Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak

Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak di Indonesia: Suatu Catatan
Konseptual Teoritis dan Implementasi
Maria R.U.D. Tambunan
1. Pendahuluan
Sejak zaman dahulu, ada kecenderungan bahwa masyarakat dengan sukarela
menyerahkan sebagian dari haknya kepada suatu wadah yang akan mengurus kepentingan
bersama. Seperti yang difiksikan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dalam teorinya Le
Contract Social, para penduduk ini pada kemudian melakukan “perjanjian masyarakat”
kepada suatu wadah yang dikenal sebagai l’etat, staat, state atau negara. Wadah ini memiliki
unsur-unsur: daerah, rakyat, pemerintah dan kedaulatan. Dengan demikian, eksistensi negaranegara di dunia akan ada yang diikuti dengan eksistensi pemerintahan.
Mengulas fungsi pemerintah, secara umum, fungsi pemerintah dalam suatu negara
terdiri dari fungsi melaksanakan penertiban (law and order), fungsi melaksanakan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, fungsi pertahanan dan fungsi menegakkan keadilan
melalui berbagai badan peradilan. Tentu, untuk menjalankan fungsinya pemerintah
membutuhkan adanya dana, daya & sumber alam serta keahlian dari penduduknya. Ketika
pemerintah menyediakan fasilitas umum kepada penduduknya dan penduduknya diberikan
hak untuk menikmati, maka sudah sepantasnya penduduk memberikan kontribusi kepada
pemerintah sebagai biaya penggantian (Nurmantu, 2005). Pemformalan bentuk kontribusi
dari rakyat kepada pemerintah diwujudkan melalui pemungutan pajak.
Sebagai suatu beban, pada awalnya eksistensi pajak menimbulkan pro dan kontra.
Mengutip silang pendapat dari para Hakim Agung Amerika Serikat seperti John Marshal

(1755-1835) mengatakan bahwa “ the power to tax is the power to destroy”, dimana pajak
dianggap sebagai suatu hal yang menghancurkan. Sementara Oliver Wendell Holmes Jr
(1841-1935) mengatakan bahwa “taxes are the price we pay for civilization”. Pendapat lain
diluar ruang lingkup pro kontra seperti yang dikemukakan oleh Jean Baptiste Colbert dari
Perancis ketika membantu menjalankan pemerintahan pada masa Raja Louis XIV
mengatakan bahwa “the art of taxation is the art of plucking the goose so as to get the largest
possible amount of feathers with the least possible squealing”. Artinya, seni memungut dan
mengenakan pajak adalah seni untuk mencabut bulu angsa sebanyak-banyaknya dengan
teriakan angsa yang sekecil-kecilnya.
Sejak pemerintah menyadari kenyataan bahwa penerimaan negara dari sumber daya
alam tidak lagi cukup menjanjikan, pajak mulai dilirik sebagai potensi yang menjadi sumber
penerimaan utama dalam menjalankan roda pemerintahan dan sumber dana pembangunan.
Dalam upaya menggali potensi penerimaan pajak, dilakukan reformasi 1983. Penggalian
potensi mulai dilakukan dengan membentuk perangkat peraturan pajak, penguatan institusi

1

birokrasi perpajakan termasuk pendalaman atas ilmu perpajakan termasuk perumusan
pendefinisian ulang pengertian dasar perpajakan.
Selain pajak, sebagai suatu organisasi besar yang memiliki unsur fisik dan non fisik,

negara memiliki kekayaan serta memberikan berbagai pelayanan. Atas kepemilikan tersebut
dan pelayanan yang diberikan, negara akan memperoleh penerimaan lainnya diluar
penerimaan pajak, atau yang dalam implementasinya di Indonesia disebut Penerimaan
Negara Bukan Pajak. Adanya ketentuan mengenai pemungutan oleh negara atau penerimaan
negara bukan dari sektor perpajakan merupakan konsep baru dalam perjalanan struktur
keuangan negara di Indonesia. Dalam perkembangannya, penerimaan bukan pajak juga turut
menopang penerimaan negara bahkan cukup potensial memberikan tambahan penerimaan
dalam jangka panjang seperti pajak. Artikel ini akan membahas sisi konseptual teoritis pajak
serta pergeseran paradigma terkini, konseptual teoritis mengenai pungutan negara yang bukan
berupa pajak serta implementasi pungutan negara yang merupakan penerimaan negara bukan
pajak di Indonesia.
2. Pajak dalam Konseptual Teoritis serta Pelaksanaannya di Indonesia
Prof. P.J. Andriani merumuskan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan), yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan. Tidak dipungkiri, hal demikian menunjukkan tone
adanya ketidaksimetrisan hubungan antara negara dan pembayar pajak. Pendefinisian ini
dikenal dengan paradigma klasik pemungutan pajak, yang menekankan kepada superioritas
negara atas sumber daya yang dimiliki oleh masyarakatnya, sehingga dalam pemungutannya

pajak memiliki unsur-unsur berikut: (i) berupa iuran atau pungutan (ii) dipungut atas
ketentuan yang disahkan oleh undang-undang (iii) pajak dapat dipaksakan (iv) tidak
memperoleh kontraprestasi (v) untuk membiayai pengeluaran umum. Dengan perumusan
yang demikian, maka pajak berfungsi sebagai instrumen anggaran (budgetair), fungsi
mengatur (regulerend), fungsi stabilitas dan fungsi redistribusi pendapatan.
Terkait pemungutan pajak yang adil, terdapat beberapa perspektif yang cukup populer
di kalangan para scholar. Adam Smith memperkenalkan asas bahwa pemungutan pajak harus
memperhatikan prinsip keadilan (equity), kepastian hukum (legal certainty), kenyamanan
(convenience) dan efisiensi. Namun, sebelum sampai ketitik ini, prinsip keadilan pemungutan
pajak, oleh Thomas Aquinas menawarkan prinsip ability-to-pay. Artinya, pemungutan pajak
tidak semata-mata mengatur berapa jumlah uang yang harus dibayarkan seseorang kepada
negara, melainkan harus sebanding dengan kemampuan membayarnya. Selain pemikiran
tersebut, prinsip mengenai benefit-received juga cukup dikena, dimana pembayaran pajak
memiliki korelasi dengan manfaat yang diterima oleh masyarakat yang membayar pajak
2

Dalam perkembangannya, sebagai sebuah negara demokrasi, gagasan demokratisasi
perpajakan semakin penting untuk dikembangkan terutama ketika hubungan antara
pemerintah dan masyarakat diharapkan semakin simetris. Demokratisasi perpajakan, oleh
para pengamat perpajakan mulai didefinisikan ulang, meskipun pada akhirnya sesuai

fungsinya, dimuarakan sebagai instrument biaya operasional dan pembangunan negara. Pajak
didefinisikan ulang sebagai bentuk dari saham politik rakyat atas negara sehingga rakyat
memiliki hak-hak istimewa dalam setiap proses politik untuk menentukan kebijakan negara
(Rosdiana, 2012).
Dalam merumuskan ulang gagasan perpajakan perlu mempertimbangkan hal-hal
berikut: (i) dalam pemungutan pajak, pelaksanaannya tidak selayaknya memfokuskan pada
pemaksaan karena prinsipnya pajak merupakan wujud kesadaran masyarakat dalam
memberikan kontribusi kepada negara (ii) model pemungutan pajak tidak mengutamakan
pemaksaan agar pendefinisian pajak menjadi lebih netral dan tidak berkonotasi negatif,
terutama untuk membedakan antara negara merdeka dan negara yang masih terjajah yang
harus membayar pajak kepada negara yang menjajahnya (iii) pajak harus dikembalikan ke
masyakarat, sehingga seharusnya hasil penerimaan pajak tidak digunakan semata-mata untuk
membayar hutang atau menutup defisit anggaran (vi) pajak memiliki pengukuran manfaat
yang diterima masyakat, setidaknya adanya transparansi pemerintah menunjukkan bahwa
hasil pajak digunakan untuk membangun infrastruktur, subsidi pendidikan, pelayanan dan
investasi publik lainnya.
Saat ini, pelaksanaan pemungutan pajak dalam UU KUP Indonesia memiliki corak (i)
pemungutan pajak merupakan partisipasi publik untuk pembiayaan negara dalam kerangka
pembangunan nasional, (ii) masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan
pajaknya dalam kerangka self assessment, dimana pemerintah melalui otoritas pajak memiliki

tanggung jawab untuk melakukan pembinaan, pembimbingan dan pengawasan (iii) adanya
kepastian hukum sebagai roh dari reformasi perpajakan di Indonesia.
Pada kenyataannya, dalam beberapa dekade perjalanan reformasi Indonesia, masih
dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tantangan tersebut berupa (i) kebutuhan negara akan
penerimaan pajak semakin tinggi, dengan semakin tidak mampunya negara bergantung
kepada Sumber Daya Alam sementara tax ratio Indonesia tidak meningkat dengan signifikan,
yaitu diangka 12,2%, (ii) struktur penerimaan pajak Indonesia masih di dominasi oleh
penerimaan dari PPN dan PPh Badan, dimana hal tersebut belum mencerminkan pelaksanaan
ability-to-pay secara utuh, penerimaan dari PPh Orang Pribadi tidak cukup signifikan dengan
potensi yang ada, (iii) jumlah wajib pajak Indonesia masih mencapai sekitar 30 juta orang,
yang sebagaian besar di dominasi oleh karwayan yang pajaknya telah dipotong oleh pemberi
kerja, (iv) masih tingginya jumlah underground economy yang masih belum tercatat dalam
sistem administrasi perpajakan Indonesia dan (v) masih rendahnya kapasitas otoritas pajak
dalam menjalankan fungsinya sebagai pembimbing, pembina, pelayan selain harus
3

diperhadapkan dengan globalisasi dengan dinamika ekonomi yang demikian dinamis dan
berkembang dengan sangat cepat (ADB, 2014).

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP): Konseptual Teoritis serta Aplikasi di

Indonesia
Das Gupta (2015) menyebutkan bahwa non-tax revenue dapat didefinisikan sebagai,"
revenue that is either requited or voluntary or both". Dalam aspek requited voluntary,
terdapat makna bahwa penerimaan tersebut berasal dari penjualan barang/jasa atau
penerimaan karena aset yang dimiliki oleh negara. Lebih jauh, Das-Gupta (2015) mengatakan
bahwa, " Begin with a definition of taxes, taxes are compulsory, unrequited payments, in cash
by institutional units (both individual or other entities) to government units. Taking the
definition as a base, non-tax revenue includes payments made to the government that are (i)
compulsory and requited, (ii) voluntary and unrequited, (iii) voluntary and requited. Kriteria
akumulasi (i) hingga (iii) merupakan ruang lingkup dari PNBP.
Non tax revenue atau PNBP mencakup bagian yang cukup luas sehingga cukup
potensial dalam meningkatkan penerimaan negara, bahkan dalam konteks globalisasi, dalam
arti modal dan tenaga kerja semakin mobile yang memaksa negara untuk semakin
mengurangi soverinitas untuk memungut pajak, PNBP diharapkan menjadi alternatif sumber
penerimaan negara. Namun, hingga saat ini, beberapa pertanyaan yang masih terus dalam
perdebatan terkait PNBP, misalnya, berapa jumlah maksimum yang dapat ditarik oleh
pemerintah atas suatu obyek PNBP dengan basis perhitungan bagaimana? Berapa kenaikan
yang dapat dikenakan dalam satu tahun atas obyek tersebut? Diskusi ini masih terus berlanjut
disebabkan jenis PNBP berbeda di setiap negara untuk dilakukan perbandingan, tergantung
kondisi sosial, ekonomi dan politik di negara tersebut.

Pada umumnya, PNBP diperoleh dari tiga kategori berikut. Pertama, pembayaran atas
hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan pemerintah, yang terdiri dari (a) dampak
terhadap common resources yang dimiliki pemerintah, misalnya pembayaran kepada
pemerintah akibat polusi/limbah yang disebabkan oleh industri, (b) pengambilan sumber daya
alam yang dimiliki pemerintah, baik mineral maumpun non mineral yang dilakukan oleh
pihak swasta (c) pembayaran atas penggunaan aset milik pemerintah, pembayaran atas
investasi yang dilakukan oleh pemerintah atas suatu badan. Kedua, penerimaan atas barang
dan jasa yang dilakukan secara langsung oleh pemeritah, termasuk pemberian jasa
penggunaan infrastruktur yang dibayarkan berupa retribusi. Ketiga, penerimaan atas izin yang
diberikan pemerintah, dimana hal ini meliputi ruang lingkup yang sangat luas, misalnya izin
pembukaan usaha kepada sektor privat, serta berbagai jenis perizinan lainnya.
Meskipun terdapat fenomena semakin mobilenya basis pemajakan, dimana pungutan
negara dari sektor non pajak menjadi salah satu yang dapat diperhitungkan, PNBP oleh Das
Gupta disebutkan bahwa erat kaitannya dengan konsep earmarking, yang sebenarnya tidak
4

cukup populer dalam teori ekonomi disebutkan bahwa "the basic principle for an optimal
government expenditure allocation is that the marginal social benefit per monetary unit of
public expenditure should be equal across all activities". Disisi lain, Buchanan (1963)
menyebutkan bahwa earmarking seyogiyanya adalah substitusi dari user charge (retribusi),

misalnya earmarked payroll tax digunakan untuk social security, earmarked fuel tax untuk
perbaikan jalan, earmarked pollution untuk kelestarian lingkungan.
Dalam penentuan dasar penetapan tarif, Zeithman dan JoBitner (2000, 437)
menyebutkan bahwa terdapat tiga dasar penetapan harga, yaitu:
1) Penetapan harga berdasarkan perhitungan biaya (cost-based pricing)
2) Penetapan harga berdasarkan persaingan (competition-based pricing)
3) Penetapan harga berdasarkan permintaan (demand-based pricing)
Gagasan timbulnya pemungutan atas obyek PNBP di Indonesia didasarkan pada
pertimbangan beberapa pertimbangan, yaitu pertimbangan keadilan dimana didalam
pemungutan terkandung hak dan kewajiban pemerintah secara langsung, dan pertimbangan
bahwa pengeluaran yang dilakukan pemerintah merupakan fungsi dari penerimaannya.
Ketentuan mengenai PNBP di Indonesia diwujudkan dalam paket UU yang terdiri dari UU
No.20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), UU No. 17/2003 tentang
Keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15/2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam praktiknya di Indonesia, PNBP dalam UU No. 20/1997 ditetapkan dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
1) Dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya
2) Biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP
bersangkutan

3) Mempertimbangkan aspek keadilan dalam pengenaan kepada masyakarakat.
Unsur PNBP dalam UU APBN Indonesia:
1. Penerimaan Sumber Daya Alam


Penerimaan Minyak dan Gas Alam



Penerimaan Pertambangan Mineral (emas, nikel, tembaga, perak, dll) dan batu
bara



Penerimaan pertambangan panas bumi



Penerimaan di sektor kehutanan (dana reboisasi, provisi SDA, penggunaan
kawasan hutan)


 Penerimaan sektor perikanan
2. Penerimaan dari laba BUMN
3. Penerimaan dari Badan Layanan Umum
4. Penerimaan lainnya, yang diperoleh dari pelayanan Kementerian/Lembaga, misalnya:


Pelayanan penelitian
5



Pelayanan SIM



Pelayanan di bidang keimigrasian




Pelayanan di bidang kepelabuhanan



Pelayanan di bidang pendidikan dan pelatihan

 Pelayann di bidang kesehatan
Adapun jenis PNBP beserta dasar hukumnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1
Jenis PNBP
Dasar Hukum
Jenis PNBP
PNBP Fungsional

PNBP Badan Layanan
Umum (BLU)

UU

PP

PMK/KMK

UU No.17/2003 tentang
Keuangan Negara

6 PP Turunan PNBP

KPM tentang Persetujuan
Penggunaan PNBP

UU No.20/1997 tentang

PP tentang jenis dan tarif

PNBP

atas jenis PNBP pada K/L

UU No.1 tentang
Perbendaharaan Negara

PP No. 23/2005 dan PP
No. 74/2012 tentang

KMK tentang Penetapan
Satker BLU dan PMK

Pengelolaan BLU

tentang Tarif Layanan
Satker BLU

PNBP Pemanfaatan

UU No.1/2004 tentang

PP No.6/2006 tentang

Surat Persetujuan dan

Barang Milik Negara

Perbendaharaan Negara

Pengelolaan BMN/BMD

Penetapan Besaran Tarif
Pemanfaatan BMN

Sumber: Kementerian Keuangan (2016), Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Selain itu karakteristik pengeloaan PNBP beserta beberapa uraiannya dapat digambarkan
dalam tabel berikut
Tabel 2
Karakteristik Pengelolaan PNBP
Uraian

Karakteristik Pengelolaan PNBP
PNBP Fungsional

Dasar hukum

BLU

UU atau PP

Pemanfaatan BMN

Peraturan Menteri

Surat persetujuan Menteri

pemungutan (jenis dan

Keuangan yang dapat

Keuangan (didelegasikan

tarif)

didelegasikan kepada
pimpinan

kepada Dirjen Kekayaan
Negara, Kepala Kanwil

kementerian/lembaga
atau pimpinan satker

GJKN dan/atau Kepala
KPKNL)

BLU
Penerimaan

Disetorkan ke kas negara

Tidak disetorkan ke kas
negara

Disetorkan ke kas negara

Unit in charge di

Ditjen Anggaran

Ditjen Perbendaharaan

Ditjen Kekayaan Negara

Kementerian Keuangan

(Dit.PNBP)

(Dit. PPK BLU)

Sumber: Kementerian Keuangan (2016), Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
6

3. Penutup
Secara umum, struktur penerimaan negara yang merupakan modal pemerintah untuk
menjalankan aktivitasnya berasal dari penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP). Dalam perkembangannya, terutama dalam konteks negara demokrasi yang kian
disadari masyarakat, paradigma pemungutan pajak semakin bergeser diarahkan kepada
adanya kesetaraan antara pemerintah sebagai pihak yang memungut pajak dan masyarakat,
terutama wajib pajak sebagai pihak yang membayar pajak. Namun, terlepas dari pergeseran
paradigma tersebut, sistem perpajakan Indonesia masih harus mampu menghadapi berbagai
tantangan ditengah semakin vitalnya peranan pajak bagi pembangunan.
Dengan semakin immobilenya basis pemajakan, adanya PNBP dapat menjadi suatu
sumber lain yang berkontribusi kepada penerimaan negara. PNBP dipungut berdasarkan
manfaat atas pengelolaan kekayaan negara yang berbagai variasi dan dikelola oleh berbagai
instansi. Pada akhirnya, adanya pungutan-pungutan PNBP tidak semata-mata hanya untuk
memenuhi penerimaan, namun manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Referensi
Asian Development Bank (2014) A Comparative Analysis of Tax Administration in Asia and
the Pacific
Buchanan James (2016), Journal of Politica Economy Vol. 71 No.5/1963
Das-Gupta A., (2015) Non Tax-Revenue in Indian States: Principles and Case Studies, A
Consultation Report for the Asia Developent Bank
Rosdiana H., (2012) Pengantar Ilmu Perpajakan: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia,
Jakarta: Rajawali Press
Nurmantu Safri, (2005) Pengantar Perpajakan, Jakarta: Granit
Tanzi Vito, (2011) Government vs Market: the Changing Economic Role of the State,
Cambridge University Press.
Kementerian Kuangan RI, (2015) Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kementerian Keuangan RI, (2016) Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak

7