sudah barang tentu hal ini perlu ditanggulangi sedini mungkin. Langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks (sex education). Seperti yang dikutip dalam salah satu sloka kitab Slokantara, sloka 22 (48) (Sudharta, 1997: 83 – 85) bahwasannya memberikan tuntunan pendidikan anak semenjak usia awal hingga usia remaja perlu dilakukan. Tahapan pendidikan anak secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu: tahap pertama dari umur 0 – 5 tahun; tahap kedua dari 5 – 15 tahun; dan tahap ketiga setelah berumur 16 tahun ke atas.
Di Bali sendiri telah ada potensi-potensi dari kearifan lokal sebagai bagian dari pendidikan seks remaja Hindu di Bali, salah satunya adalah melalui adanya seni-seni pertunjukkan. Salah satu fungsi primer seni pertunjukkan adalah sebagai media penerangan dan kritik sosial. Lewat pementasannya pesan-pesan dan aspirasi yang sifatnya kritis ditransmisikan kepada audiens dan diapresiasi bersama. Sarana seni pertunjukkan sangat efektif sebab penyampaiannya menjadi lebih menarik, mudah diterima, serta Di Bali sendiri telah ada potensi-potensi dari kearifan lokal sebagai bagian dari pendidikan seks remaja Hindu di Bali, salah satunya adalah melalui adanya seni-seni pertunjukkan. Salah satu fungsi primer seni pertunjukkan adalah sebagai media penerangan dan kritik sosial. Lewat pementasannya pesan-pesan dan aspirasi yang sifatnya kritis ditransmisikan kepada audiens dan diapresiasi bersama. Sarana seni pertunjukkan sangat efektif sebab penyampaiannya menjadi lebih menarik, mudah diterima, serta
Cenk Blonk adalah sebuah inovasi dari wayang kulit Purwa Tradisional yang menjadi fenomena baru di Bali. Wayang ini sangat populer dengan frekuensi pentas sangat tinggi. Bahkan ia mencatatkan diri sebagai pertunjukkan wayang pertama yang direkam dalam format video komersial.
Pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” dapat menjadi pilihan alternatif dalam upaya menanamkan pendidikan dasar seks bagi
masyarakat khususnya kaum remaja. Selanjutnya pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” tersebut akan dikemas dalam bentuk Konsep Satsangga, Kemah Sadhana dan Pasraman. Hal ini bertujuan untuk mempermudah cara pengimplementasiannya.
Oleh karena itu, pada tulisan ini akan dikaji potensi pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali serta langkah-langkah konkrit pengimplementasiannya.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang di atas yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana potensi pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali?
2. Bagimana cara mengimplementasikan pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali?
3. Apa kendala dalam upaya p engimplementasian pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali serta cara mengatasi kendala tersebut?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam karya tulis ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan potensi pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali.
2. Untuk mendeskripsikan cara mengimplementasikan pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali.
3. Untuk mendeskripsikan kendala dalam upaya p engimplementasian pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali serta cara mengatasi kendala tersebut.
1.4. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak antara lain sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah, Bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Bali, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai media alternatif dalam menekan jumlah penderita HIV/AIDS secara preventif mengingat prevalensi penderita HIV/AIDS di Bali menduduki 1. Bagi pemerintah, Bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Bali, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai media alternatif dalam menekan jumlah penderita HIV/AIDS secara preventif mengingat prevalensi penderita HIV/AIDS di Bali menduduki
2. Bagi dunia pendidikan, untuk memberikan informasi tentang pemanfaatan potensi kearifan lokal Bali melalui media Wayang Cenk Blonk agar pendidikan seks dapat dilakukan dengan metode baru yang inovatif sehingga lebih mudah diterima masyarakat khususnya generasi muda yang merupakan target utama dari penyelenggaraan sex education.
3. Bagi masyarakat, sebagai tambahan informasi mengenai potensi kearifan lokal dalam pendidikan seks generasi melalui pagelaran Wayang Cenk Blonk dan cara mengimplementasikannya di Pasraman masing-masing Desa Adat atau Desa Dinas.
4. Bagi Generasi muda, sebagai tambahan informasi mengenai potensi kearifan lokal dalam pendidikan seks generasi muda Hindu di Bali melalui pagelaran Wayang Cenk Blonk dan cara mengimplementasikannya di lingkungan keluarga (informal) yakni melalui Konsep Satsangga, lingkungan sekolah (formal) melalui Kemah Sadhana, dan lingkungan masyarakat (nonformal) yaitu melalui Pasraman.
5. Bagi penulis, dapat dijadikan sumber referensi untuk menambah pengetahuan dan pemahaman secara lebih mendalam dan komprehensif mengenai potensi kearifan lokal dalam pendidikan seks generasi muda Bali melalui
pagelaran Wayang Cenk Blonk dan cara mengimplementasikannya.
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Pendidikan Seks
Pendidikan seksual adalah suatu kegiatan pendidikan yang berusaha untuk memberikan pengetahuan agar masyarakat khususnya remaja dapat mengubah perilaku seksualnya ke arah yang lebih bertanggung jawab (Arma, 2007). Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar (Mutadin, 2002).
Pendidikan seksual yang diberikan dapat berupa dalam bentuk pendidikan kesehatan reproduksi remaja (PKRR). Materi PKRR meliputi pertumbuhan dan perkembangan remaja, perkembangan seksual remaja, kebersihan organ reproduksi, perilaku seksual beresiko, pergaulan bebas, PMS dan HIV/AIDS, pelecehan seksual, kehamilan dan persalinan, serta hak reproduksi remaja (Arma, 2007).
Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang baik harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia, nilai kultur dan agama, sebagai pendidikan akhlak dan moral (Mutadin, 2002).
Tujuan pendidikan seksual adalah menciptakan sikap yang sehat terhadap seks dan seksualitas. Penyampaian materi pendidikan seksual dapat Tujuan pendidikan seksual adalah menciptakan sikap yang sehat terhadap seks dan seksualitas. Penyampaian materi pendidikan seksual dapat
Pendidikan seksual bukan seolah-olah menyetujui remaja melakukan hubungan seksual melainkan bermaksud menanamkan rasa tanggung jawab dikalangan remaja tentang perilaku seksualnya dan kesehatan reproduksinya (BKKBN, 2005).
Menurut Mutadin (2002), pendidikan seksual bertujuan untuk membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor, tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia, dan supaya anak- anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan pada waktu yang tertentu saja.
2.2. Wayang Cenk Blonk
Belayu adalah nama sebuah desa di Bali Selatan yang secara administratif masuk dalam wilayah kabupaten Tabanan, dimana wayang ini muncul pertama kali pada sekitar tahun 1997-1998. Kemunculannya saat itu Belayu adalah nama sebuah desa di Bali Selatan yang secara administratif masuk dalam wilayah kabupaten Tabanan, dimana wayang ini muncul pertama kali pada sekitar tahun 1997-1998. Kemunculannya saat itu
Cenk Blonk sendiri selain merupakan trade mark sekaligus juga nama dua karakter kreasi dari sang dalang. Cenk dan Blonk adalah rakyat biasa yang tidak berperan sebagai punakawan atau abdi dalem. Nardayana mencipta dua tokoh rekaan ini dengan tujuan memberi ciri khas wayangnya dan memang justru kehadiran dua karakter ini yang ditunggu-tunggu oleh para penonton.
Dalam hal teknis pertunjukannya wayang Cenk Blonk Naradayana mengganti gamelan gender sederhana yang dipakai dalam pementasan wayang kulit Bali konvensional dengan seperangkat lengkap gamelan Bali seperti dalam teater rakyat Drama Gong. Penambahan personel pemain gamelan adalah hal baru bagi wayang di Bali. Dalam hal lighting, Naradayana memakai lampu multi warna seperti lampu disko disamping lampu blencong tradisional. Dari sisi narasi, cerita yang diangkat oleh sang dalang Nardayana dapat digolongkan sebagai cerita carangan. Cerita carangan adalah hasil kreatifitas dalang yang kadang-kadang tidak ada dalam cerita induk (Ismaun & Martono, 1989/1990:18).
Menggarisbawahi kembali peranan seni pertunjukan sebagai media penerangan dan sosialisasi, maka dalam kesenian wayang kulit pesan-pesan tersebut disampaikan oleh para punakawan. Ditilik dari sudut efektifitas, Menggarisbawahi kembali peranan seni pertunjukan sebagai media penerangan dan sosialisasi, maka dalam kesenian wayang kulit pesan-pesan tersebut disampaikan oleh para punakawan. Ditilik dari sudut efektifitas,
Sebagai media untuk pendidikan seks, memang dengan bentuk kesenian tradisional sungguh tepat. Masyarakat Indonesia yang menganut paham paternalistik tentu sangat tabu apabila diajak berbicara masalah seks. Media yang sangat tepat untuk menyalurkan pendidikan seks ini adalah melalui kesenian tradisional, dengan jalan melaui tokoh-tokoh yang diperankan ataupun dialog-dialog tertentu.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Latar Belakang Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarapura, Kabupaten Klungkung, Bali. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari yaitu tanggal 29 Maret sampai 31 Maret 2012.
3.2. Jenis Penelitian
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan bagaimana potensi pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali serta langkah-langkah konkrit pengimplementasiannya.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan tujuan penelitian, data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode kuisioner. Kuisioner yang dibuat merupakan kuisioner tertutup. Kuisioner tertutup yakni kuisioner yang menyediakan alternatif jawaban yang dapat dipilih oleh responden antara lain, sebagai berikut.
1. Apakah Anda merasa bosan saat mengikuti seminar atau sosialisasi tentang pendidikan seksualitas?
2. Apakah Anda merasa perlu dibuat suatu wadah yang lebih inovatif dalam penyuluhan mengenai pendidikan seks?
3. Apakah Anda menyukai pagelaran Wayang Cenk Blonk?
4. Apakah Anda setuju jika pagelaran Wayang Cenk Blonk digunakan sebagai media pendidikan seks?
3.4. Responden Penelitian
Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 responden. Para responden dipilih penulis secara acak tanpa memperhitungkan profesi maupun umur dari masing-masing responden.
3.5. Metode Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul tidak ada gunanya jika tidak diolah. Pengolahan data merupakan bagian yang amat penting dalam penelitian karena dengan pengolahan data, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.
Data dalam penelitian ini diolah secara deskriptif kualitatif yang diawali dengan proses editing, mengkode data atau mengkodefikasi data dan membuat tabulasi. Editing dilakukan untuk memperbaiki kualitas data serta menghilangkan keragu-raguan atas data yang telah diberikan oleh responden. Pengkodean dilakukan untuk memudahkan dalam mengumpulkan jawaban dari para responden yang diikuti dengan proses tabulasi data yakni memasukkan data ke dalam tabel.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan dengan metode kuisioner terhadap 100 responden di Kota Semarapura, Kabupaten Klungkung, Bali, diperoleh 70 kuisioner yang kembali dengan data-data sebagai berikut:
1. Pertanyaan Pertama No.
2. Pertanyaan Kedua No.
Jawaban
Frekuensi
1. Ya
2. Tidak
Total
3. Pertanyaan Ketiga No.
Jawaban Frekuensi
4. Pertanyaan Keempat No.
Jawaban Frekuensi
1. Ya
2. Tidak
Total
4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil kajian terhadap jenis dan kandungan zat hara pada beberapa kotoran ternak baik padat maupun cair didapatkan data sebagai berikut:
4.2.1. Potensi Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali.
Pulau Bali sebagai wilayah tujuan wisata dunia terkemuka, amat rentan bagi penyebaran berbagai penyakit termasuk AIDS. Masyarakat, khususnya remaja Bali sangat rentan terjangkit penyakit tersebut. Hal ini dimungkinkan karena mulai terbentuknya rasa ingin tahu remaja terhadap masalah atau hal yang berbau seksual. Perubahan perilaku dan anatomi tubuh sudah tentu mengiringi bertambahnya usia. Saat masa pubertas, remaja cenderung mulai mencoba-coba atau menyalahgunakan yang belum boleh dilakukan. Remaja yang hamil di luar nikah, aborsi, PMS atau IMS, dan HIV/AIDS adalah sebagian kecil contoh dari beberapa kenyataan pahit yang sering terjadi pada
remaja sebagai akibat pemahaman yang keliru mengenai permasalahan seksualitas. Oleh karena pendidikan seks sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan pemahaman remaja terhadap permasalahan seks yang selama ini masih dianggap tabu, malu, dan risih (Sarwono, 1994). Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong remaja untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Singgih D. Gunarsa (1991), penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap serta disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak.
Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di lingkungan keluarga (informal), mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri, dan tentunya dibantu oleh pemahaman di tingkat sekolah (formal) dan masyarakat (nonformal). Tetapi sayangnya di Indonesia khususnya Bali, tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual ini. Agaknya masih timbul pro kontra, lantaran adanya pandangan stereotype dengan pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar dan malah mendukung anak untuk berhubungan seks atau intim. Selain itu, tingkat sosial ekonomi maupun tingkat Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di lingkungan keluarga (informal), mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri, dan tentunya dibantu oleh pemahaman di tingkat sekolah (formal) dan masyarakat (nonformal). Tetapi sayangnya di Indonesia khususnya Bali, tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual ini. Agaknya masih timbul pro kontra, lantaran adanya pandangan stereotype dengan pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar dan malah mendukung anak untuk berhubungan seks atau intim. Selain itu, tingkat sosial ekonomi maupun tingkat
Langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks (sex education) yang berbasis kearifan lokal dan berbau agama. Seperti yang dikutip dalam salah satu sloka kitab Slokantara, bab 48, sloka 22 bahwasannya memberikan tuntunan pendidikan seksual anak dan remaja bernuansa agama dan budaya sangatlah tepat, yakni semenjak usia awal hingga usia remaja perlu dilakukan (Sudharta, 1997). Di Bali sendiri telah ada potensi- potensi dari kearifan lokal sebagai bagian dari pendidikan remaja Hindu yang dapat mendukung sex education, salah satunya adalah “Konsep Satsangga”. Konsep Satsangga sangat berkaitan dengan pendidikan budi pekerti dan karakter di Bali. Pendidikan yang diberikan, diproritaskan pada jalur pendidikan informal seperti dalam keluarga serta lewat lembaga-lembaga keagamaan atau kelompok- kelompok spiritual yang bernuansa Satsangga, yang dikemas dalam bentuk Pasraman dan Kemah Sadhana. Dalam tradisi Hindu, Konsep Satsangga itu juga dapat berbentuk Sekaa Santi atau Dharma Gita, perkumpulan Tirtha Yatra atau Dharma Yatra, kelompok diskusi atau
Dharma Tula, kelompok ceramah atau Dharma Wacana, perkumpulan yoga, meditasi, dan sejenisnya, yang dimaksudkan untuk meredam bergejolaknya hawa nafsu bagi remaja Hindu di Bali (Wiana, 2011). Hal itulah yang hendaknya didorong untuk tumbuh dan berkembang sehingga menciptakan iklim yang kondusif untuk memajukan proses Satsangga di dalam kehidupan. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman dan kecenderungan untuk menghargai pandangan-pandangan barat, khususnya dalam pendidikan seksualitas, pandangan tradisional seperti yang tercantum dalam Slokantara cenderung dilupakan. Oleh karena itu, dalam usaha mengembangkan Konsep Satsangga di Pasraman dan Kemah Sadhana, sangat diperlurkan suatu inovasi dan kreativitas agar dalam usaha pemenuhan materi pendidikan seks mudah diterima oleh masyarakat luas khususnya remaja Hindu di Bali, seperti kolaborasi antara pendidikan seks dengan kesenian kontemporer Wayang Cenk Blonk (WCB).
Wayang Cenk Blonk merupakan pertunjukkan wayang yang menggabungkan antara seni wayang tradisional dengan kreativitas modern. Wayang ini pertama kali dikembangkan oleh I Wayan Nardayana sekitar tahun 1997-1998 di daerah Blayu Kabupaten Tabanan. Wayang yang sebelumnya bernama Gita Loka ini berbeda dengan wayang pada umumnya, karena bahasa yang digunakan lebih banyak dengan bahasa sehari-hari. Selain itu, wayang ini seringkali digunakan sebagai media penyampai kritik sosial karena sifatnya yang Wayang Cenk Blonk merupakan pertunjukkan wayang yang menggabungkan antara seni wayang tradisional dengan kreativitas modern. Wayang ini pertama kali dikembangkan oleh I Wayan Nardayana sekitar tahun 1997-1998 di daerah Blayu Kabupaten Tabanan. Wayang yang sebelumnya bernama Gita Loka ini berbeda dengan wayang pada umumnya, karena bahasa yang digunakan lebih banyak dengan bahasa sehari-hari. Selain itu, wayang ini seringkali digunakan sebagai media penyampai kritik sosial karena sifatnya yang
Tokoh utama dalam Wayang Cenk Blonk adalah Nang Klenceng dan Nang Ceblong yang sekaligus merupakan asal mula dari nama pertunjukkan wayang ini. Kedua tokoh utama tersebut merupakan tokoh punakawan yang merepresentasikan rakyat biasa pada kehidupan modern saat ini (Arief, 2004) sehingga dialog antar tokoh kebanyakan disajikan dalam bahasa punakawan yang dapat menciptakan diskusi wacana dalam proses edukasi termasuk sex education yang mudah dimengerti masyarakat.
Permainan bahasa dalam pagelaran Wayang Cenk Blonk tersebut memiliki berbagai fungsi yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam kajian linguistik kebudayaan antara bentuk, fungsi, dan makna ada benang merah yang menghubungkan satu sama lainnya. Hubungan sebab akibat yang logis tampak dari bentuk, fungsi, dan makna dari sebuah tuturan. Artinya komponen bentuk menyediakan dan memberikan peluang untuk mengemukakan eksistensi komponen fungsi. Adapun fungsi pagelaran Wayang Cenk Blonk yang mendukung terselenggaranya pendidikan seks meliputi pertama fungsi menghibur, tokoh punakawan menjadi pusat hiburan karena pada tokoh-tokoh inilah dalang memiliki hak untuk menggunakan dan menghasilkan bahasa-bahasa kreatif, baik demi keindahan maupun menghasilkan efek-efek jenaka sebagai humor yang dapat menghibur penonton. Fungsi yang kedua yaitu fungsi informasi, dalam pagelaran
Wayang Cenk Blonk agar sebuah informasi dapat diterima dengan baik oleh pendengarnya, dalang biasanya menyelipkan permainan- permainan bahasa yang sifatnya menghibur pada dialog-dialog punakawan yang berfungsi informatif di samping itu unsur humor atau lelucon diselipkan agar pendengar tertarik dan jika sudah tertarik, otomatis pesan yang sebenarnya ingin disampaikan dapat diterima. Fungsi ketiga adalah fungsi mendidik, dalam Wayang Cenk Blonk tokoh punakawan yang memiliki konvensi berbahasa bebas dimanfaatkan para dalang dalam mentransmisikan nilai-nilai mendidik, baik dengan anjuran, ajakan, suruhan, pengarahan, pembiasaan, maupun pemberian contoh yang harus dijauhi dengan menggunakan bahasa yang lugas.
Selain itu, penggunaan huruf ‘K’ sebagai pengganti huruf ‘G’ pada nama Nang Klenceng (Cenk) dan Nang Ceblong (Blonk)
menunjukkan bahwa wayang ini bersifat fleksibel terhadap perkembangan zaman (Sulistyowati, 2010). Hal tersebut dapat lebih menarik minat masyarakat terhadap seni pertunjukkan tersebut sehingga pendidikan seksualitas yang umumnya disajikan dalam bentuk seminar, saat ini dapat dikemas secara lebih atraktif melalui pagelaran Wayang Cenk Blonk.
Pagelaran Wayang Cenk Blonk merupakan media yang efektif dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan sex education terutama melalui Konsep Satsangga. Penggunaan Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks dapat ditempuh melalui wadah Pagelaran Wayang Cenk Blonk merupakan media yang efektif dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan sex education terutama melalui Konsep Satsangga. Penggunaan Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks dapat ditempuh melalui wadah
Tabel 4.2.1 Potensi Pasraman dan Kemah Sadhana dalam Pengembangan Kearifan Lokal Bali melalui Pagelaran Wayang Cenk Blonk.
No. Wadah
Potensi
1. Pasraman
merupakan wadah untuk mengembangkan dan membentuk budi pekerti khususnya bagi generasi muda di tengah persaingan global dan gempuran teknologi informasi (Jelantik dan Manuaba, 2010).
Keberadaan
pasraman
Pendidikan melalui pasraman dinilai sangat potensial dalam pembangunan manusia seutuhnya dan merupakan investasi kemanusiaan jangka panjang. Pasraman dapat difungsikan sebagai pelengkap pendidikan formal yang notabena hanya menekankan aspek intelegensia dibandingkan aspek emosional dan spiritualitas.
Kegiatan-kegiatan dalam pasraman yang penuh dengan nuansa religius sangat tepat untuk dijadikan sebagai ajang pendidikan khususnya pendidikan seks bagi remaja terutama melalui ajaran-ajaran agama yang diimplementasikan dalam berbagai kegiatan di pasraman. Ditambah lagi sistem ashram yang umumnya diterapkan dalam pasraman menggambarkan hubungan akrab antara para guru (acarya) dengan para siswanya bagaikan dalam sebuah keluarga sehingga dalam pemberian penyuluhan tentang sex education yang bertujuan untuk mencegah penyebarluasan penyakit HIV/AIDS, para siswa atau peserta pasraman akan merasa lebih nyaman untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Dalam sistem ashram kemajuan dan kedewasaan intelektual akademik dan moralitas serta kepribadian mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, dalam pasraman, peserta tidak saja diajak untuk mempelajari ajaran-ajaran agama namun peserta juga dihimbau agar dapat mengimplementasikan pengetahuan yang diperoleh agar dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri bahkan bagi masyarakat di sekitarnya.
2. Kemah Sadhana Pembelajaran melalui media seperti kemah sadhana semakin diperlukan saat ini karena terkadang saat berada di lingkungan keluarga, orangtua cenderung enggan untuk membahas mengenai seksualitas dan seringkali saat mengajukan pertanyaan tentang pendidikan seks, anak hanya mendapat jawaban “nak mula keto”
(memang sudah begitu) dari orangtua sehingga wawasan anak tentang pentingnya sex education tidak akan terbuka. Kemah sadhana lebih menekankan pada sadhana yaitu pengendalian diri terutama disiplin diri dalam hidup bermasyarakat.
Pada kemah tersebut dicoba untuk lebih membuka wawasan peserta tentang hidup yang bersih dan sehat baik secara jasmani maupun rohani. Kegiatan perkemahan tersebut tentu mendukung pelaksanaan pendidikan seksualitas terutama bagi remaja yang menjadi peserta perkemahan. Penerapan Konsep Satsangga yang sejalan dengan tujuan diadakannya kemah sadhana yaitu untuk pengendalian diri semakin mempermudah pengintegrasian antara keduanya. Seperti pada pasraman, dalam kemah sadhana peserta diajak ikut serta secara aktif dalam berbagai kegiatan kerohanian. Adanya pembimbing yang telah memahami ajaran-ajaran agama juga semakin mempermudah akses peserta dalam membahas pengetahuan agama baik yang berkaitan dengan tingkah laku dan moral hingga pada kesehatan seks peserta.
Hal itu diharapakan dapat menumbuhkan pemahaman peserta dalam menanggapi isu-isu sosial seperti semakin menyebarluasnya HIV/AIDS sehingga kemungkinan terburuk dapat dicegah. Selain berkutit dalam pembelajaran agama, peserta kemah sadhana juga diajak untuk menyatu dengan alam melalui kegiatan outbond sehingga peserta tidak akan merasa jenuh selama perkemahan.
Berdasarkan potensi tersebut, maka penyajian konsep-konsep kearifan lokal Bali seperti Konsep Satsangga dalam mendukung sex education bagi masyarakat melalui berbagai wadah tradisi dan keagamaan patut dilakukan mengingat pendidikan seks sangat diperlukan di tengah arus perkembangan zaman. Selain itu, pendidikan seks yang tepat juga dapat menghindarkan masyarakat khususnya remaja dari berbagai hal negatif yang tidak diinginkan. Dengan semakin bertambahnya wawasan masyarakat terkait pendidikan seks maka masyarakat akan dapat berperan aktif dalam menekan jumlah Berdasarkan potensi tersebut, maka penyajian konsep-konsep kearifan lokal Bali seperti Konsep Satsangga dalam mendukung sex education bagi masyarakat melalui berbagai wadah tradisi dan keagamaan patut dilakukan mengingat pendidikan seks sangat diperlukan di tengah arus perkembangan zaman. Selain itu, pendidikan seks yang tepat juga dapat menghindarkan masyarakat khususnya remaja dari berbagai hal negatif yang tidak diinginkan. Dengan semakin bertambahnya wawasan masyarakat terkait pendidikan seks maka masyarakat akan dapat berperan aktif dalam menekan jumlah
4.2.2. Cara Mengimplementasikan Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali.
Perubahan perilaku sudah tentu mengiringi bertambahnya usia, termasuk perubahan anatomi tubuh. Saat masa pubertas ini, remaja cenderung mulai mencoba-coba atau menyalahgunakan yang belum boleh dilakukan. Misalnya menghisap rokok, narkoba, atau mulai memcoba melakukan hubungan seksual. Remaja Bali khususnya yang beragama Hindu, seharusnya diberikan pemahaman bahwa seks pranikah dilarang dalam agama Hindu. Di dalam ajaran agama Hindu dikenal adanya tahapan hidup dalam mencapai tujuan hidup. Dalam kitab Brahma Purana 228.45 dinyatakan, “Dharma artha kama moksanam sariram sadhanam”. Artinya, Sarira atau badan ini adalah alat untuk mendapatkan Dharma (kebenaran), Artha (harta lahir maupun batin), Kama (nafsu yang terkontrol), dan Moksa (pelepasan akhir). Untuk mencapai empat tujuan hidup itu, dalam Kitab Agastya Parwa dinyatakan tentang Catur Asrama yaitu empat tujuan hidup yakni, Brahmacari (masa menutut ilmu), Grahasta (masa berumah tangga), Wanaprasta, dan Sanyasin (Wijaya, 2009).
Remaja berada dalam tahapan Brahmacari yakni tingkatan hidup manusia pada waktu sedang mengejar atau menuntut pengetahuan secara lahir dan batin sehingg tidak boleh merindukan nafsu untuk beristri atau bersuami. Dalam tahapan ini remaja harus Remaja berada dalam tahapan Brahmacari yakni tingkatan hidup manusia pada waktu sedang mengejar atau menuntut pengetahuan secara lahir dan batin sehingg tidak boleh merindukan nafsu untuk beristri atau bersuami. Dalam tahapan ini remaja harus
Taki-takining semaka guna widya, tengah i tuwuh san wacana gegonta, patilaring atmeng tamu paguroken.
Artinya: Seorang pelajar wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan, Jika sudah berumur dua puluh tahun orang harus kawin, Jika sudah setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik, Hanya tentang lepasnya nyawa kita mesti berguru.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwasanya, masa Brahmacari adalah masa yang baik untuk menuntut ilmu pengetahuan (Guna Widya) bukan untuk mengumbar hawa nafsu (Kama) seperti berhubungan intim atau seks, karena pada masa ini, pikiran yang tajam hanya ditunjukkan pada kewajiban untuk menuntut ilmu seperti halnya kehidupan rumput ilalang. Di waktu muda sedang tajam, sedangkan setelah tua menjadi tumpul. Sehingga pergunakanlah masa muda itu dengan sebaik-baiknya untuk belajar, guna memperoleh kesempurnaan hidup (Dharmayasa, 1992).
Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan seks yang menyadarkan remaja bahwa seks adalah sah hanya untuk pasangan suami istri untuk mendapatkan keturunan. Dengan mendapatkan keturunan melalui perkawinan, merupakan salah satu cara untuk mengantarkan manusia kembali kepada Tuhan. Oleh karenanya hubungan seks yang baik dan benar hanya akan dilakukan oleh mereka yang bersuami-istri atau berumah tangga (Grehastha Asrama).
Di sisi lain perlu ditanamkan pula bahwa akibat seks pranikah adalah banyak remaja yang batal menyelesaikan studi atau jalur pendidikan, pada perkawinan di usia muda dalam keadaan belum siap. Hal ini tentu saja berimbas pada maraknya kasus-kasua HIV/AIDS, PMS (Penyakit Menular Seksual) atau IMS (Infeksi Menular Seksual) dan ironisnya lagi menyebabkan semakin maraknya kasus-kasus aborsi di kalangan pelajar.
Menurut WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi tergantung kondisi masing-masing negara. Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Di wilayah Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Sedangkan sebuah Menurut WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi tergantung kondisi masing-masing negara. Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Di wilayah Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Sedangkan sebuah
Mencegah seks pranikah, para remaja hendaknya dibekali pendidikan dan pelatihan khusus untuk meredam bergejolaknya hawa nafsu seks itu. Misalnya dengan mengikuti kegiatan yang bernuansa kerohanian. Dalam tradisi Hindu kegiatan untuk generasi muda ini disebut Konsep Satsangga. Kegiatan Satsangga dapat berbentuk Pasraman yang dapat diimplementasikan dalam lingkungan masyarakat (nonformal) dengan mempergunakan media kesenian kontemporer Wayang Cenk Blonk serta Kemah Sadhana yang dapat diimplementasikan dalam lingkungan sekolah (formal). Untuk tidak menghilangkang sisi budaya dan agama dalam kegiatan Pasraman dan Kemah Sadhana tetap berpegang teguh pada tradisi dalam penyampaian materi, seperti menerapkan konsep Sad Dharma yang meliputi, Dharma Wacana, Dharma Gita, Dharma Tula, Dharma Yatra dan Dharma Sadhana. Berikut ini penjelasan secara umum Mencegah seks pranikah, para remaja hendaknya dibekali pendidikan dan pelatihan khusus untuk meredam bergejolaknya hawa nafsu seks itu. Misalnya dengan mengikuti kegiatan yang bernuansa kerohanian. Dalam tradisi Hindu kegiatan untuk generasi muda ini disebut Konsep Satsangga. Kegiatan Satsangga dapat berbentuk Pasraman yang dapat diimplementasikan dalam lingkungan masyarakat (nonformal) dengan mempergunakan media kesenian kontemporer Wayang Cenk Blonk serta Kemah Sadhana yang dapat diimplementasikan dalam lingkungan sekolah (formal). Untuk tidak menghilangkang sisi budaya dan agama dalam kegiatan Pasraman dan Kemah Sadhana tetap berpegang teguh pada tradisi dalam penyampaian materi, seperti menerapkan konsep Sad Dharma yang meliputi, Dharma Wacana, Dharma Gita, Dharma Tula, Dharma Yatra dan Dharma Sadhana. Berikut ini penjelasan secara umum
1. Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta mutu bhaktinya kepada agama, masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka peningkatan Dharma Agama dan Dharma Negara. Materi Dharma Wacana yang dapat disampaikan pada setiap kesempatan yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Salah satu contoh adalah, narasumber dapat menyelipkan beberapa pandangan agama Hindu mengenai permasalahan HIV/AIDS dan Pendidikan Seks serta hubungannya dengan masa Brahmacari. Penyampaian materi tersebut disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan persembahyangan, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan keluarga dan sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka atau ayat kitab suci yang relevan dengan tema tersebut.
2. Dharma Tula dimaksudkan sebagai metode pendalaman ajaran- ajaran agama Hindu melalui peningkatan peran serta yang aktif dari semua peserta. Kegiatan Dharma Tula sesuai dengan tingkat umur remaja dan dewasa. Oleh karena itu, melalui metode ini setiap peserta
akan memperoleh kesempatan mengemukankan pendapatnya atau sebaliknya menerima pendapat dari orang lain yang akan menambah pengetahuannya dibidang Agama Hindu
dengan dilandasi sikap tenggang rasa dan rasa dan kekeluargaan. Materi Dharma Tula akan sangat baik apabila dapat diambil diketengahkan dari jenis materi yang sesuai dengan tingkat pemahaman serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang akan membahasnya. Misalnya dalam kelompok remaja dapat diketengahkan materi ajaran agama Hindu yang berkaitan dengan kehidupan dan permasalahan remaja seperti contoh Pendidikan seks yang berhubungan dengan HIV/AIDS. Sedangkan dalam pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan kegiatan menyambut atau merayakan hari-hari raya keagamaan, seperti Saraswati, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi dan sebagainya. Untuk tidak terlalu banyak menyita waktu dapat dilaksanakan setelah selesainya persembahyangan bersama atau pada hari-hari libur yang khusus dimanfaatkan untuk itu.
3. Dharma Sadhana artinya realisasi ajaran dharma dalam diri seseorang. Ini dapat dilaksanakan melalui catur yoga marga yakni, Bhakti, Karma, Jnana dan Raja atau Yoga Marga secara terpadu, bulat dan utuh, namun pemakaiannya sesuai dengan jalannya Catur Asrama. Dalam Dharma Sadhana ini lebih terfokuskan pada pengimplementasian jenjang kehidupan (Catur Asrama) seperti melaksanakan Dharma Sedhana berupa latihan-latihan rohani secara sistematis dan praktis bertujuan untuk membina mengembangkan dan memupuk keluhuran budi pekerti serta kesucian peribadi sehingga kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara 3. Dharma Sadhana artinya realisasi ajaran dharma dalam diri seseorang. Ini dapat dilaksanakan melalui catur yoga marga yakni, Bhakti, Karma, Jnana dan Raja atau Yoga Marga secara terpadu, bulat dan utuh, namun pemakaiannya sesuai dengan jalannya Catur Asrama. Dalam Dharma Sadhana ini lebih terfokuskan pada pengimplementasian jenjang kehidupan (Catur Asrama) seperti melaksanakan Dharma Sedhana berupa latihan-latihan rohani secara sistematis dan praktis bertujuan untuk membina mengembangkan dan memupuk keluhuran budi pekerti serta kesucian peribadi sehingga kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara