BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Agency - Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerialdan Kepemilikan Institusionalserta Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Agency

  Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk melakukan suatu kegiatan dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan tersebut kepada agen tersebut. (Jensen dan Meckling, 1976).

  Perusahaan dipandang sebagai sekumpulan kontrak antara manajer perusahaan dan pemegang saham (stakeholders). Kegitan pengelolaan perusahaan diserahkan kepada pihak manajemen. Dalam mengambil keputusan bagi perusahaan manajer sering mengutamakan kepentingan pribadi sehingga tidak sejalan dengan pemegang saham. Manajer sebagai pihak yang diberikan wewenang atas kegiatan perusahaan dan kewajiban menyediakan laporan keuangan akan cenderung melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham.

  Eisenhardt (dikutip oleh Permanasari 2010), menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan teori agensi yaitu : (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat oppurtunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya.

  Menurut Jensen dan Meckling (1976), adanya masalah keagenan memunculkan biaya agensi yang terdiri dari :

  1. The monitoring expenditure by the principle, yaitu biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi perilaku dari agen dalam mengelola perusahaan.

  2. The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak beritindak merugikan prinsipal.

  3. The residual Loss , yaitu penurunan tingkat utilitas prinsipal maupun agen karena adanya hubungan agensi.

  Konflik antara manajer dan pemegang saham atau yang sering disebut dengan masalah keagenan dapat diminimumkan dengan suatu penerapan mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan tersebut, yang dapat mengurangi biaya keagenan (agency cost). Ada beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost, salah satu diantaranya adalah penerapan Good Corporate Governance ( Priyatna dan Imam (2013).

2.2 Teori Legitimasi

  Menurut Haniffa et al., (2005) dalam legitimacy theory perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan semakin menyadari bahwa keberlangsungan kehidupan perusahaan bukan hanya bergantung pada faktor keuangan, tetapi juga hubungan yang baik perusahaan dengan masyarakatnya dan lingkungan dimana perusahaan melakukan semua aktivitasnya.

  Defenisi tersebut mengisyaratkan bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah, individu dan kelompok masyarakat. Untuk itu suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan kepada society, operasi perusahaan harus kongruen dengan harapan masyarakat.

  Uraian di atas menjelaskan bahwa teori legitimasi merupakan salah satu teori yang mendasari pengungkapan CSR. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dilakukan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat.

2.3 Corporate Social Responsibility

  Konsep CSR sebagai salah satu tonggak penting dalam manajemen korporat. Konsep mengenai CSR mulai diperkenalkan Bowen pada tahun 1953 dalam sebuah karya seminarnya mengenai tanggung jawab sosial pengusaha. Menurut Bowen, tanggung jawab sosial diartikan sebagai, “it refers to the

  

obligations of businessman to persue those policies, to make those decisions, ot to

follow those lines of action which ar desirable in term of the objectives and value

of our society.”

  Menurut Carroll (dikutip dari Permanasari, 2010), konsep CSR memuat komponen-komponen sebagai berikut :

  1. Economic responsibilities

  Tanggung jawab sosial perusahaan yang utama adalah tanggung jawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri dari aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat secara menguntungkan.

  2. Legal responsibilities

  Masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan mentaati hukum dan peraturan yang berlaku pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legistatif.

  3. Ethical responsibilities

  Masyarakat berharap perusahaan menjalankan bisnis secara etis yaitu menunjukan refleksi moral yang dilakukan oleh pelaku bisnis secara perorangan maupun kelembagaan unutk menilai suatu isu dimana penilaian ini merupakan pilihan terhadap nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.

  4. Discretionary responsibilities

  Masyarakat mengharapkan keberadaan perusahaan dapat memberikan mamfaat bagi mereka.

  Dengan meluasnya konsep CSR, diluar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan pada pemegang saham, perusahaan juga harus menjaga tanggung jawab sosialnya.

  Di Indonesia, kewajiban harus melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan baru dimulai sejak awal 1990-an melalui progam PUKK (Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi), kemudian berlanjut dengan beragam istilah, seperti : Progam Kemitraan dan Bina Lingkungan (PK-BL) yang dilaksanakan oleh BUMN dan Swasta yang telah diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Selain itu pemerintah melalui Keputusan Ketua Bapepam No: kep-134/BL/2006 juga mengatur mengenai pengungkapan informasi dalam laporan keuangan tahunan perusahaan-perusahaan di indonesia.

  Pengungkapan informasi yang diatur oleh pemerintah memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan para investor dari ketidakseimbangan informasi antara manajemen dengan investor karena adanya kepentingan manajemen.

2.4 Pengertian Bank

  Bank merupakan lembaga keuangan yang menawarkan jasa keuangan seperti kredit, tabungan, pembayaran jasa dan melakukan fungsi-fungsi keuangan lainnya secara profesional (Maharani, 2009).

  Keberhasilan bank ditentukan oleh kemampuan mengidentifikasi permintaan masyarakat akan jasa-jasa keuangan kemudian memberikan pelayanan secara efisien dan menjualnya dengan harga bersaing. Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No.10 tahun 1998 pasal 1 angka 2, pengertian bank adalah sebagai sebagai berikut :

  Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak. Pengertian diatas memiliki kandungan filosofis yang tinggi. Pengertian yang lebih teknis dapat ditemukan pada Standar Akuntasi Keuangan (PSAK).

  Pengertian bank menurut PSAK No.31 dalam Standar Akuntansi Keuangan (1999:31.1) adalah :

  Bank adalah suatu lembaga keuangan yang berperan sebagai perantara keuangan antar pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancarkan lalu lintas pembayaran.

  Sedangkan berdasarkan SK Menteri Keuangan RI No.792 tahun 1990, Bank merupakan suatu badan yang kegiatannya di bidang keuangan yang melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan.

  Berdasarkan defenisi-defenisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi memperlancar lalu lintas pembayaran (Maharani, 2009).

2.4.1 Jenis dan Kegiatan Usaha Bank Jenis bank bermacam-macam, tergantung pada cara klasifikasinya.

  Menurut Kasmir (2004: 15), klasifikasi bank dapat dilakukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

  1. Jenis bank menurut fungsinya :

  a. Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, kemudian dicabut dengan UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

  b. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (Pasal 1 angka 3 UU Perbankan tahun 1998).

  c. Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (Pasal 1 angka 4 UU Perbankan tahun 1998).

  d. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Hal tersebut dimungkinkan oleh ketentuan pasal 5 ayat (2) UU Perbankan tahun 1992.

  Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu adalah antara lain melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang. Pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah/ pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migas dan pengembangan pembangunan perumahan.

  Sedangkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan prinsip syariah, antara lain pembiataan berdasarkan prinsip abgi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah istisna). Sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 33 UU Perbankan tahun 1998.

  2. Jenis bank menurut kepemilikannya :

  a. Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat didirikan berdasarkan Undang-Undang.

  b. Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan menjalankan usahanya setelah mendapat izin dari pimpinan Bank Indonesia. Ketentuan-ketentuan tentang perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan bank umum swasta yang ditetapkan dalam pasal 16, pasal 21, dan pasal 22 UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian pasal-pasal tersebut telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998. c. Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum yang dimiliki sepenuhnya oleh Warga Negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri.

  d. Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu bank pembangunan daerah. Berdasarkan pasal 54 UU Perbankan tahun 1992 dimana dinyatakan bahwa UU No.13 tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok bank pembangunan daerah dinyatakan hanya berlaku untuk jangka waktu satu tahun sejak mulai berlakunya UU tersebut, maka bentuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) tersebut akan disesuaikan menjadi bank umum sesuai dengan UU Perbankan tahun 1992.

2.4.2 Perkembangan Perbankan

  Jumlah bank meningkat pesat dengan adanya ketentuan Paket Oktober 1988 yang memberikan peluang untuk membuka bank-bank baru (Kasmir, 2004:3). Setelah tahun 90-an jumlah bank mengalami banyak penuruan terus seiring dengan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia untuk membentuk Sistem Perbankan yang kuat. Dengan jumlah bank pada awal tahun 1997 sebanyak 238 bank, mengalami penurunan pada akhir tahun 1997 menjadi 222 bank. Penurunan bank terus terjadi karena pada tahun 1998 ada 10 bank yang di BBKU ( Bank Beku Kegiatan Usaha), 8 bank take over (BTO). Pembekuan terjadi lagi pada Maret 1999 sebanyak 38 bank dan 9 BTO. Progam rekapitulasi untuk bank swasta dilakukan pada tahun 1999 untuk 9 bank dan bulan Maret 2000, Bank Danamon melakukan merger dengan 7 BTO dan pada tahun yang sama Bank Bali dan Bank Niaga ikut progam rekapitulasi. Pada Bank Daerah, progam rekapitulasi dilakukan bulan Mei 1999 sebanyak 12 BPD diikuti dengan rekapitulasi Bank Pemerintah yakni Bank Mandiri merger dari BEII, BBD, BDN, dan BAPINDO, BNI, BRI, dan BTN.

2.5 Good Corporate Governance

  Tujuan good corporate governance adalah untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pihak yang berkepentingan dan pemegang saham (Untung, 2014: 6). Pihak-pihak yang berkepentingan adalah pihak internal yang meliputi dewan komisaris, direksi, karyawan, dan pihak eksternal yang meliputi investor, kreditur, pemerintah, masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan (stakeholders).

  Di Indonesia GCG telah diatur sedemikian rupa dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti dalam ketentuan UU. No 19 Tahun 2003 tentang BUMN dalam pasal 36 perihal Maksud dan Tujuan Perusahaan BUMN dan Pasal 73 perihal Restrukturisasi. Perusahaan harus memerhatikan GCG tersebut. Selain peraturan tersebut, sebelumnya pemerintah juga mengisyaratkan untuk menerapkan prinsip GCG ini dalam BUMN dengan Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep. 117/M-MBU/2002 tentang penerapan GCG di BUMN sebagai pedoman korporasi yang diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN yang sehat. Untuk perusahaan swasta dalam hal penanaman modal juga telah diatur dalam pasal 15 UU. No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

  Menurut Untung (2014:7) prinsip-prinsip yang diatur dalam GCG secara umum terdiri dari 4 prinsip, yaitu :

  1. Akuntabilitas (accountability) Prinsip ini mewajibkan direksi perushaan bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan untuk mewujudkan tujuan dari perusahaan tersebut.

  2. Keterbukaan (transparency) Adanya informasi yang akurat dan dapat diaudit oleh pihak ketiga yang independen sebagai laporan kepada pemegang saham, sehingga pemegang saham dapat mengetahui perkembangan dan kemerosotan perusahaan.

  3. Kewajaran (fairness) Prinsip ini memberikan perlindungan terhadap kepentingan minoritas, khususnya para pemegang saham minoritas untuk dapat memiliki perlakukan yang adil.

  4. Tanggung Jawab (responsibility) Prinsip ini menegaskan konsep fiduciary duty dari para pengguna perseroan untuk lebih mematuhi aturan-aturan yang digariskan dalam pengelolaan perusahaan.

  Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua proksi GCG untuk menilai pengaruhnya terhadap nilai perusahaan. Kedua proksi tersebut adalah Kepemilikan Manajemen dan Kepemilikan Institusional.

2.5.1 Kepemilikan Manajerial

  Manajer mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam kepemilikan saham dengan tujuan mensetarakan dengan pemegang saham. Melalui kebijakan ini diharapkan manajer dapat menghasilkan kinerja yang baik serta mengarahkan dividen pada tingkat yang paling rendah (Dewi, 2008). Dengan penetapan dividen rendah perusahaan memiliki laba ditahan yang tinggi sehingga memiliki sumber dana internal relatif tinggi untuk membiaya investasi di masa yang akan datang.

  Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham mengakibatkan terjadinya konflik yang sering disebut agency

  

conflict . Konflik kepentingan yang sering terjadi ini menyebabkan pentingnya

  suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976). Mekanisme pengawasan terhadap manajemen tersebut menimbulkan biaya yaitu biaya keagenan, oleh karena itu salah satu cara mengurangi agency cost adalah dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen.

  Kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan akan menyelaraskan kepentingan manajemen dan pemilik perusahaan, sehingga dapat mengurangi konflik keagenan. Meningkatnya kepemilikan manajerial maka para manajer perusahaan akan mengurangi perilaku yang merugikan perusahaan.

  Pengambilan keputusan perusahaan pada manajer juga akan mendapat manfaat langsung dan apabila keputusan yang diambil salah maka para manajer juga akan menanggung resiko langsung, sehingga para manajer pun akan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil akan mempengaruhi nilai perusahaan sehingga apabila para manajer dalam mengambil keputusan dapat efektif dan efisien maka nilai perusahaan juga akan meningkat. Peningkatan kepemilikan manajerial membantu untuk menghubungkan kepentingan pihak internal dan pemegang saham, dan mengarah ke pengambilan keputusan yang lebih baik dan meningkatnya nilai perusahaan.

  Menurut Shleifer dan Vishny (Siallagan dan Machfoedz, 2006) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat (Siallagan dan Machfoedz, 2006).

  Menurut Jensen dan Meckling kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen. Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif memonitoring aktivitas perusahaan (Permanasari, 2010).

2.5.2 KepemilikanInstitusional

  Kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Menurut Che Hat et al. (Permanasari, 2010) kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki oleh orang di luar perusahaan terhadap total saham perusahaan.

  Tingkat saham insttitusional yang tinggi akan menghasilkan upaya-upaya pengawasan yang lebih intensif sehingga dapat membatasi perilaku opportunistic manajer, yaitu manajer melaporkan laba secara oportunis untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya (Permanasari, 2010).

  Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu meningkatkan nilai perusahaan, karena segala aktivitas perusahaan akan diawasi oleh pihak institusi. Investor institusional terlibat dalam pengambilan keputusan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba (Permanasari, 2010).

  Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki peran penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Menurut Shleifer and Vishny (Permanasari, 2010) bahwa institusional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan.

  Kepemilikan Institusional memiliki kelebihan antara lain :

  1. Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi.

  2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.

2.6 Nilai Perusahaan

  Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham. Nilai perusahaan pada dasarnya dapat dilihari dari beberapa aspek salah satunya adalah harga saham perusahaan, karena harga pasar saham mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan kegiatan perusahaan. Nurlela dan Islahuddin (2008) menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan.

  Nilai perusahaan juga diartikan sebagai harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut dijual. Nilai perusahaan sering dikaitkan dengan harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan maka akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham.

  Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, karena menunjukan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Nilai perusahaan didefenisikan sebagai nilai pasar, karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimun apabila harga saham perusahaan meningkat.

  Indikator rasio yang dipakai untuk mengukur nilai perusahaan dalam penelitian ini adalah Tobin’s Q. Rasio ini dikembangkan oleh Profesor James Tobin (1976) (Permanasari, 2010). Rasio ini memberikan informasi yang baik, karena memasukan unsur hutang, modal saham perusahaan, dan seluruh aset perusahaan karena rasio ini menjelaskan bahwa nilai perusahaan yang baik dapat dilihat dari sisi pemegang saham ataupun kreditor. Jadi semakin besar nilai Tobin’s Q menunjukan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik.

  Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar aset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku aset perusahaan maka semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut.

2.7 Penelitian Terdahulu

  Penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Penlitian Terdahulu No Nama peneliti dan Tahun Penelitian Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian

  1 Rachman (2012) Pengaruh corporate social responsibility, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2008-2010 X1 : corporate social responsibility X2 : kepemilikan manajerial X3: kepemilikan institusional Y : nilai perusahaan

  Corporate social responsibility memiliki pengaruh yang signifikan pada nilai perusahaan. sedangkan kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh signifikan pada nilai perusahaan.

  2 Komang (2013) Pengaruh struktur kepemilikan saham dan corporate social responsibility pada nilai perusahaan

  X1 : Kepemilikan Manajerial X2 : Kepemilikan Institusional X3 : Kepemilikan Publik X4 : CSR Y : Nilai perusahan

  Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan publik dan csr tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan

  3 Aditama (2013) Pengaruh kepemilikan manajemen, kepemilikan institusi, leverage, dan pengungkapan corporate social resposibility terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur di bursa efek indonesia

  X1 : Kepemilikan manajemen X2 : Kepemilikan Institusional X3 : Leverage X4 : Pengungkapan CSR Y : Nilai Perusahaan Kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional dan pengungkapan csr tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, sedangkan leverage memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan

  4 Amantih (2012) Pengaruh Good Corporate Governance terhadap nilai perusahaan dengan pengungkapan corporate social responsibility sebagai variabel pemoderasi (studi kasus pada perusahaan rokok yang terdaftar di BEI)

  X1 : Good corporate governancce X2 : Pengungkapan CSR Y : Nilai perusahaan Good corporate governance berpengaruh negatif pada nilai perusahaan, sedangkan CSR tidak memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan.

  5 Michelle (2014) Pengaruh kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan (studi empiris pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI)

  X1 : Kepemilikan manajerial X2 : kepemilikan institusional Y : Nilai perusahaan

  Secara simultan kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

  Sumber : Rachman (2012), Komang (2013), Aditama (2013), Amantih (2012), dan Michelle (2014)

2.8 Kerangka Konseptual

  Menurut agency theory, pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan konflik keagenan. Konflik keagenan disebabkan prinsipal dan agen mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang saling bertentangan karena agen dan prinsipal berusaha memaksimalkan utilitasnya masing-masing.

  Menurut Tendi Haruman (2008), perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham mengakibatkan manajemen berperilaku curang dan tidak etis sehingga merugikan pemegang saham. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara manajemen dengan saham. Manajer yang sekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai perusahaan karena dengan meningkatkan nilai perusahaan, maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga (Permanasari, 2010).

  Kepemilikan institusional, dimana umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Faizal, 2004). Begitu pula menurut Wening (2009) semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan.

  Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan akan terjamin tumbuh secara berkelanjutan jika perusahaan memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup karena keberlanjutan merupakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu dengan adanya praktik CSR yang baik, diharapkan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh investor (Rika dan Islahuddin, 2008).

  Kerangka konseptual dari penelitian ini adalah menggambarkan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Yang merupakan variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional, sedangkan yang merupakan variabel dependen dari penelitian ini adalah nilai perusahaan. Kepemilikan Manajerial (X1) Kepemilikan Institusional (X2) Nilai Perusahaan (Y) Pengungkapan CSR (X3)

  Sumber : Rachman (2012), Komang (2013), Aditama (2013), Amantih (2012), dan Michelle (2014) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.9 Hipotesis Penelitian

  Menurut Sugiyono (2012: 93), “hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan”.

  Dari kerangka konseptualdiatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini ialah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan perbankan yang terdaftar yang terdaftar di BEI periode 2011-2013.

Dokumen yang terkait

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Pt.Indonesia Asahan Aluminium Dengan Pt.Putra Tanjung Lestari Dalam Pengandaan Tenaga Keeja Outsourcing Setelah Pt.Inalum Bumn

0 0 20

Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan Dengan Refined Economic Value Added dan Financial Value Added Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Saham Perusahaan Food And Beverage Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 2 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Laporan Keuangan 2.1.1 Pengertian Analisis Laporan Keuangan - Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan Dengan Refined Economic Value Added dan Financial Value Added Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Saham Perusahaan Food An

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan Dengan Refined Economic Value Added dan Financial Value Added Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Saham Perusahaan Food And Beverage Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan Dengan Refined Economic Value Added dan Financial Value Added Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Saham Perusahaan Food And Beverage Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 2 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tenaga Kerja (Manpower) - Analisis Faktor – Faktor Yang mempengaruhi Lama Mencari Kerja Bagi Tenaga Kerja Terdidik Di Kota Medan

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Laporan Keuangan 2.1.1.1 Definisi Laporan Keuangan - Investigasi Terhadap Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Delay: Studi Empiris Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Investigasi Terhadap Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Delay: Studi Empiris Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 10

Investigasi Terhadap Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Delay: Studi Empiris Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 12

Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerialdan Kepemilikan Institusionalserta Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

0 0 19