BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Badan Usaha Milik Negara Studi Pada PT. Pertamina Refinery Unit II Dumai

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Tenaga kerja merupakan bagian penting dari dunia usaha dan pembangunan nasional. Indonesia sebagai negara yangmemiliki banyak kekayaan alam dan hasil bumi tentu membutuhkan tenaga kerja atau sumberdaya manusia untuk memenuhi kegiatan produksi perusahaan dalam mengelola kekayaan alam.

  Dalam kegiatan operasionalnya keselamatan dan kesehatan pekerja adalah hal utama yang harus dilaksanakan pada Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan swasta, karena pekerja yang sehat dan tidak mengalami kecelakaan dalam bekerja dapat meningkatkan produktivitas kerja, mampu bersaing dan meningkatkan perkembangan ekonomi perusahaannya.

  Sebagaimana tujuan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk melindungi tenaga kerja yang selama ini telah berupaya dan berusaha dalam bekerja untuk menggerakkan perusahan-perusahaan yang berdiri di negeri ini yang berkontribusi dalam pembangunan nasional. Dalam Undang- Undang No. 13 tahun 2003 pasal 1 dinyatakan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

  Salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap tenaga kerja yaitu melalui Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) yang penerapannya dilakukan oleh setiap perusahaan yang memanfaatkan Sumber Daya Manusia dalam kegiatan produksinya baik pada Badan Usaha Milik Negara maupun perusahaan swasta.

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 87 ayat 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maka setiap badan usaha perlu menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam kegiatan operasional perusahaannya. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

  Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Dalam rangka perkembangan industri disuatu negara, masalah besar yang selalu timbul adalah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, hal seperti ini dapat menjadi dapat menjadi biaya tambahan bagi suatu perusahaan dan kerugian pribadi baik secara mental maupun fisik bagi tenaga kerja

  Permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja tidak hanya masalah bagi mereka yang bekerja dibidang industri atau teknik melainkan tanggung jawab moral untuk melindungi keselamatan sesama manusia, bukan hanya sekedar pemenuhan standar terhadap peraturan ataupun profit semata. Pekerja harus sadar bahwa apabila terjadi kecelakaan, bukan hanya dirinya yang menanggung, tetapi keluarga dan perusahaan akan menanggung akibat dari kecelakaan. Dengan adanya kesadaran dari pribadi dan perusahaan akan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja akan lebih mudah diwujudkan. Safety adalah sebuah cerminan budaya kerja yang ada dalam perusahaan. Keselamatan dan kesehatan kerja yang baik akan mencerminkan bahwa kondisi ketenagakerjaan didalam perusahaan juga baik.

  Badan Usaha Milik Negara yang merupakan pilar ekonomi bangsa Indonesia, maka yang menjadi peranan BUMN dalam negara adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya dibidang perekonomian, maka kebijakan pemerintah dalam pembinaan BUMN disesuaikan dengan kebijakan nasional. Dilihat dari keragaman tujuan BUMN maka secara garis besar BUMN memiliki dua peranan yaitu melaksanakan fungsi komersial dan non komersial. Dalam upaya pencapaian fungsinya maka BUMN perlu memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan para pekerjanya dengan cara menerapkan kebijakan pemerintah yaitu Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam setiap unit kegiatan produksinya, karena kesehatan dan keselamatan dalam bekerja merupakan hak setiap pekerja dan harus mampu dipenuhi oleh perusahaan.

  Berdasarkan kebijakan tersebut maka pemerintah dapat mengontrol badan usaha dalam pelaksanaan perlindungan terhadap tenaga kerja. Perlindungan terhadap tenaga kerja perlu menjadi perhatian pemerintah karena dalam kegiatan produksi perusahaan tak sedikit terjadi kecelakaan dalam bekerja dan tenaga kerja yang menjadi korban.

  Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja melalui SMK3 telah berkembang di berbagai negara baik melalui pedoman maupun standar. Untuk memberikan keseragaman bagi setiap perusahaan dalam menerapkan SMK3 sehingga perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja, peningkatan efisiensi, dan produktifitas perusahaan dapat terwujud maka perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah yang mengatur penerapan SMK3.

  PT. Pertamina (Persero) selaku salah satu Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang industri minyak bumi dan gas ikut melaksanakan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012, banyak unit kerja dalam PT. Pertamina (Persero) salah satunya unit pengolahan atau refinery unit. PT. Pertamina Refinery Unit II yang berada di Kota Dumai Provinsi Riau memiliki jumlah tenaga kerja yang cukup banyak dalam melaksanakan perannya sebagai unit pengolahan, resiko bekerja dibagian unit pengolahan tidaklah kecil, banyak tenaga kerja bekerja langsung dilapangan yaitu di kilang minyak. Sehingga penerapan SMK3 perlu di perhatikan agar meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi serta mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong produktivitas.

  Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Implementasi Sistem Manajemen

  

Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Badan Usaha Milik Negara (Studi

pada PT. Pertamina Refinery Unit II Dumai).

  1.2. Fokus Masalah

  Penelitian ini memiliki fokus masalah yang kemudian akan menjadi batasan peneliti dalam penelitian. Fokus masalah peneliti yaitu pada pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 mengenai Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada salah satu Badan Usaha Milik Negara yaitu PT. Pertamina Refinery Unit II

  1.3. Perumusan Masalah

  Untuk mempermudah penelitian selanjutnya dan membawa hasil yang diinginkan sesuai dengan arah penelitian, berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan

  pada PT. Pertamina Refinery Unit II Dumai ?

  I.4. Tujuan Penelitian

  Sejauh mana penelitian yang dilakukakan tentu memiliki sasaran yang hendak dicapai atau menjadi tujuan penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1.

  Bagaimana implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Badan Usaha Milik Negara yaitu PT. Pertamina Refinery Unit II Dumai.

  2. Apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat PT. Pertamina dalam Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

  I.5. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian yang diharapkan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :

  1. Secara subjektif, sebagai wahana latihan pengembangan kemampuan dalam bidang penelitian dan penerapan ilmu yang didapat pada masa perkuliahan dan menambah pengetahuan yang berkaitan dengan Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

  2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara.

  3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau sumbangan pemikiran bagi PT. Pertamina Refinery Unit II Dumai dalam pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).

I.6. Kerangka Teori

  Teori adalah seperangkat konsep, asusmsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi (Sugiyono. 2004:5). Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilihnya, kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitian. (Arikunto. 2002:92).

I.6.1. Kebijakan Publik

1.6.1.1. Pengertian Kebijakan Publik

  Kebijakan berasal dari kata policy yang diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Sedangkan pengertian publik itu sendiri bisa diartikan sebagai umum, masyarakat ataupun negara.

  Menurut Anderson kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan atau bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Menurut Thomas R. Dye (1981), kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Namun para ahli menganggap pengertian ini belum bisa mendefinisikan kebijakan publik dengan rinci. Banyak para ahli yang mencoba untuk mendefinisikan pengertian kebijakan publik dengan lebih luas.

  Menurut Easton (1969) dalam Hesel N. Tangkilisan (2003:2) kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.

  Bedasarkan pengertian para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah yang dirumuskan dan dilaksanakan untuk memecahkan masalah yang ada dimasyarakat baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga lain yang mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Jadi pada dasarnya kebijakan publik berorientasi pada pemecahan masalah riil yang terjadi di tengah masyarakat.

1.6.1.2. Tahapan Kebijakan Publik

  Menurut William Dunn (1998) kebijakan publik memiliki tahap-tahap yang kompleks karena memiliki banyak proses dan variabel yang harus dikaji, ada pun yang menjadi tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut : 1.

  Tahap Penyusunan Agenda (Agenda Setting) Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelum masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masuk ke agenda kebijakan pada perumusan kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak tersentuh sama sekali dan beberapa yang pembahasan untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.

  2. Tahap Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi kemudian didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada.

  3. Tahap Adopsi Kebijakan (Policy Adoption) Dari sekian banyak alternatif kebijakan pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

  4. Tahap Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan administrasi maupun pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

5. Tahap Evaluasi (Policy Evaluation)

  Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

I.6.2. Implementasi Kebijakan

1.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

  Dalam setiap perumusan suatu kebijakan apakah menyangkut program ataupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan penerapan atau implementasi. Menurut Pressman dan Wildavsky (dalam Tangkilisan, 2003) mengartikan implementasi sebagai proses interaksi antara tujuan dengan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya. Berdasarkan pengertian para ahli implentasi dapat diartikan sebagai kegiatan penerapan yang dilakukan oleh orang, kelompok ataupun badan berdasarkan suatu alternatif kebijakan.

1.6.2.2.Model Implementasi Kebijakan

  Pelaksanaan kebijakan merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan. Tanpa pelaksanaan suatu kebijakan hanyalah sekedar sebuah dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak kebijakan yang baik, yang mampu dibuat suatu pemerintah, baik yang dirumuskan dengan tenaga ahli dalam negeri dari suatu negara maupun tenaga ahli dari luar negeri, tetapi kemudian ternyata tidak mempunyai pengaruh apa-apa dalam kehidupan negara tersebut karena tidak mampu dilaksanakan, atau tidak dilaksanakan. Pelaksanaan sangat penting dalam suatu pemerintahan. Menurut Hunington perbedaan yang penting antara suatu negara dengan negara lain tidak terletak pada bentuk atau pun ideologinya, melainkan pada tingkat kemampuan malaksanakan pemerintahan. Tingkat kemampuan dapat dilihat pada tingkat kemampuan melaksanakan setiap keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh politbiro, kabinet atau presiden negara bersangkutan (Hunington,1968:1).

  Model implementasi kebijakan ada 2 jenis, jenis pertama berpola dari atas kebawah (top-bottom) versus dari bawah ke atas (bottom-top) dan jenis yang kedua berpola paksa (command and control) dan mekanisme pasar (economic incentive ).

a. Model kebijakan Van Meter dan Van Horn

  Model kebijakan Van Meter dan Van Horn berpola dari atas kebawah dan berada pada mekanisme paksa. Proses Implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi kebijakan yang pada dasarnya sengaja dilakukan untuk meraih kenerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandalkan bahwa implementasi kebijkan berjalan linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn ( dalam Agustino: 2006) dijelaskan sebagai berikut:

  1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan.

  2. Sumber daya Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan.

  3. Karakteristik organisasi pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

  4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and

  uniformity) dari berbagai sumber informasi.

  5. Disposisi atau sikap para pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan.

  6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

b. Model kebijakan George Edwards III

  George Edward III berusaha mengkaji empat faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya , komunikasi, disposisi.

1. Struktur Birokrasi

  Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam Winarno

  (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi.

  2. Sumber Daya Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumberdaya (resources).Edwards III (1980:11) mengkategorikan sumber daya organisasi terdiri dari : “Staff, information, authority, facilities; building,

  

equipment, land and supplies”. Sumber daya diposisikan sebagai input dalam

  organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output. Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi”.

  3. Disposisi Menurut Edward III dalam Wianarno (2005:142-143) mengemukakan

  ”kecenderungan-kecenderungan atau disposisi merupakan salah-satu faktor yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif”. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi kebijakan karena konflik kepentingan maka implementasi kebijakan akan menghadapi kendala yang serius.

4. Komunikasi

  Menurut Agustino (2006:157); ”komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik”. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Infromasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik.

  Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan variabel komunikasi. Edward III dalam Agustino (2006:157-158) mengemukakan tiga variabel tersebut yaitu transmisi, kejelasan dan konsistensi.

1.6.2.3. Faktor-faktor Implementasi Kebijakan

  Kebijakan yang telah dibuat kemudian di implementasikan dengan mempertimbangkan hal-hal yang dapat mempengaruhi kebijakakan tersebut.

  Dalam pendekatan mengenai implementasi kebijakan publik, George Edwards III menggunakan empat faktor atau variabel kritis dalam mengimplementasikan kebijakan publik yaitu : 1.

  Komunikasi Proses penyampaian informasi dari pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan. Keputusan kebijakan dan peraturan implementasi mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat. Komunikasi yang efektif diperlukan untuk menghindari kurangnya kejelasan dalam perintah- perintah implementasi dan tumpang tindih makna (arti). Komunikasi kebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi penyampaian informasi (tranmision), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency). Dimensi penyampaian informasi bertujuan agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya pada pelaksana kebijakan tetapi juga disampaikan pada kelompok sasaran.

2. Sumberdaya

  Sumberdaya merupakan kritis bagi implementasi kebijakan efektif, tanpa sumberdaya kebijakan yang diatas kertas bukan merupakan kebijakan sama yang dilakukan dalam praktek. Dimensi sumberdaya manusia meliputi manusia (staff), peralatan (facilities), dan Informasi dan Kewenangan (information and authority). Pada dimensi manusia (staff) efektifitas pelaksanaan kebijakan sangat bergantung pada sumberdaya manusia (aparatur) yang melaksanakan kebijakan. Dimensi peralatan (facilities) adalah sarana yang digunakan untuk operasionalisasi pelaksanaan suatu kebijakan. Dimensi informasi dan kewenangan (information and authority) yaitu diperlukannya informasi yang relevan dan berkaitan dengan cara pelaksanaan kebijakan. Kewenangan sangat diperlukan terutama untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijaksanaan yang akan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

  3. Disposisi Disposisi merupakan sikap dari implementor yaitu karakteristik yang menempel erat pada pelaksana, implementator tidak hanya harus tau apa yang akan dikerjakan dan memiliki kapasitas tetapi mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan. Disposisi terdiri dari pengangkatan birokrasi dan insentif. Dimensi pengangkatan birokrasi merupakan pengangkatan dan pemilihan pegawai pelaksana kebijakan haruslah orang- orang yang memiliki dedikasi terhadap sumberdaya yang telah ditetapkan. Dimensi insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan pemberian penghargaan, uang atau yang lainnya.

  4. Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh signifikan dalam implementasi. Salah satu dari aspek struktur paling mendasar dari organisasi adalah prosedur operasi standar atau SOP, yang merupakan pedoman bagi implementator dalam bertindak. Ciri kedua dari struktur birokrasi yang secara signifikan mempengaruhi implementasi kebijakan adalah fragmentasi organisasional merupakan orgnisasi pelaksana yang terpecah-pecah atau tersebar akan menjadi distorsi dalam pelaksanaan kebijakan.

I.6.3. Sistem Manajemen

1.6.3.1. Pengertian Sistem Manajemen

  Pendekatan sistem pada manajemen bermaksud untuk memandang organisasi sebagai suatu kesatuan, yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Pendekatan sistem memberi manajer cara memandang organisasasi sebagai suatu keseluruhan dan sebagai bagian dari lingkungan eksternal yang lebih luas.

  Sebagai suatu prinsip fundamental, pendekatan sistem adalah sangat mendasar. Ini secara sederhana berarti bahwa segala sesuatu adalah saling berhubungan dan saling tergantung. Suatu sistem terdiri dari elemen-elemen yang berhubungan dan bergantung satu dengan yang lain; tetapi bila elemen tersebut saling berinteraksi, maka akan membentuk suatu kesatuan yang menyeluruh.

  Sebagai suatu pendekatan manajemen, “sistem” mencakup baik sistem- sistem umum maupun khusus dan analisis tertutup maupun terbuka. Pendekatan sistem umum pada manajemen dapat dikaitkan dengan konsep-konsep organisasi formal dan teknis, folosofis dan sosiopsikologis. Sedangkan analisis sistem manajemen spesifik meliputi bidang-bidang seperti struktur organisasi, desain pekerjaan, akuntansi, sistem informasi, serta mekanisme-mekanisme perencanaan dan pengawasan.

  Teori manajemen modern cenderung memandang organisasi sebagai sistem terbuka, dengan dasar analisa konsepsional dan didasarkan pada data empirik, serta sifatnya sintesis dan integratif. Sistem terbuka pada hakekatnya merupakan proses transformasi masukan yang menghasilkan keluaran; transformasi terdiri dari aliran informasi dan sumber-sumber daya (T.Hani Handoko. 2003:55)

I.6.4. Keselamatan dan Kesehatan Kerja

1.6.4.1. Keselamatan

  Keselamatan merupakan hal penting bagi setiap manusia. Keselamatan berasal dari bahasa Inggris yaitu safety yang artinya keselamatan. Kata safety sudah sangat popular dan dipahami oleh hampir semua kalangan. Safety dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana seseorang terbebas dari kecelakaan atau bahaya, baik yang dapat menyebabkan kerugian secara material maupun kerugian secara spiritual. Penerapan safety pada umumnya berkaitan dengan pekerjaan sehingga safety lebih cenderung diartikan keselamatan kerja. Bahkan saat ini safety sudah tidak dapat dipisahkan dengan kesehatan (Health) dan lingkungan (Environment) atau yang lebih dikenal dengan Health Safety Environment (HSE), ada juga yang menyebutnya Occupational Health & Environment Safety (OH&ES). Maka secara lebih luas safety dapat diartikan sebagai kondisi di mana tidak terjadinya atau terbebasnya manusia dari kecelakaan, penyakit akibat kerja dan kerusakan lingkungan akibat polusi yang dihasilkan oleh suatu proses industri.

I.6.4.2. Kesehatan Kerja

  Kesehatan kerja adalah upaya mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan fisik, mental dan kesejahteraan sosial semua pekerja dengan setinggi- tingginya mencegah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan melindungi pekerja dari faktor resiko pekerjaan yang merugikan kesehatan; penempatann dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja disesuaikan dengan kapabilititas fisiologi dan psikologinya dan disimpulkan sebagai adaptasi pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia kepada pekerjaannya. Fokus utama upaya kesehatan kerja adalah:

  1. Pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan para pekerja dan kapasitas kerjanya

  2.Perbaikan kondisi lingkungan kerja dan pekerjaan yang kondusif bagi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

  3. Pengembangan pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja ke arah yang mendukung Keselamatan dan Kesehatan Kerja. (Kurniawidjaja.

  2012:73).

I.6.4.3.Kecelakaan Kerja

  Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan kerja dihrapkan mampu meminimalisir angka kecelakaan kerja. Lalu Husni (2006:142) menyatakan bahwa Keselamatan Kerja bertalian dengan Kecelakaan Kerja, yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau dikenal dengan istilah kecelakaan industri.

  Kecelakaan industri ini secara umum dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas. Klasifikasi faktor penyebab kecelakaan kerja menjadi empat, yaitu:

  1. Faktor manusia, diantaranya kurangnya keterampilan atau pengetahuan tentang industri dan kesalahan penempatan tenaga kerja.

  2. Faktor material atau peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dibuat dari besi dibuat dengan bahan lain yang lebih murah sehingga menyebabkan kecelakaan kerja.

  3. Faktor sumber bahaya, meliputi:

  a. Perbuatan bahaya, misalnya metode kerja yang salah, sikap kerja yang teledor serta tidak memakai alat pelindung diri.

  b. Kondisi/keadaan bahaya, misalnya lingkungan kerja yang tidak aman serta pekerjaan yang membahayakan.

  4. Faktor lingkungan kerja yang tidak sehat, misalnya kurangnya cahaya, ventilasi, pergantian udara yang tidak lancar dan suasana yang sumpek.

  Selain ada sebabnya, maka suatu kejadian juga akan membawa akibat.

  Menurut Lalu Husni (2006:142), akibat dari kecelakaan industri ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

  1. Kerugian yang bersifat ekonomis, yaitu

  a. Kerusakan/ kehancuran mesin, peralatan, bahan dan bangunan.

  b. Biaya pengobatan dan perawatan korban.

  c. Tunjangan kecelakaan.

  d. Hilangnya waktu kerja.

  e. Menurunnya jumlah maupun mutu produksi.

  2. Kerugian yang bersifat non ekonomi Pada umumnya berupa penderitaan manusia yaitu tenaga kerja yang bersangkutan, baik itu merupakan kematian, luka/cidera berat, maupun luka ringan.

I.6.4.4. Organisasi Keselamatan Kerja di Tingkat Perusahaan

  Menurut Suma’mur (1995) Organisasi keselamatan kerja di tingkat perusahaan ada dua jenis, yaitu:

  1. Organisasi sebagai bagian dari struktur organisasi perusahaan dan disebut bidang, bagian, dan lain-lain keselamatan kerja. Oleh karena merupakan bagian organisasi perusahaan, maka tugasnya kontinyu pelaksanaannya menetap dan anggarannya tersendiri. Kegiatan-kegiatan biasanya cukup banyak dan efeknya terhadap keselamatan kerja adalah banyak dan baik.

  2. Panitia keselamatan kerja, yang biasanya terdiri dari wakil pimpinan perusahaan, wakil buruh, teknisi keselamatan kerja, dokter perusahaan dan lain-lain.

1.6.5. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

1.6.5.1. Pengertian Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)

  Menurut Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau yang juga disebut Sistem Manejemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Sasaran Sistem Manajemen K3 adalah terciptanya Sistem Manajemen K3 di tempat kerja yang melibatkan segala pihak sehingga dapat mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Karena Sistem Manajemen K3 bukan hanya tuntutan pemerintah, masyarakat, pasar, atau dunia internasional saja tetapi juga tanggungjawab pengusaha/perusahaan untuk menyediakan tempat kerja yang aman bagi pekerjanya.

1.6.5.2. Manfaat Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

  Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja juga mempunyai banyak manfaat, selain manfaat secara langsung juga terdapat manfaat secara tidak langsung. Adapun manfaat secara langsung meliputi : a. Mengurangi jam kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja.

  b. Menghindari kerugian material dan jiwa akibat kecelakaan kerja.

  c. Menciptakan tempat kerja yang efisien dan produktif karena tenaga kerja merasa aman dalam bekerja.

  Manfaat secara tidak langsung diantaranya : a. Meningkatkan image market terhadap perusahaan.

  b. Menciptakan hubungan yang harmonis bagi karyawan dan perusahaan.

  c. Perawatan terhadap mesin dan peralatan semakin baik, sehingga membuat umur alat semakin lama.

I.6.5.3.Tujuan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tujuan dari Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah:

  1. Meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi.

  2. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

  3. Menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong produktivitas.

I.6.5.4.Dasar Hukum Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

  Dalam implementasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja maka yang menjadi acuan dalam pelaksanaannya yaitu:

1. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang

  Ketenagakerjaan,Keselamatan dan Kesehatan Kerja diatur dalam pasal 86 dan pasal 87.

  a. Pasal 86

  1. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:

  a. keselamatan dan kesehatan kerja;

  b. moral dan kesusilaan; dan

  c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai nilai agama.

  2. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

  3. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pasal 87 1.

  Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerjayang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

  2. Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerjasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Gambar 1.1 Dasar hukum SMK3

  Pasal 5 (2) UUD 1945 Undang-Undang Ketenagakerjaan UU No. 13 Tahun 2003 Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012 1. UU No. 1 Tahun 1970 2. Permenaker No.5/Men/1996 3. Permenaker No. 18/Men/2008 Pasal 87 Pasal 86 Sanksi Pelanggaran

1.6.6. Badan Usaha Milik Negara

1.6.6.1. Pengertian Badan Usaha Milik Negara

  Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN ikut berperan mengasilkan barang atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat, peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan atau perintis dalam sektor- sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Disamping itu BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik dan penyeimbang sektor swasta.

  Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah: 1.

  Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;

  2. Mengejar keuntungan; 3.

  Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; 4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta atau koperasi;

  5. Turut memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.

1.6.6.2. Bentuk Badan Usaha Milik Negara

  Di Indonesia ada dua bentuk Badan Usaha Milik Negara, dua bentuk Badan Usaha Milik Negara tersebut ditentukan dengan wadah hukum yang berbeda-beda agar pengaturan selanjutnya baik mengenai susunan organnisasi, personalia, hubungan pertanggungjawaban dan yang lainnya dapat dilakukan lebih sempurna, berikut ketiga bentuk BUMN tersebut :

  1. Perusahaan Umum (Perum) Perum dipimpin oleh direksi yang bertanggung jawab kepada mentri yang bersangkutan, perum bertugas melayani kepentingan umum dan sekaligus untuk memupuk keuntungan dan bergerak di bidang yang oleh pemerintah dianggap vital. Perum pada umumnya menjalankan tugas pemerintahan. Perum dibebani tugas tertentu oleh pemerintah di departemen yang bersangkutan, maka tidak ada lagi unit organisasi yang menjalankan tugas pemerintahan yang telah diserahkan kepada perum tersebut.

  2. Perusahaan Perseroan (Persero) Persero dipimpin oleh direksi dibawah pengawasan dewan komisaris yang masing-masing bertanggung jawab pada rapat umum pemegang saham. Persero melakukan kegiatan perusahaan yang bisa dilakukan oleh swasta dan bukan semata-mata menjadi tugas pemerintah.

1.7. Defenisi Konsep

  Konsep merupakan istilah dan defenisi yang dipergunakan untuk menjabarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu tertentu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun. 1995:33). Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masing-masing konsep yang digunakan. Hal ini sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kekacauan atau kesalahpahaman yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

  Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

  2. Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

  3. Implementasi merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan, dapat diartikan bahwa implementasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah pelaksanaan dari kebijakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 pada suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

1.8. Sistematika Penulisan

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan

  penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, dan sistematika penulisan.

  BAB II METODE PENELITIAN Bab ini terdiri dari bentuk penelitian , lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian yang

  meliputi sejarah singkat, visi dan misi, serta struktur organisasi

  BAB IV PENYAJIAN DATA Bab ini membahas tentang hasil data-data yang diperoleh di lapangan atau berupa dokumen-dokumen yang akan dianalisis. BAB V ANALISIS DATA Bab ini memuat analisa data yang diperoleh dari hasil penelitian dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang diajukan.

BAB VI PENUTUP Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang

  dilakukan dan saran-saran yang dianggap perlu sebagai rekomendasi kebijakan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kombinasi Pasir Vulkan,Zeolit dan Air Laut Terhadap Sifat Kimia Tanah dan Produksi Padi Varietas Lokal di Lahan Gambut Dataran Tinggi Toba

0 0 12

Pengaruh Kombinasi Pasir Vulkan,Zeolit dan Air Laut Terhadap Sifat Kimia Tanah dan Produksi Padi Varietas Lokal di Lahan Gambut Dataran Tinggi Toba

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Auditing 2.1.1 Pengertian Auditing - Peranan Audit Internal Dalam Meningkatkan Sistem Pengawasan Intern Pada PT. Astra International Tbk. – Toyota Sales Operation Auto2000 Cabang Medan Amplas

0 10 32

LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Uji Akar Unit untuk GE (Pengeluaran Pemerintah) dengan Level - Intercept

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeluaran Pemerintah - Analisis Kausalitas Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pemerintah di Sumatera Utara

0 0 27

Analisis Kausalitas Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pemerintah di Sumatera Utara

0 0 12

2. Sumber-sumber Informasi pada Perpustakaan UNIMED - Literasi Informasi Mahasiswa Baru Pengguna Perpustakaan Universitas Negeri Medan Tahun Akademik 2014/2015

0 0 9

BAB II TINJAUAN LITERATUR - Literasi Informasi Mahasiswa Baru Pengguna Perpustakaan Universitas Negeri Medan Tahun Akademik 2014/2015

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) (Studi Pada Rumah Sakit Tingkat Ii Putri Hijau Kesdam I/Bukit Barisan Medan)

0 1 33

IMPLEMENTASI PROGRAM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) DALAM MENINGKATKAN PELAYANAN KESEHATAN (Studi pada Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Kesdam IBukit Barisan Medan) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarj

0 1 13