Ekonomi Moneter dan kebijakan moneter (1)
Pemulihan Ekonomi Melalui Kebijakan Moneter di Indonesia
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena
tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank
Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan
nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara
jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju
inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah. Dengan perkataan lain, sesuai dengan UU No. 23
tahun 1999 sasaran kebijakan moneter Bank Indonesia hanya satu (single objective), yaitu
memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda dengan Undang-undang tentang Bank
Sentral yang lama, yaitu UU No. 13 tahun 1968, yang menuntut Bank Indonesia untuk
memenuhi beberapa sasaran sekaligus (multiple objectives), yakni mendorong kegiatan
ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang
pencapaiannya pada hakekatnya dapat saling bertolak belakang, terutama dalam jangka
pendek.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan
kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar atau
yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka tersebut
Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai sasaran
operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang terkendali maka
perkembangan jumlah uang beredar, diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan
jumlah uang beredar yang terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa
selalu bergerak dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga
harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.
Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti telah diuraikan di atas,
Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi, terutama selama tahun 1998, menerapkan
kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan stabilitas moneter. Kebijakan moneter ketat
terpaksa dilakukan karena dalam periode itu ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat
tinggi dan jumlah uang beredar meningkat sangat pesat.
Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya
memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah mendorong kenaikan suku bunga
domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau memegang
rupiah dan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta tidak
menggunakannya untuk membeli valuta asing.
Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang
dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai
memberikan hasil positif sejak triwulan IV 1998. Pertumbuhan uang beredar yang melambat
dan suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat
masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi rupiah berangsur
surut. Sejak pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap USD cenderung menguat dan
kemudian bergerak relatif stabil selama tahun 1999.
Sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang diterapkan sejak 14 Agustus
1997, perkembangan nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Di
dalam sistem tersebut, penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan 1998
hingga akhir 1999 lebih banyak disebabkan oleh meredanya tekanan permintaan valas sejalan
dengan terkendalinya jumlah uang beredar dan turunnya ekspektasi inflasi.
Bank Indonesia hanya melakukan penjualan valas melalui mekanisme pasar pada
harga pasar untuk mensterilisasi atau menyedot kembali ekspansi moneter yang berasal dari
pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan bukan terutama itujukan untuk mengarahkan
nilai tukar rupiah ke suatu tingkat tertentu. Pelaksanaan penjualan valas itu pun tidak sampai
membahayakan posisi cadangan devisa Bank Indonesia karena menggunakan devisa yang
berasal dari penarikan hutang luar negeri pemerintah yang memang diperuntukkan untuk
mendukung pembiayaan defisit anggaran pemerintah.
Nilai tukar rupiah yang menguat serta didukung oleh pasokan dan distribusi barangbarang kebutuhan pokok yang membaik telah mendorong penurunan laju inflasi sejak awal
triwulan IV 1998. Bahkan, laju inflasi bulanan yang sempat mencapai 12,67% pada bulan
Februari 1998, mencatat angka negatif atau deflasi dalam bulan Oktober 1998. Deflasi
tersebut kemudian berlanjut sebanyak tujuh kali berturut-turut selama periode Maret –
September 1999. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi selama tahun 1999 hanya
mencapai 2,0%, jauh lebih rendah daripada laju inflasi selama tahun 1998 yang mencapai
77,6%. Berarti Indonesia telah berhasil mengelakkan bahaya hiperinflasi yang sempat
mengancam selama paruh pertama 1998.
Dalam perkembangan selanjutnya, laju inflasi yang sangat rendah dan nilai tukar
rupiah yang telah jauh menguat dibandingkan di masa puncak krisis telah memberikan ruang
gerak bagi Bank Indonesia untuk memperlonggar kebijakan moneter dan mendorong
penurunan suku bunga domestik. Sebagai cerminan kebijakan moneter yang agak longgar,
pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang sebelumnya terus diturunkan hingga
mencapai 11,2% pada Juni 1999, sejak awal semester II 1999 mulai dinaikkan hingga
mencapai 15,7% pada Maret 2000. Sejalan dengan itu, suku bunga SBI 1 bulan yang selama
ini menjadi patokan (benchmark) bagi bank-bank terus menurun dari level tertinggi 70,58%
pada September 1998 menjadi 11,0% pada akhir April 2000. Penurunan suku bunga SBI yang
cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan
perbankan dengan laju penurunan yang hampir sama.
Adapun para ekonom sepakat ciri-ciri suatu Negara yang rentan terhadap krisis
moneter adalah apabila Negara tersebut:
Memiliki jumlah hutang luar negeri yang cukup besar
Mengalami inflasi yang tidak terkontrol
Defisit neraca pembayaran yang besar
Kurs pertukaran mata uang yang tidak seimbang
Tingkat suku bunga yang diatas kewajaran
Jika ciri-ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara, maka dapat dipastikan Negara tersebut
hanya menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.
Peran dan Dampak Kebijakan Moneter yang Dilakukan Indonesia.
Kebijakan moneter yang dilakukan Indonesia dan dampaknya terhadap Perekonomian
Indonesia.Dalam sistem nilai tukar bebas dan perfect capital mobility,kebijakan moneter lebih
efektif dibandingkan kebijakan fiskal dalam upaya mencapai keseimbangan dan stabilitas
makroekonomi.Kebijakan moneter lebih berperan dalam menstimulasi pemulihan
ekonomi.Kebijakan moneter yang efektif menjanjikan tercapainya inflasi yang
rendah,stabilitas nilai tukar,dan suku bunga.
Salah satu dampak dari kapitalisme yakni uang berfluktuasi tak terkontrol tanpa ada standar
acuan yang baku. Konsep uang yang semula digunakan sebagai:
1. alat pertukaran atau media pembayaran
2. alat untuk menyimpan nilai
3. alat satuan hitung
4. juga dipakai sebagai alat spekulasi.
Ketika uang diperdagangkan di pasar valuta asing nilainya akan terus berfluktuasi mengikuti
harga pasar (supply and demand). Berdasarkan realita, kurs pertukaran uang sesungguhnya
dengan fiat money, dimana uang dijadikan komoditas perdagangan amat sangat merugikan
individu maupun tatanan masyarakat. Sebagai contoh jumlah hutang luar negeri Indonesia
yang semula US$ 102 Milyar hanya dalam waktu satu tahun naik lima kali lipat menjadi US$
510 Milyar, akibatnya dana yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mensejahterakan
kehidupan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945, sebagian besar disedot untuk membayar
bunga dan pokok pinjaman. Untuk menutup defisit APBN kembali pemerintah harus
mengandalkan hutang sebagai sumber pendanaan.
Para ekonom sepakat ciri-ciri suatu Negara yang rentan terhadap krisis moneter adalah
apabila Negara tersebut:
memiliki jumlah hutang luar negeri yang cukup besar
mengalami inflasi yang tidak terkontrol
defisit neraca pembayaran yang besar
kurs pertukaran mata uang yang tidak seimbang
tingkat suku bunga yang diatas kewajaran
Jika ciri-ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara,maka dapat dipastikan Negara tersebut hanya
menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.
Simpulan
Kebijakan Moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moeneter (Bank
Indonesia) untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar dan kredit, yang pada akhirnya
akan mempegaruhi kegiatan ekonomi masyarakat.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam
rangka menambah jumlah uang yang beredar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan
dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang
ketat (tight money policy)
Kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang diharapkan dapat
membuka peluang Kesempatan Kerja, Kestabilan harga, Neraca Pembayaran Internasional.
NB : Saya lupa menyertakan linknya. Saya sudah berusaha mencari kembali, tapi tidak
saya temukan.
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena
tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank
Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan
nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara
jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju
inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah. Dengan perkataan lain, sesuai dengan UU No. 23
tahun 1999 sasaran kebijakan moneter Bank Indonesia hanya satu (single objective), yaitu
memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda dengan Undang-undang tentang Bank
Sentral yang lama, yaitu UU No. 13 tahun 1968, yang menuntut Bank Indonesia untuk
memenuhi beberapa sasaran sekaligus (multiple objectives), yakni mendorong kegiatan
ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang
pencapaiannya pada hakekatnya dapat saling bertolak belakang, terutama dalam jangka
pendek.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan
kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar atau
yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka tersebut
Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai sasaran
operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang terkendali maka
perkembangan jumlah uang beredar, diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan
jumlah uang beredar yang terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa
selalu bergerak dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga
harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.
Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti telah diuraikan di atas,
Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi, terutama selama tahun 1998, menerapkan
kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan stabilitas moneter. Kebijakan moneter ketat
terpaksa dilakukan karena dalam periode itu ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat
tinggi dan jumlah uang beredar meningkat sangat pesat.
Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya
memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah mendorong kenaikan suku bunga
domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau memegang
rupiah dan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta tidak
menggunakannya untuk membeli valuta asing.
Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang
dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai
memberikan hasil positif sejak triwulan IV 1998. Pertumbuhan uang beredar yang melambat
dan suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat
masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi rupiah berangsur
surut. Sejak pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap USD cenderung menguat dan
kemudian bergerak relatif stabil selama tahun 1999.
Sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang diterapkan sejak 14 Agustus
1997, perkembangan nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Di
dalam sistem tersebut, penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan 1998
hingga akhir 1999 lebih banyak disebabkan oleh meredanya tekanan permintaan valas sejalan
dengan terkendalinya jumlah uang beredar dan turunnya ekspektasi inflasi.
Bank Indonesia hanya melakukan penjualan valas melalui mekanisme pasar pada
harga pasar untuk mensterilisasi atau menyedot kembali ekspansi moneter yang berasal dari
pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan bukan terutama itujukan untuk mengarahkan
nilai tukar rupiah ke suatu tingkat tertentu. Pelaksanaan penjualan valas itu pun tidak sampai
membahayakan posisi cadangan devisa Bank Indonesia karena menggunakan devisa yang
berasal dari penarikan hutang luar negeri pemerintah yang memang diperuntukkan untuk
mendukung pembiayaan defisit anggaran pemerintah.
Nilai tukar rupiah yang menguat serta didukung oleh pasokan dan distribusi barangbarang kebutuhan pokok yang membaik telah mendorong penurunan laju inflasi sejak awal
triwulan IV 1998. Bahkan, laju inflasi bulanan yang sempat mencapai 12,67% pada bulan
Februari 1998, mencatat angka negatif atau deflasi dalam bulan Oktober 1998. Deflasi
tersebut kemudian berlanjut sebanyak tujuh kali berturut-turut selama periode Maret –
September 1999. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi selama tahun 1999 hanya
mencapai 2,0%, jauh lebih rendah daripada laju inflasi selama tahun 1998 yang mencapai
77,6%. Berarti Indonesia telah berhasil mengelakkan bahaya hiperinflasi yang sempat
mengancam selama paruh pertama 1998.
Dalam perkembangan selanjutnya, laju inflasi yang sangat rendah dan nilai tukar
rupiah yang telah jauh menguat dibandingkan di masa puncak krisis telah memberikan ruang
gerak bagi Bank Indonesia untuk memperlonggar kebijakan moneter dan mendorong
penurunan suku bunga domestik. Sebagai cerminan kebijakan moneter yang agak longgar,
pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang sebelumnya terus diturunkan hingga
mencapai 11,2% pada Juni 1999, sejak awal semester II 1999 mulai dinaikkan hingga
mencapai 15,7% pada Maret 2000. Sejalan dengan itu, suku bunga SBI 1 bulan yang selama
ini menjadi patokan (benchmark) bagi bank-bank terus menurun dari level tertinggi 70,58%
pada September 1998 menjadi 11,0% pada akhir April 2000. Penurunan suku bunga SBI yang
cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan
perbankan dengan laju penurunan yang hampir sama.
Adapun para ekonom sepakat ciri-ciri suatu Negara yang rentan terhadap krisis
moneter adalah apabila Negara tersebut:
Memiliki jumlah hutang luar negeri yang cukup besar
Mengalami inflasi yang tidak terkontrol
Defisit neraca pembayaran yang besar
Kurs pertukaran mata uang yang tidak seimbang
Tingkat suku bunga yang diatas kewajaran
Jika ciri-ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara, maka dapat dipastikan Negara tersebut
hanya menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.
Peran dan Dampak Kebijakan Moneter yang Dilakukan Indonesia.
Kebijakan moneter yang dilakukan Indonesia dan dampaknya terhadap Perekonomian
Indonesia.Dalam sistem nilai tukar bebas dan perfect capital mobility,kebijakan moneter lebih
efektif dibandingkan kebijakan fiskal dalam upaya mencapai keseimbangan dan stabilitas
makroekonomi.Kebijakan moneter lebih berperan dalam menstimulasi pemulihan
ekonomi.Kebijakan moneter yang efektif menjanjikan tercapainya inflasi yang
rendah,stabilitas nilai tukar,dan suku bunga.
Salah satu dampak dari kapitalisme yakni uang berfluktuasi tak terkontrol tanpa ada standar
acuan yang baku. Konsep uang yang semula digunakan sebagai:
1. alat pertukaran atau media pembayaran
2. alat untuk menyimpan nilai
3. alat satuan hitung
4. juga dipakai sebagai alat spekulasi.
Ketika uang diperdagangkan di pasar valuta asing nilainya akan terus berfluktuasi mengikuti
harga pasar (supply and demand). Berdasarkan realita, kurs pertukaran uang sesungguhnya
dengan fiat money, dimana uang dijadikan komoditas perdagangan amat sangat merugikan
individu maupun tatanan masyarakat. Sebagai contoh jumlah hutang luar negeri Indonesia
yang semula US$ 102 Milyar hanya dalam waktu satu tahun naik lima kali lipat menjadi US$
510 Milyar, akibatnya dana yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mensejahterakan
kehidupan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945, sebagian besar disedot untuk membayar
bunga dan pokok pinjaman. Untuk menutup defisit APBN kembali pemerintah harus
mengandalkan hutang sebagai sumber pendanaan.
Para ekonom sepakat ciri-ciri suatu Negara yang rentan terhadap krisis moneter adalah
apabila Negara tersebut:
memiliki jumlah hutang luar negeri yang cukup besar
mengalami inflasi yang tidak terkontrol
defisit neraca pembayaran yang besar
kurs pertukaran mata uang yang tidak seimbang
tingkat suku bunga yang diatas kewajaran
Jika ciri-ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara,maka dapat dipastikan Negara tersebut hanya
menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.
Simpulan
Kebijakan Moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moeneter (Bank
Indonesia) untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar dan kredit, yang pada akhirnya
akan mempegaruhi kegiatan ekonomi masyarakat.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam
rangka menambah jumlah uang yang beredar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan
dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang
ketat (tight money policy)
Kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang diharapkan dapat
membuka peluang Kesempatan Kerja, Kestabilan harga, Neraca Pembayaran Internasional.
NB : Saya lupa menyertakan linknya. Saya sudah berusaha mencari kembali, tapi tidak
saya temukan.