Memahami dan Memberi Makna terhadap Perb

Memahami dan Memberi Makna terhadap Perbedaan Budaya
Atmazaki
Universitas Negeri Padang

Latar Belakang
Sejak tahun 1995, Universitas Negeri Padang (sebelum tahun 1999 bernama IKIP
Padang) melaksanakan kursus intensif bahasa Indonesia untuk mahasiswa dari Universitas
Tasmania—sejak tahun 1988 juga untuk mahasiswa dari Universitas Deakin—Australia.
Program yang bertajuk In-Country Indonesian Language and Culture Summer Program ini
dilaksanakan setiap bulan Desember dan Januari selama enam minggu.
Di samping program kursus bahasa Indonesia, sejak tahun 1988 dilaksanakan pula
program pengalaman lapangan kependidikan bagi mahasiswa Fakultas Pendidikan Universitas
Tasmania. Program yang diberi nama Teach-Indo Program ini juga dilaksanakan pada bulan
yang sama selama tiga minggu. Sampai tahun 2001, lebih kurang sudah 300 orang mahasiswa
asing yang belajar bahasa Indonesia di Universitas Negeri Padang.
Meskipun universitas pengirim berasal dari Australia yang “Barat”, namun sebagian
mahasiswanya juga berasal dari Asia seperti Malaysia, Singapura, Filipina,Thailand, Jepang,
India, dan China. Mereka datang sebagai mahasiswa dari berbagai universitas di Australia
yang dikoordinasikan oleh Universita Deakin dan Universitas Tasmania. Baik program kursus
maupun mengajar dilaksanakan dalam rangka memperoleh kredit akademik untuk
menyelesaikan studi diploma pada program studi masing-masing. Artinya, nilai yang diperoleh

dari kedua program itu dapat dikonversi menjadi nilai mata kuliah pada program studi mereka.
Selama program berlangsung, mahasiswa bertempat tinggal di rumah keluargakeluarga di sekitar kampus. Setiap keluarga menerima, tidak lebih dari, seorang mahasiswa.
Hal ini dimaksudkan agar komunikasi dalam bahasa Indonesia lebih intensif.
Hampir semua mahasiswa mengalami apa yang disebut dengan geger budaya (cultural
shock) dan atau keterasingan budaya (cultural mismatch). Kedua hal itu sangat “akrab”
dengan kehidupan orang asing di luar batas budayanya.
Makalah ini difokuskan pada keterasingan budaya. Observasi dilakukan selama
mahasiswa berada di Sumatera Barat, setiap kali program dilaksanakan. Fokus masalah yang
diobservasi adalah “Bagaimana mahasiswa dari Australia terlibat dan bereaksi dalam
perbedaan budaya selama program berlangsung, baik di kampus maupun di dalam keluarga?”
Secara lebih khusus, observasi ini menjelaskan bagaimana mereka terlibat dengan apa yang
disebut dengan ‘keterasingan budaya’ (Pine, 1999). Data dikumpulkan melalui wawancara
terhadap mahasiswa berkaitan dengan apa yang dialaminya yang dapat diidentifikasi sebagai
pengalaman CM. Masing-masing mahasiswa melaporkan pengalamannya beradaptasi dengan
1

masyarakat kota Padang khususnya, dan masyarakat Sumatra Barat (Minangkabau),
umumnya.
Sebagai koordinator pelaksana kedua program tersebut, penulis terlibat langsung
dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh mahasiswa. Berbagai penemuan dan

pengalaman itulah yang akan dideskripsikan di dalam makalah ini.
Deskripsi dan analisis berikut ini mengikuti kerangka semiotik Pierce yang diadaptasi
oleh Pine (1999) untuk menganalisis persoalan keterasingan budaya yang dialami dan direaksi
oleh mahasiswa ketika mereka berada (masuk) dalam budaya lain. Interpretasi itu dilakukan
dengan melihat hukum budaya atau kebiasaan masing-masing negara terhadap cara yang
dilakukan mahasiswa dalam menangani persoalan yang mereka alami. Model analisis Pine,
yang dikembangkannya berdasarkan model semiotik Pierce, suatu model untuk menganalisis
teka-teki, pada dasarnya tidak untuk menganalisis situasi lintas budaya, tetapi ia
menggunakannya dengan adaptasi tertentu untuk menganalisis hal itu. Model ini berasumsi
bahwa bahwa “semua keasadaran adalah tanda kesadaran” (Houser and Kloesel, 1992).
Proses memahami dan menganalisis adalah seperti gambar di bawah ini.
Interpretasi
(interpretation)

Peristiwa
(event)

kebiasaan budaya
(cultural rule)


Dengan model Pine ini, pertama, dikenali peristiwa yang dapat diidentifikasi sebagai
CM dan di mana keanehan terjadi. Kedua, perilaku itu diinterpretasikan dari sudut budaya
asing dan budaya setempat, Ketiga, dilihat hukum budaya (kebiasaan) masing-masing.
Setelah menganalisis semua peristiwa itu, akhirnya, penulis merekomendasikan beberapa hal
berkaitan dengan pelaksanaan program in-country.
Pengalaman Lintas Budaya
Program in-country sudah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi pada era
globalisasi ini. Mahasiswa asing akan datang belajar ke Indonesia dan mahasiswa Indonesia
akan datang belajar ke ke luar negeri. Program seperti ini akan memberikan sumbangan yang
sangat besar dalam pengembangan/penguasaan ilmu dan keterapilan mahasiswa. Apa yang
dikatakan oleh Lo Bianco (1998:1) sebagai “ekspansi ke luar batas negera” dalam memperoleh
pendidikan akan semakin banyak pada masa yang akan datang.
Lebih dari itu, mengingat mobilitas global yang tinggi, generasi masa depan mesti
direncanakan untuk mampu menghadapi tantangan baru. Mereka mesti mempunyai
2

kemampuan ganda: menguasai beberapa bahasa asing dan memahami budayanya sekaligus.
Grant dan Secada (dalam Wiest, 1988:358) yang mereviu penelitian tentang penyiapan guru
untuk pelajar yang bervariasi menyimpulkan bahwa “pernah hidup bersama masyarakat dari
populasi yang beragam” adalah pengalaman lapangan yang sangat bermanfaat. Di dalam

memberikan pengalaman lapangan yang terfokus pada memperluas pandangan mahasiswa,
ditemukan bahwa pengalaman hidup dalam masyarakat yang berbeda secara intensif dan
informal dapat sangat berpengaruh terhadap mahasiswa calon guru dan efeknya sangat kaya.
Dengan pengalaman seperti itu, mereka akan mengajar dengan sikap yang lebih baik, mampu
mengembangkan program-program yang akan meningkatkan pemahaman murid yang
beragam melalui program pendidikan multikultural.
Menurut Stackowski (dalam Minner, 1995), mahasiswa in-country mesti menyediakan
waktu untuk masyarakat sekitar (outside school doors) untuk mendapatkan pengalaman dalam
konteks yang asli, tidak cukup hanya dengan membayangkan bagaimana konteks
sesungguhnya mungkin terjadi. Pada program immersi di Northern Arizona Navajo Indian,
misalnya, mahasiswa hidup di dalam kultur masyarakat Navajo dan ini menimbulkan
kesadaran lintas budaya dan rintangan bahasa untuk mengajar dan belajar. Hasil dari
pengalaman Navajo adalah bahwa mahasiswa lebih sensitif secara kultural.
Untuk dapat memahami, berinteraksi dengan dan belajar dari orang-orang yang
berbeda, mahasiswa mesti mengembangkan pengetahuan bahwa pandangan dunia kita tidak
selalu sama dengan orang lain dan kesadaran lintas budaya diperlukan supaya maksud kita
dapat dilihat dan dipahami oleh orang lain. Dalam konteks ini, Crealock (1999, 53)
melaporkan bahwa siswa Jepang merasa tidak dilayani oleh host family di Kanada (desa)
karena apa yang sebut sebagai pelayanan oleh siswa Jepang yang biasa tinggal di kota besar
berbeda dengan apa yang disebut pelayanan oleh keluarga desa di Kanada. Hal itu

menunjukkan bahwa orientasi sebelum ke luar negeri tidak cukup, ditambah lagi dengan
tiadanya pembimbing yang mendampingi siswa.
Penting disadari cara orang lain memahami sesuatu. Di dalam proses mahasiswa
bekerja “di dalam” dan “ dengan kebiasaan” masyarakat lain, mereka perlu mempunyai
pandangannya sendiri sebagai “orang dalam” dan “orang luar”. Morton (dalam Banks, 1988:6)
mengatakan bahwa sebagai “orang dalam” kita hanya dapat memahami budaya secara
subjektif dan sebagai “orang luar” dapat memahaminya dengan objektif.
Menjadi “orang dalam” dan berada dalam lingkaran situasi yang baru dapat membantu
mahasiswa untuk belajar bagaimana berfungsi di luar “wilayah kesenangan sendiri” (personal
space) dan di dalam situasi yang sama sekali baru. Belajar seperti itu penting bagi mahasiswa
untuk mengembangkan kemampuan belajarnya dalam kondisi yang bervariasi. Mahasiswa
akan menyadari arti kemanusiaan dan hubungan interpersonal serta interaksi lintas budaya
yang terus berjalan. Juga, hal itu dapat meningkatkan kemampuan untuk melihat suatu situasi
3

dari perspektif yang lain, memperoleh suatu peningkatan simpati terhadap perasaan orang lain
ketika keluar dari budaya dominan mereka. Sleeter (dalam Wiest, 1995:358) menemukan
mahasiswanya mulai melawan rasa takut, kekeliruan konsepsi, dan ketidaktahuan setelah
menyediakan waktu di dalam kelompok sosiokultural orang lain, kendatipun tidak gampang
bagi mereka mengadaptasi sebuah “peran sebagai minoritas” di dalam sebuah budaya yang

belum akrab dengan mereka.
Keterasingan Budaya
“Terperangkap” pada situasi yang tidak biasa, ketika berada di dalam budaya yang baru
di luar negeri adalah hal yang lumrah terjadi, apalagi bagi orang yang belum biasa “melintasi
batas budaya”. Mereka mungkin mengalami perasaan kikuk, canggung, atau bingung karena
tidak biasa. Hal inilah yang diistilahkan dengan keterasingan budaya atau cultural mismatch
(selanjutnya disebut CM): ketika masuk ke dalam kebudayaan lain, seseorang melihat sesuatu
yang berbeda tetapi tidak tahu bagaimana bertindak dalam situasi yang tidak menentu itu
(Pine, 1997a:1).
Reaksi terhadap situasi seperti itu dapat berupa “bertahan” atau menarik diri:
indikatornya bervariasi seperti bingung, diam, ekspresi wajah tak menentu, bahasa tubuh
yang canggung, reaksi verbal “merasa tidak biasa”, tertawa riang, hilang kontak
pandang, atau istilah lainnya. Kondisi ini terjadi karena “...jurang yang membedakan dua
budaya untuk mengatakan atau melakukan hal yang sama tetapi artinya berbeda, dan
mengatakan atau melakukan hal yang berbeda tetapi artinya, lebih kurang, sama....” (MacNeal,
1995).
CM, sesungguhnya, berbeda dari kaget budaya atau culture shock (selanjutnya disebut
CS). CM muncul dari rasa kaget ketika berhadapan dengan peristiwa konkret yang berbeda
dalam kebudayaan lain yang perbedaan-perbedaannya begitu mencolok, meskipun situasinya
normal. Reaksi psikologis pada CS, sebagai perbandingan terhadap CM, dapat dilihat dengan

jelas seperti tidak bisa makan, menangis, dan histeris yang memperlihatkan sesuatu yang
nyata-nyata berbeda. Sebaliknya, CM hanya tampil dalam perasaan dan emosi yang
bercampur seperti rikuh, bingung yang timbul dari sesuatu yang seolah-olah normal.
Berikut ini adalah deskripsi peristiwa-peristiwa yang diidentifikasi sebagai CM yang
terjadi selama program in-country berlangsung.
Hal utama yang menarik tidak saja pengakuan bahwa CM telah terjadi/dialami oleh
mahasiswa, tetapi juga ketika mengalami keterasingan, strategi apa yang mereka gunakan
untuk memahami dan keluar dari persoalan yang menimpanya. Bagaimana mereka akhirnya
menerima situasi untuk dapat mengasimilasi ketidakseimbangan di dalam struktur kognitif
mereka, yaitu makna apa yang mereka buat?

4

Kelompok pertama adalah tiga peristiwa yang dialami mahasiswa yang berkaitan
dengan situasi dan kebiasaan makan.
Kasus 1:
Walaupun tinggal di rumah yang banyak dihuni oleh mahasiswa lain,
mahasiswa sering dibiarkan makan malam sendirian di meja makan. Anggota
keluarga juga tidak makan bersama mereka. Mahasiswa merasa kikuk/rikuh dan
tidak senang makan sendiri dan secara sembunyi bertanya pada diri sendiri

apakah karena dia begitu berbeda (warna kulit, agama, bahasa, dll) sehingga
harus dibiarkan sendiri.
Di Australia tidak biasa membiarkan tamu makan sendirian di meja makan,
sedangkan di Sumatera Barat tamu biasa dibiarkan makan malam sendiri
supaya dia bisa makan dengan bebas/tanpa gangguan. Tidak dianggap persoalan
membiarkan tamu makan sendiri di meja makan, apalagi sudah dianggap
anggota keluarga.
Kasus 2:
Setelah makan malam di sebuah restoran di kota Padang, atas undangan panitia,
mahasiswa ditawari/memesan kopi dan dipersilakan berkaraoke. Tetapi mereka
kecewa karena si pengundang tidak ikut minum dan berkaraoke tetapi
meninggalkan restoran, meninggalkan mereka dalam ketidakenakan, bingung,
apakah akan minum dan bernyanyi atau pergi bersama si pengundang/panitia.
Mahasiswa menjadi bingung, apakah akan minum kopi dan menyanyi atau ikut
dengan pengundang (hosts) karena di Australia berada restoran tidak hanya
untuk makan, tetapi juga untuk dialog, hiburan, dan bersantai. Sedangkan di
Sumatera Barat, jika makan malam selesai, tidak ada alasan untuk tetap berada
di meja makan. Tamu telah dijamu makan malam dan tujuan selesai sehingga
bisa meninggalkan meja makan. Di meja makan malam di restoran semata-mata
untuk makan malam

Kasus 3:
Mahasiswa juga sering merasa bingung melihat fakta bahwa setelah makan
malam di rumah keluarga, anggota keluarga pergi tanpa penjelasan apa-apa
sehingga meja makan menjadi sunyi.
Mahasiswa bingung, kenapa keluarga terlihat begitu memperhatikan pada
kebanyakan situasi, tetapi tidak pada waktu setelah makan malam. Mereka
heran kenapa tidak menyediakan waktu keluarga untuk kebersamaan setelah
makan malam. Sedangkan bagi orang Minangkabau, setelah makan malam
adalah waktu untuk membiarkan tamu sendiri karena masing-masing anggota
keluarga ada tugas lain, waktu personal seperti salat bagi umat Islam.
Di dalam kasus 1, 2, dan 3, mahasiswa kurang bisa menerima keadaan. Bagi mereka,
makan malam adalah waktu untuk keluarga berbagi/bersama/ bersahabat seperti di dalam
kebudayaan Australia. Mereka menjadikan makan malam untuk bersantai, kalau perlu
mengundang tetangga atau sahabat, menyajikan makanan yang enak-enak untuk mengakhiri
hari sehari. Setelah dianalisis kedua kebiasaan/kebudayaan, jelaslah bahwa situasi itu di dalam
5

kebudayaan Australia adalah waktu untuk bersama, tetapi di dalam kebiasaan/kebudayaan
Indonesia adalah waktu pribadi (personal space and time alone).
Peristiwa CM berikut ini terjadi pada mahasiswa yang menyebabkan perasaan seperti

lebih dari sekadar kikuk, barangkali hampir merasa marah.
Kasus 4:
Salah seorang mahasiswa meminta pertolongan seorang guru untuk mencucicetak film. Keesokan paginya, dia terkejut menemukan para guru telah melihat
foto-foto itu bersama-sama tanpa seizinnya.
Mahasiswa marah (dalam hati) karena milik pribadi dilihat orang lain tanpa
izin. Di negeri mereka, tidak pernah ada akses atau membuka milik orang lain
tanpa izin yang punya. Sementara itu para guru berasumsi bahwa hal itu boleh
saja dilihat oleh orang lain di kantor (kalau) karena tidak terkunci
Kasus 5:
Ketika pulang ke rumah keluarga, salah seorang mahasiswa mendapatkan
bahwa lemari pakaian di kamarnya telah terbuka. Dia tahu bahwa sesuatu telah
disentuh, seperti buku catatan hariannya. Meskipun tidak ada yang hilang, dia
bingung dan marah atas kejadian itu.
Mahssiwa marah karena anggota keluarga telah melanggar hak-hak pribadinya
karena, di dalam budaya mereka, tidak pernah ada akses pada milik pribadi
orang lain tanpa permisi. Sementara itu, di Sumatera Barat bisa saja ada akses
pada milik pribadi tamu sepanjang tidak terkunci, dibiarkan terbuka.
Pada peristiwa 4 dan 5, mahasiswa marah karena merasa—sesuai dengan kebiasaan di
Australia—hal itu adalah kejahatan yang dapat dituntut di pengadilan. Kebiasaan di Australia,
tidak pernah ada akses untuk bisa membuka barang-barang orang lain tanpa seizin pemiliknya;

sedangkan di Indonesia, karena tidak terkunci dan dibiarkan tidak terkunci, bi(a)sa saja ada
orang yang melihatnya.
Kasus-kasus berikut ini terjadi pada mahasiswa sehubungan dengan tema yang
berkaitan dengan hubungan personal dan rasa malu.
Kasus 6:
Selama berada di Padang, mahasiswa sering melihat dua orang laki-laki
berjalan berpegangan tangan atau saling memeluk bahu. Bahkan, kepada
mahasiswa sendiri cendrung untuk dilakukan oleh orang tersebut karena merasa
berteman tetapi mahasiswa merasa malu dan bingung dalam situasi itu.
Di dalam kebudayaan Barat, laki-laki sesama jenis tidak memper-lihatkan
persahabatan dengan menyentuh di depan umum. Akan tetapi di Sumatera Barat
orang memahami bahwa persahabatan mereka telah begitu dekat, terlihat
dengan berpegangan tangan di depan umum. Berpegangan tangan
menunjukkan bahwa persahabatan telah begitu akrab. Laki-laki sesama jenis
biasa memperlihatkan persahabatan dengan menyentuh di depan umum.

Kasus 7:
6

Karena merasa sudah akrab dengan rutinitas rumah tangga, dengan semua
anggota keluarga, mahasiswa (perempuan) merasa senang duduk bersama ibu,
anak-anak, dan pembantu sambil menonton televisi. Mahasiswa kaget karena
tiba-tiba, tanpa malu, pembantu (juga perempuan agak tua) memeluk
mahasiswa dan menyentuh tangan dan lututnya.
Di Australia, kedekatan dengan teman baru dapat diperlihatkan dengan
komunikasi verbal. Sedangkan di sumatera Barat, rasa dekat dengan tamu
(sudah dianggap anggota keluarga) dapat diperlihatkan dengan menyentuh atau
memegangnya.
Kasus 8:
Sewaktu duduk bersama anggota keluarga, pada saat pertama sekali (baru tiba
dari Australia), mahsiswa (untuk mengakrabkan diri) langsung bertanya pada
putri tertua di keluarga itu tentang pacarnya. Pertanyaan itu langsung disambut
dengan tertawa besar oleh orang tua dan putrinya sendiri. Mahasiswa merasa
malu ditertawai begitu dan seolah-oleh ingin bertanya.
Di Australia, pertanyaan pura-pura tentang hubungan pacaran seperti itu adalah
hal biasa. Akan tetapi, di Sumatera Barat, hal itu bisa mendapat reaksi yang
cukup keras karena hubungan pacar masih bersifat ‘sembunyi-sembunyi”;
masih agak tabu untuk menanyakan hubungan pacaran di depan orang tua.
Kasus 9:
Sewaktu pergi ke pantai dan berenang, banyak teman-teman (lelaki) Indonesia
yang menyaksikan mahassiwa (perempuan) dengan pandangan terfokus dan
lama. Mahasiswa merasa kikuk dan malu karena diperhatikan fisiknya tetapi
tidak bisa marah karena mereka adalah teman yang sudah mereka kenal.
Di Australia, tidak sopan memandang secara terfokus kepada fisik orang yang
sedang (berpakaian rnang) mandi karena mandi di pantai dengan pakaian
renang adalah biasa—karena sudah biasa melihat sejak kecil sehingga tidak
menjadi perhatian. Di Sumatera Barat tidak sopan, tidak mempunyai rasa malu,
terutama memperlihtkn fisik kepda lawan jenis. Mereka mandi di tempat
tertutup, tidak biasa memperlihat bagian tubuh yang terlalu terbuka di depan
orang banyak, yang namanya aurat tetap aurat meskipun di kolam renang.
Pada peristiwa 6,7,8, dan 9 terlihat bahwa ada ketidaksalingpahaman “kedekatan”
karena sudah saling mengenal. Sentuhan fisik, hubungan pacaran, pandangan terfokus
dimaknai secara berbeda. Masing-masing merasa kikuk dan malu justru karena alasan yang
sama.
Pembahasan
Mahasiswa yang melaporkan pengalaman keterasingan budaya di sekitar persoalan
waktu makan mengatakan juga bahwa cara-cara yang mereka gunakan untuk mengatasi
persoalan bingungnya, pertama-tama, adalah dengan “diam seribu bahasa” dan
memperhatikan beberapa hal yang dapat dijadikan alasan untuk bertindak. Ia tidak ingin
menanyakan kepada keluarga kenapa dibiarkan makan sendiri atau kenapa pergi setelah
makan dan meninggalkannya sendiri. Tindakan diam ini diambil karena takut kalau tindakan
7

lain yang diambil justru dapat memperburuk suasana, baik bagi dirinya maupun bagi keluarga.
Tetapi kemudian ia juga membicarakan dengan teman sesama mahasiswa (dari Australia)
untuk mencek apakah temannya mengalami hal yang sama.
Mahasiswa yang mengalami persoalan tentang kasus cuci cetak foto dan yang
lemarinya dibuka tanpa seizinnya, juga mengambil tindakan diam meskipun dalam hati terasa
sakit karena hak pribadinya (hal yang sangat mendasar dalam kebudayaan Barat) dilanggar.
Mahasiswa ini, akhirnya, hanya menyampaikan kepada koordinator program pada saat
program akan berakhir. Ia beralasan, tindakan diam diambil karena tidak tahu tindakan apa
yang harus diambil dan takut kalau bertindak justru akan memperburuk suasana.
Mahasiswa yang mengalami “kedekatan persahabatan diterjemahkan dengan sentuhan
dekat” juga diam tanpa menolak. Baginya, diam adalah untuk menyembunyikan rasa malu.
Sebab, kalau memberi reaksi menolak atau membicarakannya, ia takut teman tersebut
tersinggung sehingga perasaan sungkan itu ditahan saja. Sedangkan mahasiswa yang
ditertawakan karena pertanyaanya tentang pacar kepada putri keluarga juga ikut tertawa
supaya ada kesan “joke”, meskipun rasa malu tetap ada. Ia tidak menyampaikan persoalan itu
kepada siapa-siapa, kecuali kepada koordinator program setelah program berakhir. Begitu
juga, mahasiswa yang dipandangi sewaktu berenang merasa hak-haknya dilanggar,
kesenangan pribadinya diintervensi. Meskipun begitu, mereka hanya tersenyum sinis, tidak
melarang, tidak bertanya kepada yang memandanginya. Hal itu hanya dilaporkan kepada
koordinator program.
Dari cara-cara yang dilakukan mahasiswa untuk mengatasi/mereaksi peristiwaperistiwa keterasingan budaya terlihat bahwa “diam” adalah tindakan yang dominan, disusul
dengan memberitahu kepada koordinator program setelah program berakhir, dan yang paling
jarang adalah membicarakannya dengan teman, dan sebagian lagi membiarkan peristiwa
berlalu begitu saja. Pada satu sisi dapat berarti bahwa mereka tidak berani bertindak karena
takut persoalan menjadi “melebar” tetapi pada sisi lain, memang, karena tidak tahu bagaimana
harus bertindak yang dapat menyelesaikan masalah.
Meskipun koordinator telah memberikan orientasi kepada peserta sebelum berangkat
ke Indonesia, dan sesampai di Indonesia juga diberikan orientasi tentang budaya ditambah
dengan suplemen di dalam buku panduan tentang hidup di ranah Minang, mahasiswa tetap
saja kurang mengerti bagaimana cara terbaik menghadapi kasus CM. Hal itu disebabkan
karena apa yang disampaikan lebih bersifat teoritis, kurang praktis dan hampir tidak ada yang
bersifat kasus.
Terlihat bahwa dengan peristiwa sehari-hari, seperti waktu makan, mahasiswa
menunda untuk membicarakannya dengan orang lain (teman atau koodinator) agar membuat
perasaan terasingnya menjadi lebih baik karena hal itu adalah rutinitas sehari-hari. Mahasiswa

8

mencari hiburan dari teman karena tidak mempunyai kontrol yang baik terhadap peristiwa
sehari-hari itu.
Bagaimanapun, dengan peristiwa “menyentuh” sesama jenis, mahasiswa terlihat tidak
membicarakannya dengan teman atau koordinator karena menganggap peristiwa ini terjadi di
luar kontrol mereka. Kelihatannya, kedekatan dalam kebiasaan bersentuhan sesama jenis
membuat situasi begitu tidak terlukiskan untuk mahasiswa yang memendam semua perasaan
supaya membiarkan suasana berlalu begitu saja sebelum mereka dapat membuat makna dari
peristiwa ini.
Tetap diam dan menunggu orang lain bertindak adalah reaksi yang dominan. Mereka
tetap diam karena tidak tahu apa yang akan terjadi (reaksi orang lain) jika memberi reaksi.
Akankah mahasiswa yang menyaksikan fotonya dipajang di ruang majelis guru berteriak atau
merebutnya dengan bengis? Tindakannya yang marah atau kasar boleh jadi menyebabkan
kebingungan di antara majlis guru dan mahasiswa sendiri.
Meskipun perasaan paling dalam tidak senang dan bingung, mereka tidak berani
mengambil tindakan nyata karena hal itu bisa menyebabkan situasi lebih buruk. Sebenarnya,
jika mereka langsung bertanya kenapa hal itu bisa terjadi (“Kenapa foto saya dilihat?”) atau
setelah beberapa saat kemudian bertanya, “Apa boleh di sini melihat foto orang lain tanpa
seizinnya?” mungkin mereka akan mendapatkan jawaban atau penjelasan untuk dapat
memahami kebiasaan orang-orang di sekitar mereka. Begitu juga, sewaktu ditertawai karena
menanyakan pacar si gadis, mahasiswa sebaiknya bertanya, “Apa yang salah, kenapa Anda
tertawa?” Dia mungkin akan mendapatkan penjelasan terhadap situasi itu. Bahkan, ketika
dipandangi berenang, mereka dapat saja melambaikan tangan tanda tidak setuju, tetapi karena
orang itu adalah teman, orang yang sudah dikenal, tidak banyak bisa dilakukan mahasiswa.
Mahasiswa harus menyadari bahwa mereka berada di dalam kebudayaan lain yang
berbeda. Tetap diam dan merasa masih “berada” di dalam kebudayaan sendiri, sebenarnya,
membuat situasi menjadi lebih buruk. Sebagai orang asing, kita harus paham bahwa
“bertanya” adalah bijaksana jika kita ingin menghindari kesalahpahaman antarpribadi. Dengan
bertanya, setiap pihak akan tahu posisi masing-masing berdasarkan interpretasi terhadap
peristiwa karena suatu peristiwa bisa menimbulkan banyak interpretasi dan interpretasi
seseorang bisa sangat berbeda dari interpretasi orang lain, sesuai dengan pandangan
etnosentrisiti.
Di samping bertanya, kita harus juga bisa menjelaskan kebiasaan di kebudayaan kita
sendiri sehingga orang di sekitar kita mamaklumi jika sesuatu yang membuat rasa rikuh telah
terjadi. Jadi, kunci penyelesaiannya adalah BERTANYA dan MENJELASKAN.
Bagi mahasiswa yang berbeda budaya, apa yang terlihat berbeda akan tetap berbeda
dan akhirnya akan sangat berbeda/mengagetkan dan perasaan tertekan secara tetap. Akan
tetapi, jika mereka memilih untuk berbicara atau bertanya, kedua belah pihak, akhirnya, bisa
9

melihat sudat pandang masing-masing, meskipun budaya tetap berbeda karena kebudayaan
tidak akan berubah, sementara peristiwa keterasingan budaya terjadi lagi. Apa salahnya, pada
situasi santai dan perasaan ringan mahasiswa bertanya, “Kenapa Anda tidak makan bersama
saya?” Dengan demikian, situasi bisa cair dan masalah menjadi jelas, bahkan makan sendirian
tidak lagi terjadi. Tetap diam dapat menimbulkan stress. Membiarkan masalah tetap
tersembunyi dan menekan perasaan bisa mencekik, apalagi menghindari kontak interpersonal
karena takut mengalami persoalan lain.
Reaksi dominan kedua adalah membicarakan perasaan dengan teman. Mereka
membicarakannya dengan teman dekat untuk dapat mencurahkan perasaan atau ketertekanan.
Tindakan jenis ini hanya diambil setelah mengalami peristiwa rikuh/tidak menyenangkan.
Dibandingkan dengan diam, tindakan terakhir ini lebih bijaksana. Dengan berbicara kepada
teman, sekurang-kurangnya sudah ada dua atau beberapa orang yang mengetahui bahwa
sesuatu (CM) telah terjadi sehingga bisa didiskusikan. Diskusi itu sendiri akan mengurangi
rasa rikuh.
Semua hal di atas bukanlah CS. CS dapat dengan mudah dipahami dan diselesaikan
dengan banyak cara. Mahasiswa dapat melengkapi diri dengan bacaan tentang sebuah budaya
sebelum pergi ke daerah tersebut. Sebaliknya, pada peristiwa CM, mahasiswa tidak mengerti
sama sekali apa yang salah, kenapa tiba-tiba dia mengalami hal yang “aneh”. Oleh sebab itu,
kadang-kadang, pengetahuan tentang suatu kebudayaan tidak bisa otomatis membantu
menyelamatkan seseorang dari kasus CM ketika masuk ke kebudayaan itu.
Simpulan dan Saran
Pengalaman berada di dalam kebudayaan baru tidak saja bisa menimbulkan CS tetapi
juga CM. Jika CS dengan mudah dapat dikenali seperti pusing karena cuaca dan menu
makanan atau rasa rindu kampung, sehingga mudah pula cara menanggulanginya, CM justru
agak sulit dikenali sehingga sulit pula dicarikan jalan keluarnya. Meskipun telah dipersiapkan
dengan baik untuk bisa menghadapi perbedaan-perbedaan budaya di luar negeri dengan aneka
informasi dan dokumentasi tentang CM dan CS, untuk hadir dalam perbedaan-perbedaan,
namun kasus CM tetap saja dialami. Semuanya terjadi di luar kontrol.
Dalam menjalani kehidupan biasa sehari-hari di dalam kebudayaan Indonesia (di
Sumatera Barat), peristiwa yang tidak diharapkan ini menyebabkan mahasiswa asing
mengalami perasaan rikuh, bingung, malu, dan juga perasaan marah. Akan tetapi, tidak ada
yang memberi reaksi secara agresif atau langsung menumpahkan kemarahan. Hal ini
memperlihatkan bahwa mahasiswa menyadari bahwa mereka mengalami semacam
keterasingan budaya. Keputusan mereka untuk tetap “diam” adalah bagian dari cara untuk
menunggu waktu mereka dan menunggu sampai mereka dapat membuat makna yang lain dari
peristiwa, menunggu dan mengobservasi apakah mereka dapat mengontrol di masa datang
10

atau apakah bantuan diperlukan. Peristiwa sehari-hari itu, dapat dikatakan, menghendaki
mahasiswa membicarakan dilemanya dan mencari cara-cara terbaik untuk menyelesaikannya
bersama teman. Walaupun sebagian dapat dipahami karena ada penjelasan khusus, tetapi tetap
ada peristiwa yang tabu untuk mahasiswa ini yang di luar kelaziman yang mereka alami.
Bagaimana menimbulkan keberanian kepada mahasiswa ini untuk mengajukan
pertanyaan langsung adalah masalah yang perlu dicarikan jawabannya. Barangkali hal ini
adalah bagian yang harus dijelaskan pada waktu orientasi, ketika mahasiswa baru masuk ke
budaya baru.
Semua mahasiswa menganggap bahwa program in-country sangat bernilai bagi mereka
secara pribadi dan profesi dalam mengawali karir mereka baik sebagai guru bahasa asing di
masa datang maupun profesi lain. Sebagai koordinator yang terlibat di dalam melaksanakan
program lintas budaya ini, kami sangat merekomendasikan cara-cara yang dapat diadopsi oleh
mahasiswa sebagai penyesuaian lintas budaya dan aspek-aspek saling memahami dari
program pertukaran ini. (1) Sadari bahwa keterasingan budaya akan terjadi pada waktu yang
tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan. (2) Tetap tenang/diam terlebih dahulu (kecuali
berbahaya atau sangat di luar kelaziman) dan sadari bahwa peristiwa ini mungkin CM yang
cukup menarik. (3) Pastikan, setelah peristiwa terjadi, apakah ada unsur kontrol dalam situasi
itu. Jika seseorang berada pada posisi dapat mengontrol dan peristiwa bisa tidak terjadi lagi
sebagaimana sebelumnya, tidak perlu penjelasan dibuat untuk orang lain. Akan tetapi, jika
seseorang berada pada posisi tidak bisa mengontrol situasi, dialog harus dimulai dengan
orang-orang tertentu. Bertanya untuk klarifikasi adalah kunci untuk diri sendiri dan
menjelaskan posisi diri sendiri adalah kunci untuk orang lain.
Bagi keluarga host, dianjurkan untuk dapat memonitor dan menyampaikan kebiasankebiasan setempat yang mungkin berbeda dengan kebiasaan mahasiswa asing. Meskipun
mahasiswa tidak melaporkan pengalaman anehnya, tidak ada salahnya kalau sekali-sekali
bertanya tentang pengalaman mahasiswa berada di daerahnya. Akan tetapi juga harus
dipahami bahwa orang Barat tidak suka terlalu diperhatikan sebagaimana orang Indonesia
tidak suka terlalu dibiarkan.

11

Daftar Rujukan
Banks, J.A. 1998. “The Lives and Values of Researchers: Implications for Educating Citizen in
a Multicultural Society”, Educational Researcher, Vol.27, No.7.
Crealock, Erin. At all. 1999. “To Homestay or to Stay Home: The Canadian-Japanese
Experience” TESL Canada Journal, Vol 16 No.2, Spring 1999
Houser, N. & Kloesel, C. (Eds.) 1992. “The Essential Peirce”: Selected Philosophical Writing,
Volume I (1867-1893). Indiana University Press.
Knowles, J. G & Cole, A.L. 1996. “Developing Practice Through Field Experiences”, in
Murray, F.B. (Ed.) The Teacher Educator’s Handbook: Building a Knowledge Base for
the Preparation of Teacher. Jossey-Bass Publishers: San Francisco.
Lo Bianco, J. 1998. “The Implications for Languages of the Emergence of the International
University”. Australian Language Matters. Vol. 6, No.4, Oct/Nov/Dec.
MacNeal, F. 1995. “Cultural Misunderstanding: The France-American Experience”, A Review
of General Semantics, Vol 52, No. 1, Spring.
Minner, S. et all. 1995. “Benefit of Cultural Immersion Activities i a Special Education
Teacher Training Program”, in Reaching to the Future: Boldly Facing Challenges in
Rural Communities (Conference Proseeding of the American Council on Rural Special
Education (ACRES), Las Vegas, Nevada, Marc 15-18.
Morine-Dershimer, G. & Leighfield, K. 1995. “Student Teaching Field Experiences,” in
Anderson, L.W. (Ed.) International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education
(second edition) Pergamon.
Pine, N. 1999. “Understanding Cultural Mismatch: Tools for Teacher-Student Intercultural
Communication”. Paper presented at The 40th International World Education
Fellowship conference Educating for a Better World: Vision to action, Tasmania,
Australia, January 2.
Pine, N. & Yafei, Z. 1997a. “Ethnocentricity and Cultural Disequilibrium: Critical Analitical
Tools in Comparative International Research”. Paper presented at the Reclaiming
Voice: Ethnographic Inquity and Qualitative Research in a Postmodern Age
Conference, University of Southern California, June 20-22.
Stachowski, L.L. & Mahan, J.M. 1998. “Cross-cultural Field Placements: Student Teachers
Learning from Schools and Communities”. Theory Into Practice, Vol 37, No.2,
Spring. Pp 155-162.
Wiest, L.R. 1998. “Using Immersion Experiences to Shake Up Prospective Teachers’ Views
About Cultural Differences”. Journal of Teacher Education, Vol. 49, No. 5, p.358ff.

12