Teori Belajar IPA Jean Piaget and Jerome
Analisi Teori Belajar IPA
Laporan
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan IPA di SD
Kelas Tinggi,
Dosen pengampu: Drs. Nana Djumhana, M.Pd.
Oleh:
Intan Silpia (1403714)
Kelas 5D
DEPARTEMEN PEDAGOGIK PROGRAM STUDI PGSD
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2016
Teori Belajar IPA
A. Jean Piaget
Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak anak aktif
memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini peran guru
adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai pemberi informasi. Kecenderungan anakanak SD beranjak dari hal-hal yang konkrit, memandang sesuatu kebutuhan secara
terpadu. Berdasarkan keceenderungan diatas maka, belajara adalah suatu proses yang
aktif, konstruktif, berorientasi pada tujuan, semuannya bergantung pada aktifitas
mental peserta didik (Ridek, 2015).
Menurut Slavin dalam (Nur :1998:27) implikasi dari teori Piaget dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut (Ridek, 2015):
a) Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada
produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses
yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
b) Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam
inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas
Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak
didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan
dengan lingkungan.
c) Tidak menekankan pada praktek-praktek yang diarahkan untuk menjadikan anakanak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
d) Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori
Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan
perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan
yang berbeda.
Dari uraian tersebut pembelajaran menurut konstruktivis dilakukan dengan
memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada
hasilnya dan mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran serta
memaklumi adanya perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan yang dapat
dipegaruhi oleh perkembangan intelektual anak.
1. Perkembangan Intelektual
Dalam perkembangan intelektual, ada tiga aspek yang diteliti oleh Piaget, yaitu
struktur, isi (konten), dan fungsi (Dahar, 2011: 134-136).
a. Struktur
Untuk sampai pada pengertian struktur, diperlukan suatu pngertian yang erat
hubungannya dengan struktur, yaitu pengertian operasi. Piaget berpendapat bahwa
ada hubungan fungsional antara tindakan fisik dan tindakan mental dan
perkembangan
berpikir
logis
anak-anak.
Tindakan
(action)
menuju
pada
perkembangan operasi dan operasi selanjutnya menuju pada perkembangan struktur.
Operasi-operasi mempunyai empat ciri.
Pertama, operasi merupakan tindakan-tindakan yang terinternalisasi. Tidak
terdapat garis pemisah antara tindakan mental maupun tindakan fisik.
Kedua, operasi-operasi itu reversibel (operasi yang sama yang dilakukan
dengan arah yang berlawanan).
Ketiga, tidak ada operasi yang berdiri sendiri. Suatu operasi selalu
berhubungan dengan struktur atau sekumpulan operasi. Operasi itu saling
membutuhkan. Jadi, operasi itu adalah tindakan-tindakan mental yang terinternalisasi,
reversibel, tetap, dan terintegrasi dengan struktur-struktur dan operasi-operasi
lainnya.
Struktur yang juga disebut skemata merupakan organisasi mental tingkat
tinggi, satu tingkat lebih tinggi dari individu waktu ia berinteraksi dengan
lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih memudahkan individu itu untuk
menghadapi
tuntutan-tuntutan
yang
makin
meningkat
dari
lingkungannya.
Diperolehnya suatu struktur atau skemata berarti telah terjadi suatu perubahan dalam
perkembangan intelektual anak (Dahar, 2011: 134).
b. Isi
Hal yang dimaksud dengan isi ialah pola perilaku anak yang khas yang
tercermin pada respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi
yang dihadapinya.
Antara tahun 1920 dan 1930 perhatian Piaget dalam penelitiannya tertuju
pada isi pikiran anak, misalnya perubahan dalam kemampuan penalaran semenjak
kecil sekali hingga agak besar, konsepsi anak tentang alam sekitarnya, yaitu pohonpohon, matahari, bulan, dan konsepsi anak tentang beberapa peristiwa alam, seperti
bergeraknya awan dan sungai. Sesuadah tahun 1930, perhatian penelitian Piaget lebih
dalam. Dari deskripsi pikiran-pikiran anak, ia beralih pada analisis proses dasar yang
melandasi dan menentukan isi itu (Ginsburg (1979) dalam (Dahar, 2011: 135)).
c. Fungsi
Fungsi ialah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan
intelektual. Menurut Piaget, perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi,
yaitu organisasi dan adaptasi.
1) Organisasi
Organisasi
memberikan
pada
organisme
kemampuan
untuk
mensistematikkan atau mengorganisasi proses fisik atau psikologi menjadi sistem
yang teratur dan berhubungan atau terstruktur. Dalam lingkungan fisik misalnya,
ikan memiliki sejumlah struktur yang membuat ikan berfungsi secara efektif di
dalam air, yaitu insang, sistem sirkulasi, mekanisme suhu. Semua struktur ini
bekerja sama secara efisien untuk mempertahankan ikan itu di lingkungannya.
Koordinasi secara fisik ini merupakan hasil kecenderungan organisasi.
Kecenderungan organisasi juga terdapat pada tingkatan psikologis. Seorang
bayi mempunyai struktur-struktur prilaku untuk memfokuskan visual dan
memegang secara terpisah. Pada suatu saat dalam perkembangannya, bayi itu
dapat mengorganisasi kedua struktur perilaku ini menjadi struktur tingkat tinggi
dengan memegang suatu benda sambil melihat benda itu. Dengan organisasi,
struktur fisik dan psikologi diintegrasikan menjadi struktur tingkat tinggi.
2) Adaptasi
Fungsi kedua yang melandasi perkembangan intelektual ialah adaptasi.
Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau
beradaptasi pada lingkungan mereka. Cara adaptasi ini berbeda antar organisme
yang satu dengan organisme yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan
melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi (Dahar, 2011: 135).
a) Asimilasi
Asimilasi ialah penyatuan (pengintegrasian) informasi, persepsi, konsep
dan pengalaman baru ke dalam yang sudah ada dalam benak seseorang.
(Wina Sanjaya, 2010:132) dalam (Ibda, 2015) . Dalam proses asimilasi
seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk
menghadapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya (Dahar, 2011:
135).
b) Akomodasi
Akomodasi ialah individu mengubah dirinya agar bersesuaian dengan
apa yang diterima dari lingkungannya. (Mohd. Surya, 2003:56) dalam (Ibda,
2015). Sebagai proses penyesuaian atau penyusunan kembali skema ke dalam
situasi yang baru (Riyanto Yatim, 2009:123) dalam (Ibda, 2015). Dalam
proses akomodasi, seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang
ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungannya (Dahar,
2011: 135).
Bagi Piaget, adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Andai kata dengan proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi
pada
lingkungannya,
terjadilah
keadaan
ketidakseimbangan
(disekuilibrium). Akibat ketidakseimbangan ini adalah akomodasi dan strukturstruktur yang ada mengalami perubahan atau timbul struktur baru. Pertumbuhan
intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan
keadaan setimbang (disequilibrium-equlibrium). Akan tetapi, bila terjadi kembali
kesetimbangan, individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada
sebelumnya (Dahar, 2011: 136).
Adaptasi dapat diterapkan pada belajar dalam kelas. Perkembangan kognitif
sebagian tergantung pada akomodasi. Siswa harus memasuki area yang tidak dikenal
untuk dapat belajar. Ia tidak dapat hanya mempelajari apa yang telah diketahuinya
dan ia tidak dapat hanya mengandalkan asimilasi. Dalam pelajaran yang tidak
memberikan hal-hal baru, siswa mengalami overassimilation. Kedua keadaan ini
tidak memperlancar pertumbuhan kognitif. Hal yang perlu diusahakan ialah adanya
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi (ekuilibrium) (Dahar, 2011: 136).
2. Tahap Perkembangan Intelektual Piaget (dalam Riati)
Piaget juga mengatakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Oleh karena itu guru seharusnya
memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi,
metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya.
TAHAP
Sensori Motor
PERKIRAAN
USIA
0 – 2 tahun
CIRI KHUSUS
Kecerdasan motorik (gerak) dunia (benda)
yang ada adalah yang tampak tidak ada bahasa
pada tahap awal.
Pre-Ooperasional
2 – 7 tahun
Berpikir secara egosentris alasan-alasan
didominasi oleh persepsi lebih banyak intuisi
daripada pemikiran logis belum cepat
melakukan konsentrasi.
Konkret
Operasional
7 – 11 tahun
Dapat melakukan konservasi logika tentang
kelas dan hubungan pengetahuan tentang angka
berpikir terkait dengan yang nyata.
Formal
Operasional
11 tahun sampai
dewasa
Pemikiran yang sudah lengkap pemikiran yang
proporsional kemampuan untuk mengatasi
hipotesis perkembangan idealisme yang kuat.
3. Penerapan Teori Piaget dalam Pembelajaran Ipa di SD
Menurut Piaget, ada sedikitnya tiga hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam
merancang pembelajaran di kelas, terutama dalam pembelajaran IPA. Ketiga hal
tersebut adalah :
a. Seluruh anak melewati tahapan yang sama secara berurutan;
b. Anak mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap suatu benda atau kejadian ;
c. Apabila hanya kegiatan fisik yang diberikan kepada anak, tidaklah cukup untuk
menjamin perkembangan intelektual anak (Riati, Tanpa Tahun).
4. Cara Pembelajaran IPA di SD Berdasarkan Teori Piaget
Cara pembelajaran IPA di SD bisa dilaksanakan berdasarkan pada Teori
Piaget, yaitu sebagai berikut:
a. Mulailah dari hal-hal yang konkret yaitu kegiatan aktif mempergunakan
pancaindra dengan benda nyata atau konkret.
b. Penata awal, yaitu suatu informasi umum mengenai apa yang akan diajarkan,
agar murid mempunyai kerangka kerja untuk mengasimilasikan informasi baru ke
dalam struktur kognitifnya.
c. Pergunakanlah kegiatan yang bervariasi karena murid mempunyai tingkat
perkembangan kognitif yang berbeda dan gaya belajar yang berlainan.
d. Guru harus selalu memperhatikan pada setiap siswa apa yang mereka lakukan,
apakah mereka melaksanakan dengan benar, apakah mereka tidak mendapatkan
kesulitan.
e. Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan sendiri
jawabanya, sedangkan guru harus selalu siap dengan alternatif jawaban bila
sewaktu-waktu dibutuhkan.
f.
Pada akhir pembelajaran, guru mengulas kembali bagaimana siswa dapat
menemukan jawaban yang diinginkan (Riati, Tanpa Tahun).
5. Alasan:
Teori Piaget ini dapat diaplikasikan dalam melakukan pembelajaran IPA di SD.
Hal tersebut karena teori ini merupakan teori yang dapat mendorong siswa untuk
memperoleh pengetahuan baru mengenai alam dengan cara menggabungkan
(mengintegrasikan) dengan pengetahun lama yang telah diperolehnya (yang disebut
dengan asimilasi).
Dalam pembelajaran tentunya guru tidak boleh terus menerus memberikan/
mentransfer pengetahuan kepada siswa saja, adakalanya guru harus membiarkan
siswa untuk mencari sendiri atau mengkonstruksikan pengetahuan yang telah
didapatkannya. Sehingga dengan begitu siswa dapat mengembangkan intelektualnya.
Hal tersebut juga sesuai dengan kriteria pembelajaran IPA yang berusaha untuk
membangun rasa ingin tahu siswa tentang segala sesuatu yang ada di lingkungannya,
membangkitkan ide-ide siswa, membangun keterampilan (skill) yang diperlukan,
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan, dan
menimbulkan kesadaran siswa bahwa belajar IPA menjadi sangat diperlukan untuk
dipelajari. Selain itu juga karena pada hakikatnya IPA itu merupakan suatu kumpulan
pengetahuan (fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip) dan proses penemuan
dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis melalui prosedur (metode
ilmiah) dan dengan asumsi bahwa alam raya ini dapat dipelajari, dipahami, dan
dijelaskan dengan suatu metode tertentu (metode ilmiah).
Oleh karena itu guru bisa memfasilitasi siswa dengan cara guru memberikan
maslah baru kepada siswa mengenai suatu hal. Pemberian situasi baru yang
dimunculkan oleh guru dapat membuat siswa mengkontruksi pengetahuannya yang
telah didapat (pengetahuan lama) untuk menghadapi situasi baru tersebut yang
disebut dengan proses akomodasi. Sehingga dengan begitu siswa diharapkan
mengalami keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi yang disebut dengan
equilibrium.
Dari pembahasan di atas mengenai teori belajar Piaget, penulis beranggapan
bahwa teori tersebut bisa digunakan dan sesuai dengan kriteria pembelajaran IPA dan
dapat mengembangkan intelektual siswa tentang IPA bila digunakan dalam
pembelajaran IPA di SD.
B. Jerome Bruner
Belajar merupakan kegiatan perolehan informasi yang disebut sebagai belajar
penemuan yang merupakan berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna (Riati: 5).
Bruner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar, anak sebaiknya diberikan
kesempatan untuk memanipulasi objek atau benda-benda (alat peraga). Melalui alat
peraga itu, anak akan langsung melihat bagaimana keteraturan dan pola srtuktur dari
benda yang diperhatikannya tersebut. Keteraturan yang didapat anak melaui
pengamatan/keterlibatan secara langsung tersebut kemudian oleh anak dihubungkan
dengan keterangan instuitif yang melekat padanya (Riati: 5).
Tiga tahap pembelajaran (penyajian materi) dalam teori Bruner tentang
perkembangan intelektual adalah:
1) Enaktif, di mana seseorang belajar tentang dunia melalui aksi-aksi terhadap objek
(Smith, 2009: 117). Cara penyajian enaktif adalah melalui tindakan, jadi bersifat
manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahi suatu aspek kenyataan tanpa
menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadiankejadian masa lampau melalui respons-respons motorik. Dengan cara ini
dilakukan satu set kegiatan untuk mencapai hasil tertentu (Dahar, 2011).
2) Iconic, di mana pembelajaran terjadi melalui penggunaan model-model dan
gambar-gambar (Smith, 2009: 117). Cara penyajian ikonik didasarkan atas
pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar yang mewakili
suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu (Dahar, 2011).
3) Symbolic, yang menggambarkan kapasitas berpikir dalam istilah-istilah yang
abstrak (Smith, 2009: 117). Penyajian simbolis menggunakan kata-kata atu
bahasa. Penyajian simbolis dibuktikan oleh kemampuan memperhatikan
proposisi atau pernyataan daripada objek, memberikan struktur hierarkis pada
konsep-konsep, dan memperhatikan kemungkinan0kemungkinan alternatif dalam
suatu cara yang bersifat kombinasi (Dahar, 2011).
Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap, yaitu
(Riati: 5):
a) Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah
keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari.
b) Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah atau
ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual.
c) Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana
informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk
memahami gejala atau masalah yang dihadapi.
1. Penerapan Model Belajar Bruner Dalam Pembelajaran IPA di SD
Dalam penerapannya dalam proses pembelajaran di kelas, Bruner
mengembangkan model pembelajaran penemuan. Model ini pada
prinsipnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh
informasi sendiri dengan bantuan guru dan biasanya menggunakan barang
yang nyata. Peranan guru dalam pembelajaran ini bukanlah sebagai
seorang
pemberi
informasi
melainkan
seorang
penuntun
untuk
mendapatkan informasi (Riati: 6).
2. Cara pembelajaran IPA di SD berdasarkan model Bruner
Guru harus mempunyai cara yang baik untuk tidak secara lansung
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh siswa. Model pembelajaran
ini mempunyai banyak manfaat, antara lain (Mad, 2013):
a. Pembelajar (Siswa) akan mudah mengingat materi pembelajaran
apabila informasi tersebut didapatkan sendiri, bukan merupakan
informasi perolehan.
b. Apabila pembelajar telah memperoleh informasi, maka dia akan
mengingat lebih lama.
Jadi dalam proses mengajar menurut Bruner adanya pendekatan
spiral atau lebih dikenal dengan a spiral curriculum, yaitu mengurutkan
materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi secara umum kemudian
secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan
yang lebih rinci, dengan memperhatikan tahapan perkembangan kognitif
seseorang (enaktif, ikonik, dan simbolik) (Mad, 2013).
3. Peran Guru
Langkah guru sebagai fasilitator pembelajaran dalam belajar penemuan
adalah:
a. Guru merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu
terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa
b. Guru menyajikan materi pelajaran yang diperlukkan sebagai dasar bagi para
siswa untuk memecahkan masalah. Guru hendaknya memulai dengan sesuatu
yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukan sesuatu
yang berlawanan. Dengan demikian terjadi konflik dengan pengalaman
siswa. Akibatnya timbullah masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang
berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian yang merangsang para siswa
untuk menyelidiki masalah itu, menyusun hipotesis, dan mencoba
menemukan konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah itu.
c. Guru harus menyajikan dengan cara enaktif, ikonik dan simbolik. Enaktif
adalah melalui tindakan atau dengan kata lain belajar sambil melakukan
(learning by doing). Ikonik adalah didasarkan atas pikiran internal.
Pengetahuan disajikan melalui gambar-gambar yang mewakili suatu konsep.
Simbolik adalah menggunakan kata-kata atau bahasa-bahasa.
d. Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru
hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya
jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan
dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan.
Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu
yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara
demikian rupa, hingga siswa tidak tetap begantung pada pertolongan guru.
Akhirya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
e. Menilaia hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan.
Secara garis besar tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasigeneralisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu (Dahar,
2011: 83-84).
Di lapangan, penilaian hasil belajar penemuan meliputi pemehaman tentang
prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi dan kemampuan siswa untuk
menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk tes
berupa tes objektif atau tes esai (Dahar, 2011: 84).
4. Alasan
Teori Bruner ini dapat kita aplikasikan dalam melaksanakan pembelajaran
IPA di SD. Hal tersebut karena pada dasarnya teori ini merupakan teori yang
dapat mendorong siswa untuk memperoleh pengetahuan/ materi ajar dengan cara
penemuan sendiri. Hal tersebut sangat baik bagi perkembangan intelektual siswa,
karena dengan begitu siswa akan lebih memahami pengetahuan yang didapatkan
berdasarkan pengalaman yang dilakukannya. Sehingga pembelajaran menjadi
lebih bermakna bagi siswa karena memang siswa sendirilah yang menemukan
jawaban dari permasalahan yang ia dapatkan itu.
Teori belajar Bruner ini mendorong siswa untuk aktif dalam memecahkan
suatu masalah. Siswa tentunya dalam menemukan suatu jawaban dari
permasalahan terlebih dahulu mendapat informasi dari guru mengenai contohcontoh/ non contoh, konsep-konsep dari suatu materi, dan merangsang siswa
dengan suatu pertanyaan mengenai suatu hal/ fenomena alam untuk mereka
jawab. Guru dalam merangsang dan menyajikan materi/ informasi mengenai
suatu masalah dapat dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu tahap enaktif, ikonik,
dan simbolik. Dengan menyajikan berdasarkan tahapan-tahapan tersebut, siswa
akan lebih mudah dalam memahami suatu materi karena guru memberikan
informasi secara berurut dari yang umum ke yang khusus.
Daftar Pustaka
Dahar, R.W. (2011). Teori-teori belajar & pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Ibda, Fatimah. (2015). Perkembangan kognitif: teori Jean Piaget. Intelektualita, 3 (1),
hlm. 32.
Mad, Salman. (2013). Teori belajar bruner. [Online]. Diakses dari
http://madsalman.blogspot.co.id/2013/09/teori-belajar-bruner.html.
Riati, Mimis. Teori belajar dalam pembelajaran IPA SD. [Online]. Diakses dari
https://www.academia.edu/11769485/teori_belajar_ipa_SD.
Ridek, Sunandar. (2015). Landasan teori pembelajaran ipa. [Online]. Diakses dari
http://nandaridek.blogspot.co.id/2015/03/landasan-teori-pembelajaran-ipa.html.
Smith, Mark K, dkk. (2009). Teori pembelajaran & pengajaran. Jogjakarta: Mirza Media
Pustaka.
Laporan
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan IPA di SD
Kelas Tinggi,
Dosen pengampu: Drs. Nana Djumhana, M.Pd.
Oleh:
Intan Silpia (1403714)
Kelas 5D
DEPARTEMEN PEDAGOGIK PROGRAM STUDI PGSD
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2016
Teori Belajar IPA
A. Jean Piaget
Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak anak aktif
memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini peran guru
adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai pemberi informasi. Kecenderungan anakanak SD beranjak dari hal-hal yang konkrit, memandang sesuatu kebutuhan secara
terpadu. Berdasarkan keceenderungan diatas maka, belajara adalah suatu proses yang
aktif, konstruktif, berorientasi pada tujuan, semuannya bergantung pada aktifitas
mental peserta didik (Ridek, 2015).
Menurut Slavin dalam (Nur :1998:27) implikasi dari teori Piaget dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut (Ridek, 2015):
a) Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada
produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses
yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
b) Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam
inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas
Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak
didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan
dengan lingkungan.
c) Tidak menekankan pada praktek-praktek yang diarahkan untuk menjadikan anakanak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
d) Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori
Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan
perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan
yang berbeda.
Dari uraian tersebut pembelajaran menurut konstruktivis dilakukan dengan
memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada
hasilnya dan mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran serta
memaklumi adanya perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan yang dapat
dipegaruhi oleh perkembangan intelektual anak.
1. Perkembangan Intelektual
Dalam perkembangan intelektual, ada tiga aspek yang diteliti oleh Piaget, yaitu
struktur, isi (konten), dan fungsi (Dahar, 2011: 134-136).
a. Struktur
Untuk sampai pada pengertian struktur, diperlukan suatu pngertian yang erat
hubungannya dengan struktur, yaitu pengertian operasi. Piaget berpendapat bahwa
ada hubungan fungsional antara tindakan fisik dan tindakan mental dan
perkembangan
berpikir
logis
anak-anak.
Tindakan
(action)
menuju
pada
perkembangan operasi dan operasi selanjutnya menuju pada perkembangan struktur.
Operasi-operasi mempunyai empat ciri.
Pertama, operasi merupakan tindakan-tindakan yang terinternalisasi. Tidak
terdapat garis pemisah antara tindakan mental maupun tindakan fisik.
Kedua, operasi-operasi itu reversibel (operasi yang sama yang dilakukan
dengan arah yang berlawanan).
Ketiga, tidak ada operasi yang berdiri sendiri. Suatu operasi selalu
berhubungan dengan struktur atau sekumpulan operasi. Operasi itu saling
membutuhkan. Jadi, operasi itu adalah tindakan-tindakan mental yang terinternalisasi,
reversibel, tetap, dan terintegrasi dengan struktur-struktur dan operasi-operasi
lainnya.
Struktur yang juga disebut skemata merupakan organisasi mental tingkat
tinggi, satu tingkat lebih tinggi dari individu waktu ia berinteraksi dengan
lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih memudahkan individu itu untuk
menghadapi
tuntutan-tuntutan
yang
makin
meningkat
dari
lingkungannya.
Diperolehnya suatu struktur atau skemata berarti telah terjadi suatu perubahan dalam
perkembangan intelektual anak (Dahar, 2011: 134).
b. Isi
Hal yang dimaksud dengan isi ialah pola perilaku anak yang khas yang
tercermin pada respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi
yang dihadapinya.
Antara tahun 1920 dan 1930 perhatian Piaget dalam penelitiannya tertuju
pada isi pikiran anak, misalnya perubahan dalam kemampuan penalaran semenjak
kecil sekali hingga agak besar, konsepsi anak tentang alam sekitarnya, yaitu pohonpohon, matahari, bulan, dan konsepsi anak tentang beberapa peristiwa alam, seperti
bergeraknya awan dan sungai. Sesuadah tahun 1930, perhatian penelitian Piaget lebih
dalam. Dari deskripsi pikiran-pikiran anak, ia beralih pada analisis proses dasar yang
melandasi dan menentukan isi itu (Ginsburg (1979) dalam (Dahar, 2011: 135)).
c. Fungsi
Fungsi ialah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan
intelektual. Menurut Piaget, perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi,
yaitu organisasi dan adaptasi.
1) Organisasi
Organisasi
memberikan
pada
organisme
kemampuan
untuk
mensistematikkan atau mengorganisasi proses fisik atau psikologi menjadi sistem
yang teratur dan berhubungan atau terstruktur. Dalam lingkungan fisik misalnya,
ikan memiliki sejumlah struktur yang membuat ikan berfungsi secara efektif di
dalam air, yaitu insang, sistem sirkulasi, mekanisme suhu. Semua struktur ini
bekerja sama secara efisien untuk mempertahankan ikan itu di lingkungannya.
Koordinasi secara fisik ini merupakan hasil kecenderungan organisasi.
Kecenderungan organisasi juga terdapat pada tingkatan psikologis. Seorang
bayi mempunyai struktur-struktur prilaku untuk memfokuskan visual dan
memegang secara terpisah. Pada suatu saat dalam perkembangannya, bayi itu
dapat mengorganisasi kedua struktur perilaku ini menjadi struktur tingkat tinggi
dengan memegang suatu benda sambil melihat benda itu. Dengan organisasi,
struktur fisik dan psikologi diintegrasikan menjadi struktur tingkat tinggi.
2) Adaptasi
Fungsi kedua yang melandasi perkembangan intelektual ialah adaptasi.
Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau
beradaptasi pada lingkungan mereka. Cara adaptasi ini berbeda antar organisme
yang satu dengan organisme yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan
melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi (Dahar, 2011: 135).
a) Asimilasi
Asimilasi ialah penyatuan (pengintegrasian) informasi, persepsi, konsep
dan pengalaman baru ke dalam yang sudah ada dalam benak seseorang.
(Wina Sanjaya, 2010:132) dalam (Ibda, 2015) . Dalam proses asimilasi
seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk
menghadapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya (Dahar, 2011:
135).
b) Akomodasi
Akomodasi ialah individu mengubah dirinya agar bersesuaian dengan
apa yang diterima dari lingkungannya. (Mohd. Surya, 2003:56) dalam (Ibda,
2015). Sebagai proses penyesuaian atau penyusunan kembali skema ke dalam
situasi yang baru (Riyanto Yatim, 2009:123) dalam (Ibda, 2015). Dalam
proses akomodasi, seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang
ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungannya (Dahar,
2011: 135).
Bagi Piaget, adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Andai kata dengan proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi
pada
lingkungannya,
terjadilah
keadaan
ketidakseimbangan
(disekuilibrium). Akibat ketidakseimbangan ini adalah akomodasi dan strukturstruktur yang ada mengalami perubahan atau timbul struktur baru. Pertumbuhan
intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan
keadaan setimbang (disequilibrium-equlibrium). Akan tetapi, bila terjadi kembali
kesetimbangan, individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada
sebelumnya (Dahar, 2011: 136).
Adaptasi dapat diterapkan pada belajar dalam kelas. Perkembangan kognitif
sebagian tergantung pada akomodasi. Siswa harus memasuki area yang tidak dikenal
untuk dapat belajar. Ia tidak dapat hanya mempelajari apa yang telah diketahuinya
dan ia tidak dapat hanya mengandalkan asimilasi. Dalam pelajaran yang tidak
memberikan hal-hal baru, siswa mengalami overassimilation. Kedua keadaan ini
tidak memperlancar pertumbuhan kognitif. Hal yang perlu diusahakan ialah adanya
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi (ekuilibrium) (Dahar, 2011: 136).
2. Tahap Perkembangan Intelektual Piaget (dalam Riati)
Piaget juga mengatakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Oleh karena itu guru seharusnya
memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi,
metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya.
TAHAP
Sensori Motor
PERKIRAAN
USIA
0 – 2 tahun
CIRI KHUSUS
Kecerdasan motorik (gerak) dunia (benda)
yang ada adalah yang tampak tidak ada bahasa
pada tahap awal.
Pre-Ooperasional
2 – 7 tahun
Berpikir secara egosentris alasan-alasan
didominasi oleh persepsi lebih banyak intuisi
daripada pemikiran logis belum cepat
melakukan konsentrasi.
Konkret
Operasional
7 – 11 tahun
Dapat melakukan konservasi logika tentang
kelas dan hubungan pengetahuan tentang angka
berpikir terkait dengan yang nyata.
Formal
Operasional
11 tahun sampai
dewasa
Pemikiran yang sudah lengkap pemikiran yang
proporsional kemampuan untuk mengatasi
hipotesis perkembangan idealisme yang kuat.
3. Penerapan Teori Piaget dalam Pembelajaran Ipa di SD
Menurut Piaget, ada sedikitnya tiga hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam
merancang pembelajaran di kelas, terutama dalam pembelajaran IPA. Ketiga hal
tersebut adalah :
a. Seluruh anak melewati tahapan yang sama secara berurutan;
b. Anak mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap suatu benda atau kejadian ;
c. Apabila hanya kegiatan fisik yang diberikan kepada anak, tidaklah cukup untuk
menjamin perkembangan intelektual anak (Riati, Tanpa Tahun).
4. Cara Pembelajaran IPA di SD Berdasarkan Teori Piaget
Cara pembelajaran IPA di SD bisa dilaksanakan berdasarkan pada Teori
Piaget, yaitu sebagai berikut:
a. Mulailah dari hal-hal yang konkret yaitu kegiatan aktif mempergunakan
pancaindra dengan benda nyata atau konkret.
b. Penata awal, yaitu suatu informasi umum mengenai apa yang akan diajarkan,
agar murid mempunyai kerangka kerja untuk mengasimilasikan informasi baru ke
dalam struktur kognitifnya.
c. Pergunakanlah kegiatan yang bervariasi karena murid mempunyai tingkat
perkembangan kognitif yang berbeda dan gaya belajar yang berlainan.
d. Guru harus selalu memperhatikan pada setiap siswa apa yang mereka lakukan,
apakah mereka melaksanakan dengan benar, apakah mereka tidak mendapatkan
kesulitan.
e. Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan sendiri
jawabanya, sedangkan guru harus selalu siap dengan alternatif jawaban bila
sewaktu-waktu dibutuhkan.
f.
Pada akhir pembelajaran, guru mengulas kembali bagaimana siswa dapat
menemukan jawaban yang diinginkan (Riati, Tanpa Tahun).
5. Alasan:
Teori Piaget ini dapat diaplikasikan dalam melakukan pembelajaran IPA di SD.
Hal tersebut karena teori ini merupakan teori yang dapat mendorong siswa untuk
memperoleh pengetahuan baru mengenai alam dengan cara menggabungkan
(mengintegrasikan) dengan pengetahun lama yang telah diperolehnya (yang disebut
dengan asimilasi).
Dalam pembelajaran tentunya guru tidak boleh terus menerus memberikan/
mentransfer pengetahuan kepada siswa saja, adakalanya guru harus membiarkan
siswa untuk mencari sendiri atau mengkonstruksikan pengetahuan yang telah
didapatkannya. Sehingga dengan begitu siswa dapat mengembangkan intelektualnya.
Hal tersebut juga sesuai dengan kriteria pembelajaran IPA yang berusaha untuk
membangun rasa ingin tahu siswa tentang segala sesuatu yang ada di lingkungannya,
membangkitkan ide-ide siswa, membangun keterampilan (skill) yang diperlukan,
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan, dan
menimbulkan kesadaran siswa bahwa belajar IPA menjadi sangat diperlukan untuk
dipelajari. Selain itu juga karena pada hakikatnya IPA itu merupakan suatu kumpulan
pengetahuan (fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip) dan proses penemuan
dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis melalui prosedur (metode
ilmiah) dan dengan asumsi bahwa alam raya ini dapat dipelajari, dipahami, dan
dijelaskan dengan suatu metode tertentu (metode ilmiah).
Oleh karena itu guru bisa memfasilitasi siswa dengan cara guru memberikan
maslah baru kepada siswa mengenai suatu hal. Pemberian situasi baru yang
dimunculkan oleh guru dapat membuat siswa mengkontruksi pengetahuannya yang
telah didapat (pengetahuan lama) untuk menghadapi situasi baru tersebut yang
disebut dengan proses akomodasi. Sehingga dengan begitu siswa diharapkan
mengalami keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi yang disebut dengan
equilibrium.
Dari pembahasan di atas mengenai teori belajar Piaget, penulis beranggapan
bahwa teori tersebut bisa digunakan dan sesuai dengan kriteria pembelajaran IPA dan
dapat mengembangkan intelektual siswa tentang IPA bila digunakan dalam
pembelajaran IPA di SD.
B. Jerome Bruner
Belajar merupakan kegiatan perolehan informasi yang disebut sebagai belajar
penemuan yang merupakan berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna (Riati: 5).
Bruner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar, anak sebaiknya diberikan
kesempatan untuk memanipulasi objek atau benda-benda (alat peraga). Melalui alat
peraga itu, anak akan langsung melihat bagaimana keteraturan dan pola srtuktur dari
benda yang diperhatikannya tersebut. Keteraturan yang didapat anak melaui
pengamatan/keterlibatan secara langsung tersebut kemudian oleh anak dihubungkan
dengan keterangan instuitif yang melekat padanya (Riati: 5).
Tiga tahap pembelajaran (penyajian materi) dalam teori Bruner tentang
perkembangan intelektual adalah:
1) Enaktif, di mana seseorang belajar tentang dunia melalui aksi-aksi terhadap objek
(Smith, 2009: 117). Cara penyajian enaktif adalah melalui tindakan, jadi bersifat
manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahi suatu aspek kenyataan tanpa
menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadiankejadian masa lampau melalui respons-respons motorik. Dengan cara ini
dilakukan satu set kegiatan untuk mencapai hasil tertentu (Dahar, 2011).
2) Iconic, di mana pembelajaran terjadi melalui penggunaan model-model dan
gambar-gambar (Smith, 2009: 117). Cara penyajian ikonik didasarkan atas
pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar yang mewakili
suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu (Dahar, 2011).
3) Symbolic, yang menggambarkan kapasitas berpikir dalam istilah-istilah yang
abstrak (Smith, 2009: 117). Penyajian simbolis menggunakan kata-kata atu
bahasa. Penyajian simbolis dibuktikan oleh kemampuan memperhatikan
proposisi atau pernyataan daripada objek, memberikan struktur hierarkis pada
konsep-konsep, dan memperhatikan kemungkinan0kemungkinan alternatif dalam
suatu cara yang bersifat kombinasi (Dahar, 2011).
Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap, yaitu
(Riati: 5):
a) Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah
keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari.
b) Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah atau
ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual.
c) Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana
informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk
memahami gejala atau masalah yang dihadapi.
1. Penerapan Model Belajar Bruner Dalam Pembelajaran IPA di SD
Dalam penerapannya dalam proses pembelajaran di kelas, Bruner
mengembangkan model pembelajaran penemuan. Model ini pada
prinsipnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh
informasi sendiri dengan bantuan guru dan biasanya menggunakan barang
yang nyata. Peranan guru dalam pembelajaran ini bukanlah sebagai
seorang
pemberi
informasi
melainkan
seorang
penuntun
untuk
mendapatkan informasi (Riati: 6).
2. Cara pembelajaran IPA di SD berdasarkan model Bruner
Guru harus mempunyai cara yang baik untuk tidak secara lansung
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh siswa. Model pembelajaran
ini mempunyai banyak manfaat, antara lain (Mad, 2013):
a. Pembelajar (Siswa) akan mudah mengingat materi pembelajaran
apabila informasi tersebut didapatkan sendiri, bukan merupakan
informasi perolehan.
b. Apabila pembelajar telah memperoleh informasi, maka dia akan
mengingat lebih lama.
Jadi dalam proses mengajar menurut Bruner adanya pendekatan
spiral atau lebih dikenal dengan a spiral curriculum, yaitu mengurutkan
materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi secara umum kemudian
secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan
yang lebih rinci, dengan memperhatikan tahapan perkembangan kognitif
seseorang (enaktif, ikonik, dan simbolik) (Mad, 2013).
3. Peran Guru
Langkah guru sebagai fasilitator pembelajaran dalam belajar penemuan
adalah:
a. Guru merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu
terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa
b. Guru menyajikan materi pelajaran yang diperlukkan sebagai dasar bagi para
siswa untuk memecahkan masalah. Guru hendaknya memulai dengan sesuatu
yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukan sesuatu
yang berlawanan. Dengan demikian terjadi konflik dengan pengalaman
siswa. Akibatnya timbullah masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang
berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian yang merangsang para siswa
untuk menyelidiki masalah itu, menyusun hipotesis, dan mencoba
menemukan konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah itu.
c. Guru harus menyajikan dengan cara enaktif, ikonik dan simbolik. Enaktif
adalah melalui tindakan atau dengan kata lain belajar sambil melakukan
(learning by doing). Ikonik adalah didasarkan atas pikiran internal.
Pengetahuan disajikan melalui gambar-gambar yang mewakili suatu konsep.
Simbolik adalah menggunakan kata-kata atau bahasa-bahasa.
d. Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru
hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya
jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan
dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan.
Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu
yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara
demikian rupa, hingga siswa tidak tetap begantung pada pertolongan guru.
Akhirya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
e. Menilaia hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan.
Secara garis besar tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasigeneralisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu (Dahar,
2011: 83-84).
Di lapangan, penilaian hasil belajar penemuan meliputi pemehaman tentang
prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi dan kemampuan siswa untuk
menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk tes
berupa tes objektif atau tes esai (Dahar, 2011: 84).
4. Alasan
Teori Bruner ini dapat kita aplikasikan dalam melaksanakan pembelajaran
IPA di SD. Hal tersebut karena pada dasarnya teori ini merupakan teori yang
dapat mendorong siswa untuk memperoleh pengetahuan/ materi ajar dengan cara
penemuan sendiri. Hal tersebut sangat baik bagi perkembangan intelektual siswa,
karena dengan begitu siswa akan lebih memahami pengetahuan yang didapatkan
berdasarkan pengalaman yang dilakukannya. Sehingga pembelajaran menjadi
lebih bermakna bagi siswa karena memang siswa sendirilah yang menemukan
jawaban dari permasalahan yang ia dapatkan itu.
Teori belajar Bruner ini mendorong siswa untuk aktif dalam memecahkan
suatu masalah. Siswa tentunya dalam menemukan suatu jawaban dari
permasalahan terlebih dahulu mendapat informasi dari guru mengenai contohcontoh/ non contoh, konsep-konsep dari suatu materi, dan merangsang siswa
dengan suatu pertanyaan mengenai suatu hal/ fenomena alam untuk mereka
jawab. Guru dalam merangsang dan menyajikan materi/ informasi mengenai
suatu masalah dapat dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu tahap enaktif, ikonik,
dan simbolik. Dengan menyajikan berdasarkan tahapan-tahapan tersebut, siswa
akan lebih mudah dalam memahami suatu materi karena guru memberikan
informasi secara berurut dari yang umum ke yang khusus.
Daftar Pustaka
Dahar, R.W. (2011). Teori-teori belajar & pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Ibda, Fatimah. (2015). Perkembangan kognitif: teori Jean Piaget. Intelektualita, 3 (1),
hlm. 32.
Mad, Salman. (2013). Teori belajar bruner. [Online]. Diakses dari
http://madsalman.blogspot.co.id/2013/09/teori-belajar-bruner.html.
Riati, Mimis. Teori belajar dalam pembelajaran IPA SD. [Online]. Diakses dari
https://www.academia.edu/11769485/teori_belajar_ipa_SD.
Ridek, Sunandar. (2015). Landasan teori pembelajaran ipa. [Online]. Diakses dari
http://nandaridek.blogspot.co.id/2015/03/landasan-teori-pembelajaran-ipa.html.
Smith, Mark K, dkk. (2009). Teori pembelajaran & pengajaran. Jogjakarta: Mirza Media
Pustaka.