BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Analisa Besar Daya Dukung Pondasi Bore Pile Menggunakan Metode Elemen Hingga Terhadap Metode Analitik Dan Metode Loading Test (Studi Kasus Proyek Pembangunan Manhattan Mall Dan Condominium)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tinjauan Umum
Tanah adalah materi utama yang menerima sepenuhnya penyaluran beban

yang ditimbulkan akibat konstruksi bangunan yang dibuat diatasnya. Tanah yang
ada di permukaan bumi mempunyai karakteristik dan sifat yang berbeda-beda,
sehingga hal ini merupakan suatu tantangan bagi perekayasa konstruksi untuk
memahami perilaku tanah yang dihadapi dalam perencanaan konstruksi dengan
jalan melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap sifat-sifat yang dimiliki
tanah, yang tentunya hasilnya tidak mutlak, tepat dan benar. Akan tetapi paling
tidak

kita

dapat

melakukan


pendekatan

secara

teknis

yang

dapat

dipertanggungjawabkan akurasinya dalam perencanaan konstruksi.
Di era perkembangan zaman yang semakin modern ini penggunaan
pondasi bore pile semakin banyak karena beberapa alasan, oleh sebab itu sangat
menarik untuk meninjau perkembangan berbagai pemakaiannya dan pelaksanaan
konstruksi jenis pondasi dalam ini, namun demikian pengalaman menunjukkan
bahwa pada setiap pekerjaan pondasi bore pile, muncul masalah-masalah spesifik
dengan kondisi yang berbeda menyangkut segi pelaksanaan konstruksi maupun
hal-hal yang menyangkut daya dukung tanah di lokasi proyek. Dalam pemilihan
pondasi sangat dibutuhkan pengetahuan tentang jenis tanah, daya dukung dan


23

penurunan yang akan ditimbulkan dalam batas aman, pengendalian mutu menjadi
salah satu kunci penting keberhasilan pondasi bore pile.

2.2.

Penyelidikan Tanah (Soil Investigation)
Penyelidikan di lapangan adalah pokok untuk memutuskan apakah suatu

usulan pekerjaan rekayasa layak/patut dan cukup secara ekonomis untuk
direncanakan. Penyelidikan lapangan sangat perlu untuk menganalisa keamanan
atau kasus keruntuhan pekerjaan pekerjaan yang ada, untuk memilih bahan-bahan
dan menentukan metode konstruksi untuk direncanakan yang kemudian
dilaksanakan. Penyelidikan tanah dilakukan untuk mengetahui parameterparameter tanah yang dalam hal ini antara lain adalah kompisisi tanah (soil
properties), sifat-sifat teknik tanah (soil engineering) serta kandungan mineralogi
yang dimiliki oleh tanah. Pengetahuan akan akan paremeter-parameter tanah
tersebut sangat diperlukan untuk perencaanan awal desain stabilisasi tanah.
Metoda-metoda penyelidikan lapangan sangat luas dalam lingkungan

proyek rekayasa dan berbagai jenis lapangan. Pada umumnya, beberapa
penyelidikan akan dimulai dengan mengumpulkan dan mempelajari semua data
tentang keadaan tanah dan kondisi geologi di lapangan. Pada banyak daerah,
keadaan pengetahuan setempat, catatan percobaan lubang galian, lubang bor dan
lain-lain disekitarnya serta perilaku struktur yang ada akan sangat membantu. Jika
keterangan yang ada tidak cukup atau tidak pasti, maka lapangan diperiksa secara
detail.

24

2.3.

Klasifikasi Tanah
Klasifikasi tanah sangat diperlukan untuk memberikan gambaran sepintas

mengenai sifat-sifat tanah di dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu
konstruksi. Dalam mekanika tanah telah banyak dibuat metode pengklasifikasian
sesuai dengan dasar yang dipakai untuk mendasari metode yang dibuat. Walaupun
terdapat berbagai sistem pengklasifikasian tanah, tetapi tidak satupun dari sistemsistem tersebut yang memberikan penjelasan yang tegas mengenai segala
kemungkinan pemakaiannya. Hal ini disebabkan karena tanah memiliki sifat-sifat

yang bervariasi. Adapun beberapa metode klasifikasi tanah yang ada antara lain:
1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur
2. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO
3. Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED

2.3.1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur
Tekstur tanah merupakan keadaan permukaan tanah. Pengaruh daripada
ukuran tiap-tiap butir tanah yang ada di dalam tanah tersebut merupakan
pembentuk tekstur tanah. Ukuran butir merupakan suatu metode yang jelas untuk
mengklasifikasikan tanah dan kebanyakan sistem-sistem klasifikasi terdahulu
banyak menggunakan ukuran butir sebagai dasar pembuatan sistem klasifikasi.
Tanah tersebut dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan ukuran butir: pasir
(sand), lanau (silt), lempung (clay). Dikarenakan deposit tanah alam pada
umumnya terdiri atas berbagai ukuran-ukuran partikel, maka perlu sekali untuk
membuat suatu aturan berdasarkan distribusi ukuran butir yang kemudian

25

menentukan persentase tanah bagi setiap batasan ukuran. Departemen Pertanian
AS telah mengembangkan suatu sistem klasifikasi ukuran butir yang menamakan

tanah secara spesifik bergantung dari persentase pasir, lanau dan lempung. Untuk
itu dibuat suatu grafik segitiga yang dipergunakan untuk mengklasifikasikan
sistem ini. Gambar 2.1. memperlihatkan grafik segitiga yang dipergunakan untuk
mengklasifikasikan tanah dengan sistem segitiga ini. Persentase pasir, lanau dan
lempung diplotkan pada grafik tersebut dan daerah dimana titik itu terletak akan
mengklasifikasikan tanah tersebut.
Akan tetapi meskipun ukuran butir ternyata menyajikan cara untuk
rnengklasifikasian tanah, namun mempunyai suatu kekurangan. Cara ini tidak
memperhitungkan sifat plastisitas tanah yang disebakan adanya kandungan (baik
dalam segi jumlah dan jenis) mineral lempung yang terdapat pada tanah. Untuk
dapat menafsirkan ciri ciri suatu tanah perlu memperhatikan jumlah dan jenis
mineral lempung yang dikandungnya.

Gambar 2.1. Klasifikasi Berdasarkan Tekstur Tanah

26

2.3.2. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO
Sistem klasifikasi tanah sistem AASHTO pada mulanya dikembangkan
pada tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Guna

mengklasifikasikan tanah untuk pemakaian lapisan dasar jalan raya. Sistem ini
pada mengklasifikasikan tanah kedalam delapan kelompok, A-1 sampai A-7.
Kelompok A-1 dianggap yang paling baik yang sesuai untuk lapisan dasar jalan
raya. Setelah diadakan beberapa kali perbaikan, sistem ini dipakai oleh The
American Association of State Highway Officials (AASHTO) dalam tahun 1945.
Bagan pengklasifikasian sistem ini dapat dilihat seperti pada Tabel 2.1. di bawah.
Khusus untuk tanah-tanah yang mengandung bahan butir halus diidentifikasikan
lebih lanjut dengan indeks kelompoknya. Indeks kelompok didefinisikan dengan
persamaan di bawah.

27

Tabel 2.1 Klasifikasi Tanah Menurut ASSHTO

28

Indeks kelompok = (F -35){ 0,2+ 0,005 (LL-40 ) + 0,0l(F - 15 )(P1 - 10)

Dimana:
F


= persen lewat ayakan 0,075 mm ( No.200) dinyatakan dalam angka bulat.

LL

= Batas cair

PI

= Indeks Plastisitas

Indeks kelompok ini selalu dinyatakan dalam bilangan bulat apabila tidak
negative. Bila negatif maka dinyatakan sebagai nol. Pada saat menghitung indeks
kelompok bagi sub kelompok A-2-6 dan A-2-7, hanya PI saja dan rumus itu yang
dipergunakan. Indeks kelompok dituliskan sebagai bagian dan klasifikasi
AASHTO. Apabila indeks kelompok bagi tanah A-7-6 dan A-2-7 sama dengan
15, maka klasifikasinya ditulis dengan A-7-6(15). Makin tinggi nilai indeks
kelompok makin kurang sesuai bahan tersebut sebagai lapisan dasar. Indeks
kelompok menunjukan nilai 0 itu berarti menunjukan suatu material lapis dasar
yang bagus dan indeks kelompok 20 atau lebih tingi menunjukan suatu material

lapis dasar yang sangat jelek.

2.3.3. Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED
Sistem klasifikasi tanah yang paling terkenal di kalangan para ahli teknik
tanah dan pondasi adalah klasifikasi sistem UNIFIED. Sistem ini pertama kali
diperkenalkan oleh Casagrande dalam tahun 1942 untuk dipergunakan pada

29

pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang dilaksanakan oleh The Army Corps
Engineers. Sistem ini telah dipakai dengan sedikit modifikasi oleh U.S. Bureau of
Reclamation dan U.S Corps of Engineers dalam tahun 1952. Dan pada tahun 1969
American Society for Testing and Material telah menjadikan sistem ini sebagai
prosedur standar guna mengklasifikasikan tanah untuk tujuan rekayasa.
Sistem UNIFIED membagi tanah ke dalam dua kelompok utama:
1. Tanah berbutir kasar → adalah tanah yang lebih dan 50% bahannya tertahan
pada ayakan No. 200. Tanah butir kasar terbagi atas kerikil dengan simbol G
(gravel), dan pasir dengan simbol S (sand).
2. Tanah butir halus → adalah tanah yang lebih dan 50% bahannya lewat pada
saringan No. 200. Tanah butir halus terbagi atas lanau dengan simbol M (silt),

lempung dengan simbol C (clay), serta lanau dan lempung organik dengan
simbol O, bergantung pada tanah itu terletak pada grafik plastisitas. Tanda L
untuk plastisitas rendah dan tanda H untuk plastisitas tinggi. Adapun simbol
simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi tanah ini adalah :
W = well graded (tanah dengan gradasi baik)
P = poorly graded (tanah dengan gradasi buruk)
L = low plasticity (plastisitas rendah) (LL < 50)
H = high plasticity (plastisitas tinggi) ( LL > 50)
Untuk lebih jelasnya klasifikasi sistem UNIFIED dapat dilihat pada bagan Tabel
2.2 dibawah :

30

Tabel 2.2. Sistem Klasifikasi Tanah UNIFIED

31

Tabel 2.2 Lanjutan Sistem Klasifikasi UNIFIED

Gambar 2.2 Grafik Bagian Plastisita


32

2.4.

Pondasi
Pondasi dikelompokkan ke dalam 2 bagian, yaitu:

a. Pondasi Dangkal (Shallow Foundation)
Terletak pada kedalaman yang dangkal, umumnya kedalaman pondasi dangkal
lebih kecil dari panjang atau lebar pondasi.
b. Pondasi Dalam (Deep Foundation)
Merupakan pondasi yang dipergunakan untuk meneruskan beban ke lapisan
tanah yang mampu memikulnya dan letaknya cukup dalam.
Menurut Bowles (1997), sebuah pondasi harus mampu memenuhi beberapa
persyaratan stabilitas dan deformasi, seperti :
a) Kedalaman harus memadai untuk menghindarkan pergerakan tanah lateral
dari bawah pondasi khusus untuk pondasi tapak dan pondasi rakit.
b) Kedalaman harus berada di bawah daerah perubahan volume musiman
yang disebabkan oleh pembekuan, pencairan dan pertumbuhan tanaman.

c) Sistem harus aman terhadap penggulingan, rotasi, penggelinciran atau
pergeseran tanah.
d) Sistem harus aman terhadap korosi atau kerusakan yang disebabkan oleh
bahan berbahaya yang terdapat di dalam tanah.
e) Sistem harus cukup mampu beradaptasi terhadap beberapa perubahan
geometri konstruksi atau lapangan selama proses pelaksanaan dan mudah
dimodifikasi seandainya perubahan perlu dilakukan.
f) Metode pemasangan pondasi harus seekonomis mungkin.

33

g) Pergerakan tanah keseluruhan (umumnya penurunan) dan pergerakan
diferensial harus dapat ditolerir oleh elemen pondasi dan elemen bangunan
atas.
h) Pondasi dan konstruksinya harus memenuhi syarat standar untuk
perlindungan lingkungan.

Jenis-Jenis Pondasi Dalam dan Pemakaiannya

Pada umumnya jenis pondasi dapat diklasifikasikan

berdasarkan

perbandingan lebar dan kedalaman pondasi, untuk jenis pondasi dalam umumnya
D/B ≥ 4+ dan jenis-jenisnya antara lain : ฀
Tiang pancang mengambang : biasanya dipakai dalam bentuk kelompokkelompok yaitu dua atau lebih. Kondisi tanah terapan yang sesuai yaitu tanah
permukaan atau tanah yang dekat dengan permukaan mempunyai daya dukung
yang rendah dan tanah yang memenuhi syarat berada pada tempat yang dalam
sekali. Keliling tanah terhadap tiang pancang dapat mengembangkan tahanan kulit
yang cukup untuk memikul beban rencana.
Tiang pancang pendukung : dipakai sama seperti tiang pancang
mengambang. Kondisi tanah terapannya yaitu tanah permukaan atau tanah yang
dekat dengan permukaan tidak dapat diandalkan untuk tahanan kulit dan biasanya
tanah yang memenuhi syarat untuk beban titik berada dalam kedalaman praktis
(8-20 m).

34

Pilar dibor atau kaison dibor : dipakai sama seperti tiang pancang tetapi di
gunakan dalam jumlah yang lebih irit ( sedikit ), dan beban kolom yang lebih
besar.
Untuk lebih jelas mengenai jenis-jenis pondasi, dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.3 Pengelompokan Pondasi

35

2.4.1 Pondasi Tiang
Pondasi tiang digunakan untuk suatu bangunan yang tanah dasar di bawah
bangunan tersebut tidak mempunyai daya dukung (bearing capacity) yang cukup
untuk memikul beban berat bangunan dan beban yang diterimanya atau apabila
tanah pendukung yang mempunyai daya dukung yang cukup letaknya sangat
dalam. Pondasi tiang adalah suatu konstruksi pondasi yang mampu menahan gaya
vertikal ke sumbu tiang dengan cara menyerap lenturan. Pondasi tiang dibuat
menjadi suatu kesatuan yang monolit dengan menyatukan pangkal tiang yang
terdapat di bawah konstruksi dengan tumpuan pondasi. Pondasi tiang ini berfungsi
untuk menyalurkan beban – beban yang diterimanya dari konstruksi di atasnya ke
lapisan tanah dalam yang mampu memikul berat bangun tersebut.
Teknik pemasangan pondasi tiang ini dapat dilakukan dengan pemancangan
tiang baja/beton pracetak atau dengan membuat tiang beton bertulang yang
langsung dicor di tempat (cast in place) yang sebelumnya telah dibuatkan lubang
terlebih dahulu, pondasi ini disebut dengan pondasi bore pile. Pada umumnya
pondasi tiang ditempatkan tegak lurus (vertikal) di dalam tanah, tetapi apabila
diperlukan dapat dibuat miring agar dapat menahan gaya – gaya horizontal. Sudut
kemiringan yang dicapai tergantung dari alat yang digunakan serta disesuaikan
dengan perencanaan.
Pondasi tiang digunakan untuk beberapa maksud, antara lain :
o Untuk meneruskan beban bangunan yang terletak di atas air atau tanah
lunak ke tanah pendukung yang kuat.

36

o Untuk meneruskan beban ke tanah yang relatif lunak sampai kedalaman
tertentu sehingga pondasi bangunan mampu memberikan dukungan yang
cukup untuk mendukung beban tersebut oleh gesekan dinding tiang
dengan tanah disekitarnya.
o Untuk mengangker bangunan yang dipengaruhi oleh gaya angkat ke atas
akibat tekanan hidrostatis atau momen penggulingan.
o Untuk menahan gaya-gaya horizontal dan gaya yang arahnya miring.
o Untuk memadatkan tanah pasir, sehingga kapasitas dukung tanah tersebut
bertambah.
o Untuk mendukung pondasi bangunan yang permukaan tanahnya mudah
tergerus air.

2.4.2 Penggolongan Pondasi Tiang
Pondasi tiang dapat dibagi menjadi 3 kategori, sebagai berikut :
1. Tiang Perpindahan besar (Large Displacement Pile)
Tiang perpindahan besar, yaitu tiang pejal atau berlubang dengan ujung
tertutup yang dipancang ke dalam tanah sehingga terjadi perpindahan
volume tanah yang relative besar. Termasuk dalam tiang perpindahan besar
adalah tiang kayu, tiang beton pejal, tiang beton prategang (pejal atau
berlubang), tiang baja bulat (tertutup pada ujungnya)
2. Tiang Perpindahan Kecil (Small Displacement Pile)
Tiang perpindahan kecil adalah sama seperti tiang kategori pertama hanya
volume tanah yang dipindahkan saat pemancangan relatif kecil, contohnya:

37

tiang beton berlubang dengan ujung terbuka, tiang beton prategang
berlubang dengan ujung terbuka, tiang baja H, tiang baja bulat ujung
terbuka, dan tiang ulir.
3. Tiang Tanpa Perpindahan (Non Displacement Pile)
Tiang tanpa perpindahan, terdiri dari tiang yang dipasang di dalam tanah
dengan cara menggali atau mengebor tanah. Termasuk dalam tiang tanpa
perpindahan adalah bore pile, yaitu tiang beton yang pengecorannya
langsung di dalam lubang hasil pengeboran tanah ( pipa baja diletakkan di
dalam lubang dan dicor beton) (Hardiyatmo, 2002)

Gambar 2.4 Panjang dan Beban Maksimum untuk Berbagai Macam Tipe
Tiang yang Umum Dipakai dalam Praktek menurut Carson
Sumber :Djatmiko & Edy, 1997

38

2.4.3. Pondasi Tiang Bor (Bore Pile)
Tiang bor dipasang ke dalam tanah dengan cara mengebor tanah terlebih
dahulu, kemudian diisi tulangan dan dicor beton. Tiang bor biasanya dipakai pada
tanah yang stabil dan kaku, sehingga memungkinkan untuk membentuk lubang
yang stabil dengan alat bor. Jika tanah mengandung air, pipa besi dibutuhkan
untuk menahan dinding lubang dan pipa ini ditarik ke atas pada waktu
pengecoran. Pada tanah yang keras atau batuan lunak, dasar tiang dapat
dibesarkan untuk menambah tahanan dukung ujung tiang.
Ada berbagai jenis pondasi tiang bor, yaitu :
1. Tiang bor lurus untuk tanah keras.
2. Tiang bor yang ujungnya diperbesar berbentuk bel.
3. Tiang bor yang ujungnya diperbesar berbentuk trapesium.

Gambar 2.5 Jenis - jenis tiang bor (Braja M.Das, 1941)
Ada beberapa alasan digunakan pondasi tiang bor dalam konstruksi, yaitu :
1. Tiang bor tunggal dapat digunakan pada kelompok tiang atau pile cap
2. Kedalaman tiang dapat divariasikan.
39

3. Tiang bor dapat dikerjakan sebelum penyelesaian tahapan selanjutnya dalam
konstruksi.
4. Proses pengerjaan tiang bor dapat menghindari kerusakan bangunan yang
ada disekitarnya.
5. Pada pondasi tiang pancang, proses pemancangan pada tanah lempung akan
membuat tanah bergelombang dan menyebabkan tiang pancang sebelumnya
bergerak ke samping dan menimbulkan suara serta getaran. Hal ini tidak
terjadi pada konstruksi tiang bor.
6. Karena dasar dari tiang bor dapat diperbesar, hal ini memberikan ketahanan
yang besar untuk daya dukung.
7. Pondasi tiang bor mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap beban lateral.
Beberapa kelemahan dari pondasi tiang bor :
1. Keadaan cuaca yang buruk dapat mempersulit pengeboran dan pembetonan.
2. Pengeboran dapat mengakibatkan gangguan kepadatan, bila tanah berupa
pasir atau tanah kerikil.
3. Pengecoran beton sulit apabila dipengaruhi air tanah karena mutu beton
tidak dapat dikontrol dengan baik.
4. Pembesaran ujung bawah tiang dapat dilakukan bila tanah berupa pasir.
5. Air yang mengalir ke dalam lubang bor dapat mengakibatkan gangguan
tanah, sehingga mengurangi kapasitas dukung tanah terhadap tiang bor.
6. Akan terjadi tanah runtuh (ground loss) jika tindakan pencegahan tidak
dilakukan.

40

7. Karena diameter tiang relatif besar dan memerlukan banyak beton, untuk
proyek pekerjaan kecil dapat mengakibatkan biaya yang melonjak.
8. Walaupun penetrasi sampai ke tanah pendukung pondasi dianggap telah
terpenuhi, terkadang terjadi tiang pendukung kurang sempurna karena
adanya lumpur yang tertimbun di dasar tiang.
Ditinjau dari segi pelaksanaannya pondasi tiang bor dapat dibedakan menjadi 3
jenis, yaitu :
1. Sistem Augering
Pada sistem ini selain augernya sendiri, untuk kondisi lapangan pada tanah
yang mudah longsor diperlukan casing atau bentonite slurry sebagai
penahan longsor. Penggunaan bentonite slurry untuk kondisi lapisan tanah
yang permeabilitasnya besar tidak disarankan, karena akan membuat banyak
terjadinya perembesan melalui lapangan permeable tersebut.
2. Sistem Grabbing
Pada penggunaan sistem ini diperlukan casing (continuous semirotary
motion casing) sebagai penahan kelongsoran. Casing tersebut dimasukkan
ke dalam tanah dengan cara ditekan sambil diputar. Sistem ini sebenarnya
cocok untuk semua kondisi tanah, tetapi yang paling sesuai adalah kondisi
tanah yang sulit ditembus.
3. Sistem Wash Boring
Pada sistem ini diperlukan casing sebagai penahan kelongsoran dan juga
pompa air untuk sirkulasi air yang dipakai untuk pengeboran. Sistem ini
cocok untuk kondisi tanah pasir lepas. Untuk jenis tiang bor ini perlu

41

diberikan tambahan tulangan praktis untuk penahan gaya lateral yang
terjadi. Penulangan minimum 2% dari luas penampang tiang.
Ada beberapa pengaruh yang diakibatkan ketika pemasangan bored pile yaitu:
1. Bored pile dalam tanah kohesif
Penelitian pengaruh pekerjaan pemasangan bore pile pada adhesi antara
dinding tiang dan tanah sekitarnya, menunjukkan bahwa nilai adhesi lebih
kecil dari pada nilai kohesi tak terdrainase (undrained cohesion) tanah
sebelum pemasangan tiang. Hal ini, adalah akibat dari pelunakan lempung
di sekitar dinding lubang. Pelunakan tersebut adalah pengaruh dari
bertambahnya kadar air lempung oleh pengaruh – pengaruh air pada
pengecoran beton, pengaliran air tanah ke zona yang bertekanan yang lebih
rendah di sekitar lubang bor, dan air yang dipakai untuk pelaksanaan
pembuatan lubang bor. Pelunakan pada tanh lempung dapat dikurangi jika
pengeboran dan pengecoran dilaksanakan dalam waktu 1 atau 2 jam
(Palmer and Holland, 1966).
Pelaksanaan pengeboran juga mempengaruhi kondisi dasar lubang yang
dibuat. Hal ini mengakibatkan pelunakan dan gangguan tanah lempung di
dasar lubang, yang berakibat menambah besarnya penurunan. Pengaruh
gangguan ini sangat besar terutama bila diameter ujung tiang diperbesar,
dimana tahanan ujungnya sebagian ditumpu oleh ujung tiang. Karena itu,
penting untuk membersihkan dasar lubang. Gangguan yang lain dapat pula
terjadi akibat pemasangan tiang yang tidak baik, seperti : pengeboran yang
melengkung,

pemisahan

campuran

beton

saat

pengecoran

dan

42

pelengkungan tulangan beton saat pemasangan. Hal – hal tersebut perlu
diperhatikan saat pemasangan.

2. Bored pile pada tanah granuler
Pada waktu pengeboran, biasanya dibutuhkan tabung luar (casing) sebagai
pelindung terhadap longsoran dinding galian. Gangguan kepadatan tanah
terjadi pada saat tabung pelindung ditarik keatas saat pengecoran . Karena
itu dalam hitungan bored pile di dalam tanah pasir, tomlinson (1975)
menyarankan untuk menggunakan

sudut geser dalam

(ϕ) ultimit dari

contoh tanah terganggu, kecuali jika tiang diletakkan pada kerikil padat
dimana dinding lubang yang bergelombang tidak terjadi Jika pemadatan
yang seksama diberikan pada beton yang berada di atas tiang, maka
gangguan kepadatan tanah dieliminasi sehingga sudut geser dalam (ϕ)
pada kondisi padat dapat digunakan, akan tetapi pemadatan tersebut sulit
dilaksanakan karena terhalang tulangan beton.
2.4.4 Metode Pelaksanaan Pondasi Bored Pile
Metode pelaksanaan pondasi di lapangan sangat dipengaruhi oleh teknologi
cangih. Aplikasi teknologi ini banyak diterapkan dalam metode pelaksanaan
pekerjaan konstruksi. Penggunaan metode yang tepat, praktis, cepat dan aman
sangat membantu dalam penyelesaian pekerjaan pada suatu proyek konstruksi.
Sehingga target waktu, biaya dan mutu sebagaimana ditetapkan dapat tercapai.
Bahkan, pelaksanaan yang efisien dan efektif

dapat membantu dalam

penggunaan biaya.

43

Secara umum tahapan pekerjaan pondasi tiang bor sebagai berikut :
1.

Persiapan Lokasi Pekerjaan (Site Preparation)
Pelajari lay – out pondasi dan titik – titik bored pile, membersihkan
lokasi pekerjaan dari gangguan yang ada seperti bangunan, tanaman,
pepohonan, tiang listrik/telepon, kabel dan lain sebagainya.

2.

Rute / Alur Pengeboran (Route of Boring)
Merencanakan alur/urutan pengeboran sehingga setiap pergerakan
mesin RCD, Excavator, Crane dan Truck Mixer dapat termobilisasi
tanpa halangan.

3.

Suvey Lapangan dan Penentuan Titik Pondasi (Site Survey and
Centering of Pile)
Mengukur dan menentukan posisi titik koordinat bored pile dengan
bantuan alat Theodolit.

4.

Pemasangan Stand Pipe
Stand pipe dipasang dengan ketentuan bahwa pusat dari stand pipe
harus berada pada titik as pondasi yang telah disurvei terlebih dahulu.
Pemasangan stand pipe dilakukan dengan bantuan excavator (back
hoe).

5.

Pembuatan Drainase dan Kolam Air
Kolam air berfungsi untuk penampungan air bersih yang akan
digunakan untuk pekerjaan pengeboran sekaligus untuk tempat
penampungan air bercampur lumpur hasil dari pengeboran. Ukuran
kolam air berkisar 3m x 3m x 2,5m dan drainase penghubung dari
44

kolam ke stand pipe berukuran 1,2m, dan kedalaman 0,7 m (tergantung
kondisi lapangan). Jarak kolam air tidak boleh terlalu dekat dengan
lubang pengeboran, sehingga lumpur dalam air hasil pengeboran
mengendap dulu sebelum airnya mengalir kembali ke lubang
pengeboran. Lumpur hasil pengeboran yang mengendap di dalam
kolam diambil (dibersihkan) dengan bantuan excavator.
Prosedur Pengeboran dengan Metode RCD
Metode RCD merupakan metode dengan pengeboran sedikit berputar untuk
melepaskan

tanah

yang

dibor

dan

air

melalui

bored

pile.

Dengan

memperluas pengeboran pile membuat pengeboran terus menerus berjalan, hal ini
efektif dilakukan sehingga tidak perlu untuk mengangkat bucket seperti metode
lain. Ketinggian air harus dijaga 2 m lebih tinggi daripada tingkat air bawah tanah
untuk mencegah runtuhnya lubang dibor . Jika ketinggian muka air di dalam
lubang yang berisi material halus dari air tanah yang dibor sudah cukup
penuh, salurkan hingga habis ke kolam pengendapan dan endapkan , hal
ini untuk mencegah runtuhnya dinding berongga pada bored pile. Proses sirkulasi
air seperti mengirim air ke luar dari pipa dibor, aliran air dengan mudah mengalir,
sehingga dinding berongga yang lebih stabil, dan air yang mengalir di dalam pipa
menalir dengan cepat, yang membuat tanah dibor habis dengan mudah. Dalam
metode RCD, casing, diperlukan untuk mencegah runtuhnya dinding berlubang
dan untuk mengamankan tingkat air di dalam lubang.

45

Ada beberapa tahapan yang harus dilaksanakan dalam metode RCD yaitu :
1. Setting Mesin RCD (RCD Machine Instalation)
Setelah stand pipe terpasang, mata bor sesuai dengan diameter yang
ditentukan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam stand pipe, kemudian
beberapa buah pelat dipasang untuk memperkuat tanah dasar dudukan mesin
RCD (dapat dilihat pada Gambar 2.6), kemudian mesin RCD diposisikan
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Mata bor disambung dengan stang pemutar, dan harus tepat berada
pada pusat/as stand pipe (titik pondasi).
2. Pondasi mesin RCD harus tegak lurus terhadap lubang yang akan
dibor (yang sudah terpasang stand tube).

Gambar 2.6 Pengoperasian Dasar Metode RCD

Dalam metode RCD, pengeboran sedikit berputar untuk melepaskan
tanah yang dibor dan air melalui bore pile. Dengan memperluas pengeboran

46

pile membuat pengeboran terus menerus berjalan, hal ini efektif dilakukan
sehingga tidak perlu untuk mengangkat bucket seperti metode lain. Ketinggian air
harus dijaga 2 m lebih tinggi daripada tingkat air bawah tanah untuk mencegah
runtuhnya lubang dibor. Jika ketinggian muka air di dalam lubang yang
berisi material halus dari air tanah yang dibor sudah cukup penuh, salurkan hingga
habis ke kolam pengendapan dan endapkan, hal ini untuk mencegah runtuhnya
dinding berongga pada bored pile. Proses sirkulasi air seperti mengirim air ke luar
dari pipa dibor, aliran air dengan mudah mengalir, sehingga dinding berongga
yang lebih stabil, dan air yang mengalir di dalam pipa mengalir dengan cepat,
yang membuat tanah dibor habis dengan mudah. Dalam metode RCD, casing,
diperlukan

untuk

mencegah

runtuhnya

dinding

berlubang

dan

untuk

mengamankan tingkat air di dalam lubang.
2. Proses Pengeboran (Drilling Work)
Setelah letak/posisi mesin RCD sudah benar – benar tegak lurus, maka
proses pengeboran dapat dimulai dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Pengeboran dilakukan dengan memutar mata bor kearah kanan, dan
sesekali diputar ke arah kiri untuk memastikan bahwa lubang
pengeboran benar – benar mulus, sekaligus untuk menghancurkan
tanah hasil pengeboran supaya larut dalam air agar lebih mudah
dihisap.
2. Proses pengeboran dilakukan bersamaan dengan proses penghisapan
lumpur hasil pengeboran, sehingga air yang ditampung pada kolam
47

air harus dapat memenuhi sirkulasi air yang diperlukan untuk
pengeboran.
3. Setiap kedalaman pengeboran + 3 meter, dilakukan peyambungan
stang bor sampai kedalaman yang diinginkan tercapai.
4. Jika kedalaman yang diinginkan hampir tercapai + 1 meter lagi,
maka proses penghisapan dihentikan (mesin pompa hisap tidak
diaktifkan),

sementara

pengeboran

terus

dilakukan

sampai

kedalaman yang diinginkan (dapat diperkirakan dari stang bor yang
sudah masuk), selanjutnya stang bor dinaikkan sekitar 0,5 – 1 meter,
lalu proses penghisapan dilakukan terus sampai air yang keluar dari
selang buang kelihatan lebih bersih + 15 menit.
5. Kedalaman pengeboran diukur dengan meteran pengukur, jika
kedalaman yang diinginkan belum tercapai maka proses pada
langkah ke 4 dilakukan kembali. Jika kedalaman yang diinginkan
sudah tercapai maka stang bor boleh diangkat dan dibuka.
3.

Instalasi Tulangan dan Pipa Tremic
(Steel Cage and Tremic Pipe Instalation)
Tulangan yang digunakan sudah harus tersedia lebih dahulu sebelum
pengeboran dilakukan, sehingga proses pengeboran selesai, langsung
dilakukan instalasi tulangan, hal ini dilakukan untuk menghindari
terjadinya kelongsoran dinding lubang yang sudah selesai dibor.

48

Tulangan harus dirakit rapi dan ikatan tulangan spiral dengan tulangan
utama harus benar – benar kuat sehingga pada waktu pengangkatan
tulangan oleh crane tidak terjadi kerusakan pada tulangan.
Proses instalasi tulangan dilakukan sebagai berikut :
a. Posisi crane harus benar – benar diperhatikan, sehingga tulangan
yang akan dimasukkan benar – benar tegak lurus terhadap lubang
bor, dan juga pada waktu pengecoran tidak menghalangi jalan masuk
truck mixer.
b. Pada tulangan diikatkan dua buah sling, satu buah pada ujung atas
tulangan dan satu buah lagi pada bagian sisi memanjang tulangan.
Pada bagian dimana sling diikat, ikatan tulangan spiral dengan
tulangan utama diperkuat (bila perlu dilas), sehingga pada waktu
tulangan diangkat, tulangan tidak rusak (ikatan spiral dengan
tulangan utama tidak lepas). Pada setiap sambungan (bagian overlap)
sebaiknya dilas, karena pada proses pengecoran, sewaktu pipa tremie
dinaikkan dan diturunkan kemungkinan dapat mengenai sisi tulangan
yang dapat menyebabkan sambungan tulangan terangkat ke atas.
c. Tulangan diangkat dengan menggunakan dua hook crane, satu pada
sling bagian ujung atas dan satu lagi pada bagian sisi memanjang,
pengangkatan dilakukan dengan menarik hook secara bergantian
sehingga tulangan tepat lurus, dan setelah tulangan terangkat dan
sudah tegak lurus dengan lubang bor, kemudian dimasukkan secara

49

perlahan ke dalam lubang, posisi tulangan terus dijaga supaya tidak
menyentuh dinding lubang bor dan posisinya harus benar – benar di
tengah/di pusat bor.
d. Jika level yang diinginkan berada di bawah permukaan tanah, maka
digunakan besi penggantung.
e. Setelah tulangan dimasukkan, kemudian pipa tremie dimasukkan.
Pipa tremie disambung – sambung untuk memudahkan proses
instalasi dan juga untuk memudahkan pemotongan tremie pada
waktu pengecoran. Ujung pipa tremie berjarak 25 – 50 cm dari dasar
lubang pondasi. Jika jaraknya kurang dari 25 cm maka pada saat
pengecoran beton lambat keluar dari tremie, sedangkan jika jaraknya
lebih dari 50 cm, maka saat pertama kali beton keluar dari tremie
akan terjadi pengenceran karena bercampur dengan air pondasi
(penting untuk diperhatikan). Pada bagian ujung atas pipa tremie
disambung dengan corong pengecoran.
4. Pengecoran dengan Ready Mix Concrete
Proses pengecoran harus segera dilakukan setelah instalasi
tulangan dan pipa tremie selesai, guna menghindari kemungkinan
terjadinya kelongsoran pada dinding lubang bor. Oleh karena itu
pemesanan ready mix concrete harus dapat diperkirakan
waktunya dengan waktu pengecoran.

50

Proses pengecoran dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Pipa tremie dinaikkan setinggi 25 -50 cm di atas dasar
lubang bor, air dalam pipa tremie dibiarkan dulu stabil,
kemudian dimasukkan bola karet atau mangkok karet yang
diameternya sama dengan diameter dalam pipa tremie, yang
berfungsi untuk menekan air campur lumpur ke dasar lubang
sewaktu beton dituang pertama sekali, sehingga beton tidak
bercampur dengan lumpur.
2. Pada awal pengecoran, penuangan dilakukan lebih cepat,
hal ini dilakukan supaya bola karet dapat benar – benar
menekan air campuran lumpur di dalam pipa tremie, setelah
itu penuangan distabilkan sehingga beton tidak tumpah dari
corong.
3. Jika beton dalam corong penuh, pipa tremie dapat
digerakkan naik turun dengan syarat pipa tremie yang
tertanam dalam beton minimal 1 meter pada saat pipa tremie
dinaikkan. Jika pipa tremie yang tertanam dalam beton terlalu
panjang, hal ini dapat memperlambat proses pengecoran,
sehingga perlu dilakukan pemotongan pipa tremie dengan
memperhatikan syarat bahwa pipa tremie yang masih
tertanam dalam beton minimal 1 meter.
4. Pengecoran dilakukan dengan mengandalkan gaya
gravitasi bumi (gerak jatuh bebas), posisi pipa tremie harus

51

berada pada pusat lubang bor, sehingga tidak merusak
tulangan atau tidak menyebabkan tulangan terangkat pada
saat pipa tremie digerakkan naik turun. Pengecoran
dihentikan 0,5 – 1 meter diatas batas beton bersih, sehingga
kualitas beton pada batas bersih benar – benar terjamin
(bebas dari lumpur). Setelah pengecoran selesai dilakukan,
pipa tremie diangkat dan dibuka, serta dibersihkan. Batas
pengecoran diukur dengan meteran kedalaman.
5. Penutupan Kembali/Back Filling Lubang pondasi yang
telah selesai di cor ditutup kembali dengan tanah setelah
beton mengeras dan stand pipe dicabut, kemudian tanah
tersebut dipadatkan, sehingga dapat dilewati truck dan alat –
lat berat lainnya.
6. Drainase dan pagar sementara selama pelaksanaan
pekerjaan

Bored pile. Untuk menampung air dan lumpur

buangan dari lubang bored pile, dibuat proteksi sementara
menggunakan karung yang diisi pasir. Pagar sementara
dibuat dan dipasang untuk melindungi lokasi pekerjaan dari
masyarakat umum, gangguan lalulintas, dll.

52

Gambar 2.7 Pelaksanaan Pondasi Bored pile secara keseluruhan Pelaksanaan
Pondasi Bored pile dengan Metode RCD

2.5. MEH (Metode Elemen Hingga) Bidang Geoteknik
2.5.1. Metode Elemen Hingga
Metode elemen hingga adalah prosedur perhitungan yang dipakai untuk
mendapatkan pendekatan dari permasalahan matematis yang sering muncul pada
rekayasa teknik dari metode tersebut yang membuat persamaan matematis dengan
berbagai pendekatan dan rangkaian persamaan aljabar yang melibatkan nilai nilai pada titik – titik diskrit pada bagian yang dievaluasi. Persamaan metode
elemen hingga dibuat dan dicari solusinya dengan sebaik mungkin untuk

53

menghindari kesalahan pada hasil akhirnya. Jaring ( mesh ) terdiri dari elemen elemen yang dihubungkan oleh node. Node merupakan titik - titik pada jaring di
mana nilai dari variabel primernya dihitung. Misal untuk analisa displacement,
nilai variabel primernya adalah nilai dari displacement. Nilai - nilai nodal
displacement diinterpolasikan pada elemen agar didapatkan persamaan aljabar
untuk displacement, dan regangan, melalui jaring - jaring yang terbentuk.
Program ini melakukan perhitungan berdasarkan metode elemen hingga
yang digunakan secara khusus untuk melakukan analisis deformasi dan stabilitas
untuk berbagai aplikasi dalam bidang geoteknik. Kondisi sesungguhnya dapat
dimodelkan dalam regangan bidang maupun secara axisymetris. Program ini
menerapkan metode antarmuka grafis yang mudah digunakan sehingga pengguna
dapat dengan cepat membuat model geometri dan jaring elemen berdasarkan
penampang melintang dari kondisi yang ingin dianalisis. Program ini terdiri dari
empat buah sub-program yaitu masukan, perhitungan, keluaran, dan kurva
Metode elemen hingga pada rekayasa geoteknik memiliki sedikit
perbedaan dengan metode elemen hingga pada rekayasa struktur, sebab dalam
rekayasa geoteknik terjadi interaksi elemen yang memiliki kekakuan yang
berbeda. Seperti halnya pondasi dan tanah, dalam menganalisis pondasi dengan
metode elemen hingga terdapat perdeaan kekakuan antara dua elemen, yaitu
elemen tanah dan elemen struktur atau pondasi itu sendiri.

54

Gambar 2.8 Contoh pemodelan pondasi
Adapun tahapan – tahapan analisa dengan menggunakan metode elemen
hingga adalah sebagai berikut :
a.) Pemilihan Tipe Elemen

Gambar 2.9 Jenis – Jenis Elemen
Ada tiga pembagian elemen secara garis besar dalam metode elemen
hingga, yaitu

55

-

1D (line elements) ; sering dipakai dalam pemodelan beam element. Beam
element menerima momen tahanan (bending moment),
tegangan normal dan juga tegangan geser.

-

2D (plane elements) : bentuk elemen 2D yang umum dipakai dalah triangular
element

(segitiga)

dan

quadrilateral

element

(segiempat).
-

3D

: secara umum elemen – elemen 3D bisa dibedakan
menjadi solid elements, shell elements, dan solid – shell
elements. Bentuk elemen 3D yang umum dipakai adalah
tetrahedral element (limas segitiga) dan hexahedral
element (balok).

Di dalam elemen terdapat dua jenis titik, yaitu titik nodal dan juga titik
integrasi. Titik nodal adalah titik yang penghubung antar elemen. Perpindahan
terjadi pada titik nodal. Titik integrasi (stress point) dapat diperoleh tegangan dan
regangan yang terjadi pada elemen.

Gambar 2.10 Titik Nodal dan Integrasi

56

2.5.2. Fungsi Perpindahan (shape function)
Fungsi perpindahan atau shape function (N) adalah fungsi yang
menginterpolasikan perpindahan di titik nodal ke perpindahan di elemen dengan
menggunakan segitiga pascal.
Dalam pemilihan fungsi perpindahan, hal mendasar yang perlu diketahui
adalah fungsi perpindahan di titik yang ditinjau selalu bernilai satu dan bernilai
nol (0) di titik lainnya.

Tabel 2.3 Fungsi Perpindahan

2.5.3. Elemen Untuk Analisa Dua Dimensi
Analisa

dua

dimensi

pada

umumnya

merupakan

analisa

yang

menggunakan elemen
triangular atau quadrilatelar ( Gambar 2.12 ). Bentuk umum dari elemen elemen tersebut berdasarkan pada pendekatan Iso-Parametric di mana fungsi
interpolasi polynomial dipakai untuk menunjukkan displacement pada elemen.

57

Gambar 2.11 Bentuk umum elemen Dua Dimensi

2.5.4

Interpolasi Displacement
Nilai - nilai nodal displacement pada solusi elemen hingga dianggap

sebagai primary unknown. Nilai ini merupakan nilai displacement pada nodes.
Untuk mendapatkan nilai - nilai tersebut harus menginterpolasikan fungsi - fungsi
yang biasanya merupakan polynomial.

Gambar 2.12 Elemen dan six-noded triangular

58

Anggap sebuah elemen seperti pada Gambar 2.12. U dan V adalah Displacement
pada sebuah titik di elemen pada arah x dan y. Displacement ini didapatkan
dengan menginterpolasikan displacement pada nodes dengan menggunakan
persamaan polynomial:

U(x,y) = a0 + a1x + a2y2 + a3x2 + a4xy + a5y2 ……………………….( 2.1 )
V(x,y) = b0 + b1x + b2y + b3x2 + b4xy + b5y2 ……………….......…...( 2.2 )

Konstanta a1, a2, …, a5 dan b1, b2, …, b5 tergantung pada nilai nodal
displacement. Jika jumlah nodes yang menjabarkan elemen bertambah maka
fungsi interpolasi untuk polynomial yang juga akan bertambah.
2.5.5

Regangan
Regangan pada elemen dapat diturunkan dengan memakai definisi standar.

Sebagai contoh untuk six-node triangle :
εxx = ∂u / ∂x = a1 + 2a3x + a4y ………………………………….( 2.3 )
εyy = ∂v / ∂y = b2 + b4x + 2b5y ……………….……………… ( 2.4 )
εxy = (∂u / ∂y) + (∂v / ∂x) = (b1+ a2) (a4 + 2b3)x + (2a5x + b4)y .... … ( 2.5 )
Persamaan yang menghubungkan regangan dengan nodal displacement ditulis
dalam bentuk persamaan matrix :
ε = B. Ue …………………………………………………………( 2.6 )
Vektor regangan ε dan vektor nodal displacement masing – masing dihubungkan
dengan

59

Ue :
𝑼𝑼𝟏𝟏
𝑽𝑽
⎛ 𝟏𝟏 ⎞
𝜺𝜺𝒙𝒙𝒙𝒙
𝑽𝑽
⎜ 𝟐𝟐 ⎟
𝒆𝒆
𝜺𝜺
ε= � 𝒚𝒚𝒚𝒚 � 𝑼𝑼 = ⎜ … ⎟..........................................................(2.7)
𝜺𝜺𝒙𝒙𝒚𝒚
⎜…⎟
𝑼𝑼𝟔𝟔
⎝ 𝑽𝑽𝟔𝟔 ⎠
2.5.6

Hukum Konstitutif ( Constitutive Law )
Constitutive law diformulasikan untuk membuat matrik hubungan antara

tegangan ( vektor σ ) dengan regangan ( vektor ε ) :
σ = D. ε ………………………………………………………….( 2.8 )
Keterangan :
D : Matrik kekakuan material
Untuk kasus elastisitas isotropik regangan bidang linear, matrixnya :

𝑫𝑫 =

𝟏𝟏 − 𝑽𝑽
𝑽𝑽
𝟎𝟎

𝑬𝑬

(𝟏𝟏−𝟐𝟐𝑽𝑽)(𝟏𝟏+𝑽𝑽)

𝑽𝑽
𝟏𝟏 − 𝑽𝑽
𝟎𝟎

𝟎𝟎
𝟎𝟎 �................................. (2.9)
𝟏𝟏−𝟐𝟐𝑽𝑽
𝟐𝟐

Keterangan :
E : Modulus young
v : Poisson’s ratio

60

2.5.7

Matriks Kekakuan Elemen
Gaya pada tanah yang diaplikasikan pada elemen dianggap sebagai gaya

yang bekerja pada nodes. Vektor nodal forces Pe ditulis :
𝑷𝑷𝟏𝟏𝒙𝒙
𝑷𝑷
⎛ 𝟏𝟏𝒚𝒚 ⎞
⎜𝑷𝑷𝟐𝟐𝒙𝒙 ⎟
⎜𝑷𝑷 ⎟
𝑷𝑷𝒆𝒆 = ⎜ 𝟐𝟐𝒚𝒚 ⎟............................................................................. (2.10)



⎜ … ⎟
𝑷𝑷𝟔𝟔𝒙𝒙
𝑷𝑷
⎝ 𝟔𝟔𝒚𝒚 ⎠

Nodal forces yang bekerja pada titik i di arah x dan y adalah Pix dan Piy, dan
dihubungkan
dengan nodal displacement dengan matrik :
KeUe = Pe ………………………………………………………………( 2.11 )
Sedangkan Ke merupakan Matriks Kekakuan Elemen yang ditulis :
Ke = Bt.D.B.dv ……………………………………………………...( 2.12 )
Keterangan :
D : Matriks kekakuan material
B : Matriks penghubung nodal displacement dengan regangan
dv : Elemen dari volume

2.5.8

Matriks Kekakuan Global
Matriks kekakuan K untuk jaring ( mesh ) elemen hingga dihitung dengan

menggabungkan matrik - matrik kekakuan elemen di atas.
K.U = P …………………………………………………………………( 2.13 )

61

Di mana U merupakan vektor yang mempunyai unsur displacement pada semua
titik pada jaring elemen hingga.

2.5.9. Pemodelan Pada Program MEH
Dalam menggunakan program MEH, pengguna harus mengetahui terlebih
dahulu konsep pemodelan yang akan dipilih. Sebelum melakukan perhitungan
secara numerik, maka terlebih dahulu dibuat model dari pondasi tiang pancang
yang akan dianalisis, seperti Gambar 2.13 berikut ini :

Gambar 2.13 Model Pondasi Tiang Bor ( Bored Pile )

62

Material yang dipergunakan dalam pemodelan tersebut adalah material
tanah dan material pondasi, dimana masing-masing material mempunyai sifat
teknis yang memengaruhi perilakunya. Dalam program MEH, sifat – sifat tersebut
diwakili oleh parameter dan pemodelan yang spesifik.
Pemodelan pada Plaxis mengasumsikan perilaku tanah bersifat isotropis
elastic linier berdasarkan Hukum Hooke. Akan tetapi, model ini memiliki
keterbatasan dalam memodelkan perilaku tanah, sehingga umumnya digunakan
untuk struktur yang padat dan kaku di dalam tanah. Input parameter berupa
Modulus Young E dan rasio Poisson υ dari material yang bersangkutan.
𝐸𝐸 =

𝜎𝜎

(2.14)

𝜈𝜈 =

𝜀𝜀 ℎ

(2.15)

𝜀𝜀

𝜀𝜀 𝑣𝑣

Di dalam program Plaxis ada beberapa jenis permodelan tanah antara lain
model tanah Mohr – Coulomb dan model Soft Soil.
2.5.10. Model Mohr – Coulumb
Pemodelan Mohr – Coulomb mengasumsikan bahwa perilaku tanah
bersifat plastis sempurna (Linear Elastic Perfectl Plastic Model), dengan
menetapkan suatu nilai tegangan batas dimana pada titik tersebut tegangan tidak
lagi dipengaruhi oleh regangan. Input parameter meliputi lima buah parameter
yaitu :


modulus Young ( E ), rasio Poisson ( υ ) yang memodelkan
keelastisitasan tanah
63



kohesi ( c ), sudut geser ( ϕ ) memodelkan perilaku plastis dari
tanah



dan sudut dilantasi ( ψ ) memodelkan perilaku dilantansi tanah

Pada pemodelan Mohr – Coulumb umumnya dianggap bahwa nilai E
konstan untuk suatu kedalaman pada suatu jenis tanah, namun jika diinginkan
adanya peningkatan nilai E per kedalaman tertentu disediakan input tambahan
dalam program Plaxis. Untuk setiap lapisan yang memperkirakan rata – rata
kekakuan yang konstan sehingga perhitungan relatif lebih cepat dan dapat
diperoleh kesan pertama deformasi. Selain lima parameter di atas, kondisi tanah
awal memiliki peran penting dalam masalah deformasi tanah.
Nilai rasio Poisson υ dalam pemodelan Mohr – Coulomb didapat dari
hubungannya dengan koefisien tekanan

dimana :

𝐾𝐾𝑏𝑏 =
υ

1−υ

𝜎𝜎 ℎ

𝜎𝜎𝑣𝑣

=

𝜎𝜎 ℎ

𝜎𝜎𝑣𝑣

(2.16)
(2.17)

Secara umum nilai υ bervariasi dari 0,3 sampai 0,4 namun untuk kasus –
kasus penggalian (unloading) nilai υ yang lebih kecil masih realistis.
Nilai kohesi c dan sudut geser ϕ diperoleh dari uji geser triaxial, atau
diperoleh dari hubungan empiris berdasarkan data uji lapangan. Sementara sudut
dilantasi ψ digunakan untuk memodelkan regangan volumetrik plastik yang
bernilai positif. Pada tanah lempung NC, pada umumnya tidak terjadi dilantasi (ψ
= 0), sementara pada tanah pasir dilantasi tergantung dari kerapatan dan sudut
geser ϕ dimana ψ = ϕ – 30°. Jika ϕ < 30° maka ψ = 0. Sudut dilantasi ψ bernilai
negatif hanya bersifat realistis jika diaplikasikan pada pasir lepas.

64

2.5.11 Model Tanah Lunak ( Soft Soil )
Seperti pada pemodelan Mohr – Coulomb, batas kekuatan tanah
dimodelkan dengan parameter kohesi (c), sudut geser dalam tanah (ϕ), dan sudut
dilantasi (ψ). Sedangkan untuk kekakuan tanah dimodelkn menggunakan
parameter λ* dan k*, yang merupakan parameter kekakuan yang didapatkan dari
uji triaksial maupun oedometer.
𝐶𝐶

𝐶𝐶
λ∗ = 2.3(1+𝑏𝑏
)

2𝐶𝐶

𝑠𝑠
𝑘𝑘 ∗ = 2.3 (1+𝑏𝑏)

(2.18)
(2.19)

Model Soft Soil ini dapat memodelkan hal – hal sebagai berikut :
-

Kekakuan yang berubah bersama dengan tegangan (Stress Dependent
Stiffness)

-

Membedakan pembebanan primer (primary loading) terhadap unloading
– reloading

-

Mengingat tegangan pra – konsolidasi

2.5.12 Studi Parameter
Model tanah yang dipilih adalah model Mohr – Coulomb, dimana perilaku
tanah dianggap elastis dengan parameter yang dibutuhkan yaitu :
1. Berat isi tanah γ (kN/m3), didapat dari hasil pengujian laboratorium

65

2. Modulus elastisitas, E (stiffness modulus) digunakan pendekatan terlebih
dahulu dengan memperoleh Modulus Geser Tanah (G), sehingga nilai E
dapat diperoleh melalui persamaan :
𝐸𝐸 = 2 𝐺𝐺 (1 + υ )

(2.20)

3. Poisson’s ratio (υ) diambil nilai 0.2 – 0.4
4. Sudut Geser Dalam (ϕ) didapat dari hasil pengujian laboratorium
5. Kohesi ( c ) didapat dari hasil pengujian laboratorium
6. Sudut dilantasi (ψ) diasumsikan sama dengan nol.
7. Perilaku tanah dianggap elastis
a. Tiang pancang, material yang dipilih adalah linier elastis

Gambar 2.14 Tab Parameter untuk Model Mohr – Coulomb

66

2.5.13 Parameter Tanah


Modulus Young ( E )
Terdapat beberapa usulan nilai E yang diberikan oleh peneliti, diantaranya

pengujian sondir yang dilakukan oleh DeBeer (1965) dan Webb (1970)
memberikan korelasi antara tahanan kerucut qc dan E sebagai berikut :
E = 2 qc ( dalam satuan kg/cm2 )

(2.21)

Bowles memberikan persamaan yang dihasilkan dari pengumpulan data
sondir, sebagai berikut :
E = 3 qc

(untuk pasir)

(2.22)

E = 2 – 8 qc

(untuk lempung)

(2.23)

dengan qc dalam kg/cm2
Nilai perkiraan modulus elastisitas dapat diperoleh dengan pengujian SPT
(Standard Penetration Test). Nilai modulus elastis yang dihubungkan dengan nilai
SPT, sebagai berikut:
𝐸𝐸 = 6(𝑁𝑁 + 5) 𝑘𝑘⁄𝑓𝑓𝑏𝑏 2

(untuk pasir berlempung)

𝐸𝐸 = 10(𝑁𝑁 + 15) 𝑘𝑘⁄𝑓𝑓𝑏𝑏 2 (untuk pasir)

(2.24)
(2.25)

67

Tabel 2.4 Korelasi N-SPT dengan modulus elastisitas pada tanah pasir
(Schmertman, 1970)
Subsurface

Penetration Friction Poisson Relative

Young’s

Condition

Resistance

Angle

Ratio

Density

Modulus Modulus

Range N

Φ (deg)

(v)

Dr (%)

Range

Range

Es* (psi)

G**

Shear

(psi)
Very Loose 0 – 4

28

0.45

0 – 15

0-440

0-160

Loose

28 – 30

0.40

15 – 35

440-

160-390

4 – 10

1100
Medium

Dense

Very

10 – 30

30 – 50

50 - 100

30 – 36

36 – 41

41 - 45

0.35

0.30

0.2

35 – 65

65 – 85

85 – 100

Dense

Es* = 2 qc psf

G** =

𝐸𝐸𝑠𝑠

2(1+𝑣𝑣)

1100-

390-

3300

1200

3300-

1200-

5500

1990

5500-

1990-

11000

3900

; dimana v = 0,5

68

Tabel 2.5 Korelasi N-SPT dengan modulus elastisitas pada tanah lempung
(Randolph,1978)
Subsurface Penetration Poisson Shear

Young’s

Shear

Condition

Resistance

Ratio

Strength

Modulus

Modulus

Range N

(v)

Su

Range

Range

(psf)

Es* (psi)

G** (psi)

Very soft

2

0.45

250

170 – 340

60-110

Soft

2–4

0.40

375

260 – 520

80-170

Medium

4–8

0.35

750

520 – 1040

170-340

Subsurface Penetration Poisson Shear

Young’s

Shear

Condition

Lanjutan Tabel 2.5

Stiff

Resistance

Ratio

Strength

Modulus

Modulus

Range N

(v)

Su

Range

Range

(psf)

Es* (psi)

G** (psi)

1500

1040– 2080 340-690

8 – 15

0.30

69

Very Stiff

15 - 30

0.2

3000

2080-4160

690-1390

Hard

30

0.004

4000

2890-5780

960-1930

40

0.004

5000

3470-6940

1150-2310

60

0.0035

7000

4860-9720

1620-3420

80

0.0035

9000

6250-12500 2080-4160

100

0.003

11000

7640-15270 2540-5090

120

0.003

13000

9020-18050 3010-6020

Es = (100-200)Su psf



G** =

𝐸𝐸𝑠𝑠

2(1+𝑣𝑣)

; dimana v = 0,5

Poisson’s Ratio (μ)
Rasio poisson sering dianggap sebesar 0,2 – 0,4 dalam pekerjaan –

pekerjaan mekanika tanah. Nilai sebesar 0,5 biasanya dipakai untuk tanah jenuh
dan nilai 0 sering dipakai untuk tanah kering dan tanah lainnya untuk kemudahan
perhitungan.
Tabel 2.6 Hubungan Jenis Tanah, konsistensi dan Poisson’s Ratio (μ)

Soil Type

Description

μ

Soft

0.35 – 0.40

Medium

0.30 – 0.35

Clay

70

Sand



Stiff

0.20 – 0.30

Loose

0.15 – 0.25

Medium

0.25 – 0.30

Dense

0.25– 0.35

Berat Jenis Tanah Kering ( γdry )
Berat jenis tanah kering adalah perbandingan antara berat tanah kering

dengan satuan volume tanah. Berat jenis tanah kering dapat diperoleh dari data
Soil Test dan Direct Shear.


Berat Jenis Tanah Jenuh ( γsat )
Berat jenis tanah jenuh adalah perbandingan antara berat tanah jenuh.

Dimana ruang porinya terisi penuh dengan air.
𝐺𝐺 + 𝑏𝑏

𝑠𝑠
� 𝛾𝛾𝑤𝑤
𝛾𝛾𝑠𝑠𝑡𝑡𝑏𝑏 = � 1+𝑏𝑏

(2.26)

(sumber : Braja, 1995)
dimana :
Gs

: Spesific Gravity

e

: Angka Pori

γw

: Berat Isi Ai

Nilai – nilai dari Gs, e dan γw didapat dari hasil pengujian tanah dengan
Triaxial Test dan Soil Test

71



Sudut Geser Dalam (ϕ)
Sudut geser dalam tanah dan kohesi merupakan faktor dari kuat geser

tanah yang menentukan ketahan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang
bekerja pada tanah. Deformasi dapat terjadi akibat adanya kombinasi keadaan
kritis dari tegangan normal dan tegangan geser. Nilai dari sudut geser dalam tanah
didapat dari engineering properties tanah, yaitu dengan triaxial test dan direct
shear test.


Kohesi (c)
Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Nilai dari

kohesi didapat dari engineering properties, yaitu dengan triaxial test dan direct
shear test.



Permeabilitas (k)
Berdasarkan persamaan Kozeny – Carman, nilai permeabilitas untuk

setiap layer tanah dapat dicari dengan menggunakan rumus :
𝑘𝑘 =

𝑏𝑏 3

(2.27)

1+𝑏𝑏

Untuk tanah yang berlapis – lapis harus dicari nilai permeabilitas untuk
arah vertikal dan horizontal dapa