BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SERIOUS CYBERLOAFING 1. Pengertian Serious Cyberloafing - Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Serious Cyberloafing di PT. Pos Indonesia (Persero) Kantor Regional I Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SERIOUS CYBERLOAFING 1. Pengertian Serious Cyberloafing Henle dan Kedharnath (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai:

  “Employees’ intentional use of Internet technology during work hours for personal purposes. This technology can be company provided or personal devices that employees bring with them to work (e.g., smartphone, iPad).”

  Definisi tersebut menjelaskan bahwa cyberloafing adalah penggunaan internet yang dilakukan secara sengaja oleh karyawan selama jam kerja berlangsung untuk kepentingan pribadi, yang mana teknologi internet yang dimaksud telah disediakan oleh perusahaan ataupun yang dibawa karyawan ke tempat kerja.

  Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan, dalam penelitian ini

  

cyberloafing secara umum termasuk dalam kategori production deviance, yang

  berarti cyberloafing dianggap sebagai perilaku tidak produktif yang akan mengganggu performa kerja karyawan (Blanchard & Henle, 2008). Istilah

  

production deviance sendiri berasal dari penelitian Robinson dan Bennett (1995)

  terkait perilaku melenceng ditempat kerja. Tipologi yang dikembangkan oleh tokoh tersebut juga dapat dibagi menjadi minor dan serious, tergantung seberapa besar dampak buruk yang dihasilkan bagi perusahaan.

  Pada tahun 2005, Lim dan Teo melakukan studi eksplorasi mengenai

  (perceived seriousness), pembenaran (justification), dan juga peraturan (regulation). Ditinjau dari keseriusan aktivitas cyberloafing, hasil menyatakan bahwa tidak semua aktivitas cyberloafing dipandang serius. Hasil lainnya menunjukkan adanya hubungan negatif antara prevalansi cyberloafing terhadap penilaian keseriusan aktivitas cyberloafing. Hal ini berarti karyawan akan lebih sering melakukan aktivitas cyberloafing yang dianggap kurang serius, dan sebaliknya, akan lebih jarang melakukan yang dianggap lebih serius.

   Blanchard dan Henle (2008) kembali mencoba memformulasikan tipologi dari cyberloafing karena terdapat ketidakpuasan terhadap tipologi terdahulu. Sejalan dengan penelitian Lim dan Teo (2005), pembagian tersebut juga dibuat berdasarkan frekuensi kemunculan dan keseriusan efek yang ditimbulkan. Minor cyberloafing, tipe pertama dalam pembagian (Blanchard & Henle, 2008), mengacu kepada aktivitas-aktivitas cyberloafing yang umum dilakukan oleh karyawan serta secara normatif dinilai dapat ditoleransi. Tipe kedua, yaitu serious cyberloafing, mengacu pada aktivitas-aktivitas cyberloafing yang lebih jarang terjadi dan umumnya dikaitkan dengan penggunaan internet yang berpotensi menghasilkan permasalahan legal (Henle & Kedharnath, 2012; Lim, 2002; Lim & Teo, 2005; Vitak dkk., 2011).

  Dengan demikian, serious cyberloafing dalam penelitian ini didefinisikan sebagai aktivitas penggunaan internet untuk kepentingan pribadi yang dapat menimbulkan permasalahan legal, yang dilakukan oleh karyawan secara sengaja selama jam kerja berlangsung, dengan menggunakan fasilitas internet yang

2. Aktivitas Serious Cyberloafing

  Ditinjau dari frekuensi aktivitas cyberloafing yang dilakukan karyawan,

  

cyberloafing dibagi menjadi dua yaitu, minor dan serious (Blanchard & Henle,

  2008). Aktivitas dalam minor cyberloafing, yang dinilai paling sering terjadi, meliputi memeriksa email pribadi hingga membuka situs mainstream (contoh: situs berita, olahraga, perbelanjaan, keuangan, dan liburan. Sedangkan aktivitas

  serious cyberloafing , yang mana dikatakan paling jarang terjadi, meliputi: a.

  Visit adult oriented website (mengunjungi situs khusus dewasa) b.

  Participate in chat rooms (berinteraksi dengan menggunakan chat rooms) c. Maintain personal web page (mengurus situs internet pribadi) d.

  Visit virtual communities (mengunjungi komunitas virtual) e. Visit gambling sites (mengunjungi situs judi) f. Check personals (memeriksa akun pribadi) g.

  Read blogs (membaca artikel dari blog) h. Download music (mengunduh lagu) 3.

   Faktor yang Mempengaruhi Serious Cyberloafing

  Sampai saat ini penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi serious secara spesifik masih sangat terbatas (Blanchard & Henle, 2008).

  cyberloafing

  Dengan keterbatasan tersebut pembahasan selanjutnya akan dipaparkan dengan menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing secara umum.

  Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kemunculan dari cyberloafing dibagi ke dalam tiga faktor utama, yakni faktor individual, faktor organisasional, dan juga faktor situasional (Ozler dan Polat, 2012). Berikut akan dijelaskan secara singkat ketiga faktor tersebut beserta penelitian-penelitian pendukung dari berbagai sumber: a.

  Faktor Individual Perilaku manusia dapat terjadi atas dorongan yang berasal dari individu itu sendiri, begitu juga dengan cyberloafing. Terdapat beberapa hal dari dalam diri individu yang termasuk sebagai faktor individual:

  1) Persepsi dan Sikap

  Karyawan yang memiliki sikap positif terhadap komputer memiliki kecenderungan untuk menggunakan komputer di tempat kerja untuk kepentingan pribadi. Hal tersebut juga memiliki hubungan positif dengan cyberloafing (Liberman, 2011).

  2) Trait Pribadi

  Ugrin dkk. (2008) menemukan bahwa kontrol diri merupakan trait pribadi yang turut mempengaruhi aktivitas cyberloafing seseorang, yang mana individu dengan kontrol diri yang rendah melakukan lebih banyak

  cyberloafing dibandingkan dengan individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi.

  Blanchard dan Henle (2008) mencoba menghubungkan serious

  cyberloafing dengan variabel external locus of control. Hasil penelitian bahwa tertangkap basah ketika melakukan cyberloafing adalah faktor nasib atau keberuntungan. Hal ini membuat karyawan yang percaya bahwa nasib mereka ditentukan oleh faktor keberuntungan, menjadi lebih terlibat dengan serious cyberloafing .

  Prasad dkk. (2010) melakukan penelitian yang menghubungkan regulasi diri dengan cyberloafing. Dalam penelitiannya digunakan tiga variabel moderator, yaitu: self-efficacy , consciencetiousness , serta

  

achievement orientation (orientasi keberhasilan). Variabel terakhir ditemukan

  memiliki hubungan negatif dengan cyberloafing, yang mana individu dengan orientasi keberhasilan tinggi sangat berfokus pada tujuannya sehingga tidak memanjakan diri dengan cyberloafing.

  3) Kebiasaan dan Kecanduan Internet

  Kebiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang sehingga menjadi otomatis. Seseorang yang memiliki kebiasaan yang tidak dapat dikontrol dapat menjadi kecanduan. Tingkat kecanduan internet yang tinggi dapat menimbulkan perilaku penyalahgunaan internet (Chen, Charlie, & Chen, 2008).

  4) Faktor Demografis

  Jenis kelamin dan usia merupakan faktor demografis yang berkontribusi terhadap cyberloafing. Namun hingga saat ini, temuan-temuan dari berbagai studi berbeda menunjukkan hasil yang saling berkontradiksi, sehingga tidak dapat dirincikan jenis kelamin dan usia yang bagaimana yang

  5) Niat untuk Melakukan, Norma Sosial, dan Kode Etik Pribadi

  Seorang karyawan yang menghargai larangan terkait penyalahgunaan internet berkorelasi negatif dengan penerimaannya terhadap perilaku tersebut.

  Sehingga seseorang dengan pandangan pribadi bahwa cyberloafing itu salah akan berkurang niatnya untuk melakukan cyberloafing (Vitak dkk., 2011).

  Walau begitu, hal ini tidak berlaku pada serious cyberloafing, dimana para pelaku mengetahui bahwa tindakan tersebut tidak benar dan tidak ditoleransi oleh norma sosial, namun tetap melakukannya (Blanchard & Henle, 2008).

  b.

  Faktor Organisasional Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai peneliti, didapatkan faktor-faktor terkait organisasi yang dipastikan memiliki pengaruh terhadap cyberloafing pada karyawan. Komitmen kerja tinggi, sanksi yang berat, dukungan manajerial yang ambigu, serta karakteristik pekerjaan dengan tuntutan yang tinggi merupakan faktor yang dianggap menurunkan kecenderungan individu dalam melakukan cyberloafing (Garret & Danziger, 2008; Vitak dkk., 2011). Ketidakadilan yang dipersepsi oleh karyawan dan kepuasan kerja yang tinggi dinilai memicu cyberloafing (Lim, 2002; Ugrin dkk., 2008).

  c.

  Faktor Situasional Weatherbee (2010) menerangkan bahwa karyawan yang memiliki akses untuk menggunakan internet di tempat kerja lebih cenderung merupakan karyawan yang melakukan cyberloafing. Kay, Bart, Johnson, Chern, dan Kangas internet di tempat kerja, termasuk didalamnya: kesempatan dan akses, anonimitas, kemudahan, keterjangkauan, serta waktu kerja yang panjang di tempat kerja.

  Orientasi keberhasilan, salah satu trait pribadi yang turut mempengaruhi

  

cyberloafing , mencerminkan proses motivasi berprestasi yang mempengaruhi

  pemilihan tugas oleh individu, penetapan tujuan pribadi, dan mekanisme usaha dalam konteks pembelajaran dan kinerja (Higgins, Friedman, Harlow, dkk., 2001; VandeWalle & Cummings, 1997). Perilaku yang mengacu pada orientasi keberhasilan merupakan bukti dari adanya motivasi berprestasi dalam diri seseorang.

  Adapun penelitian ini akan melihat pengaruh motivasi berprestasi terhadap

  

serious cyberloafing . Maka dari itu, pada bagian selanjutnya akan dipaparkan

lebih rinci mengenai motivasi berprestasi itu sendiri.

B. MOTIVASI BERPRESTASI 1. Definisi Motivasi Berprestasi

  Menurut McClelland (1987) motivasi berprestasi adalah sebuah kebutuhan untuk dapat bersaing atau melampaui standar pribadi. Pekerja dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan menetapkan tujuan yang menantang, bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut, serta menggunakan keterampilan dan kemampuan untuk mencapainya (McClelland dalam Gibson, Ivancevich, & Donnelly, 1997). Sejalan dengan penjelasan tersebut, Schultz & Schultz (1993) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai suatu dorongan atau kebutuhan dalam diri individu

  Greenbergs (1996) memaparkan bahwa motivasi berprestasi adalah kekuatan hasrat seseorang untuk mampu menguasai, berhasil dalam tugas-tugas yang sulit, dan mampu menyelesaikan semuanya dengan baik. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung untuk memilih menyelesaikan suatu tugas dibandingkan membangun hubungan baik dengan rekannya.

  Berdasarkan pemaparan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah kebutuhan dari dalam diri individu yang mendorongnya untuk melakukan pekerjaannya sebaik mungkin, mencapai prestasi, serta mengungguli standar pribadinya maupun standar atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Karakteristik Motivasi Berprestasi

  McClelland (dalam Luthans, 2005) memaparkan beberapa karakteristik dari individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, yakni: a.

  Memilih untuk mengerjakan tugas dengan kesukaran yang moderat. Walaupun kelihatannya orang dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan memilih tugas dengan resiko tinggi, kenyataannya mereka cenderung memilih tugas dengan resiko menengah (Gage & Berliner, 1991). Individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi memperhitungkan kesulitan dari suatu tugas dan menyesuaikannya dengan kemampuan mereka, sehingga mereka dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan sebaik mungkin. b.

  Membutuhan umpan balik mengenai performanya. Individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi menyukai pekerjaan yang akan mendapatkan umpan balik mengenai performa kerja serta kemajuan yang telah ditampilkan dalam usaha mencapai tujuan (Osland dkk., 2011). Orang dengan motivasi berprestasi yang tinggi juga menyukai jika terdapat penilaian rutin berdasarkan kriteria performa yang spesifik. Selain itu, umpan balik berfungsi sebagai kontrol bagi individu untuk tidak terjebak dalam situasi eksplorasi yang tidak berujung dalam pekerjaannya (Gage & Berliner, 1991). Umpan balik memberikan informasi mengenai seberapa dekat ataupun jauh, buruk maupun baik, usaha mereka pada waktu tertentu untuk mencapai tujuan.

  c.

  Kepuasan akan pencapaian. Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi merasakan kepuasan pribadi akan pencapaiannya pada sebuah tugas. Mereka pada umumnya tidak begitu mengharapkan imbalan material akan pencapaiannya. Imbalan material yang diterima hanya dianggap sebagai apresiasi ataupun ukuran keberhasilan terhadap hasil kerja mereka (Garg & Parimoo, 2014). Mereka akan cenderung memilih tugas yang cukup rumit dengan imbalan yang tidak terlalu besar, daripada memilih tugas yang mudah dan imbalannya lebih besar. Hal ini dikarenakan, tugas yang cukup rumit, jika mampu diselesaikan dengan baik akan membawa kepuasan yang lebih besar, dibandingkan dengan tugas yang mudah (Luthans, 2005). d.

  Bertanggung jawab terhadap tugas. Sekalinya individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi menetapkan sebuah target, individu tersebut memiliki kecenderungan untuk secara total berfokus dengan tugas tersebut hingga tugas itu terselesaikan (Hermans, 1970). Dikatakan bahwa ciri ini membuat mereka sulit untuk meninggalkan begitu saja tugas yang setengah selesai, maka dari itu sulit bagi mereka untuk menunda- nunda suatu pekerjaan. Mereka juga tidak puas ataupun bangga dengan diri mereka sendiri, jika mereka tidak memberikan usaha maksimal untuk tugas tersebut.

  

C. DINAMIKA PENGARUH MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP

SERIOUS CYBERLOAFING

  Penelitian ini menggolongkan cyberloafing kepada deviant behavior atau perilaku menyimpang (Garrett & Danziger, 2008; Lim, 2002; Robinson & Bennet, 1995). Cyberloafing dianggap sebagai perilaku yang tidak diharapkan oleh perusahaan karena dapat membawa dampak buruk bagi perusahaan, seperti menurunnya produktivitas (Beugré & Kim, 2006; Weatherbee, 2010). Lebih spesifik lagi, Blanchard dan Henle (2008) membuat tipologi cyberloafing berdasarkan teori Robinson dan Bennet (1995), yang berpendapat bahwa terkait dampak yang ditimbulkan, production deviance dapat dibagi dalam tipe minor maupun serious. Minor cyberloafing mengacu kepada aktivitas-aktivitas

  

cyberloafing yang umum dilakukan oleh karyawan serta secara normatif dinilai aktivitas cyberloafing yang lebih jarang terjadi dan umumnya dikaitkan dengan penggunaan internet yang berpotensi menghasilkan permasalahan legal (Henle & Kedharnath, 2012; Lim, 2002; Lim & Teo, 2005; Vitak dkk., 2011).

  Blanchard dan Henle (2008) melalui penelitiannya menemukan bahwa norma dalam perusahaan tidak memiliki hubungan dengan serious cyberloafing, yang mana para pelaku serious cyberloafing sesungguhnya mengetahui bahwa apa yang dilakukan salah dan sulit untuk ditoleransi, namun hal tersebut tidak menghentikan mereka untuk melakukannya. Sedangkan external locus of control memiliki kontribusi terhadap serious cyberloafing. Hal tersebut menunjukkan bahwa serious cyberloafing lebih dipengaruhi oleh faktor internal, seperti kepribadian, dibandingkan faktor eksternal.

  Mengingat adanya keterbatasan penelitian spesifik mengenai serious

  

cyberloafing, maka dari itu penelitian terkait faktor yang turut mempengaruhi

cyberloafing secara umum akan dipaparkan. Seperti yang dipaparkan sebelumnya,

  Ozler dan Polat (2012) menjelaskan bahwa faktor individual turut menjadi faktor determinan dari cyberloafing. Adapun trait kepribadian yang dimaksud adalah

  

external locus of control yang tinggi, self-esteem dan self-control yang rendah

(Chak & Leung, 2004; Ugrin dkk., 2008; Vitak dkk., 2011;).

  Peneliti selanjutnya, yakni Prasad dkk. (2012), melakukan penelitian terkait regulasi diri terhadap cyberloafing dan menemukan bahwa karakteristik individual seperti achievement orientation (orientasi berprestasi) merupakan variabel moderator signifikan yang menjembatani hubungan antara regulasi diri tekad untuk mengejar tujuan mereka, merasakan urgensi yang lebih besar dalam mengejar tujuan mereka dan bersedia untuk menginvestasikan waktu dan usaha untuk mengejar tujuan mereka (Diehl dkk., 2006). Individu dengan karakteristik tersebut juga merupakan seseorang yang memiliki regulasi diri yang tinggi, yang mana fokus yang mereka miliki dapat mengarahkan usaha mereka terhadap pemenuhan tujuan atau tuntutan, dan pada akhirnya melakukan lebih sedikit

  

cyberloafing dibandingkan dengan yang memiliki regulasi diri yang rendah

(Prasad dkk., 2012).

  Bentuk achievement orientation sendiri mencerminkan proses motivasi berprestasi yang mempengaruhi pemilihan tugas oleh individu, penetapan tujuan pribadi, dan mekanisme usaha dalam konteks pembelajaran dan kinerja (Higgins, Friedman, Harlow, dkk., 2001; VandeWalle & Cummings, 1997). Orientasi berprestasi, yang memiliki hubungan langsung dengan cyberloafing, merupakan perkembangan dari motivasi berpestasi (Kozlowski & Bell, 2006; Rozhkova, 2011).

  Adapun motivasi menggambarkan keinginan untuk dapat melakukan sesuatu dan juga menentukan kemampuan yang dimiliki untuk memuaskan kebutuhan individu (Robbins, 2002). Motivasi juga merupakan proses mental yang tidak dapat dilihat secara langsung, namun wujudnya dapat diamati dari perilaku individu. Maxwell (dalam Socorro, 2012) menyatakan bahwa teori motivasi hadir untuk menjelaskan proses yang menggambarkan kenapa dan mengapa manusia melakukan sesuatu. Salah satu jenis motivasi yang relevan dalam dunia pekerjaan dan turut mempengaruhi perilaku karyawan di tempat kerja adalah motivasi berprestasi (achievement motivation) (McClelland, 1987).

  McClelland (dalam Hart dkk., 2004) menyatakan bahwa motivasi berprestasi adalah kebutuhan dalam diri individu untuk mencapai keberhasilan dalam mengerjakan tugas-tugas yang penuh tantangan, dengan suatu ukuran keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain atau standar tertentu.

  Setiap karyawan memiliki kebutuhan tersebut dalam tingkatan yang berbeda. Dalam bidang pekerjaan, karyawan yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan merasakan kebutuhan untuk sukses dan berprestasi, karena mereka menganggap identitas mereka berasal dari kedua hal tersebut (Osland dkk., 2011). Berbagai penelitian telah menemukan hubungan positif antara motivasi berprestasi dengan komitmen organisasi dan karir, performa kerja, effort, dan juga produktivitas (Hart dkk., 2004; Ohizu & Okoiye, 2014; Steer & Porter, 1991; Suar, 2010).

  Hubungan signifikan motivasi berprestasi dengan komitmen organisasi menjelaskan bahwa individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan lebih berkomitmen terhadap organisasinya (Ohizu & Okoiye, 2014). Sebelumnya, Garrett dan Danziger (2008) telah menemukan bahwa semakin tinggi komitmen organisasi akan berkontribusi terhadap penurunan cyberloafing. Selain itu, terkait dengan penelitian Hart dkk. (2004) yang menunjukkan bahwa individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi merupakan individu pekerja keras, yang menghindari faktor pengganggu, untuk tetap produktif. Sebaliknya, cyberloafing sendiri telah dinyatakan sebagai aktivitas yang dapat menurunkan produktivitas (Beugré & Kim, 2006; Greenfield, 2009; Malachowski, 2005; Zyga, 2013).

  McClelland (1987) menggambarkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memilih untuk bertanggung jawab secara personal terhadap performanya, yang mendorong individu untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas, dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan. Penyelesaian tugas merupakan prioritas utama yang membuat mereka sulit untuk menunda-nunda perkerjaan dengan melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan usaha penyelesaian tugas. Steel (2007) juga menemukan bahwa motivasi berprestasi merupakan prediktor yang kuat dan konsisten dalam kemunculan perilaku prokrastinasi, yang mana motivasi berprestasi yang tinggi dalam diri individu akan membuatnya fokus pada tugas sehingga tidak cenderung menggunakan waktunya untuk hal-hal yang bisa menunda penyelesaian tugas.

  

Cyberloafing juga dikategorikan sebagai kegiatan prokrastinasi yang dilakukan

  oleh karyawan (Prasad dkk., 2012). Hal ini dijelaskan dengan penyelewengan waktu yang digunakan karyawan, yang mana pada jam kerja malah melakukan hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.

  Selain itu, penelitian Ugrin dkk. (2008) telah menemukan bahwa kontrol diri yang rendah berkontribusi terhadap peningkatan cyberloafing. Kontrol diri pada dasarnya merupakan bagian dari motivasi berprestasi, yang mana peningkatan kontrol diri berhubungan dengan peningkatan motivasi berprestasi (Ingalls, 2006; Rozhkova, 2011; Socorro, 2012). Ketika individu memiliki kontrol kesenangan sesaat, yang mengakibatkan individu tersebut lebih rentan dan cenderung untuk melakukan cyberloafing (Ugrin dkk., 2008).

D. HIPOTESA PENELITIAN

  Berdasarkan penjelasan dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa penelitian ini adalah: Ada pengaruh negatif motivasi berprestasi terhadap serious cyberloafing dimana semakin tinggi motivasi berprestasi, maka akan berkontribusi terhadap penurunan serious cyberloafing. Demikian sebaliknya, semakin rendah motivasi berpretasi, maka akan berkontribusi terhadap peningkatan serious cyberloafing.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah - Peran Kerapatan Adat Nagari ( Kan ) Dalam Pembangunan Nagari ( Studi Pada Nagari Baringin Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar )

0 0 23

BAB II POFIL KOTA GUNUNGSITOLI, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAHDAN RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH GUNUNGSITOLI TAHUN 2014 - Reses dan Kebijakan Pemerintah ( Studi Analisis (Hasil Reses sebagai Rujukan dalam Pembuatan Kebijakan di Kota Gunungsitoli)

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Reses dan Kebijakan Pemerintah ( Studi Analisis (Hasil Reses sebagai Rujukan dalam Pembuatan Kebijakan di Kota Gunungsitoli)

0 0 26

Reses dan Kebijakan Pemerintah ( Studi Analisis (Hasil Reses sebagai Rujukan dalam Pembuatan Kebijakan di Kota Gunungsitoli)

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Komunikasi Interpersonal Tenaga Kesehatan Terhadap Kepuasaan Pasien Rawat Jalan Di Puskesmas Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Pada Tahun 2014

0 0 25

Pengaruh Rasio Komposisi Semen dan Partikel Terhadap Kualitas Papan Semen Partikel dari Limbah Industri Pensil

0 0 9

Pengaruh Rasio Komposisi Semen dan Partikel Terhadap Kualitas Papan Semen Partikel dari Limbah Industri Pensil

0 0 11

Respon Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid terhadap Cekaman Garam pada Mangrove Sonneratia alba Smith

0 0 5

Respon Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid terhadap Cekaman Garam pada Mangrove Sonneratia alba Smith

0 0 8

Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Serious Cyberloafing di PT. Pos Indonesia (Persero) Kantor Regional I Medan

1 1 22