BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Reses dan Kebijakan Pemerintah ( Studi Analisis (Hasil Reses sebagai Rujukan dalam Pembuatan Kebijakan di Kota Gunungsitoli)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Perubahan sistem politik yang terjadi melalui proses reformasi telah membawa perubahan dalam tatanan pemerintahan. Dimana unsur-unsur dari sistem politik memberikan tuntutan untuk melakukan perubahan menuju tatanan sistem politik yang demokratis. Hal ini terjadi dikarenakan selama ini sistem

   demokrasi pada dasarnya tidak dilaksanakan oleh pemerintah terdahulu.

  Implikasinya adalah dibutuhkan lembaga-lembaga yang menjadi media pertumbuhan dan perkembangan penduduk baik secara kualitas maupun kuantitas, serta kenyataan atas kebutuhan negara modern yang memiliki wilayah yang sangat besar, sehingga sangat mustahil untuk tetap menerapkan mekanisme dan sistem demokrasi langsung. Lembaga-lembaga inilah yang akan mewakili kepentingan-kepentingan politik masyarakat di tingkat pemerintahan. Lembaga

   perwakilan ini sering dikenal dengan lembaga legislatif.

  Pasca reformasi diberlakukan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Undang-Undang tersebut kemudian 1 direformulasikan terkait kewenangan otonomi di daerah. Dikatakan dalam

  

J.Kristiadi ”kata pengantar”, dalam Koirudin, Profil Pemilu 2004 (Evaluasi Pelaksanaan, Hasil dan Perubahan Peta Politik Nasional Pasca Pemilu Legislatif 2004 ), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), 2 hal.187. undang-undang tersebut bahwa DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan kewajiban anggota DPRD diantaranya yaitu menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti

   aspirasi masyarakat (Pasal 45).

  Kewajiban ini secara spesifik juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor

  27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, bahwa anggota DPRD Kabupaten diantaranya mempunyai kewajiban menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala, menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat, dan memberikan

  

  pemilihannya. Lembaga Legislatif tidak seharusnya hanya diartikan sebagai badan yang bertugas untuk membuat undang-undang (law-making body) semata-

   mata, tetapi juga sebagai perantara rakyat kepada pemerintah.

  Maka salah satu fungsi DPRD untuk mengartikulasikan dan agregasi kepentingan rakyat, juga menempatkan konstituen sebagai unsur yang perlu diperhatikan dan merupakan proses politik yang paling mendasar sebagai tuntutan relasi antara yang diwakili dan mewakili. Selain itu, artikulasi dapat dijadikan 3 jembatan antara warga/konstituen dengan sistem kerja-kerja DPRD dan

  

“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 45 Huruf E” [Artikel Online],

tersedia di:unduh pada 13

4 Desember 2014 pukul 18.15 Wib.

  

“Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Pasal 300, Huruf ( i ), ( j ), ( k )”,

[Artikel Online], tersedia di: 5 diunduh 14 Desember 2014 Pukul 21.00 Wib.

  

Bambang Cipto,Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern Industrial,(Jakarta. Rajawali pemerintah, sebagai pembuat kebijakan publik. Dikaitkan dengan kerja-kerja DPRD, artikulasi sebaiknya terlembagakan untuk dapat memelihara sistem demokrasi yang stabil, membangun proses legitimasi kebijakan yang sehat, mengembangkan potensi konstituen, serta membangun kepercayaan konstituen

   pada sistem politik di parlemen.

  Dalam menjalankan tugasnya, seorang wakil harus tahu dengan apa yang diinginkan oleh konstituen yang diwakilinya. Banyak cara yang harus dilakukan oleh wakil rakyat untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh masyrakat. Salah satunya dengan melakukan komunikasi antar keduanya. Melakukan komunikasi dengan konstituen adalah hal wajib yang tidak bisa dielakkan oleh wakil rakyat. diperjuangkan dalam sebuah kebijakan.

  Di samping itu, rakyatpun berkesempatan untuk mengawasi jalannya kekuasaan pemerintahan melalui wakil-wakil mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan dan lembaga legislatif. Peranan perwakilan Badan Legislatif pada hakikatnya berkenaan dengan masalah antar hubungan badan tersebut, terdapat anggota badan legislatif, dengan anggota masyarakat yang diwakili mereka secara

   individu, berdasarkan kelompok maupun secara keseluruhan.

  Salah satu bentuk komunikasi antara wakil rakyat dan terwakil adalah melalui kegiatan Reses DPRD.Masa reses merupakan bagian dari masa 6 persidangan dan dilaksanakan paling lama enam hari kerja dalam satu kali reses.

  

Buku saku DPRD, Membina Hubungan dengan Konstituen. Local Government Support Program (LGSP) –

7 USAID. hal 15

  Masa reses dipergunakan oleh anggota DPRD secara perseorangan atau kelompok untuk mengunjungi daerah pemilihannya guna menyerap aspirasi

  

  masyarakat. Reses merupakan kewajiban bagi pimpinan dan anggota DPRD dalam rangka meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja DPRD dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, serta guna mewujudkan peran DPRD dalam mengembangkan check and balances antara DPRD dan pemerintah daerah.

  Partisipasi rakyat yang efektif dalam proses pembuatan keputusan adalah ketika warga negara terlibatsepanjang proses pembuatan keputusan yang mengikat. Warga negara harus memiliki kesempatan yang cukup dan kesempatan pembuatan keputusan tersebut, harus mempunyai kesempatan-kesempatan yang cukup dan sama untuk menempatkan masalah-masalah dalam agenda dan

   menyertakan alasan mengapa diambil keputusan yang itu dan bukan yang lain.

  Sebagai lembaga legislatif, DPRD harus bekerjasama dengan lembaga eksekutif atau Pemerintah Daerah untuk menindak lanjuti aspirasi masyarakat yang kemudian diwujudkan dalam sebuah kebijakan. Agenda kebijakan didefenisikan sebagai tuntutan – tuntuan agar para pembuat kebijakan memilih atau merasa terdorong untuk melakukan tindakan tertentu. Dengan demikian, 8 maka agenda kebijakan dapat dibedakan dari tuntutan politik secara umum serta

  “PP RI No. 16 tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 64 Ayat (4)(5)(6)”, [Artikel Online], tersedia di: 9 diunduh pada 14 Desember 2014 Pukul 19.25 Wib. dengan istilah “priorotas” yang biasanya dimaksudkan untuk merujuk pada susunan pokok-pokok agenda dengan pertimbangan bahwa suatu agenda lebih

   penting dibandingkan agenda yang lain.

  Tidak semua masalah atau isu akan masuk ke dalam agenda kebijakan . Isu-isu atau masalah-masalah tersebut harus harus berkompetisi antara satu dengan yang lain dan akhirnya hanya masalah-masalah tertentu saja yang akan menang dan masuk ke dalam agenda kebijakan. Dalam negara yang demokratis maka tafsir kepentingan umum itu dikembalikan kepada rakyat, yang merupakan pemegang kedaulatan. Rakyatlah yang merumuskan dan menentukan apa itu kepentingan umum. Inilah yang kemudian disebut sebagai proses pembuatan

   Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu

  yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem politik. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan- keputusan tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal tetapi juga keputusan-keputusan

   beserta dengan pelaksanaannya.

  Oleh karena itu , DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat diharapkan 10 dapat menjadi jembatan penghubung serta mewujudkan aspirasi masyarakat yang 11 Budi Winarno,Kebijakan Publik Teori dan Proses, (Yogyakarta : MedPress (Anggota IKAPI), 2007), hal 80 Lili Romli,Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 12 2007), hal 276 diperoleh melalui berbagai kegiatan komunikasi dengan konstituean termasuk kegiatan reses. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat menjadi pertimbangan kebijakan daerah yang ditetapkan bersama Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Mengingat pelaksanaan reses merupakan salah satu agenda DPRD yang menggunakan anggaran yang cukup besar yang bersumber dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

  Sementara manfaat reses sejauh ini belum begitu berarti bagi masyarakat Indonesia. Ekspektasi belum sesuai degan kenyataan di lapangan. Reses terkesan seremonial. Selain itu pertanggungjawaban reses belum membudaya di lembaga perwakilan. Laporan reses hanya sebatas dalam bentuk laporan lembaga, tetapi yang diharapkan dalam bentuk kebijakan, pembangunan serta peningkatan pelayanan publik, dsb masih belum dirasakan masyarakat. Padahal akuntabilitas dari pelaksanaan reses DPRD ialah melaksanakan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di dapil masing-masing. Sehingga

   pelaksanaan reses kerap dianggap sebagi pemborosan anggaran belaka.

  Kemudian, pada tingkat Pemerintah daerah juga dikenal istilah Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan Daerah). Yaitu sistem perencanaan pembangunan daerah jangka panjang (RPJPD), jangka menengah

  13

“Waspadai Penyimpangan Anggaran Masa Reses” [Artikel Online], (hukumonline.com, 2014), tersedia di:

  

  (RPJMD ), maupun rencana kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Yang dilakukan mulai dari tahap Musrenbang tingkat desa/kelurahan hingga ke tingkat Kabupaten atau Kota. Tujuannya yaitu sebagai arah kebijakan pembangunan daerah serta prioritas program dan kegiatan yang akan dibiayai oleh APBD.

  Maka seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa agenda kebijakan dalam suatu pemerintahan selalu mengandung unsur prioritas, artinya tidak semua usulan kebijakan akan dijadikan sebagai kebijakan di daerah. Maka menjadi sebuah pertanyaan bagaimana hasil reses DPRD dapat digunakan dalam kebijakan- kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. Apakah aspirasi masyarakat hasil pelaksanaan reses digunakan secara maksimal sebagai pertimbangan kebijakan dilakukan oleh anggota dewan tersebut.

  Oleh karena itu, penulis tertarik unutk meneliti tentang manfaat reses DPRD terhadap kebijakan pemerintah daerah. Dalam penelitian ini, objek yang akan menjadi lokasi penelitian adalah Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara. Kota yang merupakan daerah otonom baru pasca memekarkan diri dari kabupaten Nias yang telah diresmikan pada tanggal 26 Mei 2009, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 Bab II pasal 2 tentang pembentukan

   14 Kota Gunungsitoli di Provinsi Sumatera Utara.

  “PP RI No. 8 tahun 2008 Tentang Tahapan , Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana pembangunan Daerah, BAB III Pasal 4 ayat 1” [Artikel Online], tersedia di: 15 hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_8_2008.pdf; diunduh pada 14 Desember 2014 Pukul 19.45 “ UU RI No. 47 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Gunungsitoli di Provinsi Sumatera Utara”

[Artikel Online], tersedia di: hukum.unsrat.ac.id/uu/uu2008_47.pdf; diunduh pada 14 Desember Pukul 20.05

Wib.

  Ada beberapa alasan, penulis ingin meneliti manfaat reses DPRD Kota Gunungsitoli yaitu reses merupakan salah satu agenda DPRD yang menggunakan anggaran cukup besar sehingga menarik untuk dilihat tingkat keberhasilannya, kemudian sebagai daerah otonom baru, peneliti ingin melihat perkembangan kinerja pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif dalam menjalankan roda pemerintahan terutama dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan bagi daerah yang bersumber dari masyarakat.Untuk itu, penelitian ini akan berfokus pada hasil-hasil pelaksanaan reses anggota DPRD Kota Gunungsitoli, kemudian bagaimana penggunaannya terhadap perumusan kebijakan di tingkat pemerintah daerah serta bagimana peran serta anggota DPRD tersebut dalam proses

1.2 Perumusan Masalah

  Reses merupakan kunjungan anggota Dewan ke Dapil masing-masing bertemu dengan konstituen yang bertujuan untuk menampung aspirasi masyrakat dan bertanggungjawab menindaklanjuti aspirasi tersebut melalui kebijakan pemerintah . Akan tetapi, kegiatan yang menggunakan anggaran APBD ini kerap menjadi agenda seremonial belaka, sebab manfaatnya belum begitu dirasakan masyarakat. Di sisi lain sumber agenda kebijakan pemerintah sesungguhnya sangat variatif, akan tetapi akan menjadi seimbang jika hasil reses memberikan pengaruh besar pula terhadap kebijakan yang dihasilkan pemerintah tersebut. Oleh karena itu yang akan menjadi pertanyaan penelitian dalam skripsi ini ialah

  

Bagaimana Penggunaa Hasil reses DPRD Kota Gunungsitoli Tahun 2013

DalamPenetapan Kebijakan di Tingkat Pemerintah Kota ?

1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu : 1.

   Untuk mendeskripskan profil DPRD dan Pemerintah Kota Gunungsitoli, serta perkembangannya pasca pemekaran.

  2. Untuk menganalisis penggunaan hasil reses DPRD Kota Gunungsitoli Tahun 2013 dalam pembuatan kebijakan Pemerintah Kota.

  Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu : 1. Bagi ilmu politik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian teoritis yang mampu memberikan kontribusi pemikiran atas gejala-gejala politik dan memberi solusi atas permasalahannya.

  2. Bagi pengembangan akademik, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam ilmu politik, khususnya dalam hal pelaksanaan reses dan Kebijakan di Tingkat pemerintah Daerah di Indonesia, serta menjadi referensi/kepustakaan bagi depatemen Ilmu Politik Fisip USU.

  3. Bagi kalangan praktisi, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi anggota DPRD serta Pemerintah Kab/Kota sebagai bahan evaluasi untuk menajalankan pemerintahan di Daerah.

1.5 Kerangka Teori

  Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam penelitian adalah menyusun kerangka teori, karena kerangka teori berfungsi sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari segi mana menyoroti masalah yang telah dipilih. Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial

  

  secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Sedangkan menurut F.N.Karliger sebagaimana dikutip oleh Joko Subaygo pada buku Metode

  Penelitian dalam Teori dan Praktek , teori adalah sebuah konsep atau konstruksi

  yang berhubungan satu sama lain, satu set dari proporsi yang mengandung suatu

  

1.

   Kebijakan Publik

  Carl J Federick mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan- kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena

  16 17 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37 Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rieneka Cipta, 1997.

  bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan

   daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.

  Kemudian David Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai

  

the autorative allocationof values for the whole society”. Definisi ini menegaskan

  bahwa hanya pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah) yang secara syah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena pemerintah termasuk ke dalam “authorities in a political system” yaitu para penguasa dalam sistem politik yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai diminta untuk mengambil keputusan di kemudian harikelak diterima serta

  

  mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu. Kebijakan publik dapat berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kota/Kabupaten, dan Keputusan

20 Walikota/Bupati.

  Kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem. Bila kebijakan dipandang sebagai sebuah sistem, maka kebijakan memiliki elemen-elemen pembentuknya.

  Menurut Thomas R. Dye terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk sistem 18 kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut sebagai 19 Leo Agustino, Dasar-dasar Kebijakan Publik ,(Bandung : Alfabeta, 2008), hal 7. 20 ibid., hal 19.

  

Subarsono, Analisis Kebijakan Publik Konsep Teori, dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal kebijakan publik/public policy, pelaku kebijakan/policystakeholders, dan

  

lingkungan kebijakan/policy environment.

  Jika kebijakan dapat dipandang sebagai suatu sistem, maka kebijakan juga dapat dipandang sebagai proses. Dilihat dari proses kebijakan, Nugroho menyebutkan bahwa teori proses kebijakan paling klasik dikemukakan oleh David Easton. David Easton menjelaskan bahwa proses kebijakan dapat dianalogikan dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara mahluk hidup dan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relatif stabil. Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan publik dengan

  

  sistem (politik). Seperti dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri dari input, throughput, dan output, seperti digambarkan sebagai berikut:

  21 William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua, (Yogyakarta: Gajahmada University 22 Press,2000), hal 110.

  

R Nugroho, Public Policy : TeoriKebijakan-AnalisisKebijakan-ProsesKebijakan Perumusan,Implementasi,

Evaluasi,Revisi,Risk Manajement Dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fithestate, Metode

   Gambar 1.1 Proses Kebijakan Publik Menurut Easton o

  DEMANDS DECISIONS

  A POLITICAL

  I u N

  SYSTEM

  SUPPORT

  p P u u t

  OR POLICIES

  t

  FEEDBACK ENVIRONMENT ENVIRONMENT

2.Tahap-Tahap Kebijakan Publik

  karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut :

  a) Tahap Penyusunan Agenda (agenda setting)

  Agenda kebijakan didefenisikan sebagai tuntutan agar para pembuat 23 kebijakan memilih atau merasa terdorong untuk melakukan tindakan tertentu.

  Loc.cit. Cob dan Elder mendefenisikan agenda kebijakan sebagai “a set of political controversies that will be viewed as falling whitin range of legitimate concerns meriting attention by a decision making body”. Sementara itu, proses agenda kebijakan berlangsung ketika pejabat public belajar mengenai masalah-masalah baru, memutuskan untuk member perhatian secara personal dan memobilisasi organisasi yang mereka miliki untuk merespon masalah tersebut. Agenda setting,

   yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.

  Suatu kebijakan dapat berkembang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ini :

  1. Memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat.

  Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan public yang pernah dilakukan.

  3. Isu tersebut mampu diakitkan dengan simbol-simbol nasional atau politik yang ada.

  4. Terjadinya kegagalan pasar (market failure).

  5. Terjadinya teknologi dan dana untuk menyelesaiakan masalah politik.

  b) Tahap Formulasi Kebijakan

  Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai 24 alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada.

  Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-masing aktor akan bersaing danberusaha untuk mengusulkan

   pemecahan masalah terbaik.

  c) Tahap Adopsi Kebijakan

  Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh paraperumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusanperadilan. Pada tahap Adopsi kebijakan/policy adoption yang merupakan tahap yang dikemukakan Anderson, dkk. seharusnya dilakukan

  

  analisis berbagai alternatif kebijakan setelah alternatif-alternatif tersebut

  

  diestimasikan melalui peramalan. ada tahap ini, pengambil keputusan akan mempertimbangkan berbagai alternatif kebijakan, bagaimana dampak (untung rugi) sebuah alternatif kebijakan dan bagaimana cara menerapkan alternative tersebut. Dalam penyusunan kebijakan, pemerintah atau pembuat kebijakan senantiasa dihadapkan pada beberapa factor yang seringkali mengganggu atau

  

  berpengaruh. Felix A. Nigro dan Liyod G Nigro, mengidentifikasikan faktor- faktor pengaruh tersebut adalah : 25 1. Faktor tekanan-tekanan dari luar. 26 Budi Winarno, Op Cit., hal 32 27 Ibid., hal 33. 28 William Dunn, Op Cit., hal 27.

  2. Faktor kebiasaan lama (konservatisme).

  3. Faktor sifat-sifat pribadi pengambil kebijakan.

  4. Faktor kelompok luar.

  5. Faktor keadaan masa lalu.

  Pengambilan kebijakan acapkali mendapat tekanan-tekanan dari luar, baik dalam bentuk tekanan dari kelompok kepentingan, partai politik maupun dari masyarakat. Tekanan-tekanan demikian, biasanya dating secara tiba-tiba dan cukup berpengaruh. Hal ini pernah dan bahkan sering terjadi di Indonesia terutama di era reformasi. Dimana para pengambil kebijakan di gedung DPR/MPR mendapat tekanan dari masyarakat melalui gerakan demonstrasi. kebijakan manakala mereka sampai pada tahap kejenuhan dan kemandegan yang

   cenderung sulit dicari jalan keluarnya.

  d) Tahap Implementasi Kebijakan

  Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat

  29 dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain munkin

   akan ditentang oleh para pelaksana.

  e) Tahap Evaluasi Kebijakan

  Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuranatau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai

   dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum.

  Keputusan menurut Atmosudirdjo adalah pengakhiran daripada proses pemikiran tentang apa yang dianggap sebagai masalah, sebagai suatu yang merupakan penyimpangan daripada yang dikehendaki, direncanakan atau dituju, dengan menjatuhkan pilihan pada salah satu altenatif pemecahannya.

  Pengambilan keputusan dalam kebijakan pemerintah tidaklah harusnya benar,

  

  tetapi juga harus baik artinya bermanfaat bagi rakyat dan Negara. Pengambilan keputusan (decision making) dalam pengambilan keputusan kebijakan (policy making) merupakan kegiatan yang sangat penting, merupakan kegiatan yang sangat strategis, yaitu banyak menentu arah, sifat dan dampak (effect) daripada 30

public policy itu. Di dalam pengambilan kebijakan, kita harus selalu 31 Budi Winarno, Op Cit., hal 34 32 Loc.cit. memperkirakan diperolehnya hasil-hasil yang bersikap fisik (physical

  

proposition) dan memperhatikan nilai-nilai dan kepentingan (value & interest)

  yang terpancar dari ide pengambilan kebijakan yang merupakan “ethical

  

proposition”. Dalam hal ini, lingkungan dan hubungan-hubungan yang terjalin

  akan membatasi dan menentukan pengambilan keputusan dalam pemilihan bentuk kebijakan itu.

  Sikap, tingkah laku tidak hanya akan menjadi contoh teladan bagi masyarakat yang banyak, akan tetapi juga akan menjadi perhatian dan penelitian dari masyarakat yang bersangkutan.Pengambilan keputusan yang baik haruslah selalu bersifat rasional, kondisional dan situasional. Adapun gambaran proses

  1. Rasional, artinya pengambilan keputusan tersebut benar-benar mempergunakan data-data dan informasi-informasi yang selengkapnya. Data diolah dengan seksama untuk menjadi informasi yang penting, sedangkan informasi dikumpulkan selengkap mungkin dari ilmu-ilmu pengetahuan dan pengalaman-

   pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain.

  2. Instutisional, berarti pengambilan keputusan harus senantiasa dengan mengingat tujuan organisasi serta memperhatikan pula hak-hak dan

   kewenangannya.

  3. Kondisional, maksudnya harus selalu diingat bahwa suatu kejadian, masalah, 33 peristiwa itu tidak akan lepas dari lingkungannya, baik lingkungan alam 34 TIrfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusn Kebijaksnaan Negara, (Jakarta : Bumi aksara, 2001), hal 24.

  (natural environment), lingkungan fisik (physical environment), maupun

   lingkungan social (social environment).

  4. Situasional, yang berarti bahwa keputusan yang diambil itu haruslah sesuai dan dapat terselenggara dalam situasi yang hidup pada waktu itu. Suatu keputusan yang benar, namun tidak dapat dilaksanakan , maka tentulah tidak ada

   manfaatnya; keputusan yang demikian tentulah keputusan yang tidak baik.

  4. Studi Terdahulu

  Ada tiga penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu : Penelitian Efektifitas Reses Anggota DPRD Kab. Bengkalis Kecamatan Rupat,dan Kecamatan Rupat Utara)oleh Qory Kumala Putri dan M. Y. Tiyas Tinov. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif(campuran) yang menggunakan teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner, wawancara, dan dokumentasi menggunakan teknik purposive sampling. Dari hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Reses anggota DPRD Kabupaten Bengkalis efektif dilakukan dalam menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihnya. Hal ini dapat diketahui dari hasil pengukuran yang penulis lakukan dengan menggunakan skala liker, dimana jumlah skor yang

  35 36 Loc.cit. diperoleh dari penelitian adalah 957 atau 68,36%, dari yang diharapkan yaitu

   100%.

  2. Tindakan-tindakan yang dilakukan anggota DPRD Kabupaten Bengkalis khususnya Daerah Pemilihan I dalam merealisasikan setiap aspirasi masyarakat, yaitu: (1) Anggota dewan akan membuat laporan hasil reses untuk disampaikan kepada Bupati Kabupaten Bengkalis dan Dinas yang berwenang sesuai dengan aspirasi masyarakat, (2) Anggota dewan mengusulkan aspirasi atau permohonan masyarakat pada sidang paripurna penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Bengkalis, dan (3) Anggota dewan melakukan lobi- lobi politik dengan anggota DPRD Kabupaten Bengkalis lainnya agar menyetujui

   Perbedaan penelitian ini dengan masalah yang akan diteliti ialah penelitian

  ini lebih berfokus pada efektifitas reses terhadap masyarakat , sedangkan penelitian reses dan kebijakan pemerintah ini ingin melihat efektifitas reses terhadap kebijakan pemerintah.Selain itu metode penelitian dan lokasi penelitian juga berbeda, dimana pada penelitian ini metode yang digunakan yaitu kualitatif dan kuantitatif , berlokasi di kab. Bengkalis, sedangkan pada masalah yang akan diteliti menggunakan metode kualitatif dan berlokasi di Kota Gunungsitoli.

  Penelitian kedua yaitu “Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala 37 Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah” oleh Berny R. Mambu. Metode

  

Qory K. Putri, M. Y. Tiyas Tinov, “Efektifitas Reses Anggota DPRD Kab. Bengkalis Periode 2009-2014

(Studi Dapil I Kecamatan Bantan, Kecamatan Bengkalis, Kecamatan Rupat,dan Kecamatan Rupat Utara)”

Jurnal Online Mahasiswa Vol 1, No. 1 (Februari 2014), hal 1. [Artikel Online], tersedia di

38 jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/2183 ; diunduh pada 15 Desember 2014 Pukul 20.15 Wib.

  Ibid ., hal 14-15. dalam penelitian ini yaitu metode yuridis normatif. Bahan-bahan hukum primer yaitu UUD 1945, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Bahan-bahan hukum sekunder meliputi hasil-hasil seminar, karya ilmiah, hasil penelitian, serta segala literatur yang ada kaitannya dengan

   objek penelitian.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara DPRD dan pemerintah daerah merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan, artinya tidak saling membawahi. Pada prinsipnya eksistensi dari Kepala Daerah telah mendapatkan pengaturan secara konstitusional dalam UUD 1945, sedangkan pengaturan secara konstitusional dalam UUD 1945., 1945 pasca amandemen, khususnya amandemen kedua yang secara tegas

   menyebutkan adanya lembaga DPRD.

  Perbedaan penelitian ini dengan masalah yang akan diteliti yaitu penelitian tesebut dilakukan untuk melihat Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah berdasarkan studi pustaka terhadap Undang-Undang dan sumber lain, sedangkan dalam penelitian penulis, lebih khusus terhadap hubungan DPRD dan Pemerintah Daerah dalam Perumusan Kebijakan yang bersumber dari hasil Reses dengan metode penelitian lapangan.

  Penelitian ketiga yaitu “Kinerja DPRD dalam melaksanakan kekuasaan 39 legislasi (Study Di DPRD Kota Malang)” oleh Sofyan Arief, SH. Metode

  

Berny R. Mambu, “Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan

40 Daerah”, Jurnal Hukum UnsratVol XX No. 3 (April-Juni 2012), hal.92

  penelitian ini adalah diskriptif dengan metode pendekatan yuridis sosiologis untuk mengkaji dan membahas permasalahan-permasalahan yang dikemukakan berkaitan dengan kinerja DPRD Kota Malang dalam melaksanakan fungsi

   legislasi.

  Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pemahaman DPRD Kota Malang terhadap legislasi masih kurang meskipun sudah beberapa kali dilakukan pelatihan-pelatihan Legal Drafting baik yang dilakukan di tingkat pusat, propinsi maupun Daerah, perubahan konstitusi yang kemudian diikuti dengan perubahan beberapa peraturan perundang-undangan tidak berdampak pada peningkatan

   produktivitas DPRD dalam memproduk Rancangan Peraturan Daerah.

  melaksanakan kekuasaan Legislasi setelah berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak menunjukkan mempunyai semangat perubahan ke arah yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya. DPRD Kota Malang selain tidak pernah menggunakan hak inisiatif untuk mengajukan rancangan Peraturan Daerah, juga tidak mempunyai inisiatif untuk mensosialisasikan dan melibatkan rakyat dalam proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah.Dalam Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, DPRD Kota Malang lebih banyak hanya mengikuti skenario kepentingan Pemerintah Kota

41 Sofyan Arief, SH, “Kinerja DPRD Dalam Melaksanakan Kekuasaan Legislasi (Study Di DPRD Kota

  

Malang)Jurnal Legality Vol 20 No.2 , hal 3, [Artikel Online], tersedia di:

ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/300/313 ; diunduh pada 15 Desember 2014 Pukul 21.11 42 wib.

  Ibid., hal. 18. Malang yang hanya ingin mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui

   Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi.

  Perbedaan penelitian ini dengan masalah yang akan diteliti yaitu Penelitian ini hanya membahas mengenai Kinerja DPRD dalam fungsi legislasi secara umum saja, sedangkan pada masalah yang akan diteliti lebih spesifik kepada hasil reses terhadap kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang diusulkan oleh DPRD.

1.6 Metodologi Penelitian

  1. Metode Penelitian Meode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

  dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta

  

  yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode ini digunakan karena penelitian ini berupaya menggambarkan pengaruh reses terhadap kebijakan pemerintah sebgaimana penemuan fakta di lapangan.

  2. Jenis Penelitian

  Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan atau 43 karakteristik sekelompok manusia, benda atau peristiwa. Pada dasarnya, deskripsi 44 Loc.cit. kualitatif melibatkan proses konseptualisasi dan menghasilkan pembentukan

  

  skema-skema klasifikasi. Dimana dengan pendekatan kualitatif ini akan dapat menghasilkan data yang tertulis maupun lisan dari orang-orang yang diamati di lapangan, sehingga peneliti dapat melihat dan mengamati pengaruh reses DPRD Kota Gunungsitoli terhadap Kebijakan Pemerintah Kota.

  3. Lokasi Penelitian

  Lokasi Penelitian akan dilakukan di Kantor DPRD Jl. Gomo No. 37, dan Kantor Bappeda Jl. Pancasila-Mudik Kota Gunungsitoli.Penetapan ketiga lokasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan narasumber dan dokumen-dokumen yang

  4. Teknik Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini dugunakan sumber data yang terdiri dari data primer dan data skunder.

  a.

  Data primer adalah data yang diproleh langsung dari sumbernya. Dalam pengambilan data penulis mengumpulkan data degan teknik

  

interview (wawancara). Wawancara merupakan pengumpulan data dengan cara

  memberikan pertanyaan lansung kepada narasumber guna memperoleh keterangan dalam menyimpulkan data yang terkumpul. Adapun narasumber 45 dalam penelitian ini yaitu: Ketua DPRD Kota Gunungsitoli, Wakil Ketua

  Burhan Bangun, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial

  DPRD Anggota Komisi A dan Komisi B, DPRD Kota Gunungsitoli Periode 2009-2014, sekretaris Bappeda Kota Gunungsitoli, Bapak Yurisamn Telaumbanua dan Kassubag Program BAPPEDA Kota Gunungsitoli Bapak Mashuri Baeha. Pemilihan narasumber dimaksudkan agar kebutuhan informasi terkait dengan judul penelitian dapat terpenuhi sesuai dengan objek penelitian yaitu DPRD Kota Gunungsitoli.

  b.

  Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada. data tersebut dapat diperoleh memalui catatan atau dokumentasi seperti laporan reses DPRD, buku-buku yang terkait dengan kebijakan publik, dan literatur lain yang berhubungan dengan judul penelitian ini.

5. Teknik Analisa Data

  Tahap selanjutnya yaitu menganalisis data yang diperoleh dari sumber- sumber yang digunakan dalam teknik pengumpulan data. Tujuannya adalah untuk membatasi penemuan hingga menjadi data yang teratur dan tersusun. Dari data tersebut kemudian dianalisis secara sistematis. Adapun teknik analisis data kualitatif yaitu dengan menekankan analisis pada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif dan deduktif serta analisis pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan metode ilmiah. Dalam penelitian kualitatif ini juga penulis tidak mencari kebenaran dan moralitas tetapi lebih kepada upaya pemahaman .

1.7 Sistematika Penulisan

  Adapaun sistematika penulisan dalam penelitian ini yaitu :

  BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi tentang latar belakang Permasalahan, perumusan masalah, pembatasan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metodologi penelitian.

  BAB II : POFIL KOTA GUNUNGSITOLI, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAHDAN RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH GUNUNGSITOLI TAHUN 2014. Dalam bab ini penulis akan menggambarkan profil dan sejarah Gunungsitoli Tahun 2014 BAB III : PENGGUNAAN HASIL RESES DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN DI KOTA GUNUNGSITOLI Bab ini nantinya akan berisikan tentang penggunaan hasil reses 2013 DPRD Kota Gunungsitoli terhadap perumusan kebijakan oleh Pemerintah Daerah tahun 2014.

  BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data pada bab-bab sebelumnya dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah dilakukan.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Sistem Saraf - Gambaran Rentang Gerak Sendi pada Ekstremitas Bawah Pasien Immobilisasi yang Mengalami Gangguan Sistem Saraf di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 25

Lampiran 1 : Istilah budaya dan teknik penerjemahan yang ditemukan dalam novel Negeri 5 Menara ke dalam bahasa Inggris The land of Five

0 0 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2. 1. 1 Penelitian yang Relevan - Terjemahan Istilah Budaya Dalam Novel Negeri 5 Menara Ke Dalam Bahasa Inggris The Land Of Five Towers

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Terjemahan Istilah Budaya Dalam Novel Negeri 5 Menara Ke Dalam Bahasa Inggris The Land Of Five Towers

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air - Studi Perbandingan Kandungan Besi (Fe) dan Aluminium Didalam Air Minum yang Diproduksi Oleh PDAM Tirtanadi Pada Unit Cabang Produksi Cabang Sei Agul, Medan Labuhan dan Sunggal Medan

0 0 20

Studi Perbandingan Kandungan Besi (Fe) dan Aluminium Didalam Air Minum yang Diproduksi Oleh PDAM Tirtanadi Pada Unit Cabang Produksi Cabang Sei Agul, Medan Labuhan dan Sunggal Medan

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang - Strategi Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPPKKD) Kabupaten Toba Samosir dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui Penerimaan Pajak Hotel

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah - Peran Kerapatan Adat Nagari ( Kan ) Dalam Pembangunan Nagari ( Studi Pada Nagari Baringin Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar )

0 0 23

Peran Kerapatan Adat Nagari ( Kan ) Dalam Pembangunan Nagari ( Studi Pada Nagari Baringin Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar )

0 3 13

BAB II POFIL KOTA GUNUNGSITOLI, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAHDAN RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH GUNUNGSITOLI TAHUN 2014 - Reses dan Kebijakan Pemerintah ( Studi Analisis (Hasil Reses sebagai Rujukan dalam Pembuatan Kebijakan di Kota Gunungsitoli)

0 0 27