Relasi Orang Miskin dan Kebijakan Penang

Relasi Orang Miskin dan Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan1
Dr. Sugeng Harianto, M.Si.

2

Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, Indonesia
[email protected]
Abstrak
Indonesia tidak luput dari masalah kemiskinan, bahkan bisa dikatakan menjadi masalah serius dan
sangat memprihatinkan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun ke tahun dapat dikatakan
masih besar. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan sebenarnya telah lama dilakukan oleh
pemerintah, namun tidak berdampak secara signifikan pada penurunan angka kemiskinan. Penelitian
ini ingin menjawab secara empiris masalah bagaimana relasi antara orang miskin dengan kebijakankebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah. Penelitian yang mengambil lokasi di Desa
Mulyodadi Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa masyarakat miskin di wilayah pedesaan
sebenarnya telah tersentuh oleh berbagai macam program penanggulangan kemiskinan empat klaster,
namun, di mata masyarakat dan aparatur birokrasi desa, program-program itu bersifat langsung,
topdown, karitatif, dan berjangka pendek. Alih-alih program-program semacam ini menanggulangi
kemiskinan, justru memunculkan kemiskinan baru dengan adanya fenomena rumahtangga yang
berasal dari strata sosial menengah dan atas “memiskinkan diri.” Salah satu penyebab program

penanggulangan kemiskinan tidak efektif adalah terjadinya disfungsi sosialisasi program
penanggunalan kemiskinan di level desa. Program-program penanggulangan kemiskinan ternyata
hanya mampu meringankan beban rumahtangga miskin, namun tidak mampu mengentaskan
rumahtangga miskin dari perangkap kemiskinan. Aagar program penanggulangan kemiskinan
mempunyai dampak signifikan hendanya ada pembedaan antara prgram kemiskinan untuk
rumahtangga miskin usia produktif dan usia tidak produktif.
Kata kunci: kemiskinan, kemudayaan kemiskinan, moving out

1

Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Riset Inovatif (SENARI) III, yang diselenggarakan
oleh Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan Ganesha Bali, di Hotel Grand Inna Kuta Bali 18 – 19
Nopember 2015
2

Tenaga pengajar di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri
Surabaya

A. Latar Belakang
Indonesia tidak luput dari masalah

kemiskinan, bahkan bisa dikatakan menjadi
masalah serius dan sangat memprihatinkan.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun
ke tahun dapat dikatakan masih besar. Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada
tahun 2010 sebesar 31,7 juta orang (Kompas,
20
September
2010).
Tjondroengoro
mengatakan, jumlah penduduk miskin sangat
ditentukan oleh kriterium atau ukuran yang
digunakan. Pada tahun 2008 bila kemiskinan
diukur menggunakan kriterium Bank Dunia,
dimana orang miskin adalah orang yang
berpenghasilan di bawah 1,00 dollar AS per
kepala keluarga (KK), maka jumlah penduduk
miskin mencapai 20 juta, bila 2,00 dollar AS
per KK, maka jumlah penduduk miskin

mencapai 100 juta jiwa, atau hampir separuh
(43,5%) jumlah penduduk Indonesia. Berkaitan
dengan fenomena kemiskinan di wilayah
pedesaan ini, James C. Scott (1989) dengan
meminjam metafora Tawney menggambarkan
“ada daerah-daerah di mana posisi penduduk
pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri
terendam dalam air sampai leher, sehingga
ombak yang kecil sekalipun sudah cukup
menenggelamkannya.”
Metafora
ini
menggambarkan bahwa masyarakat desa hidup
dalam
kondisi
kemiskinan.
Kemiskinan
masyarakat terlihat dari kehidupannya yang
subsisten.
Berbagai

upaya
penanggulangan
kemiskinan sebenarnya telah lama dilakukan
oleh pemerintah. Pemerintah Orde Baru,
misalnya,
telah
menjalankan
beberapa
kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan, di
antaranya program Inpres Desa Tertinggal (IDT)
dan beras untuk rakyat miskin (Raskin).
Pemerintah
pasca
Orde
Baru
mempertahankan program Raskin, bahkan pada
masa
pemerintahan
Soesilo
Bambang

Yudhoyono menambahkan program bantuan
tunai langsung (BLT), asuransi kesehatan untuk
masyarakat
miskin
(askeskin),
bantuan
operasional
sekolah
(BOS),
dan
sebagainya.Meskipun
pemerintah
telah
menjalankan
berbagai
kebijakan
untuk
menanggulangi
kemiskinan, namun tidak
berdampak pada penurunan angka kemiskinan.

Dillon
(dalam
Kompas,
2001a)
mengatakan, pemerintah Indonesia (state), baik
rezim Soekarno, Soeharto, maupun Megawati
Soekarno Putri, dapat disebut telah gagal

menanggulangi masalah kemiskinan. Khusus
program Askeskin, Robert Sparrow, dkk. (2010),
melakukan kajian yang hasilnya menunjukkan
bahwa program itu hanya jangka pendek dan
terdapat kekacauan. Untuk efektivitas program
Raskin, kajian Olken, dkk. (2001) dan Sugeng
Harianto,
dkk.
(2002,
2002,003,2009)
menunjukkan penyaluran Raskin di wilayah
pedesaan menimbulkan banyak masalah. David

T. Ellwood menanbahkan bahwa program
penanggulangan kemiskinan terjebak pada
program-program yang bersifat karitatif dan
populis (Kompas, 16 September 2010). Bagong
Suyanto (Kompas, 18 September 2010) melihat
kelemahan-kelemahan itu disebabkan karena
kemiskinan dilihat sebagai fenomena single
dimension,
yaitu
semata-mata
masalah
kekurangan pendapatan atau modal berusaha
saja.
B. Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan
latar
belakang
itu
penelitian ini menjawab masalah secara empiris:
bagaimana hubungan dialektikan antara orang

miskin
dengan
kebijakan-kebijakan
penanggulangan
kemiskinan
pemerintah?;
Penelitian ini bertujuan membangun proposisiproposisi tentang strukturasi kemiskinan yang
dialami oleh masyarakat pedesaan yang
diharapkan menjadi jembatan di antara dua
kutup teori antara teori-teori modernisasi,
terutama teori kebudayaan kemiskinan dan
teori-teori structural konflik dengan cara
memahami: hubungan dialektika atau pengaruh
mempengaruhi antara orang miskin sebagai
agen
dengan
kebijakan-kebijakan
penanggulangan kemiskinan pemerintah.
Hasil
penelitian

ini
diharapkan
mempunyai
kontribusi
penting
terhadap
pengayaan pengembangan kajian sosiologi,
khususnya sosiologi pedesaan. Proposisiproposisi yang dihasilkan dari penelitian ini
diharapkan dapat mengisi spektrum kosong di
antara teori-teori modernisasi, terutama teori
kebudayaan
kemiskinan,
dan
teori-teori
structural konflik. Hasil penelitian ini juga
diharapkan mempunyai kontribusi praktis bagi
pengembangan
berbagai
kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Indonesia.

C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa
Mulyodadi, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur. Fokus penelitian di atas
diteliti dengan menggunakan metode penelitian
kualitatif.
Penelitian ini memposisikan

rumahtangga miskin dan aparatus pemerintah
desa sebagai unit analisis. Yang menjadi subjek
dalam penelitian ini adalah suami dan istri serta
aparatur pemerintah desa. Penelitian ini
mencoba memahami realitas dialektika orang
miskin
dan
kebijakan
penanggulangan
kemiskikan dari perspektif subjek penelitian.
Penelitian menggunakan teknik observasi dan
wawancara mendalam (indepth interview) untuk

mengumpulkan data primer. Setelah data
dikumpulkan, data dianalisis secara kualitatif
melalui tahapan reduksi data, pemrosesan
satuan, dan menemukan dan menyusun
kategorisasi.
D. Temuan dan Diskusi Penelitian
1. Menimbulkan Kemiskinan Baru
Masyarakat miskin di wilayah pedesaan
sebenarnya telah tersentuh oleh berbagai
macam program penanggulangan kemiskinan.
Program-program penanggulangan kemiskinan
dilaksanakan di desa penelitian meliputi empat
klaster yang dikembangkan oleh pemerintah,
walaupun ada kesan lebih banyak program
penanggulangan kemiskinan klaster satu.
Program-program yang dilaksanakan di desa itu
antara lain Raskin, BLT, PKH, Gerdu Taskin,
PNPM Mandiri Perdesaan, renovasi rumah
(topengan), dan Jamkesmas. Namun, di mata
masyarakat dan aparatur birokrasi desa,
program-program
itu
bersifat
langsung,
topdown, karitatif, dan berjangka pendek.
Alih-alih program-program semacam ini
selain tidak efektif menurunkan jumlah orang
miskin, justru memunculkan kemiskinan baru
dengan adanya fenomena rumahtangga yang
berasal dari strata sosial menengah dan atas
“memiskinkan diri.” Temuan penelitian ini justru
menjadi antitesis dari tesis Oscar Lewis.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa yang
menjadi subjek dari cara hidup “memiskinkan
diri”
(baca
meminta-minta)
bukanlah
rumahtangga dari strata sosial paling rendah,
namun justru dikembangkan oleh rumahtangga
dari strata masyarakat menengah dan atas di
masyarakat pedesaan. Selain itu, cara hidup
“memiskinkan diri” juga bukan sebagai bentuk
adaptasi yang rasional dalam upaya mengatasi
kemiskinan, namun lebih sebagai bentuk
kecemburuan sosial ketika merespon programprogram penanggulangan kemiskinan dari
pemerintah yang bersifat karitatif dan langsung.
Bahkan respon ini juga dikaitkan dengan hak
dan kewajiban sebagai penduduk desa.

2. Disfungsi Sosialisasi Program
Agar program-program penanggulangan
kemiskinan itu
dapat dilaksanakan secara
efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan
maka program-program itu terlebih dahulu harus
dikomunikasikan
baik
kepada
aparatur
pelaksana maupun penerima sasaran. Dengan
kata lain dibutuhkan sosialisasi programprogram itu ke aparatur pelaksana di level
bawah dan masyarakat sebagai penerima
manfaat.
Sebenarnya
pemeritah
telah
melakukan sosialisasi program-program itu
secara berjenjang, mulai tingkat pusat, propinsi,
dan kabupaten/kota. Namun sosialisasi yang
berjenjang itu mengalami disfungsi ketika
sampai pada level desa. Pemerintah desa tidak
melakukan sosialisasi dengan benar ke
masyarakat desa. Pemerintah desa melakukan
sosialisasi hanya untuk memenuhi formalitas.
Sosialisasi dilakukan sekedar untuk mencari
legitimasi tindakan pemerintah desa untuk
membagi secara merata kepada seluruh
rumahtangga yang membutuhkan. Akibatnya
masyarakat Desa Mulyodadi tidak mempunyai
pemahaman secara baik dan benar tentang
hakikat, latar belakang, tujuan, sasaran,
penerima manfaat, dan mekanisme pencairan.
Salah satu program yang acapkali
menimbulkan
masalah
adalah
Raskin.
Permasalahan dimulai dari proses pendataan
calon penerima Raskin. Empatbelas kriteria atau
ukuran dari tidak bisa sepenuhnya diterapkan di
desa penelitian. Bila 14 ukuran diterapkan, sulit
menemukan rumahtangga miskin di desanya.
Dalam kondisi seperti itu, pemerintah desa
mengalami
kesulitan
untuk
menentukan
rumahtangga miskin. Lebih sulit lagi bila
pemerintah desa harus memilah rumahtangga
tidak mampu ke dalam kategori rumahtangga
hampir miskin, rumahtangga miskin, dan
rumahtangga sangat miskin. Untuk mengatasai
ketidakakuratan ukuran BPS itu pemerintah
desa memutuskan tidak menggunakan data
berbasis 14 kriteria itu. Untuk menentukan
rumahtangga
miskin,
pemerintah
desa
mengambil kebijakan melakukan pendataan
sendiri dengan menggunakan tiga kriteria atau
ukuran, yaitu pekerjaan, pendapatan, dan
kondisi fisik bangunan rumah. Pemerintah desa
tidak melakukan sendiri kegiatan pendataan itu.
Pemerintah desa melibatkan RT yang ada di
lingkungan
desa
penelitian.
Alih-alih
memperoleh data rumahtangga miskin yang
objektif, pendataan yang dilakukan oleh RT
menimbulkan
praktik
nepotisme.
RT
menggunakan ukuran hubungan kekerabatan

dan pertemanan daripada ukuran pekerjaan,
pendapatan, dan kondisi fisik bangunan rumah.
Akibatnya, data hasil pendataan RT mengalami
bias kepentingan. Untuk mengatasai masalah
itu pemerintah desa menggunakan mediasi
sebagai solusi dengan cara menggelar rapat
desa yang melibatkan rumahtangga miskin yang
menjadi
penerima
Raskin.
Berdasarkan
kesepakatan rumahtangga miskin penerima
Raskin, rapat desa memutuskan untuk membagi
rata Raskin kepada rumahtangga yang
membutuhkan.
3. Program Penanggulangan Kemiskinan
Berbasis Kebutuhan
Program-program
penanggulangan
kemiskinan ternyata hanya mampu meringankan
beban rumahtangga miskin, namun tidak
mampu mengentaskan rumahtangga miskin dari
perangkap kemiskinan. Bahkan programprogram itu tidak mampu menurunkan angka
kemiskinan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Sebagai gambaran pemerintah
menaikan kuota jumlah penerima manfaat
Raskin di Desa Mulyodadi dari 46 RTS menjadi
165 RTS.
Rumahtangga miskin usia produktif
menilai program penanggulangan kemiskinan
dari pemerintah, baik pusat, propinsi, maupun
kabupaten, tidak berbasis pada kebutuhan
rumahtangga miskin.
Rumahtangga miskin
kategori
ini
menilai
program-program
penanggulangan kemiskinan dari pemerintah
tidak efektif untuk memberdayakan dan
mengentaskan
mereka
dari
kemiskinan.
Program-program seperti Raskin, BLT, PNPM
Mandiri, Gerdu Taskin, dan PKH hanya
berjangka pendek, bersifat sementara, dan
sekedar meringankan beban rumahtangga
miskin. Aparatur birokrasi di tingkat desa juga
mempunyai penilaian yang sama.
Oleh karena itu, baik rumahtangga
miskin maupun aparatur birokrasi di tingkat
desa, mengusulkan harus dibedakan antara
program-program penanggulangan kemiskinan
untuk rumahtangga miskin usia produktif dan
rumahtangga miskin usia tidak produktif. Untuk
rumahtangga miskin usia produktif harus
dirancang program-program penanggulangan
kemiskinan
yang
berjangka
panjang,
memberdayakan rumahtangga miskin, dan
berbasis kebutuhan/realitas. Sementara, untuk
rumahtangga miskin usia tidak produktif masih
relavan
program-program
penanggulangan
kemiskinan seperti Raskin, BLT, PKH, dan BOS,

dengan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan
rumahtangga miskin kategori ini.
E.

Penutup

Penelitian ini menemukan bahwa
masyarakat miskin di wilayah pedesaan
sebenarnya telah tersentuh oleh berbagai
macam program penanggulangan kemiskinan
empat klaster, namun, di mata masyarakat dan
aparatur birokrasi desa, program-program itu
bersifat langsung, topdown, karitatif, dan
berjangka pendek. Alih-alih program-program
semacam ini menanggulangi kemiskinan, justru
memunculkan kemiskinan baru dengan adanya
fenomena rumahtangga yang berasal dari strata
sosial menengah dan atas “memiskinkan diri.”
Salah satu penyebab program penanggulangan
kemiskinan tidak efektif adalah terjadinya
disfungsi sosialisasi program penanggunalan
kemiskinan di level desa. Pemerintah desa
tidak melakukan sosialisasi dengan benar ke
masyarakat desa. Pemerintah desa melakukan
sosialisasi hanya untuk memenuhi formalitas.
Program-program penanggulangan kemiskinan
ternyata hanya mampu meringankan beban
rumahtangga miskin, namun tidak mampu
mengentaskan
rumahtangga
miskin
dari
perangkap kemiskinan. Bahkan programprogram itu tidak mampu menurunkan angka
kemiskinan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan.
Rumahtangga miskin usia produktif
menilai program penanggulangan kemiskinan
dari pemerintah, baik pusat, propinsi, maupun
kabupaten, tidak berbasis pada kebutuhan
rumahtangga miskin.
Rumahtangga miskin
kategori
ini
menilai
program-program
penanggulangan kemiskinan dari pemerintah
tidak efektif untuk memberdayakan dan
mengentaskan
mereka
dari
kemiskinan.
Program-program seperti Raskin, BLT, PNPM
Mandiri, Gerdu Taskin, dan PKH hanya
berjangka pendek, bersifat sementara, dan
sekedar meringankan beban rumahtangga
miskin. Aparatur birokrasi di tingkat desa juga
mempunyai penilaian yang sama. Oleh karena
itu, baik rumahtangga miskin maupun aparatur
birokrasi di tingkat desa, mengusulkan harus
dibedakan
antara
program-program
penanggulangan
kemiskinan
untuk
rumahtangga miskin usia produktif dan
rumahtangga miskin usia tidak produktif. Untuk
rumahtangga miskin usia produktif harus
dirancang program-program penanggulangan
kemiskinan
yang
berjangka
panjang,

memberdayakan rumahtangga miskin, dan
berbasis kebutuhan/realitas. Sementara, untuk
rumahtangga miskin usia tidak produktif masih
relavan
program-program
penanggulangan

kemiskinan seperti Raskin, BLT, PKH, dan BOS,
dengan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan
rumahtangga miskin kategori ini.

F.

Olken, Benjamin A.. Et.Al. 2001. Sharing the
Wealth: How Villages Decide to Distribute
OPK Rice. Research Report. Jakarta:
SMERU Research Instutute.
Scott, James C.. 1989. Moral Ekonomi Petani
Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.
Sparrow, Robert. Et.Al. 2010. Social Health
Insurance for the Poor: Targeting and
Impact of Indonesia’s Askeskin Program.
Research Report. Jakarta: SMERU
Research Institute.
Kompas
2000.
“Program
Pengentasan
Kemiskinan akan Dibuat Terpadu.” Sabtu,
15 April.
Kompas 2001a. “Pemberantasan Kemikinan,
Jangan Lagi Dijadikan Proyek.” Kamis, 8
November
Kompas 2010. ”Rakyat Indonesia Masih Miskin.”
Senin, 20 September.
Kompas 2010. ”4 Syarat Hapus Kemiskinan.”
Kamis, 16 September.
Kompas 2010. ”Kekeliruan Atasi Kemiskinan.”
Sabtu, 18 September.

Daftar Pustaka

Harianto, Sugeng. Dkk. 2002. Evaluasi
Pelaksanaan Program Beras Untuk
Keluarga Miskin Tahun Anggaran 2002.
Surabaya:
Lembaga
Penelitian
Universitas Negeri Surabaya.
Harianto, Sugeng. Dkk.
2003. Evaluasi
Pelaksanaan Program Beras Untuk
Keluarga Miskin Tahun Anggaran 2003.
Surabaya:
Lembaga
Penelitian
Universitas Negeri Surabaya.
Harianto, Sugeng. Dkk. 2004. Evaluasi
Pelaksanaan Program Beras Untuk
Keluarga Miskin Tahun Anggaran 2004.
Surabaya:
Lembaga
Penelitian
Universitas Negeri Surabaya.
Harianto, Sugeng. Dkk. 2009. Inisiatif Lokal
tentang Mekanisme Penanganan dan
Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten
Bondowoso. Laporan Penelitian Strategi
Nasional (Stranas). Surabaya: Lembaga
Penelitian Unesa.