Tahap Perkembangan Moral Perspektif Bara

PERKEMBANGAN MORAL
(PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM )

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Perkembangan Peserta Didik Pendidikan Dasar
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si

Disusun oleh :
Munari, S.Pd.I
NIM : 12020160006

PROGRAM PASCASARJANA
ILMU PENDIDIKAN DASAR ISLAM
IAIN SALATIGA
1

BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini bangsa kita sedang terpuruk mengalami banyak krisis, lebih tepatnya krisis
multidimensional. Salah satu sektor yang sangat memerlukan penanganan khusus adalah krisis

moral, maka sudah seharusnya pendidikan sebagai agent of change mengambil peranan utama
yang berdiri di garda terdepan sebagai benteng moral bangsa. Menurut Ki Hajar Dewantara,
pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak.
Di dalam Bab II Pasal 3 UU Sisdiknas 2003 juga dituliskan bahwa “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya pendidikan moral dan pembangunan karakter
bangsa. Pendidikan moral merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita.
Untuk itu dunia pendidikan harus mampu menjadi motor penggerak untuk memfasilitasi
pembangunan moral bangsa, sehingga setiap peserta didik mempunyai kesadaran kehidupan
berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendisendi NKRI dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Faktanya meskipun pendidikan karakter dan moral menjadi prioritas utama pendidikan
bangsa kita, tetapi rupanya belum membuahkan hasil yang memuaskan. Terbukti berdasarkan
hasil survei yang dihimpun oleh BPS (Badan Pusat Statistik) justru kenakalan remaja
mengalami kenaikan sepanjang tahun.
Berikut adalah data peningkatan kenakalan remaja dari tahun ketahun diambil dari Badan

Pusat Statistik (BPS), Pada tahun 2013 angka kenakalan remaja di Indonesia mencapai 6325
kasus, sedangkan pada tahun 2014 jumlahnya mencapai 7007 kasus dan pada tahun 2015
mencapai 7762 kasus. Tahun 2016 mencapai 8597,97 kasus, dan diprediksi tahun 2017 sebesar
9523.97 kasus. Berdasarkan data diatas maka kenakalan remaja mengalami kenaikan rata-rata
tiap tahunnya sebesar 10,7% (Lulu Putri: 2016, hal. 2). Sungguh bukan angka yang kecil.

1

Dari uraian diatas memunculkan berbagai pertanyaan; bagaimana menanamkan moral pada
peserta didik agar tindak perbuatan amoral semakin menurun? Bagaimana tahapan-tahapan
dalam perkembangan moral peserta didik?
Maka menurut hemat penulis, untuk mampu menjawab dua pertanyaan tadi diatas maka
pemahaman kita sebagai pendidik akan urgensi tahapan-tahapan perkembangan sangat perlu
untuk dipahami, agar dalam implementasinya kita tidak melenceng dari koridor dan kaidah
dasar dalam pendidikan moral. Sehingga sesuai harapan kita bersama pendidikan mampu
menanamkan moral dan mampu melaksanakanya secara tepat guna.
Penulis berharap makalah sederhana ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai
tahapan-tahapan perkembangan moral. Semoga bermanfaat

2


BAB II
PERKEMBANGAN MORAL
A.

Pengertian Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan kemampuan

seseorang untuk mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan, kesadaran untuk melakukan
perbuatan baik, kebiasaan melakukan baik, dan rasa cinta terhadap perbuatan baik. Moral
berkembang sesuai sendiri berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat, atau kelakuan.
Selanjutnya. Salam mengartikan moral sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan
(Masganti Sit: 2012, hal. 142)
Secara terminologi perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin ‘mores’ yang
merupakan bentuk jamak dari perkataan ‘mos’ yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (daring, ed.III) adalah penentuan baik buruk terhadap
perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas
suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau
tidak layak, patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai (1) prinsip
hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. (2) kemampuan untuk

memahami perbedaan benar dan salah. (3) ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang
baik.
Pendidikan moral sebagai bagian dari pendidikan nilai di sekolah, adalah upaya untuk
membantu subyek didik mengenal , menyadai pentingnya, dan menghayati nilai-nilai moral
yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan perilakunya sebagai manusia, baik secara
perorangan maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat.
Menurut Piaget (Inggridwati; 2008, h.3-21), hakikat moralitas adalah kecenderungan
menerima dan menaati sistem peraturan. Sedangkan, menurut Kohlberg (Inggridwati; 2008,
h.3-22) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tetapi
sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral
merupakan proses internalisasi nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan
kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang

berlaku dalam

kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang
baik/buruk atau benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral mengenai bagaimana
cara pengetahuan moral itu dipraktekan.

3


Disamping perilaku moral, ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai
dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang
adanya perasaan wajib menyesuaikan diri; serta perilaku amoral atau nonmoral yaitu perilaku
yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidakacuhan atau pelanggaran terhadap
standar kelompok sosial.
B.

Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Sebagai seorang pendidik atau calon pendidik terutama di lembaga pendidikan dasar

(SD/MI) sudah seharusnya kita mengetahui dan memahami tahap-tahap perkembangan moral
peserta didik. Agar pembahasan tidak meluas maka penulis kerucutkan pembahasan pada
perkembangan moral peserta didik. Para ahli berbeda dalam men-klasifikasikan tahapantahapan dalam perkembangan moral, meskipun diantaranya memiliki titik persamaan dan
perbedaan, penulis uraikan pendapat para ahli sebagai berikut :
1.

Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget
Menurut Piaget, dalam pengamatan dan wawancaranya pada anak usia 4-12 tahun


menyimpulkan bahwa anak melewati dua tahap yang berbeda dalam cara berpikir tentang
moralitas yaitu:
a.

Tahap Moralitas Heterogen
Anak usia 4-7 tahun menunjukkan moralitas heterogen, yaitu tahap pertama dari

perkembangan moral. Anak berpikir bahwa keadilan dan peraturan adalah perangkat dunia
yang tidak bisa diubah dan dikontrol oleh orang (absolut). Anak berpikir bahwa peraturan
dibuat oleh orang dewasa dan terdapat pembatasan-pembatasan dalam bertingkah laku. Pada
masa ini anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan konsekuensinya,
bukan niat dari orang yang melakukan. Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau
diturunkan oleh sebuah otoritas yang berkuasa (Masganti Sit: 2012, hal. 149).
Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak membuat peraturan sendiri, melainkan dibuatkan
aturan oleh orang dewasa. Dalam tahapan ini seyogianya orang dewasa perlu memberikan
kesempatan pada anak untuk membuat peraturan, agar anak menyadari bahwa peraturan
berasal dari kesepakatan dan dapat diubah.
b.

Tahap Moralitas Otonomi

Usia 7 – 10 tahun, anak berada dalam masa transisi dan menunjukkan sebagian ciri-ciri

dari tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua yaitu moralitas
otonom. Anak mulai sadar bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia (realistis), dan

4

ketika menilai sebuah perbuatan, anak akan mempertimbangkan niat dan konsekuensinya
(subjektif). Moralitas akan muncul dengan adanya kerjasama atau hubungan timbal balik antara
anak dengan lingkungan dimana anak berada (Masganti Sit: 2012, hal. 150).
Pada masa ini anak percaya bahwa ketika mereka melakukan pelanggaran, maka otomatis akan
mendapatkan hukumannnya. Hal ini seringkali membuat anak merasa khawatir dan takut
berbuat salah. Namun, ketika anak mulai berpikir secara heteronom (ketergantungan dengan
peraturan yang dibuat) , anak mulai menyadari bahwa hukuman terjadi apabila ada bukti dalam
melakukan pelanggaran.
Piaget meyakini bahwa dengan semakin berkembang cara berpikir anak, anak akan
semakin memahami tentang persoalan-persoalan sosial dan bentuk kerjasama yang ada didalam
lingkungan masyarakat.

2.


Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut L. Kohlberg
Lawrence Kohlberg juga menekankan bahwa cara berpikir anak tentang moral

berkembang

dalam

beberapa

tahapan

(Masganti

Sit:

2012,

hal.


151).

Kohlberg

menggambarkan 3 (tiga) tingkatan penalaran tentang moral, dan setiap tingkatannya memiliki 2
(dua) tahapan, yaitu :
a.

Moralitas Prakonvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkatan terendah dari penalaran moral, pada tingkat

ini baik dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment (hukuman)
eksternal. Pertama, Moralitas Heteronom adalah tahap pertama pada tingkatan penalaran
prakonvensional. Pada tahap ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak
berpikir bahwa mereka harus patuh dan takut terhadap hukuman. Moralitas dari suatu
tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya.
Contoh : “Bersalah” dicubit. Kakak membuat adik menangis, maka ibu memukul tangan kakak
(dalam batas-batas tertentu).
Kedua, individualisme, hedonisme. Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri
sendiri adalah benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak berpikir

apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau pertukaran yang setara. Jika ia
berbuat baik, maka orang juga harus berbuat baik terhadap dirinya, anak menyesuaikan
terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan.
Contoh : berbuat benar ia dipuji “ baik sekali”. Mampu mengerjakan perintah/intruksi dengan
benar dipuji “pintar sekali”.
5

b.

Moralitas Konvensional
Penalaran konvensioanal adalah tingkat kedua atau menengah dalam tahapan Kohlberg.

Pada tahapan ini, individu memberlakukan standar tertentu , tetapi standar ini ditetapkan oleh
orang lain, misalnya oleh orang tua atau pemerintah (orang yang memerintah).
Moralitas atas dasar persesuaian dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain
dan untuk mempertahankan hubungan baik dengan mereka.
Pertama, ekspektasi interpersonal, hubungan dengan orang lain, pada tahap ini anak
menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar penilaian
moral. Pada tahap ini, anak menyesuaiakan dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan
orang


lain

dan

untuk

mempertahankan

hubungan

baik

dengan

mereka.

Contoh adalah mengembalikan krayon ketempat semula sesudah digunakan (nilai moral =
tanggung jawab).
Kedua, moralitas norma sosial, pada tahap ini penilaian moral didasari oleh pemahaman
tentang

keteraturan

dimasyarakat,

hukum,

keadilan,

dan

kewajiban.

Seseorang yakin bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh
kelompok, maka mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan sosial agar terhindar dari
ketidakamanan dan ketidaksetujuan sosial. Contohnya adalah bersama-sama membersihkan
kelas, semua anggota kelompok wajib membawa alat kebersihan (nilai moral = gotong royong).
3.

Moralitas Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional merupakan tahapan tertinggi dalam tahapan moral

Kohlberg, pada tahap ini seseorang menyadari adanya jalur moral alternatif, dapat memberikan
pilihan, dan memutuskan bersama tentang peraturan, dan moralitas didasari pada prinsipprinsip yang diterima sendiri. Ini mengarah pada moralitas sesungguhnya, tidak perlu disuruh
karena merupakan kesadaran dari diri orang tersebut.
Pertama, hak individu, pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak, dan prinsip
lebih utama. Seseorang perlu keluwesan dalam adanya modifikasi dan perubahan standar moral
apabila itu dapat menguntungkan kelompok secara keseluruhan. Contoh pada tahun ajaran
baru sekolah memperkenankan orangtua menunggu anaknya selama lebih kurang satu minggu,
setelah itu anak harus berani ditinggal.
Kedua, prinsip universal pada tahap ini, seseorang menyesuaikan dengan standar sosial
dan cita-cita internal terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan

6

bukan untuk menghindari kecaman sosial (orang yang tetap mempertahankan moralitas tanpa
takut dari kecaman orang lain).
Contohnya adalah anak secara sadar merapikan kamar tidurnya segera setelah ia bangun tidur
dengan harapan agar kamarnya terlihat selalu dalam keadaaan rapih.
Demikian tahapan-tahapan perkembangan moral menurut Piaget dan Kohlberg. Kalo
penulis cermati teori perkembangan moral piaget dan kohlberg memilik titik persamaan yaitu;
bahwa prinsip nilai-nilai moral tidak hanya didapatkan oleh peserta didik melalui sosialisasi atau
pelajaran di sekolah, tetapi juga melalui interaksi sosial mereka dengan komunitas mereka, baik
teman, keluarga dan masyarakat disekitarnya.
C.

Moral Dalam Perspektif Islam
Islam merupakan agama yang syamil dan kamil (menyeluruh dan sempurna) memberikan

aturan dan penjelasan disegala bidang, termasuk di dalamnya adalah aturan dalam ber-etika
atau ber-moral.
Islam sebagai agama moral sudah tentu kaya akan konsep dan kaidah, baik terkait dengan
ketuhanan maupun kemanusiaan, konsep relasi yang sehat secara vertikal dan horizontal,
seperti konsep tauhid, keadilan, persamaan (equality), toleransi (tasamuh), sampai yang terkait
dengan kebersihan. Konsep-konsep ini diturunkan dan disyariatkan sebagai ajaran moral demi
terciptanya relasi yang sakral vertikal antara manusia dengan Tuhannya dan relasi harmonis,
dinamis, dan konstruktif fungsional horizontal yang duniawi antara manusia dengan manusia,
serta dengan makhluk di seluruh alam.
Dalam Islam istilah moral lebih dikenal dengan akhlak (Adian Husaini: 2016, h. 70),
meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan yang signifikan dalam substansinya, kata
akhlak berasal dari bahasa Arab “‫ ”أ َ ْخلا َق‬yang merupakan bentuk jamak dari “khuluq”. Secara
bahasa “akhlak” berarti budi pekerti, tabi’at, watak. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak
sebagai kehendak yang biasa dilakukan. Ibnu Maskawih mengemukakan bahwa akhlak adalah
perilaku jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan tanpa melalui
pertimbangan (sebelumnya). Sedangkan Al-Ghazali memberikan definisi, akhlak adalah segala
sifat yang tertanam dalam hati, yang menimbulkan kegiatan-kegiatan dengan ringan dan mudah
tanpa memerlukan pemikiran sebagai pertimbangan.
Jadi pada hakekatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang telah
meresap dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian, hingga dari situ timbul berbagai macam
perbuatan dengan cara mudah dan spontan tanpa dibuat dan tanpa memerlukan pemikiran.

7

Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari’at
dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti yang mulia dan sebaliknya apabila yang lahir
kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela.
Salah satu contoh bahwa Islam mengajarkan akhlak adalah sabda Nabi Muhammad :

ِ
ُ‫ـح ي َ ُاء‬
َ ْ ‫إ َِّن ل ُك ّ ِل دِيْنٍ ُخلُقًا َو َخل ُ ُق ا ْلإ ِْسلا َ ِم ال‬
Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu. (HR. Ibnu Majah)
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Malu itu pertanda dari iman.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang lain nabi SAW bersabda, “ Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” (Al Bukhari)
Akhlak adalah perhiasan yang paling utama karena orang mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dengan akhlak yang baik, seorang mukmin dapat
mencapai derajat seperti orang yang siang harinya selalu berpuasa dan dimalam hari selalu
shalat malam.
“Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik.”(HR.
Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
D.

Tahapan Perkembangan Moral Dalam Islam
Berbeda dengan perspektif barat, dalam Islam perkembangan dan penanaman nilai

akhlak dibagi dalam beberapa tahap;
Pertama, masa prenatal (‫ )الجنين‬dalam Islam masa prenatal sudah dihitung sebagai tahap awal
perkembangan, karena Islam menganggap bahwa janin itu hidup, aktif dan mampu menerima
stimulus, sehingga dapat ditanamkan nilai-nilai akhlak dengan cara mendoakan janin,
memberikan gizi yang baik, dibacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dlsb.
Hal ini dijelaskan Allah seperti terlihat dalam Q.S.Al-A’raaf ayat 172 :

ُْ ‫مُجُأَل َ ْس ُت بِ َربِّ ُك‬
‫مُطُقَال ُ ْوا بَل َىُج َش ِه ْدنَاُجُأ َ ْن‬
ُْ ‫ّك ِم ْن ب َنِ ْْ ادَ َم ِم ْن ُظ ُه ْو ِر ِه ْم ُذ ِّريّ َت َ ُه ْم َوأ َ ْشه َ َد ُه ْم َى ا َن ْ ُف ِس ِه‬
َ ُ‫وَاِذْ أ َ َخ َذ َرب‬
ِ
.‫يم ِة إِن َّا ُك ّن َا عَ ْن ه َذا َافِل ِي ْ َن‬
َ ‫ت َ ُق ْول ُ ْوا ي َ ْو َم الْق‬
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan ُanak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap nyawa (ruh) mereka (seraya berfirman) : “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab : “Betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan). (Q.S. Al-A’raaf : 172)
8

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwasannya ruh (nyawa) sesungguhnya memberi respon
kepada setiap stimulus yang diberikan. Dengan demikian jelas bahwa anak di dalam
kandungan sudah bisa menerima stimulus/didikan.
Kedua, Pasca lahir (‫ )الطفل‬usia 0-2 tahun, masa ini anak berada dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta,
kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan perilaku serta
agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak penanaman akhlak pada usia ini melalui bisyarah (ungkapan
kegembiraan/syukur), mengadzani ketika lahir, melakukan rutinitas positif dan mentahniq
(oleh orang soleh) dengan harapan agar anak bisa meneladani keutamaan orang soleh
tersebut.
Ketiga, masa kanak-kanak (‫ )الطفولة‬3-5 tahun, masa ini anak sudah mampu menggunakan
kemampuan kognitifnya sehingga tepat untuk menanamkan nilai-nilai tauhid kepada anak
melalui pendekatan yang merangsang anak untuk memiliki tauhid yang aktif (yang
mendorongnya untuk bergerak melakukan sesuatu yang baik menurut Allah).
Keempat, anak usia sekolah (‫ )ا ُلتميّز‬usia 6-10 tahun, fase ini anak sudah mulai mampu
membedakan baik dan buruk berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase inilah kita sudah
mulai mempertegas pendidikan akhlak dan pokok-pokok syariat. Adapun yang dimaksud
dengan usia sekolah adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta,
kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan perilaku serta
agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak. Pendidikan akhlak pada anak usia sekolah dilaksanakan dalam suatu
lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan pendidikan dan pengajaran dengan
sengaja, teratur dan terencana, yaitu di sekolah. Dan guru sebagai pelaksana dalam tugas
pembinaan, pendidikan dan pengajaran adalah orang yang telah dibekali dengan
pengetahuan tentang anak didik dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
kependidikan.
Kelima, Masa Amrad (10-15 tahun) fase ini adalah fase dimana anak mulai mengembangkan
potensi dirinya guna mencapai kedewasaan dan memiliki kemampuan bertanggung jawab
secara penuh. Dalam islam, fase ini juga merupakan fase dimana anak mencapai aqil baligh
9

sehingga sudah semakin pandai menggunakan akalnya secara penuh. Salah satu yang menjadi
tuntutan bagi anak kemudian adalah kepandaiannya dalam mengatur harta yang dimulai
dengan kemampuan mengatur anggaran untuk dirinya sendiri.
Keenam, Masa Taklif (15-18 tahun) pada masa ini anak sudah sampai pada titik bernama taklif
atau bertanggung jawab, baik kepadara pribadinya, keluarganya dan Tuhannya. Bagi lelaki
setidaknya fase ini paling lambat dicapai di usia 18 tahun dan bagi anak perempuan paling
lambat dicapai di usia 17 tahun. Tanggung jawab yang dimaksud selain pada diri sendiri juga
tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat sekitar dan masyarakat secara keseluruhan.
Sehingga pada tahap ini orang tua maupun pendidik lebih bersifat membimbing dan
mengarahkan bukan mengatur.
Secara ringkas keseluruhan tahapan di atas dapat kita lihat pada bagan di bawah ini

Bagan 1 : Tahap perkembangan anak dalam Islam

10

E.

Implementasi Pendidikan Moral di Sekolah Dasar
Setelah kita mempelajari dan memahami tahap perkembangan moral pada anak maka

langkah yang dapat kita lakukan sebagai pendidik adalah sebagai berikut :
1)

Memahami bahwa perkembangan moral berlangsung secara bertahap, sehingga
hendaknya seorang pendidik menanamkan nilai-nilai moral sesuai tahapanya, dimulai
dengan nilai-nilai yang konkrit berlanjut ke konsep abstrak.

2)

Lakukanlah penanaman nilai moral melalui pembelajaran yang menyenangkan, aktif
dan kreatif karena tahap perkembangan usia SD/MI adalah masa aktifnya anak,
sehingga anak tidak mudah bosan.

3)

Mulailah menanamkan nilai-nilai moral dengan yang asas terlebih dahulu, seperti
akhlak kepada tuhan-nya, keluarganya, kejujuran, disiplin, bertanggung jawab, adil,
kasih sayang, dll.

4)

Bekerja samalah dengan orangtua (co parenting) orang tua murid harus menjadi partner
dalam membentuk moral anak, bahkan mempunyai peran utama. Sekolah yang
menjalankan pendidikan moral harus mempunyai rencana yang jelas tentang kegiatan
yang dapat dilakukan bersama orang tua murid agar pembentukan karakter anak dapat
terwujud.

11

BAB III
PENUTUP
Analisis
Setelah kita pelajari berbagai teori di atas maka ada beberapa perbedaan dalam teori
perkembangan moral oleh Piaget, Kohlberg, dan pandangan Islam. Dalam buku The
Psychology of Moral Development, Lawrence Kohlberg menyimpulkan terhadap hasil
penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar
belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi
agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang. Teori yang
dihasilkan dari penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga)
tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya
moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk
setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip
keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian
diterapkan dalam proses pendidikan moral.
Teori Kohlberg tentang perkembangan penalaran moral lebih spesifik dan lebih
kompleks daripada Piaget. Teori Kohlberg memungkinkan kita memperoleh pengertian yang
lebih luas dan lebih kaya tentang hakekat perkembangan penalaran moral dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Teori Kolhberg lebih banyak membahas tentang penalaran terhadap
masalah-masalah sosial khususnya mengenai perkembangan penalaran moral, sedangkan
Piaget lebih banyak membahas tentang perkembangan penalaran terhadap masalah-masalah
fisik dan logika. Piaget menggambarkan proses dua-tahap perkembangan moral, sedangkan
teori perkembangan moral Kohlberg digariskan enam tahap dalam waktu tiga tingkat yang
berbeda. Kohlberg memperluas teori Piaget, mengusulkan bahwa pengembangan moral
adalah proses berkesinambungan yang terjadi selama kehidupan. Teori Islam membahas
pentingnya altruisme atau sikap tidak mementingkan diri sendiri, menyuruh kita menekan
agresivitas, dan bersikap adil terhadap sesama sesuai dengan apa yang tercantum di Al-Qur’an
dan Al-Hadis.
Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi
suci (fitrah), qalbu, ruh, akal yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh
dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku, sebagaimana yang ada dalam
perspektif Islam. Kohlberg lebih menitikberatkan pada interaksi sosial dan perkembangan
12

kognitif seseorang. Ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan
pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian. Sementara potensi fitrah
merupakan konsep keagamaan yang dianggap tidak empirik karena di dalamnya memuat
keyakinan tentang struktur jiwa manusia, seperti ruh, akal, qalb dan nafs (jiwa).
Kohlberg dan Piaget lebih memandang manusia dari kaca mata empiristik. Sedangkan
dalam perspektif Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki potensi fitrah
dimana terdapat daya-daya yang dapat memunculkan sebuah sikap dan perilaku yang tidak
lepas dari stimulus dari luar.
Teori Kohlberg dan Piaget tidak bisa menjawab persoalan mengapa moral anak muda
pada masa sekarang dinilai bobrok dan sangat mengkhawatirkan. Islam mempunyai jawaban
untuk semua hal tersebut. Jawaban yang paling mendasar adalah tidak adanya keimanan.
Dalam teori ini tidak berangkat dari apa yang menjadi inti dari kebutuhan dan keperluan
manusia. Dasar yang dipakai adalah moral berdasarkan penstrukturan kognitif, namun hal
yang paling penting adalah keimanan yang menjadi dasar kehidupan manusia. Tinggi
rendahnya moral seseorang dilihat dari sikap dan perilaku dia menghadapi dilema atau
masalah yang dihadapi. Dalam Islam keimanan sangat menentukan pada perilaku dan sifat
seseorang. Jika keimanannya tinggi maka perilakunya akan baik dan moralnya pun akan
tinggi. Namun jika moralnya rendah maka dapat dipastikan perilaku dan moralnya pun akan
rendah. Keimanan juga yang menentukan kebersihan atau kekotoran hati.
Wallahu A’lam Bishowab

13

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Sulaiman. Panduan Mendidik Anak Usia Pra Sekolah. Terjemahan A. Amin Sjihab.
Jakarta: Darul Haq, 2016.
Ahmad, Sulaiman. Panduan Mendidik Anak Usia Sekolah. Terjemahan A. Amin Sjihab. Jakarta:
Darul Haq, 2016.
Andi, AG, “Membentuk Karakter Melalui Pendidikan Moral Pada Anak Usia Dini Di
Sekolah Raudhatul Athfal (R.A) Habibillah”, Jurnal Ilmiah WIDYA, Volume 1 Nomor 2 JuliAgustus 2013.
Baharuddin & Nur Wahyuni, E. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2015.
Bahraen, Raehanul. Psikologi Islam Yang Sempurna. Bekasi: Rumah Ilmu, 2016.
Fatimah, Ibda, “Perkembangan Moral Pada Anak Dan Relevansinya Dengan Pendidikan”,
Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2011 VOL. XI NO. 2, 380-391.
Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Husaini, Adian. Pendidikan Berbasis Adab. Depok: Attaqwa Press, 2016.
Inggridwati, K., dkk. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Dirjen Dikti, 2008.
Iredho, F.R, “Hubungan Antara Religiusitas Dengan Moralitas Pada Remaja Di Madrasah
Aliyah”, Humanitas, Vol. X No.2 Agustus 2013.
Lulu, Putri, “Kenakalan dan Degradasi Remaja”, Lomba Esai Nasional Pendidikan
Nonformal, 2016.
Masganti, Sit, Perkembangan Peserta Didik. Medan: Perdana Publishing, 2012.
Muhammad, Yusuf. Pendidikan Anak Dalam Islam. Terjemahan M. Yusuf Harun. Jakarta:
Darul Haq, 2014.
Niam Sholeh, Asrorun. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: eLSAS, 2006.

14

Rachman Shaleh, Abdul. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Ramayulis. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Wan Daud, Wan Mohd. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Bandung: Mizan, 2006.
http://www.aniszaqiyatun.wordpress.com diakses tanggal 02 Maret 2017
http://www.parenting.co.id dikases tanggal 03 Maret 2017 pukul 20.15
http://www.pengertianpakar.com diakses tanggal 03 Maret 2017 pukul 20.13
http://www.pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ diakses tanggal 02 Maret 2017

15