Rida dan Maqam lainnya Fakultas Sains da

Rida dan Maqam lainnya
DISUSUN:
AHMAD RIFAI
NIM : 0705163025
Dosen Pengampu :
Dr. Jafar, MA

Fakultas Sains dan Teknologi
UIN SUMATERA UTARA
FISIKA-1
T.A 2017/2018

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah melalui maqam tawakal dan cinta, maka untuk menjadi
seorang sufi maqam yang harus dilalui selanjutnya adalah maqam rida.
Yang merupakan maqam terakhir yang dipercayai oleh para sufi sebab
telah dijelaskan pada mazhab-mazhab sebelumnya. Tetapi terdapat sufi
yang berpendapat terdapat maqam lainnya selain maqam rida yaitu
seperti makrifat(al-ma’rifah). Hal tersebut bisa terjadi karna semua nya

tergantung pada diri sendiri tiap sufi dan yang dirasakannya. Karena
perasaan dan hal yang dirasakan tiap sufi/orang berbeda. Hingga
terjadilah perbedaan seperti itu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan rida(al-ridha)?
2. Apa saja yang termasuk kedalam maqam lainnya ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami yang dimaksud dari rida
2. Untuk memahami jenis dari maqam lainnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rida(al-ridha)
Dalam kamus bahasa Indonesia rida adalah “rela,suka,senang
hati,perkenan,dan rahmat”. Kata rida dalam berbagai bentuk disebut

dalam Al-quran sebanyak 73 kali. Kata rida disebut berulang kali dalam Alquran dengan bentuk-bentuk kata seperti radhiya sebanyak 6 kali, radhitu
sebanyak 1 kali,radhitum sebanyak 2 kali, radhu sebanyak 9 kali, tardha
sebanyak 4 kali, tardhahu sebanyak 2 kali, tardhana sebanyak 1 kali,
tardhau sebanyak 2 kali, tardhauna sebanyak 1 kali, tardhaunaha
sebanyak 1 kali, yardhaunahu sebanyak 1 kali, liyardhauhu sebanyak 1

kali,

yardhaina

sebanyak

1

kali,

yardhukum

sebanyak

1

kali,

yardhunakum sebanyak 1 kali, yardhuhu sebanyak 1 kali, taradhu
sebanyak 1 kali, taradhaitum sebanyak 1 kali, artadha sebanyak 3 kali,

taradhi sebanyak 2 kali, radhiyah sebanyak 4 kali, radhiyan sebanyak 1
kali, ridhwan sebanyak 8 kali, ridhawanan sebanyak 2 kali, ridhawanah
sebanyak 2 kali, mardhiyan sebanyak 1 kali, mardhiyah sebanyak 1 kali,
mardhat sebanyak 4 kali, dan mardhati sebanyak 1 kali. Penyebutan
istilah rida secara berulang kali dan dalam berbagai bentuk

dalam Al-

quran mengarahkan kepada kesimpulan bahwa islam menilai penting
maqam rida.
Menurut Al-Ghazali, islam menilai penting rida yang dapat dilihat
dari berbagai dalil dalam Al-quran, hadist, dan atsar. Diantar dalil rida
adalah Q.S. Al-Maidah:119, dan Q.S. Al-Bayinah:8.Rida menurut Al-Junaid
adalah meninggalkan usaha. Menurut Dzu an-nun al-Mishri, rida itu adalah
senangnya hati dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan.
Secara harfiah ridha artinya rela,senang,atau suka. Harun Nasution
mengatakan ridha berarti tidak berusaha untuk menetang qadha dan
qadhar Tuhan. Menerima qadha dan qadhar dengan hati yang senang.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya
hanya perasaan senang dan gembira. Mereka senang malapetaka

sebagaimana senang menerima nikmat. Tidak meminta surge dari dan
tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum datangnya
qadha dan qadhar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qadha
dan qadhar, malahan perasaan cinta bergelora diwaktu turunnya cobaan
yang berat.
Pengertian rida ini merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal
sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang

menerima segala situasi dan kondisi. Ia mengandung makna menerima
dengan lapang dada dan hati yang terbuka terhadap apa saja yang
datang dari Allah, baik dalam menerima serta dalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah
nasib dirinya. Suka dan duka diterima dengan gembira, sebab appun yang
datang itu adalah ketentuan Allah yang Maha Kuasa. Sikap mmental
seperti

ini

tumbuh


melalui

usaha

demi

usaha,

perjuangan

demi

perjuangan mengikis habis segala perasaan gundah dan benci sehingga
yang tinggal dalam hatinya hanya perasaan senang dan bahagia. Apapun
yang datang dan pergi ia tetap bahagia.
Harist al-Muhasibi berkata, “rida adalah tenangnya hati atas
berlakunya hukum.” Al-Nuri berkata. “rida adalah senangnya hati karena
menerima keputusan pahit.” Menurut Nashr al-dhin al-Thusi, rida adalah
“tidak merasa kecewa, baik secara lahiriah maupun batiniah, dan baik
hati, perkataan maupun perbuatan atas segala yag terjadi dalam diri

hamba, dengan harapan Allah akan membebaskannya dari murka dan
hukuman –Nya. Menurut Ibn Qayyin al-Jauziyah, rida memiliki dua derajat:
rida kepada Allah sebagai rabb membenci ibadah kepada selain-Nya; dan
rida terhadap qadha dan qadhar Allah. Menurut Ibn Qudamah, makna rida
adalah seorang hamba menyadari bahwa pengaturan Allah jauh lebih baik
dari pengaturan manusia, dan rida atas penderitaan, karena dibalik
penderitaan ada pahala apalagi penderitaan itu berasal dari Allah sebagai
Kekasih-Nya.1[1]
B. Al-Maqam lainnya
Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida,
seorang salik masih dapat mencapai maqam seperti makrifat(al-ma’rifah),
dan

menegaskan

bahwa

rida

bukan


maqam

tertinggi.

Al-Kalabazi

mengatakan bahwa sebagian sufi membagi ma’rifah menjadi dua, yakni
al-ma’rifah haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat-sifat yang
dikemukakannya, dan ma’rifah haqiqa yang bermakna makrifat yang tidak
bisa dicapai dengan saran apapun, sebab sifat-Nya tidak dapat ditembus
1

dan ketuhanan-Nya tidak dapat dipahami. Menurutnya ma’rifat bermakna
“hati(al-Sir) menyaksikan kekuasaan Allah swt dan merasakan besarnya
kebenaran-Nya dan mulianya kehebatan-Nya yang tidak bisa diungkap
dengan ibarat apapun.” Al-Quraisy menjelaskan bahwa maksud para sufi
dari istilahh Ma’rifah adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah
swt dengan nama dan sifat-Nya, dan membenarkan Allah swt dengan
melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan…[makrifat adalah]

pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah swt, tidak menyaksikan
selain menyaksikan-Nya, dan tidak kemballi kepada selain-Nya.” Nashr alDin al-Thusi

menjelaskan bahwa

makrifat adalah

derajat

tertinggi

pengetahuan tentang Allah swt dan pengetahuan tentang-Nya memiliki
beberapa tingkatan.
Sebagian sufi lain mengahdirkan ajaran lain tentang al-maqam tertinggi.
Al-Hallaj mengenalkan paham al-hulul, Abu Yazid al-Bistami memiliki
ajaran tentang al-ittihad, dan Ibn Arabi mengajarkan paham wahdah alwujud yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla Shadra.2[2]

2[1] M. Iqbal Irham. Membangun moral bangsa melalui akhlak tasawuf. Ciputat : Pustaka al-

Ihsan. 2013. Hal . 141

[2] JA’FAR. Gerbang Tasawuf:dimensi teoritis dan praktis ajaran kaum sufi. Medan:
Perdana Publishing. 2016. Hal.84

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian rida ini merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal
sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang
menerima segala situasi dan kondisi. Ia mengandung makna menerima
dengan lapang dada dan hati yang terbuka terhadap apa saja yang
datang dari Allah, baik dalam menerima serta dalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah
nasib dirinya. Suka dan duka diterima dengan gembira, sebab appun yang
datang itu adalah ketentuan Allah yang Maha Kuasa. Sikap mmental
seperti

ini

tumbuh


melalui

usaha

demi

usaha,

perjuangan

demi

perjuangan mengikis habis segala perasaan gundah dan benci sehingga
yang tinggal dalam hatinya hanya perasaan senang dan bahagia. Apapun
yang datang dan pergi ia tetap bahagia.
Selain maqam rida yang merupakan maqam tertinggi sufi lainnya
menganggap ada maqam lain seperti ma’rifat, al-hulul,al-ittihad, dan
wahdah al-wujud.
DAFTAR PUSTAKA
JA’FAR. Gerbang Tasawuf. 2016 .Medan: Perdana Publishing.


Irham,

Iqbal

.Membangun

moral

2013.Ciputat : Pustaka al-Ihsan

bangsa

melalui

akhlak

tasawuf.