Tindakan Eksploitasi Sumber Daya Perikanan Di Wilayah Laut Zee Oleh Kapal Asing Menurut Hukum Internasional

  

  batas terluar dari perairan pedalaman suatu negara. Garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis terendah, di mana pada keadaan seperti ini tentunya tidak terdapat perairan pedalaman namun dalam keadaan-keadaan tertentu dapat digunakan garis pangkal yang lain, yang akan menimbulkan adanya

  • perairan pedalaman.

  Keadaan-keadaan tersebut adalah : a. Apabila garis pangkal sangat menjorok ke dalam atau apabila terdapat jajaran pulau-pulau di sepanjang pantai, suatu garis pangkal lurus dapat ditarik dari titik-titik tertentu pada pantai atau pulau-pulau tersebut. Garis pangkal lurus harus mengikuti arah umum namun dari pantai dan perairan ke arah darat dari garis ini yang akan membentuk perairan pedalaman harus sangat erat

   kaitannya dengan daratan.

  b.

  Apabila sebuah sungai langsung bermuara ke laut, garis pangkal dapat ditarik melintasi mulutnya dengan melintasi mulutnya dengan menghubungkan titik-

   titik pada garis air rendah di tepi muara tersebut.

  c.

  Apabila daratan sangat cekung ke dalam sehingga dapat dikatakan adanya perairan yang dilingkupi oleh daratan (dalam keadaan di mana daerah lekukan lebih besar dari setengah lingkaran dengan diameter yang sama lebarnya dengan lebar mulut lekukan tersebut), laut teritorial dapat diukur dari garis penutup yang ditarik pada mulut lekukan, dengan ketentuan bahwa garis penutup tersebut panjangnya tidak boleh melebihi 24 mil laut. Perairan

  §§§ Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, UGM **** Press, Yogyakarta, 1991. hlm. 5. †††† United Nations Convention On The Law Of The Sea, 1982. Pasal 5.

  United Nations Convention On The Law Of The Sea, 1982. Pasal 7. yang berada pada arah darat dari garis penutup tersebut juga mempunyai

  

status sebagai perairan pedalaman.

  Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dalam Konvensi ini pada umumnya mengambil alih ketentuan-ketentuan Konvensi 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan yang telah di uraikan di atas. Kedudukan negara pantai tetap dipertahankan sebagai pemilik kedaulatan penuh atas laut/perairan pedalamannya.

  Kedaulatan ini pun tidak disertai dengan keharusan untuk menjamin hak lintas damai bagi kapal asing sebagaimana halnya di laut teritorial.

2. Laut Teritorial

  Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut di bawahnya. Dalam hukum laut yang baru ini kedaulatan negara tetap dibatasi dengan hak lintas damai bagi kapal asing. Selain ketentuan mengenai garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial (garis air rendah, garis pangkal lurus, dan garis penutup) sebagaimana telah disebutkan di atas, Konvensi memuat ketentuan yang lebih terinci mengenai beberapa keadaan khusus yang dapat mempengaruhi penetapan garis pangkal, seperti instalasi pelabuhan, tempat berlabuh di tengah laut dan evelasi surut dan yang lebih penting lagi adalah adanya kenyataan di mana telah dicapai kesepakatan mengenai batas terluar laut teritorial yaitu 12 mil laut diukur dari garis pangkal sesuai dengan pasal 4 UNCLOS. Artinya, ini merupakan pemecahan terhadap suatu masalah yang belum terselesaikan pada Konferensi Hukum Laut yang pertama dan kedua, yang diadakan pada tahun 1958 dan 1960. Beberapa negara tertentu batas 12 mil ini merupakan perluasan laut teritorialnya, sedangkan untuk beberapa negara lainnya hal ini diartikan sebagai kegagalan Konvensi untuk mengesahkan tuntutan mereka yang lebih luas lagi. Belanda termasuk ke dalam kelompok pertama, dan peraturan perundang-undangan yang memperluas laut

  • teritorialnya hingga 12 mil telah disahkan dan mulai berlaku pada tahun 1985.

  Lebih jauh lagi, lebar laut teritorial 12 mil ini mengakibatkan beberapa selat yang menurut hukum laut klasik termasuk ke dalam pengaturan laut lepas, kini tunduk pada pengaturan laut teritorial; kebebasan berlayar yang dahulu dinikmati di laut lepas kini tidak diperoleh lagi di selat-selat tersebut. Mengenai hal ini Konvensi mencantumkan beberapa ketentuan khusus untuk selat-selat tertentu, di mana hak lintas damai dianggap tidak mencukupi lagi. Akhirnya Konvensi memuat ketentuan-ketentuan untuk penetapan batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan dan berdampingan, apabila tidak ada persetujuan yang menyatakan sebaliknya, tidak satu negara pun yang berhak untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah, yaitu garis yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial masing-masing negara seperti

  ††††† yang diatur dalam pasal 15 UNCLOS.

3. Jalur Tambahan

  Pasal 33 menegaskan jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis- garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, negara pantai dapat melakukkan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ***** peraturan perundang-undangan pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya dan Albert W. Koers, Op.cit. hlm. 6. sekaligus juga dapat menerapkan hukumnya, maka lebar laut jalur tambahan ini juga telah diperluas apabila dibandingkan dengan lebar jalur tambahan menurut

  ‡‡‡‡ hukum laut klasik.

  Pasal 33 ayat 1 dan 2 Konvensi secara umum menyatakan, bahwa zona tambahan adalah suatu zona perairan yang berbatasan dengan laut teritorial yang lebar maksimumnya adalah 24 (dua puluh empat) mil laut diukur dari garis pangkal darimana laut teritorial itu diukur. Pada zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang dibutuhkan untuk :

  a) Mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah bea-cukai, fiskal, imigrasi, atau sanitasi yang dilakukkan dalam wilayah atau laut teritorialnya;

  b) Menghukum pelaku pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut

  §§§§§ teritorialnya.

4. Landas Kontinen

  Pasal 76 UNCLOS menyatakan Landas Kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen (continental margin) atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut tertorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen di mana batas terluar landas kontinen sampai kedalaman 200 meter dan kriteria eksploitabilitas, digantikan oleh kriteria geologis (batas terluar tepian kontinen) serta kriteria jarak (batas 200 mil). Pasal 76 merupakan pencerminan dari kompromi antara negara-negara pantai yang memiliki landas ‡‡‡‡‡ Albert W. Koers, Op.cit. hlm. 7. §§§§§

  I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Yrama kontinen luas (seperti Canada) yang mendasarkan pada kriteria eksploitabilitas sebagaimana termuat dalam Konvensi Jenewa 1958 dan tetap mempertahankan posisi bahwa mereka memiliki hak-haknya di seluruh landas kontinennya, dengan

  • negara-negara yang menginginkan kawasan internasional seluas mungkin.

  Konvensi juga menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai penetapan batas landas kontinen antara negara-negara yang pantainya berbatasan atau berhadapan.

  Ketentuan dalam pasal 83 UNCLOS ini identik dengan ketentuan mengenai hal yang sama di zona ekonomi eksklusif. Ketentuan lainnya yang identik adalah ketentuan dalam pasal 121 UNCLOS yaitu mengenai pulau yang tidak mendukung adanya kehidupan manusia atau kehidupan perekonomian yang tidak

  ††††††

  dapat memiliki landas kontinennya sendiri. Pengaturan mengenai landas kontinen di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

5. Kepulauan

  Zona ekonomi eksklusif bukanlah satu-satunya perluasan yang drastis dari hak-hak negara-negara pantai di dalam Konvensi, rezim kepulauan yang baru pun menunjukkan hal yang sama. Pasal 46 mengartikan suatu kepulauan sebagai kelompok pulau-pulau dan perairan yang menghubungkannya yang saling berkaitan erat, sehingga membentuk kesatuan geografis, ekonomi dan politik atau yang secara historis telah dianggap demikian. Suatu negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan. Negara-negara ini ****** dapat menarik garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada Albert W. Koers, Op.cit. hlm. 7. pulau-pulau terluar dari gugusan kepulauan tersebut, dengan pulau utama termasuk ke dalam garis-garis pangkal tersebut, dengan perbandingan antara perairan dan daratan tidak melebihi 9 : 1 dengan suatu pengecualian, panjang garis pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut dan tidak boleh menyimpang dari kofigurasi umum kepulauan sesuai dengan Pasal 47.

  Pasal 48 menegaskan lebar laut teritorial, jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen diukur dari garis-garis pangkal tersebut. Ini berarti bahwa kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang dikelilingi oleh garis- garis pangkal tersebut, termasuk udara di atasnya serta dasar laut di bawahnya.

  Namun demikian tidaklah dapat disimpulkan bahwa perairan kepulauan ini sama dengan perairan pedalaman. Perbedaannya adalah bahwa perairan kepulauan

  ‡‡‡‡‡ tunduk kepada suatu rezim khusus tentang pelayaran dan lintas penerbangan.

6. Laut Lepas

  Laut lepas terbuka bagi semua negara, baik negara yang berpantai maupun yang tidak berpantai, dan kebebasan di laut lepas ini, antara lain adalah; (a) kebebasan berlayar; (b) kebebasan untuk terbang di atasnya; (c) kebebasan untuk meletakan kabel dan pipa bawah laut; (d) kebebasan untuk membangun pulau- pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya; (e) kebebasan menangkap ikan; dan (f) kebebasan melakukkan riset ilmiah. Kebebasan-kebebasan ini harus dilaksanakan oleh negara-negara dengan mempertimbangkan kepentingan negara- negara lain, serta hak-hak yang tercantum dalam Konvensi mengenai eksploitasi kawasan dasar laut dalam sesuai dengan Pasal 87. Laut lepas harus digunakan hanya untuk maksud-maksud damai, dan tidak ada satu negara pun dapat

  §§§§§§ menyatakan kedaulatannya terhadap bagian dari laut lepas ini.

  7. Dasar Samudera Dalam

  Pasal 1 konvensi menetapkan dasar laut dalam ini dengan istilah “Kawasan”, yang diartikan sebagai dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar batas-batas yuridiksi nasional. Ini berarti “Kawasan” adalah dasar laut di luar zona ekonomi eksklusif, kecuali daerah dasar laut di luar batas tersebut termasuk ke dalam bagian dari landas kontinen suatu negara pantai.

  Menurut pasal 36 Konvensi ini, “Kawasan” dan sumber kekayaan alam di dalamnya dinyatakan sebagai warisan bersama seluruh umat manusia. Tidak satu negara pun dapat menyatakan kedaulatannya ataupun hak berdaulatnya terhadap bagian dari “Kawasan” ini, ataupun terhadap sumber kekayaan alamnya. Semua hak-hak atas sumber kekayaan alam ini diserahkan kepada umat manusia secara keseluruhan, sesuai dengan Pasal 137. Rezim hukum yang dibentuk oleh Konvensi ini memberikan akibat praktis bagi prinsip-prinsip yang akan dirinci

  • secara mendalam kemudian.

  8. Zona Ekonomi Eksklusif

  Pembukaan Konferensi Hukum Laut III tampak adanya dua kubu yang berbeda, banyaknya negara-negara (khususnya negara-negara yang sedang berkembang) menunjukkan dirinya sebagai pembela dari kelompok yang menghendaki suatu perluasan hak negara pantai secara drastis, di pihak lain (khususnya negara-negara industri) menginginkan sesedikit mungkin pengurangan §§§§§§ Albert W. Koers, Op.cit. hlm. 12. kebebasan di laut lepas. Seperti biasanya pendirian ini didasari oleh kepentingan masing-masing. Negara-negara yang sedang berkembang mengharapkan keuntungan yang lebih besar dari eksploitasi perairan sekitar pantainya (misalnya dengan mensyaratkan semacam pembayaran kepada kapal-kapal ikan asing), sementara negara-negara industri memiliki kepentingan untuk tetap mempertahankan kebebasan seluas mungkin karena biar bagaimanapun mereka memiliki kemampuan teknologi dan modal untuk menggunakan kebebasan

  ††††††† tersebut secara efektif.

  Pembukaan Konferensi Hukum Laut III tersebut, dua pendapat yang sangat ekstrem, yaitu di satu pihak berupa usul yang menginginkan ditetapkannya lebar laut teritorial 3 mil dengan hak perikanan yang terbatas bagi negara pantai di luar batas laut teritorial tersebut, sedangkan di pihak lain ada suatu usul yang menghendaki perluasan laut teritorial sampai 200 mil dari pantai. Akhirnya dicapai suatu kompromi yang menetapkan lebar laut teritorial 12 mil, dan di luar itu terdapat zona ekonomi eksklusif yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil laut dari pantai.

  Zona ekonomi eksklusif dapat diartikan sebagai suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial. Menurut pengertian Pasal

  ‡‡‡‡‡‡‡

  56, di zona ekonomi eksklusif negara pantai dapat menikmati : a.

  Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi konservasi dan pengelolaan segala sumber daya kekayaan alam di dasar laut dan tanah ††††††† di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua Albert W. Koers, Op.cit. hlm. 7. kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energi dari air, arus dan angin).

  b.

  Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut.

  c.

  Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi.

  Zona ekonomi eksklusif tidak tunduk sepenuhnya dengan kedaulatan penuh negara pantai. Negara pantai “hanya” menikmati hak-hak berdaulat dan bukan kedaulatan. Bahwa zona ekonomi eksklusif bukan laut teritorial dapat dilihat pada Pasal 58 yang menyatakan bahwa, di zona ekonomi eksklusif semua negara dapat menikmati kebebasan berlayar dan terbang di atasnya serta kebebasan untuk meletakan pipa dan kabel bawah laut, dan juga penggunaan sah lainnya yang berkenaan dengan kebebasan tersebut. Sesuai dengan ketentuan ini, aspek-aspek kebebasan di laut lepas berlaku juga di zona ekonomi eksklusif, dapat disimpulkan bahwa zona ekonomi eksklusif adalah laut lepas, merupakan suatu masalah yang tidak dapat dijawab secara tegas oleh Konvensi. Tampaknya kemungkinan paling besar adalah bahwa zona ekonomi eksklusif merupakan zona

  §§§§§§§ yang paling “sui generis”.

  Konvensi juga berisikan pengaturan tentang penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara-negara yang pantainya berhadapan maupun berdampingan. Penetapan batas tersebut harus ditetapkan melalui perjanjian yang didasarkan pada hukum internasional untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang adil. Apabila tidak dicapai suatu persetujuan, maka negara-negara yang bersangkutan harus menyelesaikannya melalui prosedur yang ditetapkan Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 74. Pasal 121 juga penting untuk penetapan batas zona ekonomi eksklusif ini, karena dalam pasal tersebut dinyatakan “batu karang” (dengan kata lain, pulau) yang tidak mendukung adanya kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tidak berhak

  • untuk memiliki zona ekonomi eksklusif. Indonesia sendiri terhadap zona ekonomi eksklusifnya memiliki pengaturan tersendiri, yaitu diatur dalam Undang- undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia).

B. Sumber Daya Alam dan Eksploitasi dalam Hukum Internasional 1. Sumber Daya Alam

  Suryanegara mengatakan bahwa secara definisi sumber daya alam adalah unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati yang diperlukan manusia

  †††††††† dalam memenuhi kebutuhannya guna meningkatkan kesejahteraan hidup.

  Menurut Katili sumber daya alam adalah semua unsur tata lingkungan

  ‡‡‡‡‡‡‡‡ biofisik yang nyata atau potensial dapat memenuhi kebutuhan manusia.

  Sumber Daya Alam menurut Ireland 1974 dalam Soerianegara, adalah keadaan lingkungan alam yang mempunyai nilai untuk memenuhi kebutuhan

  §§§§§§§§

  • ******** manusia.
  • Ibid. Diakses pada tanggal 23 Maret 2015 pukul 15.30 WIB Diakses pada tanggal 24 Maret 2015 pukul 18.00 WIB

    Diakses pada tanggal 24 Maret 2015 Sumber Daya Alam, menurut Isard mendefinisikannya sebagai keadaan lingkungan dan bahan-bahan mentah yang digunakan manusia untuk memenuhi

    • ********* kebutuhan dan memperbaiki kesejahteraannya.

      Sumber daya alam diartikan sebagai semua bahan yang ditemukan manusia di alam yang dapat dipakai untuk kepentingan hidupnya tertentu dalam

       suatu kehidupan.

      Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik. Sumber daya ada yang dapat berubah (berubah ke bentuk yang lain, baik menjadi semakin besar maupun hilang maupun ada pula sumberdaya yang kekal (selalu tetap). Sumber daya hayati adalah salah satu sumber daya dapat pulih (renewable resources).

      Sumber daya hayati secara harafiah dapat diartikan sebagai sumber daya yang mempunyai kehidupan dan dapat mengalami kematian. Jenis-jenis sumber daya non-hayati diantaranya adalah bahan mineral, air dan udara.

    2. Macam-macam Sumber Daya Alam

      Sumber daya alam dapat dibedakan berdasarkan sifat, potensi, dan jenisnya.

    a. Berdasarkan sifat

      Menurut sifatnya, sumber daya alam dapat dibagi 3, yaitu sebagai berikut : 1. Sumber daya alam yang terbarukan (renewable), misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba, air dan tanah. Disebut terbarukan karena dapat melakukan reproduksi dan memiliki daya regenerasi (pulih kembali).

    • Diakses pada tanggal 24

      2. Sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-renewable), misalnya : minyak tanah, gas bumi, batu tiara dan bahan tambang lainnya.

      3. Sumber daya alam yang tidak habis, misalnya : udara, matahari, energi pasang surut, energi laut.

    b. Berdasarkan potensi

      Menurut potensi penggunaannya, sumber daya alam dibagi beberapa macam, antara lain sebagai berikut :

      1. Sumber daya alam materi, merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan dalam bentuk fisiknya, misalnya : batu besi, emas, kayu, serat kapas, rosela, dan sebagainya.

      2. Sumber daya alam energi, merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan energinya, misalnya : batu bara, minyak bumi, gas bumi, air terjun, sinar matahari, energi pasang surut, kincir angin, dan lain-lain.

    3. Sumber daya alam ruang, merupakan sumber daya alam yang berupa ruang atau tempat hidup, misalnya : area tanah (daratan) dan angkasa.

    c. Berdasarkan Jenisnya

      Menurut jenisnya, sumber daya alam dibagi dua sebagai berikut : 1.

       Sumber daya alam non-hayati (abiotik); disebut juga sebagai sumber daya

      alam fisik, sumber daya alam yang berupa benda-benda mati, misalnya : bahan tambang, tanah, air, dan kincir angin.

    2. Sumber daya alam hayati (biotik); merupakan sumber daya alam yang

      berupa mahluk hidup, misalnya : hewan, tumbuhan, mikroba, dan

      ‡‡‡‡‡‡‡‡‡ manusia.

    3. Pengaturan Eksploitasi Sumber Daya Perikanan di Wilayah ZEE menurut Hukum Internasional

      Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 telah mengatur perikanan atau penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif, yaitu diatur oleh ketentuan Pasal 56 yang menyatakan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat (sovereign

      

    rights ) untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola

      sumber daya alam baik sumber daya alam hayati (living resources) maupun non hayati (non-living resources). Sumber daya alam hayati inilah di mana bidang perikanan yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi setiap negara karena dapat digunakan sebagai lapangan kerja bagi masyarakat suatu negara dan juga mendatangkan devisa negara dengan adanya ekspor ikan ke luar negeri.

      Pada pasal 61 ayat (1) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 menyatakan bahwa negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber hayati yang dapat diperbolehkan (allowable catch of the living resources) di zona ekonomi ekslusif, sedangkan pada ayat (2)-nya mengingatkan agar negara pantai untuk memperhatikan bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence) guna menjamin konservasi dan pengelolaan yang tepat, sehingga sumber hayati di zona ekonomi eksklusif tidak dieksploitasi berlebihan (over-exploration).

      Diakses pada tanggal 26 April 2015 pukul Konservasi dan pengelolaan tersebut dimaksudkan untuk memanfaatkannya pada tingkat hasil maksimum berkelanjutan (maximum sustainable yield-msy) bagi ekonomi masyarakat nelayan dan negara berkembang di mana negara pantai harus memperhatikan hal-hal seperti:

    1. Pola penangkapan ikan, 2.

      Persediaan ikan, dan 3. Bekerja sama dengan organisasi internasional baik sub regional, regional, atau global.

      Negara pantai harus memperhatikan jenis-jenis ikan yang boleh ditangkap, mempunyai informasi ilmiah, statistika penangkapan, usaha perikanan, kerja sama internasional yang maksudnya adalah untuk konservasi perikanan.

    a. Hak Daerah Yang Berada Dalam Yurisdiksi Negara Pantai

      Pantai perairan pedalaman dan laut teritorial dengan sendirinya perikanan tunduk kepada yurisdiksi eksekutif negara pantai. Hal ini mengikuti kedaulatan negara atas perairan tersebut. Ini tidak berarti bahwa kapal ikan asing tidak dapat menangkap ikan di sana, namun tergantung dari kebijaksanaan negara pantai apakah hal ini dijamin atau tidak.

      Pasal 56 menyatakan dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai menikmati “hak berdaulat” antara lain, atas sumber kekayaan hayati. Dengan demikian negara pantai mempunyai hak-hak yang lebih kecil jangkauannya daripada di perairan pedalaman atau di laut teritorial. Hal ini tampak jelas dengan kenyataan di mana Konvensi mengenakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada

      §§§§§§§§ negara pantai mengenai perikanan di zona ekonomi eksklusif. Negara pantai diharuskan menentukan jumlah tangkapan yang dibolehkan sumber kekayaan hayati di zona eksekutifnya, dengan didasari bukti-bukti ilmiah, serta harus melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah eksploitasi yang berlebihan sumber kekayaan hayati tersebut. Tindakan-tindakan tersebut harus ditetapkan agar populasi ikan berada pada tingkat yang dapat memberikan hasil tangkapan lestari (maximum sustainable yield). Pasal 61 KHL menyebutkan dalam mengambil tindakan tersebut, negara-negara pantai dan organisasi internasional yang kompeten bekerja sama dan mempertukarkan informasi-

    • ********** informasi ilmiahnya.

      Pasal 62 Konvensi Hukum Laut Tagun 1982 mengharuskan negara pantai untuk menggalakan pemanfaatan optimal sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusifnya, untuk itu negara diharuskan menetapkan kemampuan memanen sumber kekayaan hayati tersebut, dan apabila kemampuan tersebut tidak cukup untuk memanen jumlah tangkapan yang dibolehkan, maka kapal- kapal ikan asing harus diberi akses di zona ekonomi eksklusifnya agar mengeksploitasi kelebihan jumlah tangkapan yang dibolehkan.

      Jaminan pemberian akses kepada kapal-kapal ikan asing harus dengan perjanjian dan dengan memperhatikan beberapa faktor, serta khusunya hak-hak khusus negara-negara yang tidak berpantai dan yang secara geografis tidak menguntungkan (untuk yang terakhir ini diartikan sebagai negara-negara yang untuk makanannya tergantung kepada zona ekonomi eksklusif negara tetangganya dan negara-negara yang tidak memiliki zona ekonomi eksklusif sendiri).

      Kapal-kapal ikan asing yang mempunyai hak akses pada zona ekonomi eksklusif suatu negara pantai harus mentaati peraturan perundang-undangan negara pantai yang bersangkutan, yang dapat berisikan kewajiban-kewajiban dan persyaratan-persyaratan mengenai berbagai macam hal, seperti perizinan,imbalan keuangan, kuota, tindakan-tindakan konservasi, informasi, riset, peninjau, pendaratan tangkapan, persetujuan-persetujuan kerja sama, dan lain sebagainya.

      Apabila suatu cadangan ikan berada dalam dua zona ekonomi eksklusif negara pantai atau lebih, negara-negara yang bersangkutan harus membuat persetujuan untuk langkah-langkah konservasinya. Pasal 63 konvensi menegaskan bahwa apabila suatu cadangan ikan berada di zona ekonomi eksklusif dan di luar itu, negara pantai dan negara-negara yang menangkap cadangan ikan yang sama di

       luar zona ekonomi eksklusif mempunyai kewajiban yang sama.

      Pada zona ekonomi eksklusifnya, suatu negara pantai dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin ditaatinya peraturan-peraturan yang telah dikeluarkannya, termasuk untuk menghentikan, memeriksa, menahan dan menuntutnya secara hukum, namun kapal yang ditahan harus dibebaskan setelah dibayarkan uang jaminan. Pasal 73 konvensi ini menyatakan negara pantai tidak boleh mengenakan pemenjaraan atau hukuman badan lainnya terhadap

      ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di zona ekonomi eksklusif.

      b.

      

    Hak Negara Tidak Berpantai dan Negara yang Geografisnya Tidak

    Menguntungkan

      Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 tidak hanya mengatur persoalan ikan sebagai sumber daya hayati yang menguntungkan negara pantai saja, tetapi †††††††††† Albert W. Koers, Op.cit. hlm. 36. konvensi memberikan peluang atau hak akses terhadap ikan bagi negara yang tidak mempunyai pantai (right of landlocked states) dan bagi negara yang secara geografis tidak beruntung (right of geographically disadvantaged states).

      Pasal 69 Konvensi menyatakan bahwa negara tidak berpantai mempunyai hak untuk berperan serta atas dasar keadilan dalam penangkapan ikan dari surplus sumber daya hayati di zona ekonomi eksklusif negara-negara pantai. Hak negara tidak berpantai melakukan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif suatu negara pantai selanjutnya berdasarkan persetujuan antara kedua negara tersebut. Demikian juga negara-negara yang secara geografis tidak beruntung mempunyai hak untuk berperan serta dalam penangkapan ikan di zona ekonomi ekslusif negara pantai berdasarkan keadilan dan kesepakatan antara keduanya sesuai dengan ketentuan pasal 70 Konvensi Hukum Laut Tahun 1982.

      Negara berpantai dan negara yang secara geografis tidak beruntung tidak dapat melaksanakan haknya tersebut apabila negara pantai yang ekonominya sangat bergantung pada eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi ekslusif tersebut. Oleh karena itu, semuanya bergantung dan berdasarkan kesepakatan antaera negara pantai dengan kedua jenis negara tersebut, yaitu

      §§§§§§§§§ negara tidak berpantai dan negara yang secara geografis tidak beruntung.

    C. Kapal Asing Dalam Hukum Internasional

      Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan

      Berbicara mengenai kapal asing tidak terlepas dari adanya peranan Hak Lintas Damai terhadap kapal-kapal asing tersebut. Zaman dahulu, yakni sebelum tumbuh dan berkembangnya pranata hukum laut yang bernama laut teritorial dan

      iakses pada tanggal 17 Mei 2015 pukul 14.00

    • WIB.

      Diakses pada tanggal 28 laut lepas, laut masih bebas untuk dimanfaatkan oleh siapa pun tanpa ada pembatasan yang bermakna. Umumnya, pemanfaatan atas laut pada waktu itu hanyalah untuk pelayaran, baik untuk tujuan lalu lintas perdagangan, lalu lintas perpindahan orang, maupun untuk tujuan penangkapan ikan. Bahkan status hukum dari laut itu sendiri tidak pernah dipersoalkan. Laut dipandang sebagai entintas yang tidak dimiliki siapa pun (res nullus), dan karena itu, siapa pun dapat memanfaatkannya untuk apa pun, contohnya berlayar ataupun mencari

       nafkah.

      Ketika status hukum atas laut tersebut dipersoalkan, yang melahirkan pranata hukum laut baru adalah laut teritorial dan laut lepas. Untuk mengatasi dilema ini, ditempuh semacam jalan tengah, yakni laut teritorial tetap merupakan bagian wilayah dan kedaulatan negara pantai, tetapi kepada kapal-kapal asing diberikan hak untuk berlayar di laut teritorial dan negara pantai yang bersangkutan. Hak bagi kapal-kapal asing untuk berlayar di laut teritorial suatu negara pantai inilah yang kemudian populer dengan sebutan hak lintas damai (right of innoncent passage). Hak Lintas Damai (Innocent passage) bermula lahir dalam praktek negara-negara di Eropa sesudah abad pertengahan dan dalam perkembangannya mendapat perumusan dalam KHL 1958.

      Hak lintas damai adalah hak semua negara untuk melintasi atau melayarkan kapalnya melalui perairan laut teritorial suatu Negara pantau sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional dan peraturan perundang-undangan Negara Pantai. Adapun rumusan dalam KHL 1958 antara lain : a.

      Kapal asing yang diberikan hak melintas harus berlayar secara terus menerus tanpa berhenti kecuali dalam keadaan darurat.

      b.

      Dilarang melakukan kegiatan bongkar muat.

      c.

      Dilarang melakukan penangkapan ikan.

      d.

      Dilarang melakukan kegiatan penelitian ilmiah.

      e.

      Dilarang melakukan kegiatan latihan militer.

      f.

      Dilarang melakukan kegiatan keamanan, keselamatan, kedaulatan Negara pantai.

      g.

      Kapal asing hanya boleh melintas pada alur laut yang telah ditentukan Negara pantai.

      Negara pantai tidak boleh menghalangi kegiatan hak lintas damai Negara- negara kapal asing kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. Terkait dengan implementasi hak lintas damai bagi kapal asing tersebut, Negara pantai berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.

      Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Membahayakan yang dimaksud adalah jika kapal tersebut melakukan :

      1. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran atas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikataan Bangsa-Bangsa;

      2. Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun; 3.

      Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai;

      4. Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai;

      5. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal;

      6. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer;

      7. Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter negara pantai; 8. Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan serius yang bertentangan dengan Konvensi ini;

      9. Setiap kegiatan perikanan; 10.

      Kegiatan riset atau survey; 11. Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau instalansi lainnya dari negara pantai;

    12. Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan

      ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ lintas.

    1. Hak Lintas Damai Menurut Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958

      Adanya teknologi yang semakin berkembang, termasuk teknologi kelautan pada sebelum sampai masa antara Perang Dunia I dan II atau paruh pertama abad ke-20, dan perkembangannya yang semakin bertambah pesat setelah Perang Dunia II, mulailah dipandang perlu ada pembedaan antara jenis-jenis kapal tersebut dalam rangka menikmati hak lintas damai di laut teritorial suatu negara.

      Oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission), pandangan ini ditampung dan dirumuskan di dalam Rancangan Naskah Konvensi Hukum

      §§§§§§§§§§ Laut Jenewa pada tahun 1958.

    a. Peraturan yang Berlaku Bagi Semua Kapal

      Pasal 14 ayat 1 Konvensi menegaskan tentang kapal dari semua negara, baik negara berpantai maupun tidak berpantai, menikmati hak lintas damai di laut teritorial negara lain, tetapi harus tunduk pada peraturan-peraturan yang terdapat di dalam pasal-pasal dari bagian ini. Selanjutnya ayat 2 menegaskan tentang pengertian “lintas” atau “melintasi” (passage), yaitu pelayaran melalui laut teritorial untuk tujuan, baik untuk melintasi saja laut teritorial tanpa memasuki perairan pedalaman, maupun untuk memasuki perairan pedalaman, bisa juga untuk menuju ke laut lepas dari perairan pedalaman negara pantai yang bersangkutan. Dalam pengertian “lintas” atau “melintasi”, kapal tersebut harus berlayar secara terus menerus tanpa berhenti (stopping) ataupun membuang sauh (anchoring). Akan tetapi sesuai dengan ayat 3, berhenti ataupun membuang sauh ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

      Suhaidi, Op cit, hlm 166-167 diperkenankan apabila terjadi insiden pelayaran ataupun keadaan terpaksa atau keadaan yang berbahaya yang semuanya ini merupakan faktor yang mengganggu

    • *********** kelancaran pelayaran.

      Pasal 14 ayat 4 menegaskan tentang suatu “lintas” atau “melintasi” yang dipandang damai (passage is innoncent), yaitu sepanjang tidak ada dugaan bahwa kapal itu menganggu kedamaian (peace), ketertiban (good order), dan keamanan (security) dari negara pantai. Jadi kapal tersebut harus menaati ketentuan- ketentuan dalam pasal-pasal tentang hak lintas damai dalam Konvensi ini ataupun kaidah-kaidah hukum internasional yang lainnya. Secara konkret, perilaku kapal- kapal yang sedang menikmati hak lintas damai di laut teritorial suatu negara pantai misalnya, dalam pelayaran tersebut kapal itu sambil melakukan penangkapan ikan, atau jika kapal tersebut adalah kapal perang, mengarahkan senjatanya ke daratan dari negara pantai yang bersangkutan, atau melakukan jual beli barang-barang (legal ataupun illegal) dengan kapal-kapal di tengah laut teritorial negara yang bersangkutan. Bahkan khusus mengenai kapal-kapal ikan atau kapal-kapal nelayan asing (foreign fishing vessels) yang sedang berlayar di laut teritorial negara pantai berdasarkan atas hak lintas damai, akan dianggap tidak damai apabila kapal-kapal tersebut tidak menghormati hukum dan peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh negara pantai yang bertujuan mencegah kapal-kapal ikan dan nelayan asing melakukkan penangkapan ikan di laut teritorialnya. Ayat 6 mewajibkan kapal-kapal selam yang berlayar di laut teritorial berdasarkan hak lintas damai, untuk berlayar di atas permukaan air laut serta wajib mengibarkan bendera nasionalnya. Kewajiban ini sudah sewajarnya sebab kapal selam yang pada umumnya adalah kapal perang jika berlayar di bawah permukaan air laut, ketika berlayar di laut teritorial tentulah akan sukar diawasi oleh negara pantai, apalagi jika negara pantai itu tidak memiliki teknologi

       yang canggih.

      Pasal 15 ayat 1 dan 2 membebani kewajiban kepada negara pantai yaitu tidak boleh menghalang-halangi kapal-kapal asing menikmati hak lintas damai di laut teritorialnya dan berkewajiban untuk memberikan informasi yang layak mengenai daerah-daerah perairan laut teritorialnya yang berbahaya untuk pelayaran. Perbuatan menghambat atau menghalangi tersebut jelas merupakan pelanggaran atas maksud dan tujuan dari hak lintas damai itu sendiri karena merugikan bagi kapal-kapal asing. Apabila jika tindakan tersebut tidak disertai dengan alasan yang jelas dan kuat.

      Pasal 16 ayat 1 memperkenankan negara pantai untuk mengambil langkah- langkah yang dipandang perlu untuk mencegah pelayaran kapal-kapal asing yang tidak damai yang terjadi di dalam lau teritorialnya. Dalam hal kapal itu melanjutkan pelayarannya menuju ke perairan pedalaman (internal waters), dalam ayat 2 negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas persyaratan yang ditetapkan tersebut sebenarnya harus ditaati oleh kapal itu. Pada ayat 3 ditegaskan tentang hak negara pantai melakukan penundaan untuk sementara waktu terhadap pelayaran atas atas dasar hak lintas damai tersebut di area-area tertentu dari laut teritorialnya, jika penundaan itu sangat penting untuk perlindungan atas keamanan darik kapal- kapal asing itu asing itu sendiri. Pendundaan itu mulai berlaku secara efektif,

      ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ hanya setelah diumumkan secara sepatutnya. †††††††††††† Ibid. Pasal 17 menentukan bahwa kapal-kapal asing yang berlayar berdasarkan hak lintas damai di laut teritorial negara pantai harus tunduk pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai yang sesuai dengan pasal-pasal Konvensi ataupun peraturan-peraturan hukum internasional yang lain, khususnya hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pengangkutan dan pelayaran. Ketentuan ini memang sudah sewajarnya demikian, sebab kapal-kapal asing itu berada atau berlayar di laut teritorial yang

      §§§§§§§§§§§ merupakan bagian wilayah suatu negara.

      b. Peraturan yang Berlaku bagi Kapal-kapal Niaga

      Terhadap kapal-kapal niaga asing yang sedang berlayar berdasarkan hak lintas damai di laut teritorial, negara pantai tidak boleh memberikan kewajiban melakukan pembayaran, hanya karena kapal-kapal niaga asing itu melintasi laut teritorial negara pantai yang bersangkutan. Demikian ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 1. Pembebanan biaya tersebut hanya diperbolehkan dalam hal-hal pelayanan- pelayanan yang bersifat khusus saja yang telah diberikan kepada kapal niaga itu.

      Pembebanan biaya ini harus diberlakukan sama untuk semua kapal niaga dari semua negara. Jadi tidak boleh melakukan pembedaan atau bertindak diskriminatif, demikian ditegaskan pada ayat 2. Pelayanan yang bersifat khusus tersebut misalnya, kapal itu terpaksa ditarik untuk dibawa ke pelabuhan terdekat karena mengalami kerusakan mesin ataupun fisiknya, atau biaya perbaikan atas

    • ************* kerusakkan yang dialami kapal itu.

      c. Yurisdiksi Kriminal Negara Pantai §§§§§§§§§§§§ Ibid. hlm.100.

      Pasal 19 ayat 1-5 mengatur tentang yuridiksi kriminal (criminal

      

    jurisdiction ) negara pantai terhadap kapal-kapal niaga yang sedang menikmati

      hak lintas damai di laut teritorialnya. Ayat 1 ini melarang negara pantai melaksanakan yurisdiksi kriminalnya di atas kapal asing, namun dalam hal ini, ayat 1 menentukan beberapa pengecualian, yakni : a.

      Jika akibat dari tindak pidana itu meluas ke negara pantai yang bersangkutan; b.

      Jika tindak pidana itu merupakan suatu jenis tindak pidana mengganggu kedamaian dan keamanan dari negara itu ataupun ketertiban di dalam laut teritorialnya; c. Jika penguasa daerah setempat dimintai bantuan oleh kapten kapal atau oleh konsul dari negara bendera yang dikabarkan oleh dan merupakan negara kebangsaan kapal itu; atau d. Jika bantuan itu sangat dibutuhkan dalam rangka pemberantasan perdagangan ilegal narkotika.

      Ketentuan pada ayat I tidak mempengaruhi hak dari negara pantai untuk menempuh langkah-langkah berdasarkan hukum nasionalnya yang bertujuan melakukan penangkapan ataupun penyelidikan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorialnya berdasarkan hak lintas damai, setelah kapal itu meninggalkan perairan pedalaman itu untuk selanjutnya memasuki laut teritorialnya. Menurut ayat 2 ini, negara pantai tetap berhak atau memiliki yurisdiksi kriminal untuk menangkap dan menahan si pelakunya ataupun untuk melakukan penyelidikan atas tindak pidana tersebut, meskipun kapal itu sudah berada di laut teritorialnya.

       Selanjutnya, pada ayat 3 diatur tentang kewajiban negara pantai sesuai dengan permintaan dari kapten kapal, yaitu untuk menghubungi konsul dan negara yang benderanya dikibarkan oleh kapal tersebut bahwa kapalnya terkait dengan kriminal, seperti yang diatur pada ayat 1 dan 2 sebelum menempuh suatu langkah apa pun. Akhirnya, ayat 5 tidak membolehkan negara pantai untuk mengambil tindakan seperti ditentukan pada ayat 1, 2, dan 3 terhadap tindak pidana yang terjadi di atas kapal sebelum kapal itu memasuki laut teritorial negara pantai tersebut dan kapal itu hanyalah berlayar di laut teritorialnya saja tanpa memasuki perairan pedalamannya. Jadi dalam hal ini, tindak pidananya terjadi di atas kapal, ketika kapal masih berada di luar laut teritorial negara pantai.

      Meskipun ada larangan seperti ayat 5, tetapi pengecualian seperti ditentukan pada ayat 1 di atas masih tetap berlaku. Tegasnya, negara pantai tetap dapat melakukan apa yang ditentukan pada ayat 1, 2, dan 3 sepanjang berkenaan dengan pengecualian tersebut. Dalam hal ini, yang lebih diutamakan adalah keselamatan, keamanan, dan ketertiban di dalam kapal tersebut dalam melakukkan pelayaran, baik ketika menikmati hak lintas damai maupun nantinya memasuki dan berlayar di laut lepas, ataupun juga di laut teritorial dan perairan pedalaman dari negara tujuannya. Apabila nanti setelah dapat dipastikan bahwa negara pantai tidak memiliki yurisdiksi kriminal atas tindak pidana tersebut, sedangkan yang memiliki yurisdiksi kriminal adalah negara lain, maka kedua negara dapat

      

    ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

    berkerja sama dalam menyelesaikan.

    d. Yurisdiksi Sipil Negara Pantai

      Pasal 20 ayat 1-3 mengatur tentang yurisdiksi sipil (civil jurisdiction). Ayat 1 melarang negara pantai untuk menghentikan atau mengalihkan pelayaran kapal asing yang sedang berlayar di laut teritorialnya berdasarkan hak lintas damai, untuk melaksanakan yurisdiksi sipilnya terhadap seseorang yang berada di dalam kapal itu. Demikian pula ayat 2 melarang negara pantai untuk menarik pajak ataupun retribusi terhadap ataupun menahan kapal itu untuk tujuan pelaksanaan proses sipil (civil proceeding) hanya karena kapal itu berlayar di laut teritorial negara pantai tersebut.

      Hal ini dilarang karena jelas membebani atau memberatkan kapal yang bersangkutan. Akan tetapi, ayat 3 membenarkan negara pantai melaksanakan yurisdiksi sipilnya terhadap kapal yang sedang berada atau berlayar di laut

      §§§§§§§§§§§§§ teritorialnya, setelah meninggalkan perairan pedalamannya.

      e.

      

    Peraturan yang Berlaku bagi Kapal Pemerintah selain dari Kapal

    Perang

      Tentang hal ini hanya diatur dalam dua pasal, yakni Pasal 21 dan 22 ayat 1-2 dan itu pun hanya merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal sebelumnya. Pasal 21 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Sub-Bagian A dan B (sub-sections A dan B) juga berlaku terhadap kapal-kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan-tujuan komerisal. Memang dapat dipertanyakan, apa yang dimaksud dengan “kapal pemerintah” (government ships) dan “untuk tujuan komersial” (forcommercial purposes). Secara umum dapat dikatakan bahwa kapal-kapal pemerintah adalah kapal-kapal yang digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Apa yang disebut tugas-tugas pemerintahan tentulah mengandung pengertian yang sangat luas yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan penafsiran di kalangan para teoritis ataupun praktisi. Mengenai kepemilikannya, bisa saja kapal itu milik pemerintah sendiri, atau bisa juga milik pihak swasta yang disewa oleh pemerintah dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

      Sebaliknya, Pasal 22 ayat 1 mengatur tentang kapal pemerintah untuk tujuan non komersil. Jika terhadap kapal pemerintah untuk tujuan komersil yang sepenuhnya diberlakukan ketentuan Sub-Bagian A dan B, maka terhadap kapal pemerintah untuk tujuan non komersial hanya diberlakukan Sub-Bagian A dan Pasal 18 dari Sub-Bagian B (sub –section and article 18 of non comercial

      

    purposes ) dapat dikatakan sebagai kebalikan dari tujuan tentang komersial seperti

      telah dikemukakan di atas. Ayat 2 dari Pasal 22 menegaskan tentang kekebalan atau imunitas (immunities) yang dimiliki oleh kapal-kapal pemerintah untuk tujuan non komerial, baik sesuai dengan hukum atas peraturan perundang- undangan nasional negara pantai yang bersangkutan maupun dengan peraturan-

    • ************** peraturan hukum internasional.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Sosial - Disharmonis Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) Di Kota Tebing Tinggi

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Disharmonis Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) Di Kota Tebing Tinggi

0 1 8

Disharmonis Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) Di Kota Tebing Tinggi

0 0 12

II. Pemutaran Film KB - Pengaruh Pemutaran Film Kb Terhadap Perilaku Partisipasi Masyarakat Ber-Kb Di Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2014

0 1 70

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film 2.1.1 Pengertian Film - Pengaruh Pemutaran Film Kb Terhadap Perilaku Partisipasi Masyarakat Ber-Kb Di Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2014

0 6 36

BAB II ASPEK HISTORIS, JURIDIS, DAN KAPASITAS ASSOCIATION - Status Perjanjian Internasional Antara Indonesia Dengan Asean Dalam Pendirian Sekretariat Asean Di Jakarta Terkait Dengan Host Country Agreement (Hca)

0 2 32

BAB I PENDAHULUAN - Status Perjanjian Internasional Antara Indonesia Dengan Asean Dalam Pendirian Sekretariat Asean Di Jakarta Terkait Dengan Host Country Agreement (Hca)

0 0 21

Status Perjanjian Internasional Antara Indonesia Dengan Asean Dalam Pendirian Sekretariat Asean Di Jakarta Terkait Dengan Host Country Agreement (Hca)

0 9 11

BAB II SISTEM PERPAJAKAN DALAM DUNIA USAHA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Definisi Pajak - Analisis Yuridis Mengenai Kewajiban Pajak Terhadap Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Elektronik Di Jejaring Sosial

1 21 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. - Analisis Yuridis Mengenai Kewajiban Pajak Terhadap Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Elektronik Di Jejaring Sosial

0 0 17